Rabu, 01 November 2017

Penguatan Sistem Hukum dan Etika

Penguatan Sistem Hukum dan Etika
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)





Negara-negara maju di dunia hampir mengalami problem yang sama yakni krisis kepemimpinan. Krisis keteladanan dalam kehidupan bernegara. Krisis keteladanan mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat pada negara. Hukum dipakai oleh kelompok yang kuat untuk menindas kelompok yang lemah. Pembangunan di bidang hukum selalu tidak sesuai misi keadilan. Di sisi lain birokrasi dikelola dan diarahkan penguasa untuk kepentingan politik, hal ini bisa dipahami karena pimpinan lembaga-lembaga negara seperti eksekutif, legislatif dipegang oleh para pimpinan partai politik.
Kekacauan sistem norma hukum pada gilirannya mengabaikan kepentingan umum termasuk kepastian hukum bagi masyarakat. Berdasarkan gambaran ini, dapat disimpulkan bahwa tradisi penegakan hukum dalam negara demokrasi modern setelah perubahan UUD 1945 tidak terlalu banyak menghasilkan perbaikan berarti. Peradilan hukum dalam praktik selalu mengesankan lebih berpihak pada kelompok tertentu, baik langsung maupun tidak langsung menyebabkan krisis kepercayaan pada institusi penegak hukum. Rakyat masih sulit menemukan keadilan. Law enforcment  tidak sejalan dengan keadilan karena penegakan hukum lebih mengutamakan aspek keadilan legalistik-proseduralistik yang pada umumnya menyimpangkan substansi nilai-nilai keadilan itu sendiri sehingga hukum tidak berfungsi untuk mewujudkan rasa keadilan.
Problem sistem hukum terdiri dari komponen-komponen penegak hukum hampir dapat dikatakan belum menjadi suatu kesatuan sistematis dan teratur dalam rangka mencapai keadilan bagi warga negara. Keadilan proseduralistik-legalistik dalam praktik tidak memberikan solusi. Oleh sebab itu, diperlukan peradilan yang bebas dan tidak memihak. Peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary) mutlak harus ada dalam setiap negara hukum.
Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Hakim tidak boleh memihak kepada siapapun kecuali hanya pada kebenaran dan keadilan. Dalam menjalankan tugas proses pemeriksaan hakim harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Memajukan peradilan modern yang terbuka dan menjadi contoh bagi pengembangan sistem peradilan di masa-masa yang akan datang. Menjadikan peradilan yang dapat dipercaya dan tempat masyarakat mencari keadilan. Dalam banyak catatan, peradilan seringkali tidak memenuhi rasa keadilan rakyat sehingga institusi pengadilan selalu dianggap tidak profesional. Dalam mewujudkan peradilan yang bebas dan mandiri dalam negara hukum, Oemar Seno Adji dalam bukunya Peradilan Bebas & Contempt of Court, mengatakan, “suatu pengadilan yang bebas dan tidak dipengaruhi merupakan syarat yang ‘indispensable’ bagi Negara Hukum. Bebas berarti tidak ada campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menjalankan fungsi judiciari. Ia tidak berarti bahwa ia berhak untuk bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, ia “sub-ordinated”, terikat pada Hukum.[1]
Setelah reformasi berjalan 15 tahun, peradilan di Indonesia boleh dikatakan cukup mengalami kemajuan. Di banyak instansi pemerintahan dan swasta membentuk lembaga penegak kode etik profesi sendiri-sendiri dalam rangka menegakkan kode etika profesi seperti di Mahkamah Konstitusi ada Majelis Kehormatan Hakim (MKH) MK, Dewan Pers untuk etika profesi jurnalistik, di lembaga legislatif ada Badan Kehormatan DPR dan DPD sebagaimana diatur dalam UU tentang MPR, DPR, DPRD, sebagai lembaga penegak kode etik. Hal ini juga dipraktikkan di partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi keagamaan. Namun banyak juga yang masih memperlihatkan praktik peradilan tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan. Institusi peradilan digunakan tidak semestinya bahkan kerap dianggap tidak memihak pada keadilan. Setelah reformasi dapat dirasakan betapa peradilan tidak memberikan harapan tegaknya keadilan.
Institusi peradilan selalu jadi persoalan bagi masyarakat yang mencari keadilan. Peradilan diarahkan untuk kepentingan politik sehingga rakyat kerapkali dihadapkan pada pilihan teknis-pragmatis. Peradilan dijadikan instrumen pembela dan menjaga kepentingan segelintir orang yang memiliki wewenang mengendalikan hukum. Berangkat dari pemahaman ini maka negara manapun di dunia modern sekarang yang menganut sistem demokrasi sangat penting menyiapkan “ethics infra-structure in public officesuntuk menjawab tantangan kerusakan etika dalam bernegara. Negara-negara di dunia modern terutama negara-negara maju dan berkembang tidak sekadar mengangkat tema-tema perbaikan kualitas etika dan moral dalam berbangsa dengan hanya wacana tetapi membentuk instrumen-instrumen kelembagaan negara sebagai “ethics infra-structure in public offices”. Bagi sebagian kalangan intelektual dan pemikir sosial modern, krisis etika politik yang melanda dunia diperlukan mengambil peran untuk membuat regulasi sistem etika politik dan etika penyelenggara negara.
Dalam hal ini yang paling efektif dan efisien bagi terciptanya tata kelola kebijakan pemerintahan modern adalah mempersiapkan infrastruktur etika, yakni peradilan etika. Peradilan etika modern menjadi titik tekan perbaikan etika politik dan etika pemerintahan. Karena berdasarkan realitas yang ada, institusi-institusi peradilan termasuk peradilan kode etik profesi hampir tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Pembentukan lembaga peradilan etika di Indonesia tidak lain semata-mata untuk memperketat sistem pengawasan pejabat publik dan usaha untuk menciptakan kesadaran dalam mengelola kebijakan negara.
Dalam perspektif ini tidak saja para pemimpin di negara-negara maju dan berkembang terdorong membentuk institusi “ethics infra-structure in public officestetapi gagasan ini telah lama diwacanakan para pemikir modern agar pemimpin-pemimpin bangsa di dunia perlu mengambil peran aktif menjawab kerusakan tatanan sosial dalam kehidupan bernegara. David H. Rosenblom misalnya, dalam sebuah tulisannya yang dihimpun oleh Professionals Educational Foundation of The Visyas, INC, dalam A Master’s Degre In Fiscal Administration,  berjudul The Constitution As A Basis For Public Administrative Ethics, mengatakan, bahwa di setiap negara demokrasi modern dan yang telah mapan dalam berbagai aspek kehidupan bernegara sekalipun tetap ada kemungkinan-kemungkinan untuk membentuk sistem etika berbasis konstitusional. David menulis:

“He argues that since the 1970s various interpretations of the Constitution by the Supreme Court have set some new ethical requirements for governmental administrators. The legal upshot of this constitutionally based set of ethics is to make public officials liable for conduct that violates constitutionally established rights. In other words, many people who can be called stakeholders in the process of government were granted or had extended to them various rights in Supreme Court cases dealing with issues such as equal protection, dua process, and free speech for public employees. Thus there now exists a Constitutional mandate that public administrators uphold these rightsin effect a new moral guide for administrators.[2]

Sejar tahun 1970-an sudah mulai terlihat ada semacam pergeseran paradigma pengelolaan pemerintahan demokratis. Muncul berbagai interpretasi baru terhadap konstitusi di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Austria, dan sebagainya tentang pentingnya memformulasi sistem etika bagi para pejabat negara dan atau para pejabat pemerintah. Artinya, sudah mulai ada kesadaran baru untuk melakukan perubahan pada konstitusi. Konstitusi yang memasukan nilai-nilai etika sekaligus regulasi yang memuat penerapan sanksi bagi para pejabat negara atau pejabat pemerintahdengan tujuan agar setiap pejabat negara dapat memahami dan menjalankan tugas dan tanggung jawab secara baik.
Konsep pelembagaan nilai-nilai etika politik terutama etika penyelenggaraan pemerintahan negara diatur dalam konstitusi setiap negara. Dengan demikian sistem etika berbasiskan konstitusi akan  mudah mengikat setiap pejabat publik tidak hanya memperhatikan pentingnya tertib administrasi pemerintahan tetapi memunculkan kesadaran etika para pejabat negara untuk menegakkan aturan secara bertanggung jawab.
Dengan pendekatan sistem penegakan etika dalam bentuk peradilan etika modern,  lembaga-lembaga peradilan baik peradilan umum maupun peradilan khusus antara lain Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), Peradilan Umum, dan peradilan kode etik seperti Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (BK DPR RI), dan peradilan-peradilan kode etik profesi  seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), kode etik Advokat, bahkan sampai sekarang sudah hampir semua instansi penting sudah mempunyai mekanisme penegakan kode etik di tingkat internal namun sebagian besar masih sebatas formalitas.
Sekadar menjadi catatan, buku ini menyoroti juga peradilan kode etik profesi yang semakin banyak diterapkan di lembaga-lembaga negara tentu tanpa menafikan satu sama lain, mengajak pembaca melihat performa penegakan kode etik profesi di lembaga-lembaga hampir tidak terdengar penjatuhan sanksi sampai pada tingkat pemberhentian. Berbeda dengan yang diterapkan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. DKK yang merupakan embrio dari Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) yang juga selama beberapa tahun saya sebagai ketua betul-betul melakukan gerakan perubahan etika penyelenggara pemilu secara kongkrit. Prestasi DK KPU inilah yang mendorong DPR dan Pemerintah meningkatkan kapasitas kelembagaan penegakan kode etik ini menjadi DKPP. DKPP sebagai institusi gerakan penegakan etika politik dalam bernegara telah menempatkan diri sebagai model peradilan etika yang modern karena semua proses penyelesaian dugaan pelanggaran kode etik penyelenggaraan Pemilu dilakukan dengan terbuka.
DKPP baru berjalan memasuki dua tahun terhitung sejak dilantik Presiden tanggal 12 Juni 2012. Namun penegakan etika dalam kehidupan bernegara melalui aspek penyelenggaraan pemilu hasilnya cukup prospek sehingga DKPP tidak saja menjadi modal tetapi model baru dalam penegakan etika politik dan etika penyelenggara pemerintahan. Belum ada lembaga negara yang tidak saja memiliki sistem dan mekanisme penegakan etika yang diselenggarakan dengan terbuka. Oleh sebab itu, yang paling mendasar adalah kemauan stakeholders mau bersama-sama menggerakan kesadaran ethics dalam pengelolaan negara dengan mengedepankan tanggung jawab.
Di Amerika Serikat, sejak era 1978 telah mengangkat tema-tema penguatan etika politik untuk urusan publik bagi pejabat negara dalam menjalankan tugas dan fungsi pelayanan publik. Dalam sebuah tulisan Alexander Hamilton seperti dikutip oleh Curtis Ventriss, dalam Reconstructing Government Ethics: A Public Philosophy of Civic Virtue, mengggambarkan mengenai pentingnya pemerintahan demokrasi modern membentuk suatu sistem mekanisme tanggung jawab bagi pejabat negara melalui instrumen hukum. Alexander menulis:

“political writers ... have established it as a maxim, that, in continuing any system of government, and fixing the several checks and controls of the constitution, every man ought to be supposed a knave; and to have no other end in all his actions but private interest. By this interest we must govem him; and by means of it, make him cooperate to public good notwithstanding his insatiable avarice and ambition. Without this, we shall in vain boast of the advantages of any constitution; and shall find in the end that we have no security for our liberties and possessions except the good will of our rules, that is, we should have not security at all” (1969, pp. 94-95, italics added).[3]

Praktik penyimpangan etika khususnya dalam penyelenggaraan negara berkaitan dengan tanggung jawab publik keadministrasian menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah, karena pemerintah tidak menunjukkan perilaku positif yang setidaknya bisa memberikan harapan ketertiban pada warga negara. Sangat penting untuk mendorong partisipasi masyarakat dan adanya kesadaran serta kemauan kuat DPR dan Pemerintah untuk memikirkan dan merumuskannya dalam suatu undang-undang khusus tentang “Mahkamah Etika” atau lembaga penegakan etika penyelenggara negara sebagai model baru dalam perbaikan etika politik dan etika pemerintahan.
Itulah sebabnya mengapa penulis melalui berbagai kesempatan, selalu mengajak dan menghimbau agar semua komponen masyarakat terutama pemerintah pusat maupun daerah supaya memikirkan mulai dari sekarang untuk menyusun sistem etika bernegara secara komprehensif. Etika bernegara yang dikonstruksikan melalui sebuah regulasi khusus yang tujuannya tidak lain semata-mata untuk menjaga dan mengawasi perilaku pejabat publik. Karena pejabat publik secara hukum, mereka diberikan tugas oleh undang-undang untuk menegakkan etika dan nilai-nilai moral. Selain untuk mendorong penegakan etika dan nilai-nilai moral juga menjadi jaminan keberlangsungan pemerintahan yang bersih dan kuat termasuk memberikan jaminan pada hak-hak masyarakat mendapatkan pelayanan.
Apabila hal ini tidak dimulai dari sekarang, maka perubahan konstitusi kita pasca reformasi yang melalui empat tahap itu tidak memiliki makna etika politik dalam pengertian konsepsional secara nilai moral yang berarti. Dengan dibentuknya infrastruktur etika yang kuat maka secara otomatis negara melalui pemerintah memiliki kewajiban hukum, dan kewajiban moral untuk mengatur dan menjalankan roda pembangunan berdasarkan nilai-nilai etika kebangsaan kita yakni Pancasila. Tanpa melalui suatu aturan dan mekanisme yang jelas dan tegas mengenai kewajiban moral negara dan pemerintah pada warga negaranya, maka sangat sulit bangsa Indonesia akan mengalami perbaikan sistem demokrasi secara signifikan. Karena demokrasi dan hukum harus dikuatkan oleh sistem etika berbangsa, dan inilah yang selalu saya tekankan, bahwa fondasi negara akan kuat manakalah ditopang oleh sistem hukum dan sistem etika (rule of law dan the rule of ethics) yang secara bersamaan diterapkan.

Catatan:
Arsip tulisan lawas



[1]  Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas & Contempt of Court, Diadit Media, Jakarta, 2007, hal, 13.
[2]  David H. Rosenbloom, 1971, The Constitution As a Basis for Public Administrative Ethics, kumpulan tulisan yang dihimpun dalam “Readings”, Ethics In Public Office, oleh Professionals Educational Foundation of The Visyas, INC, dalam A Master’s Degre In Fiscal Administration, 1994.
[3] Lihat: Curtis Ventriss, Reconstructing Government Ethics: A Public Philosophy of Civic Virtue, yang dihimpun oleh beberapa lembaga pengembangan demokrasi dan sistem etika di negara-negara berkembang yakni Fiscal Administration Foundation, INC, di Mandaluyong City, dan Philippine School of Business Administration, di Manila ini, menulis secara garis besarnya, memberikan gambaran ilmiah tentang kemungkinan-kemungkinan negara maju dan berkembang yang tengah mengalami berbagai gejolak dan kekacauan norma hukum akan membentuk semacam sistem etika sebagai basis penguatan sistem berbangsa dan bernegara. Sistem etika sangat memungkinkan bahkan menurut lembaga pengembangan demokrasi dan sistem etika ini menjadi instrumental dalam proses penataan sistem demokrasi modern. Dengan sistem etika yang kuat maka negara-negara yang mengalami semacam ancaman “kebangkrutan moral” sebagai implikasi negatif praktik penyimpangan etika sosial memikirkan untuk membentuk sistem etika sebagai landasan norma dalam bernegara.

Selasa, 24 Oktober 2017

Refleksi Akhir Perseteruan Pilkada DKI Jakarta 2017

Refleksi Kebangsaan :
Akhir dari Perseteruan Pilkada Provinsi DKI Jakarta 2017

Catatan Pinggir Rahman Yasin


Mengawali tulisan ini, terlebih dahulu izinkalah saya hendak menceritakan sekilas peristiwa kecil yang sesungguhnya tidak masuk dalam kategori peristiwa mahal apalagi mewah, tetapi setidaknya cerita ringan ini menjadi titik tolak inisiatif pribadi untuk menulis dengan mengawali kisah ringan yang sebetulnya tergolong ‘istimewa’ dari suatu perspektif yang berbeda atau dengan lain perkataan, soal sudut pandang, soal siapa yang membaca, menangkapnya, dan mempersepsikannya seperti apa. Atas dasar itulah saya siap menerima kritik dan masukan untuk tulisan ini.
Adalah mendapat suatu kehormatan yang patut saya syukuri, ketika itu saya sudah beranjak keluar dari kantor karena jam telah menunjukkan pukul 16.37 WIB tentu dengan cepat saya meluncur menuju rumah dengan harapan dapat berkumpul dan berbuka puasa bersama dengan anak dan istri saya tercinta. Setelah keluar dari pintu tol Cibubur yang merupakan salah satu titik tol dalam kota yang dikenal padat alias paling macet ini, tiba-tiba hendphone saya berdering, saya kemudian mengalihkan pandangan ke hendphone, ternyata muncul nama Pande Putu. Pande Putu tak lain adalah seorang Polisi profesional dari Mabes Polri yang ditugaskan oleh instansi Kepolisian menjadi adjudan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., dan tak lain adalah Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Pakar Hukum Tata Negara, mantan Ketua pertama Mahkamah Konstitusi (2003-2005), yang tak lain juga Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Seperti biasanya, kalau telp dari adjudan Prof Jimly, saya sudah dapat menduga bila itu perintah dari atasan untuk menghadap. (Putu) “halo pak yasin, (sy) halo juga pak putu, sahut saya, (putu) posisi dimana? (sy) maaf sudah keluar tol Cibubur, (putu) Prof. minta pak yasin mendampingi Prof dalam pertemuan dengan Prof Mahfud MD dan KH. Solahuddin Wahid (Gus Solah) di kantor sore nanti (7/6/2017).
Wah, perintah atasan tidak bisa ditolak (kecuali diluar batas kemampuan nalar kondisi), itu adalah prinsip kerja bagi setiap karakter professional (baca: ketaatan pada sistem norma kerja, bukan pada orangnya semata). Saya kemudian beralih arah dengan kembali masuk pintu tol Cibubur langsung keluar pintu tol Semanggi persis depan kantor Polda Metro Jaya dan belok kiri melintasi Jalan Jenderal Sudirman-Bundaran Hotel Indonesia dan masuk kantor Jl. Thamrin No. 14. Singkat cerita, sesampainya di kantor, Prof. Jimly dan Prof Mahfud MD baru memulai perbincangan, saya pun memanggil Dr. Sopiansyah Jaya sesama Tenaga Ahli di DKPP, beliau adalah senior saya.
Dalam ruang rapat lantai 5, kantor DKPP, diskusi terus hangat hingga waktu buka puasa. Inti diskusi, arahan Prof Jimly dan Prof Mahfud agar kami segera menyusun TOR kegiatan dan segera lakukan komunikasi dengan pihak MPR. Karena tujuan kegiatan dimaksud sudah didiskusikan dengan ketua MPR Zulkifli Hasan. Prof Mahfud mengajukan tema “Dialog Kebangsaan: Curah Gagasan Sesama Anak Bangsa”. Peserta yang diundang pun tidak tanggung-tanggung, tokoh-tokoh nasional yang terdiri dari para ilmuan akademisi, budayawan, sosiolog, praktisi profesional dan para pemuka agama dan adat di pelbagai sudut negeri. Seratus tujuh puluhan (170-an) lebih tokoh terhimpun dan hanya dalam satu minggu, kegiatan ini dapat berjalan lancar. Tanggal 13 Juni 2017, Alhamdulillah kegiatan “Dialog Kebangsaan: Curah Gagasan Sesama Anak Bangsa” dapat terlaksana dengan baik sesuai harapan.
Tentu sengaja saya oretkan tulisan ini selain menjadi suatu kehormatan karena kegiatan ini memperkuat komunikasi dan perluasan relasi juga menjadi bahan belajar di mana mengetahui titik tolak penyelesaian konflik psikologis sesama anak bangsa pasca Pilkada DKI Jakarta 2017. Mengorganisasikan suatu ivent kegiatan nasional yang diamanatkan oleh tokoh seperti Prof. Jimly, Prof Mahfud, Gus Solah, dan Zulkifli Hasan tidaklah mudah, namun itu semua tidak bisa dinafikan kalau tanpa seni pergaulan dan kepemilikan relasi serta kesungguhan beramal bhakti menjadi kunci utama berhasil tidaknya perencaan suatu kegiatan. Saya merasa penting menyampaikan ucapan terimakasih sebanyak-banyaknya, kepada pihak-pihak yang ikut ambil bagian dalam suksesnya kegiatan dimaksud. Sekretariat MPR RI, yang telah dengan sangat respons komunikasi sehingga dapat berjalan lancar kegiatan ini. Terimakasih semuanya.
Berikut adalah latar belakang dari perpaduan TOR antara Prof Mahfud dan dan yang saya oretkan. Sekali lagi saya memang sengaja membuat tulisan ringan ini semata untuk menjadi kenangan sekaligus dokumentasi saya yang boleh jadi suatu waktu dapat dipergunakan lagi soal metode dan substansinya.

Curah Gagasan

Dalam rancangan Term Of Reference yang ditulis Prof. Mahfud MD, berikut saya muatkan sebagai berikut: Bangunan kebersatuan dalam keberagaman kita  sebagai bangsa pada saat ini sedang mengalami ujian. Tidak seperti yang sudah-sudah, kontes politik yang meskipun berlangsung panas biasanya selalu selesai begitu puncak kontestasi selesai kali ini konfliknya terus berlanjut dan sudah cukup mengkhawatirkan. Pada Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden oleh MPR hasil pemilu tahun 1999 suasana tegang dan panas pernah terjadi tetapi begitu pemilu legislatif dan pemilihan Presiden oleh MPR selesai suasana bisa menjadi reda dan bangsa ini kembali bersatu tanpa permusuhan. Lembaga Pemantau Pemilu dan para pengamat dari manca negara pada waktu itu mengatakan, demokrasi di Indonesia sudah cukup dewasa dan sangat kompatibel dengan keberagaman bangsa Indonesia.
Hal yang sama juga terjadi pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) tahun 2014 yang ditandai suasana sangat panas dan membelah pilihan politik masayaralat dengan begitu tajam. Tetapi begitu Pilpres selesai ketegangan di tengah-tengah masyarakat juga mereda, meskipun elit kontestasinya masih melanjutkan perkara ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menentukan kemenangan secara hukum. Ketika MK memutus hasil Pilpres dan menetapkan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wapres ketegangan terus menurun hingga akhirnya suksesi berjalan dengan lancar dan pemerintahan berjalan dengan cukup stabil.
Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta kali ini terasa menempuh jalur dan ekses lain. Hasil Pilgub tampaknya menimbulkan luka yang agak sulit disembuhkan sehingga saling serang secara masif masih terus berlangsung, dan serangan-serangan tersebut sudah menyangkut masalah SARA terutama ikatan primordial keagamaan, terlebih lagi setelah jatuhnya vonis Pengadilan yang menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun penjara kepada Basuki Tjahaja Purnama. Ada yang merasa bahwa putusan tersebut tidak adil dan lahir dari tekanan publik yang berbau SARA, tetapi sebaliknya pihak lain mengatakan bahwa memang itulah vonis yang sesuai dengan hukum. Putusan hakim yang seharusnya menghentikan kontroversi justeru menjadi sumber kontroversi baru.
Di tingkat masyarakat ada kekhawatiran tentang masa depan kebersatuan kita di rumah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di beberapa daerah tertentu ada yang mengeluh bahwa kelompok primordialnya diperlakukan tidak adil tetapi pandangan itu ditolak oleh kelompok lain dengan mengatakan justeru pihaknyalah yang diperlakukan tidak adil. Saling keluh dan klaim seperti ini, ironisnya, disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan politik dan aksi-aksi yang mengkhawatirkan. Ketidakpercayaan antar kelompok primordial bahkan dari kelompok primordial terhadap aparatur negara sudah menyeruak dan hampir tak bisa ditutupi.
Pimpinan MPR berpendapat, keadaan tersebut harus segera diatasi demi kelangsungan dan masa depan NKRI yang berdasarkan Pancasila. Kita harus mulai melangkah untuk mengatasi situasi yang tidak kondusif bagi masa depan bangsa dan negara ini. Itulah sebabnya, Pimpinan MPR mengambil inisiatif untuk untuk melakukan pertemuan curah rasa dan pendapat antara tokoh-tokoh masyarakat guna mencari pokok masalah dan mencari solusi atas masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Dalam sebuah tulisan professor Mahfud bahkan menguraikan, persatuan, meminjam istilah Bung Hatta, bukanlah persatean yang mengharuskan orang selalu membebek dan tidak bisa kreatif untuk keluar dari satu pengendalian yang hegemonis. Persatuan harus kita bangun dalam visi dan platform yang tetap memungkinkan perbedaan posisi politik dan langkah-langkah yang ditempuh, tidak harus disusun seperti setusuk sate. Dalam konteks inilah, MPR RI sebagai Lembaga Tinggi Negara mengajak untuk memandang dan mengarahkan keberlanjutan perkubuan politik pasca-pilpres antara kubu Koalisi Merah Putih dan Kubu Indonesia Hebat agar keduanya bersatu demi Indonesia meski berbeda dalam pilihan dan langkah-langkah politik.
Bagi MPR RI, demokrasi dan adanya lembaga-lembaga negara, hukum, Pemilu dan sebagainya hanyalah alat untuk menyejahterakan rakyat. Ibaratnya, kedua koalisi ini harus menuju tujuan yang sama tapi menempuh jalan yang berbeda. Sungguh akan baik seandainya kebersatuan semua parpol bisa disepakati melalui kerja sama atau gotong royong di legislatif dan eksekutif sekaligus, secara paralel dan tanpa perkubuan. Tetapi manakala kebersatuan dan kerja sama atau gotong royong seperti itu tidak bisa dilakukan, memilih posisi yang berbeda tetap bisa baik asal semuanya berkomitmen untuk tujuan yang sama yakni membangun kesejahteraan rakyat dengan berkompetisi.
Memang polarisasi kebangsaan, dari satu sisi bisa dilihat sebagai negatif karena berpotensi melahirkan pemerintahan yang tidak stabil atau penuh hambatan. Tetapi dari sisi lain bisa juga dipandang dan dijadikan hal yang positif dalam menguatkan pembagian tugas penyelenggaraan negara. Kita bisa menjadikan situasi perkubuan koalisi yang ada sekarang ini sebagai hal yang positif dengan menjadikannya sebagai momentum untuk memulai membangun mekanisme saling kontrol dan mengimbangi (checks and balances) secara sehat dalam sistem ketatanegaraan.
Yang satu bisa mengelola eksekutif, sedangkan yang lain-nya bisa berkonsentrasi untuk mengawasi dan mengimbangi secara sehat dari lembaga legislatif. MPR RI yang secara nyata banyak bergabung di kedua kubu itu dapat berperan aktif untuk menyatukan tujuan dalam pilihan dan jalan politik yang berbeda itu melalui pemberian dukungan secara kuat terhadap pihak yang didukungnya. Kalau ini bisa dilakukan dengan baik maka sistem ketatanegaraan kita ke depan bisa semakin sehat dengan hadirnya checks and balances yang bukan untuk saling menghambat, melainkan saling bersinergi untuk kesejahteraan rakyat. Kita tak perlu mengikuti pendapat bahwa di dalam sistem presidensial tak dikenal koalisi, karena koalisi hanya ada dalam sistem parlementer. Di suatu negara itu tidak tunduk pada teori dan tidak harus mengikuti yang berlaku di negara lain. (Mahfud: Koran Sindo: 23 September 2014).
Menurut Ketua MK (2008-2013) ini, tidak ada teori hukum tata negara yang universal asli, karena setiap negara membuat hukum tata negara di dalam konstitusinya sesuai dengan kebutuhan domestiknya masing-masing. Yang harus kita lakukan adalah apa yang tertulis secara resmi di dalam konstitusi; sedangkan yang tak dilarang secara resmi di dalam konstitusi dan hukum, seperti koalisi dan pembentukan komisi-komisi di DPR, boleh saja dilakukan sepanjang dibutuhkan dalam realitas politik dan masih dalam rangka untuk mencapai tujuan negara yakni kesejahteraan rakyat. Berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, mempraktikkan konvensi- konvensi ketatanegaraan yang seperti itu.
Dalam kondisi negara dan bangsa yang cenderung kontradiktif antar lintas etnis anak bangsa, MPR mempelopori suatu gerakan moral untuk menggerakan semua potensi kekuatan bangsa dengan menyelenggarakan Refleksi Kebangsaan dan Ke-Indonesiaan di Masa Depan. Kita bersyukur ternyata MPR RI mempunyai ahli-ahli hampir dalam semua bidang iptek dan profesi. Kemerdekaan yang diperoleh atas berkat rahmat Allah telah memungkinkan bangsa ini melahirkan banyak pemimpin dan banyak ahli, termasuk pemimpin dan ahli yang pernah ditempa di kawah candradimuka Indonesia.
Melalui Refleksi Kebangsaan, kita menjadi tahu bahwa potensi anak bangsa yang kita miliki dapat mengidentifikasi dengan baik persoalan yang kita hadapi dalam setiap bidang dan tahu pula bagaimana cara mengatasinya. Ibarat dokter, para ahli yang kita miliki sudah bisa mendiagnosis penyakit dan menentukan panasea atau terapinya. Hanya, masalah berikutnya, cara melaksanakan terapi itu berjalan semrawut, tidak terpimpin dan tidak terkoordinasi dengan baik serta cenderung berjalan sendirisendiri karena ego sektoral.
Keruwetan dan ego sektoral itulah yang menjadi salah satu sebab (dan cara melakukan) korupsi, baik korupsi uang maupun korupsi kebijakan. Itulah sebabnya, ketika kita mengupayakan mencari cetak biru maka yang ditemukan, meminjam istilah tokoh bangsa kita menyelenggarakan Refleksi Kebangsaan ini adalah untuk cetak buram. Salah satu tujuan penting dari Refleksi Kebangsaan, kita memerlukan kepemimpinan yang kuat, yakni kepemimpinan yang visioner serta dapat secara tegas melakukan pilihan-pilihan kebijakan untuk melaksanakan pemerintahan dan pembangunan secara terkoordinasi dan terarah sesuai dengan target kebijakan yang telah dipilih.
Meski banyak keluhan dan tidak sedikit yang mencemaskan masa depan ikatan kebangsaan Indonesia, ternyata Indonesia mempunyai modal sosial dan politik (sospol) yang bisa dipakai untuk menjadi negara yang kuat dan maju.Memang ada yang khawatir atas masa depan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) berhubung munculnya gejala radikalisme, intoleransi dan diskriminasi. Namun setelah didiagnosis itu semua hanya symptom atau gejala yang muncul karena penyakit dalam yakni lemahnya penegakan hukum dan keadilan serta karena kontestasi politik yang sifatnya situational.
Indonesia mempunyai modal-modal penting untuk maju dengan pijakan kebersatuan dalam kebhinekaan. Indonesia sudah bisa menyelenggarakan pemilu yang demokratis, diselenggarakan oleh KPU yang mandiri terlepas dari intervensi pemerintah, dan bisa diadili di MK jika ada kecurangan. "Kedua rakyat kita sudah cukup dewasa dalam berdemokrasi. Terbukti begitu hasil pemilihan selesai, ribut-ribut juga selesai dan rakyat menerima hasilnya.Kalau calon-calon yang kalah merasa tak puas, maka calon-calon yang bersangkutan bisa mengadu ke MK tapi rakyatnya tak ikut-ikutan dan setelah MK memutus masalahnya selesai.Ketiga, sekarang ini tidak ada koalisi dan oposisi permanen. "Partai yang berkoalisi atau beroposisi di Jakarta bisa bertukar pasangan koalisi dan oposisi di daerah-daerah lain.
Saat ini kita berada pada momentum yang tepat untuk menyerasikan langkah di bawah satu visi yang kuat dengan pilihan kebijakan tentang arah dan terapi yang terpadu karena kita akan segera mempunyai pemerintahan yang baru. para tokoh Indonesia sebagai bagian penting dari bangsa harus berperan melalui posisinya masing-masing untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik dengan membantu pemerintahan yang baru, baik di eksekutif maupun di legislatif.

Penguatan Nilai Etika Pancasila

Professor Jimly menyoroti dari dimensi penguatan nilai etika Pancasila. Krisis penghayatan dan pengamalan pada nilai-nilai Pancasila kian menguat di hampir semua elemen bangsa sehingga diperlukan forum anak bangsa untuk memikirkan bersama masalah kebersamaan dalam bernegara. Menurutnya, meskipun Ketetapan MPR tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila warisan Orde Baru itu telah dicabut, tetapi kedudukan Pancasila tetap kokoh, tidak berubah karena perubahan era. Hal ini juga ditegaskan oleh Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 yang mencabut Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 itu. Bahkan, dalam perumusan tentang prosedur perubahan UUD 1945 sebagaimana diatur dalam rumusan Perubahan Ke-IV UUD 1945, yaitu pada Bab XVI Pasal 37 UUD 1945, tegas ditentukan bahwa yang menjadi objek perubahan dalam arti, materi UUD 1945 yang dapat diubah menurut prosedur Pasal 37 itu hanya rumusan “pasal-pasal”. Artinya, perumusan tentang Pembukaan UUD 1945, tidak menjadi dan tidak dijadikan objek perubahan sama sekali. Karena itu, rumusan Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang berisi formulasi sila-sila Pancasila tidak dapat dan tidak akan pernah berubah menurut prosedur yang konstitusional berdasarkan UUD 1945. Apalagi, penamaan kelima sila dengan kata “Pancasila” dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 juga secara implisit telah ditegaskan namanya dalam Pasal 36A UUD 1945 yang menyatakan, “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan demikian, setelah Perubahan Keempat UUD 1945 pada tahun 2002, kedudukan Pancasila itu sebagai dasar dan falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi semakin kokoh.
Dalam kaitannya dengan perkembangan sistem etika di abad modern dewasa ini, harus dipahami pula bahwa Pancasila itu sendiri, bukan hanya merupakan sumber hukum (source of law) bagi bangsa Indonesia, tetapi juga merupakan sumber etika (source of ethics). Karena itu, perspektif para sarjana hukum, apalagi para sarjana hukum tatanegara haruslah melihat UUD 1945 sebagai naskah konstitusi tertulis tidak hanya dalam konteks hukum konstitusi atau “constitutional law”, tetapi juga etika konstitusi atau “constitutional ethics”. Kedua perspektif hukum dan etika konstitusi itu harus dijadikan sumber referensi normatif dan operasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengertian demikian ini saya promosikan untuk dikembangkan agar Pancasila dan UUD 1945 tidak hanya dilihat sebagai norma hukum, tetapi juga norma etika berbangsa dan bernegara sebagaimana yang sudah terjabarkan dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. (Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, 2015: 217).
Padahal, pemilu dan pilkada pada dasarnya tidak hanya sebagai ajang kontestasi kekuasaan semata, namun menjadi pintu masuk bagi pengisian jabatan-jabatan publik sehingga kualitas dan integritas proses maupun hasil hendaknya mendapatkan perhatian serius baik oleh penyelenggara maupun peserta yang tidak lain menjadi calon pejabat publik. Jabatan publik melalui proses pelaksanaan pemilu dan pilkada meliputi (i) Presiden dan Wakil Presiden, (ii) Anggota DPR, (iii) Anggota DPD, (iv) Anggota DPRD Provinsi, (v) Anggota DPRD Kabupaten/Kota, (vi) Gubernur dan Wakil Gubernur, (vii) Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota.
Pemilu dan pilkada baik diselenggarakan sejak Indonesia masih menganut sistem pemerintahan parlementer hingga pada reformasi menerapkan sistem pemerintahan presidentiil bahkan terbaru keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 untuk diselenggarakan secara serentak, tidak pernah lepas dari praktik pelanggaran. Pelanggaran pemilu dan pilkada umumnya dilakukan oleh peserta dan penyelenggara pemilu. Pada konteks tugas dan wewenang MK sesuai amanat UU No. 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat (1) poin (d) dinyatakan, MK menangani perkara penyelesaian hasil pemilu (electoral result). PHPU di MK berupa sengketa yang timbul antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu. Sengketa PHPU pun dapat terjadi antar peserta pemilu dan pilkada karena perselisihan hasil yang berbeda berdasarkan data masing-masing.
Pelanggaran pemilu dan pilkada dapat dilihat dari aspek muatan pelanggaran itu sendiri sehingga dalam penanganan sengketa dapat dilihat apakah pelanggaran yang disengketakan itu masuk dalam kategori pelanggaran administrasi pemilu dan pilkada atau pelanggaran hukum baik dalam bentuk pelanggaran hukum pidana, pelanggaran hukum perdata maupun dalam bentuk pelanggaran hukum administrasi negara atau pelanggaran dalam bentuk kode etik penyelenggara pemilu. MK sesuai ketentuan Pasal 10 ayat (1) sebagai peradilan konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir hanya menangani sengketa hasil pemilu (electoral result) yang disengketakan menjadi objek perkara (objectum litis) oleh peserta pemilu dengan penyelenggara.
Oleh karena itu, cukup ideal bila ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat dalam sambutannya pada pelaksanaan Kongres MK se-Eropa ke-17 yang diselenggarakan di Batuni Georgia pada tanggal 29 Juni 2017 menegaskan, konstitusi adalah hukum tertinggi dalam negara. Oleh karena konstitusi menjadi sumber hukum tertinggi, maka semua peraturan perundang-undangan yang dibuat harus sejalan dan selaras dengan konstitusi atau tidak boleh ada yang bertentangan dengannya. Ketua MK Arief Hidayat selaku Presiden Asosiasi MK mengatakan, Pancasila dan UUD 1945 merupakan pedoman hukum tertinggi dalam praktik kehidupan bernegara di Indonesia. Ada empat prinsip dasar konstitusional pada administrasi negara dan berpemerintahan. Keempat prinsip dasar konstitusional itu yaitu (i) menjadikan konstitusi sebagai sistem norma hukum yang lebih tinggi, (ii) penetapan hirarkhi peraturan perundang-undangan dalam konstitusi, (iii) ketentuan pada norma-norma tertentu dalam konstitusi Pancasila dan UUD 1945 yang tidak dapat diubah, dan (iv) judicial review terhadap perubahan konstitusi.
Presiden Indonesia Joko Widodo pada pembukaan Kongres MK Asia (The Association of Asian Constitutional Caourt and Equivalent Institution-AACC ke-3 di Nusa Dua Bali pada tanggal 11 Agustus 2016, mengatakan, Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber kekayaan budaya yang luas sehingga potensi konflik antar kepentingan atasnama perbedaan politik bisa saja muncul kapan pun, namun peran MK sebagai benteng penegak hak-hak konstitusi warga negara dapat menjadi solusi konstitusi yang efektif. MK terus berperan aktif memberikan perlindungan dengan menegakkan aturan main dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga potensi-potensi perbedaan politik dapat diatasi dengan baik. Sebagai lembaga penegak konstitusi, MK terus diusahakan untuk senantiasa bekerja keras memenuhi hak konstitusional warganya. Apalagi menurut Presiden Joko Widodo, reformasi konstitusi pada tahun 1999 telah mengamanatkan MK pada posisi strategis. MK berkewajiban mengawal dan menjaga keluhuran, marwah, harkat dan martabat serta kehormatan konstitusi termasuk hak politik pemilu warga bangsa.
Pada akhirnya, pertempuran telah selesai, pertarungan politik dan ideologi terselubung sudah sampai pada terminal dan telah melahirkan konsensus dengan mengukuhkan kembali otoritasasi moralitas politik bangsa pada dimensinya. Dalam setiap kontestasi, wajar harus ada yang kalah dan menang, namun pengertian kalah menang merupakan istilah politik yang cukup antagonis sehingga wajar pula ada kelompok maupun komunitas ideologi terselubung merasa kecewa. Tetapi kekecewaan itu hal yang wajar, jangan sampai kekecewaan melebihi keterpaksaan yang pada akhirnya memicu problem bangsa yang lebih parah, maka kesadaran etik dan bijak memaknai hasil kontestasi pilkada DKI secara rasional sangat dibutuhkan. Kekecewaan politik dan ideologi terselubung melalui kontestasi pilkada yang tidak tercapai bukanlah titik akhir dalam kehidupan sehingga harus mengorbankan kepentingan umum yang lebih besar, tetapi ruang pengabdian, hamparan kinerja-produktivitas dan kreativitas untuk bangsa dan negara masih sangat luas dan semua memiliki kesempatan yang sama sehingga tidak ada alasan untuk merintangi.
Alhasil, Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Uno telah dilantik dan dengan dikukuhkan Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2017-2022 itu maka sah dan konstitusional menggantikan Djarot Syaiful Hidayat. Pelantikan Anies-Sandi tanggal 16 Oktober 2017 oleh Presiden Joko Widodo hendaklah dimaknai sebagai puncak akhir dari semua perseteruan politik yang telah menguras energi besar bangsa pada proses pelaksanaan pilkada provinsi DKI Jakarta 2017. Kepada semua kekuatan komponen bangsa pada setiap sudut negeri, marilah kawal dan terus kontrol kebijakan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta selama periode kepemimpinan mereka. Janji-janji kampanye dan realisasi program visi misi yang didengung-dengungkan selama pelaksanaan pilkada, hendaknya dapat ditunaikan dengan baik. Tunaikan janji dan ciptakan kondisi tertib, aman, dan damai, agar DKI Jakarta tidak hanya menjadi simbol ibukota negara dalam pengertian umumnya saja tetapi benar-benar menjadi rule model pembangunan pada semua bidang kehidupan, serta menjadi miniatur dan sekaligus parameter kesejahteraan ekonomi bangsa bagi daerah-daerah lain di tanah air.*




Senin, 28 Agustus 2017

Gagasan Etika Konstitusi

Etika Konstitusi (Constitutional Ethics):
Suatu Usaha untuk Memahami Gagasan Jimly Asshiddiqie tentang
‘Rule Of Law And Rule Of Ethics’
& Constitutional Law And Constitutional Ethics’

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)


Semula, apa yang dimaksudkan oleh Plato sebagai ‘nomoi’ dalam bukunya, belumlah identik dengan pengertian hukum atau apalagi dengan peraturan perundang-undangan yang dikenal di zaman sekarang. ‘Nomoi’ dalam pandangan Plato masih tercampur baur antara pengertian-pengertian tentang norma hukum, norma etika, dan norma agama seperti yang dipahami di zaman sekarang. Ketiga sistem norma ini baru di kemudian hari mengalami differensiasi struktural dan fungsional. Bahkan, bersamaan dengan semakin meluasnya pengaruh paham sekularisme dan kemudian paham positivisme, pengertian norma hukum itu menjadi semakin sempit kandungan maknanya, menjadi sekedar hukum positif yang dalam tradisi ‘civil law’ tercermin dalam rumusan peraturan perundang-undangan tertulis. Akibatnya, doktrin mengenai supremasi hukum juga hanya dikaitkan dengan norma hukum dalam pengertian yang sudah semakin sempit itu. Tatkala, sistem norma etika dan agama diperbincangkan, para ahli hukum dengan mudah menjelaskan bahwa etika dan agama tidak boleh bertentangan dengan hukum, karena hukum adalah di atas segala-galanya.
Seorang guru besar Fakultas Hukum satu perguruan tinggi dengan nada sangat heran bertanya mengapa putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum bersifat final dan mengikat? Bukankah semua keputusan, termasuk lembaga penegak kode etik, yang merugikan seseorang harus dapat digugat ke pengadilan (hukum) yang berpuncak di Mahkamah Agung? Masalahnya, ia membayangkan bahwa hukum itu lebih tinggi kedudukannya daripada etika. Keputusan etika tidak boleh bertentangan dengan hukum.  Tidak terbayangkan olehnya ada suatu pelanggaran etika yang tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran hukum, sehingga bagaimana mungkin keputusan etika harus dinilai oleh lembaga hukum? Sesuatu yang melanggar hukum tentu dengan mudah dapat dinilai melanggar etika juga. Tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Karena itu, pengadilan hukum tidak mungkin dapat menilai keputusan dari suatu ‘peradilan’ etika? Namun, bagi sarjana hukum yang berpikir sangat tekstual dan positivistik tentu sangat sulit membayangkan bahwa norma hukum itu tidak lebih tinggi kedudukannya daripada etika.
Tentu cara pandang para sarjana hukum positivist seperti ini merupakan gambaran umum. Bahkan, mungkin lebih dari 90% sarjana hukum di Indonesia dewasa ini beranggapan bahwa hukum itu memang lebih tinggi kedudukannya daripada etika. Tetapi, para ahli agama atau para ulama dan rohaniawan, tentu memiliki pandangan lain. Hukumlah yang justru tidak boleh bertentangan dengan etika dan apalagi dengan agama. Norma agama lah yang paling tinggi, baru diikuti oleh norma etika, sedangkan norma hukum mempunyai posisi yang lebih rendah dan tidak boleh bertentangan dengan norma etika dan apalagi norma agama. Sangat boleh jadi, lebih dari 90 persen ulama, rohaniawan, dan pendeta berpandangan bahwa memang agamalah yang paling tinggi kedudukannya di atas etika dan hukum, terutama dalam pengertian peraturan perundangan-undangan negara.
Namun, dalam perkembangan di zaman sekarang, kedua cara pandang mengenai hubungan antara etika dan hukum seperti tersebut di atas, dapat dikatakan sudah tidak lagi tepat. Hubungan antara hukum dan etika di zaman sekarang sudah mengalami transformasi yang sangat berbeda dari zaman-zaman dahulu. Jika dulu sistem norma agama, norma etika, dan norma hukum cenderung terpisah dan dipisahkan, sekarang kebutuhan praktik di seluruh dunia menunjukkan gejala yang sebaliknya, ketiganya mulai saling bergantung dan membutuhkan hubungan komplementer yang bersifat sinergis antara satu dengan yang lain. Karena itu, Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969) pernah berkata, “Law floats in a sea of ethics”, hukum mengapung di atas samudera etika. Hukum tidak dapat tegak, jika air samudera etika itu tidak mengalir. Jika kehidupan sosial tidak beretika, mana mungkin kita menegakkan hukum yang berkeadilan. Artinya, ada hubungan sinergi antara hukum dan etika itu. Etika lingkupnya lebih luas daripada hukum. Karena itu, sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum, meskipun sesuatu yang melanggar hukum dapat dikatakan juga melanggar etika.
Karena itu, kita tidak dapat lagi mengatakan bahwa hukum itu lebih tinggi daripada etika. Bahkan etika juga tidak perlu atau tidak dapat dikatakan lebih tinggi daripada hukum. Hubungan di antara keduanya di samping bersifat luas-sempit seperti tersebut, adalah juga bersifat luar-dalam, bukan atas-bawah secara vertikal. Agama adalah sumber etika, etika adalah hukum. Jika hukum adalah jasad, maka etika adalah rohnya yang berintikan nilai-nilai agama. Hukum tidak boleh terlepas dari rohnya, yaitu etika keadilan. Dengan demikian dalam konteks pengertian konstitusi, kita tidak boleh menafikan adanya norma hukum dan norma etika di dalamnya. Karena itu, dalam UUD terkandung pengertian tentang norma hukum konstitusi (constitutional law), dan sekaligus norma etika konstitusi (constitutional ethics). Pancasila di samping merupakan sumber hukum (source of law), juga merupakan sumber etika (source of ethics) dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD 1945 di samping merupakan sumber hukum konstitusi (constitutional law), juga merupakan sumber etika konstitusi (constitutional ethics).
            Karena itu, studi konstitusi harus dikembangkan tidak hanya mempelajari soal-soal yang berkenaan dengan hukum, tetapi juga etika konstitusi yang berkaitan erat dengan pemahaman mengenai roh atau ‘the spirit of the constitution’. Hal ini sama dapat kita bandingkan dengan hubungan antara Pancasila dan UUD 1945. Keduanya tidak boleh dipisahkan. Pancasila adalah roh yang terkandung dalam teks UUD sebagai konstitusi tertulis. Yang harus ditegakkan dan dijalankan dalam kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara adalah konstitusi, bukan sekedar teks undang-undang dasar tanpa jiwa. Pancasila beserta seluruh rangkaian nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 beserta segenap ide-ide, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai yang hidup dalam UUD 1945 adalah roh atau jiwa kebangsaan kita. Karena itu dalam memahami UUD 1945 sebagai jasadnya, roh atau jiwa itu tidak dapat diabaikan. Disitulah letak keadilan konstitusional dan etika konstitusional yang hendak kita wujudkan dalam kenyataan praktik berbangsa dan bernegara.
            Kewenangan dan tanggungjawab seperti itu, sama sekali tidak lahir dari teks konstitusi, melainkan dari praktik konstitusi (constitutional practice) yang harus ditampung oleh sistem konstitusi melalui tangan Hakim John Marshall (Ketua Mahkamah Agung yang langsung menangani perkara tersebut). Sekarang, setelah 2 abad putusan John Marshall itu, hampir semua negara di dunia dewasa ini, terlepas dari perbedaan sistem hukum dan sistem politiknya masing-masing, telah mengadopsikan sistem ‘judicial review’ konstitusionalitas undang-undang sebagai produk legislasi ini ke dalam sistem konstitusinya masing-masing.             Perkembangan baru ini, di dunia teori, beriringan dengan meluasnya pengaruh cara pandang ‘realist’ (realist perspetives) dalam studi hukum tata negara yang bermaksud mengurangi beban tanggungjawab konstitusional para penyelenggara negara non-judisial, dan sekaligus membuka ruang untuk menampung kebutuhan-kebutuhan baru yang ditemukan dalam praktik konstitusi (constitutional pratices) ke dalam sistem konstitusi. Hukum dan konstitusi harus dipahami dengan cara yang luas, tidak terpaku dan hanya bersandar pada kebiasaan untuk sekedar melakukan ‘grammatical reading’ terhadap teks-teks hukum dan konstitusi itu. Karena itu, muncul pula kebiasaan baru dalam merumuskan kalimat-kalimat undang-undang, misalnya, yang sebelumnya biasa digunakan kata ‘ought’ diubah dengan kata ‘shall’ untuk kandungan makna yang sama. Dalam rumusan kalimat undang-undang di Indonesia dewasa ini juga tidak lagi digunakan kata ‘harus’, ‘wajib’, tetapi cukup digunakan kata ‘akan’. Bahkan oleh karena bahasa Indonesia tidak mengenal ‘tenses’ (waktu), kata-kata ‘harus’, ‘wajib’, ‘akan’ itu sekarang cenderung ditiadakan sama sekali, karena maksud normatifnya sama, dan bahkan kandungan maknanya menjadi lebih luas.
            Sekarang, dengan adanya kebutuhan baru lagi, yaitu penting menampung juga pengertian tentang etika konstitusi, maka pengertian yang terkandung dalam teks-teks hukum dan konstitusi juga harus dipandang telah memuat sistem nilai yang mendasari pengertian-pengertian tentang norma hukum dan etika secara sekaligus. Sekarang, hukum tata negara masih cenderung hanya dilihat sebagai suatu sistem yang memberikan pembatasan-pembatasan struktural yang mengelola kekuasaan berhadapan dengan kekuasaan, kepentingan berhadapan dengan kepentingan, dan belum dihubungkan dengan kebaikan moral (moral goodness) orang atau antar orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan dalam kekuasaan negara. Para ilmuwan sosial juga cenderung sangat mengutamakan empirisme dengan mengabaikan sama sekali peran moral dari analisis-analisis ilmiah yang mereka lakukan. Ilmu politik modern hanya peduli dengan kekuasaan, bukan dengan prinsip nilai (power, not principle).
            Pemahaman mengenai konstitusi sebagai seperangkat sistem aturan yang dapat ditegakkan secara eksternal, baik dari segi normatif maupun empiris, sama-sama mengandung kelemahan. Dengan perspektif empiris, pendekatan yang dilakukan tidak selalu menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Sebaliknya, pendekatan yang hanya normatif, tidak dapat menampung perkembangan kebutuhan yang nyata dalam praktik. Isu-isu konstitusionalisme bahkan tidak hanya berkenaan dengan persoalan kekuasaan, tetapi juga kepentingan-kepentingan, dan bahkan juga dengan kualitas-kualitas perilaku mengenai bagaimana kekuasaan itu diselenggarakan oleh orang per orang para aktor dalam sistem kekuasaan itu. Inilah wilayah etika konstitusi yang diharapkan dapat melengkapi hal-hal yang sudah dibahas dalam studi hukum konstitusi atau hukum tata negara.
            Jika konstitusi hanya dilihat sebagai seperangkat aturan hukum, maka menurut Keith E. Whittington[1], dapat timbul setidaknya tiga kesulitan. Ketiganya dapat disederhanakan, meliputi: (i) the problem of fidelity, (ii) the problem of propriety; dan(iii) the problem of discretion. Pertama, soal keaslian ide dan nilai (fidelity) dalam tafsir konstitusi. Yang harus dipersoalkan, bukan hanya soal apa makna atau apa tasfir atas aturan konstitusi yang ada, tetapi bagaimana penafsiran itu dilakukan oleh setiap orang yang menafsirkan. Jika aturan hukum konstitusi dilihat sebagai permainan, teori konstitusi selama ini cenderung hanya mempersoalkan mengenai isi dari aturan yang berlaku dalam permainan, tanpa tidak mempersoalkan dengan sungguh-sunguh mengenai bagaimana permainan itu dimainkan. Kebanyakan teori kontemporer memang selalu menganggap penting aturan konstitusi (constitutional rules), dengan asumsi aturan itu akan ditaati. Akan tetapi, teori-teori yang ada kurang memperhatikan mengenai bagaimana dan sejauhmana ‘rules’ atau aturan itu ditafsirkan dalam praktik. Bagaimanapun ketaatan kepada aturan konstitusi tidak mungkin diasumsikan. Sebagaimana tercermin dalam perkembangan praktik di banyak negara, mulai dari Amerika Latin sampai ke negara-negara bekas Uni Soviet, memberlakukan begitu saja aturan hukum konstitusi tidaklah cukup untuk membangun dan mempertahankan budaya politik yang didedikasikan untuk prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional.
           
Etika Politik dan Etika Pemilu
Standar perilaku ideal dalam kehidupan politik nasional, sebagaimana praktik di pelbagai negara dewasa ini, tidak lagi hanya menyandarkan diri pada ukuran-ukuran kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum berdasarkan prinsip-prinsip rule of law, tetapi lebih dari itu, pemilu dan praktik kegiatan politik di zaman sekarang diidealkan agar lebih berintegritas dengan landasan etika politik yang lebih substansial (rule of ethics). Hukum sangat penting, tetapi tidak lagi mencukupi untuk mengawal dan mengendalikan perilaku ideal masyarakat pasca modern. Demokrasi yang hanya mengandalkan kontrol hukum dan keadilan hukum hanya membuat demokrasi berjalan secara prosedural formalistik. Dengan mengedepankan pertimbangan etika untuk menyempurnakan logika hukum untuk keadilan substantif, kualitas demokrasi dapat ditingkatkan tidak sekedar sebagai demokrasi prosedural, tetapi demorkasi yang lebih bersifat substansial dan berintegritas.
Kunci untuk membangun demokrasi yang berintegritas ialah penyelenggaran pemilihan umum yang berintegritas, seperti yang dijadikan judul buku Kofi Anan, “Election with Integrity”, bukan sekedar pemilu yang bersifat formalistik dan prosedural formal. Untuk mengembangkan pemilihan umum yang berintegritas diperlukan kesadaran bersama dengan didukung oleh sistem aturan dan infra-struktur pendukung yang dapat memaksa penerapan prinsip pemilu berintegritas itu dalam praktik. Semua pihak harus sama-sama membangun integritas yang pada akhirnya akan melahirkan integritas bangsa berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Bahkan, para sarjana hukum, khususnya sarjana hukum tata negara harus menyadari bahwa Pancasila bukan hanya berfungsi sebagai sumber hukm, tetapi juga sumber etika. UUD 1945 bukan hanya berisi norma hukum konstitusi atau “constitutional law”, tetapi juga etika konstitusi atau “constitutional ethics[2] yang harus tercermin dalam pelbagai produk peraturan perundang-undangan sebagai baju hukum bangunan hukum dari substansi kebijakan publik (public policies) dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara.
Dalam penyelenggaraan pemilu, ada 4 pihak yang terlibat, yaitu (i) penyelenggara pemilu, (ii) peserta pemilu, (iii) kandidat atau calon, dan (iv) para pemilih sebagai pemilik kedaulatan rakyat. Idealnya keempat pihak ini sama-sama harus berintegritas. Jika rakyat pemilih menghalalkan praktik suap atau jual beli suara, dengan mengambil uangnya, tetapi tidak memilih pemberinya, maka dampak buruknya adalah para kandidat atau peserta pemilu akan terus membiasakan diri dengan praktik suap dan jual beli suara itu. Praktik tidak terpuji itu bukan saja akan terjadi di antara kandidat atau peserta pemilu dengan pemilih, tetapi jika iklim sudah terbentuk kebiakan buruk menjadi sesuatu yang dianggap benar, maka dengan mudah praktik demikian akan menjalan pula ke aparat penyelenggara pemilu. Apalagi jika sistem suara terbanyak dipertahankan, maka aktor yang bekerja dan berjuang untuk menang dengan segala cara akan berjumlah sebanyak jumlah caleg dari semua partai peserta pemilu di seluruh Indonesia. Sudah pasti sistem kontrolnya akan menjadi sangat sulit.
Karena itu, integritas pemilu menuntut kesadaran semua pihak untuk tunduk kepada prinsip hukum dan etika secara sekaligus. Sudah tentu, untuk memulainya, kita harus mendahulukan integritas penyelenggara pemilu. Karena itulah, kita membangun sustem integritas penyelenggara pemilu dengan mendirikan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang berfungsi sebagai lembaga peradilan etika yang pertama dalam sejarah modern. Harapan kita, hendaknya pemilu-pemilu Indonesia di masa mendatang akan berkembang semakin baik dari waktu ke waktu, bukan saja menurut ukuran ‘rule of electoral law’, tetapi juga menurut standar-standar ‘rule of electoral ethics’.

Penggagas Peradilan Etika Terbuka
Jika perilaku etik dikaitkan dengan para pemangku jabatan-jabatan publik dan profesional yang sangat mengandalkan kepercayaan publik (public trust), maka harus pula disadari bahwa pendekatan hukum seringkali terbukti kontra-produktif dalam menjaga kepercayaan publik itu. Cara bekerjanya sistem penegakan hukum yang ribet dan bertele-tele seringkali berdampak buruk kepada citra dan kepercayaan publik itu, manakala pendekatan hukum diterapkan terdahap mereka yang sedang menduduki jabatan publik. Karena, sebelum suatu tuduhan pelanggaran hukum dapat dibuktikan secara tuntas di pengadilan, citra institusi publik tempat yang bersangkutan bekejra sudah hancur lebih dulu di mata publik. Karena itu, pembinaan dan pengendalian perilaku ideal terhadap orang-orang yang duduk dalam jabatan-jabatan publik, dipandang lebih baik dilakukan melalui sistem etika atau setidak-tidak melalui sistem etika lebih dahulu, baru dengan menggunakan sistem hukum. Semangat yang demikian inilah, antara lain, yang melandasi dikeluarkannya Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Desember 1996 tentang “Action Against Corruption” dengan lampiran naskah “International Code of Conduct for Public Officials[3]. Dalam Resolusi ini, PBB merekomendasikan agar semua negara anggota PBB membangun infra-struktur etika di lingkungan jabatan-jabatan publik (ethics infra-structure for public offices).
            Hal ini pula yang mendorong makin berkembangnya praktik pembangunan infra-struktur kode etika disertai pembentukan institusi-institusi penegak kode etik itu secara konkrit dimana-mana di seluruh dunia, dan di semua bidang dan sektor kehidupan profesional dan keorganisasian serta lingkungan jabatan-jabatan organisasi kenegaraan. Bahkan, selain di lingkungan lembaga-lembaga pemerintahan di tingkat federal, di lingkungan organisasi profesi, dan dunia usaha, 50 negara bagian Amerika Serikat, semuanya telah membentuk sistem kode etik bagi para pejabat, baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun di lingkungan cabang yudikatif negara bagian masing-masing. Dari 50 negara bagian itu, di 42 negara di antaranya telah terbentuk “Ethics Commission” yang bekerja secara independen dan efektif dalam mengawal dan menegakkan kode etik bagi para pejabat publik masing-masing. Fenomena yang sama juga terjadi di negara-negara lain di Eropa, Australia, Kanada, dan Amerika Latin, dan bahkan di Afrika dan Asia, di semua negara berkembang ide untuk membangun infra-struktur etik ini di lingkungan jabatan-jabatan publik dan dunia profesi dan keorganisasian.
            Perkembangan-perkembangan baru inilah yang saya namakan sebagai tahap perkembangan etika fungsional (functional ethics), dimana sistem etika yang sejak awal abad ke-20 mulai dipositivisasikan atau dikodifikasikan dalam bentuk kode etik, sekarang mulai sungguh-sungguh dianggap penting untuk ditegakkan secara konkrit dengan dukungan infra struktur kelembagaan yang menegakkannya. Namun, cara kerja lembaga-lembaga penegak kode etik ini masih bersifat tertutup dengan kewenangan yang terbatas. Lembaga-lembaga penegak kode etik ini ada yang masih bersifat adhoc dan bekerja secara internal di lingkungan organisasi yang bersangkutan. Sebagian disebut sebagai ‘Committee’ atau komite yang berarti panitia, ada pula yang bersifat permanen disebut komisi atau ‘Commission’. Bahkan di Indonesia biasa pula disebut dengan istilah ‘Majelis Kehormatan’ atau ‘Dewan Kehormatan’. Ada majelis kehormatan yang bersifat adhoc, seperti Majelis Kehormatan Komisi Pemerantasan Korupsi, Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Agung, dan sebagainya, tetapi ada pula yang bersifat permanen, seperti Majelis Kehormatan PERADI, Majelis Kehormatan Kedokteran Indonesia, dan lain-lain. Dewan Kehormatan, juga ada yang bersifat adhoc, ada juga yang permanen. Sebagai contoh, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersifat permanen untuk masa kerja 5 tahun. Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU, 2010-2011) bersifat adhoc tetapi untuk masa kerja 1 tahun. Ada pula yang disebut sebagai badan, misalnya Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (BK-DPR) yang terlembagakan secara tetap atau permanen dalam struktur Dewan Perwakilan Rakyat.
            Semua lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut masih bekerja secara konvensional dan belum dikonstruksikan sebagai lembaga peradilan sebagaimana dipahami di dunia hukum. Keadilan dan peradilan seakan-akan hanya terkait dengan dunia hukum, bukan etika, sehingga tidak terbayangkan bahwa sistem norma etika pun berfungsi dalam rangka menegakkan kemuliaan nilai-nilai keadilan. Di samping itu, pengaitan ide positivisasi dan fungsionalisasi etika dengan fungsi peradilan juga terkait dengan kesetaraan dan kemitraan antara kedua sistem norma hukum dan etika itu dalam membangun dan mengembangkan perilaku masyarakat yang berintegritas. Dalam sistem hukum dikenal adanya prinsip ‘rule of law’ yang terdiri atas perangkat ‘code of law’ (kitab undang-undang) dan ‘court of law’ (pengadilan hukum). Karena itu, dalam sistem etika juga perlu kita perkenalkan adanya pengertian tentang ‘rule of ethics’ yang terdiri atas perangkat ‘code of ethics’ (kode etik) dan ‘court of ethics’ (pengadilan etik).

Memperkuat Sistem Hukum dan Etika  
Yang memperkenalkan konsep ‘etika konstitusi’ (constitutional ethics), bukan hanya saya, tetapi Professor Keith E. Whittington[4] dari Amerika Serikat juga. Bahkan secara khusus ia menulis artikel pendek dengan judul “On the Need of a Theory of Constitutional Ethics[5] yang mengusulkan upaya pengembangan teori khusus mengenai ‘constitutional ethics’ ini di masa mendatang. Karena Pancasila dan UUD 1945 sekaligus mengandung dimensi hukum konstitusi (constitutional law) dan juga etika konstitusi (constitutional ethics) serta nilai-nilai moralitas konstitusi (constitutional morality).
Dalam bernegara, kita mengkonstruksikan adanya undang-undang dasar sebagai konstitusi tertulis yang dipandang sebagai naskah hukum tertinggi di tiap-tiap negara. Di dalam naskah-naskah konstitusi itu, kita dapat menemukan sistem nilai dan norma yang tidak hanya bersifat hukum, tetapi juga etika. Karena itu, kita juga harus mengembangkan perspektif baru dalam studi hukum tata negara dan khusus studi konstitusi, yaitu di samping hukum konstitusi (constitutional law) ada pula etika konstitusi (constitutional ethics) dengan kedudukan yang setara. Inilah perkembangan paling baru dari tahap perkembangan etika fungsional (functional ethics) yang sudah digambarkan di atas. Hukum dan etika harus sama-sama dikembangkan secara paralel, simultan, komplementer, dan terpadu, serta dilengkapi dengan sistem infra-struktur kelembagaan penegakannya dalam bentuk lembaga peradilan etik yang terbuka dan menerapkan semua prinsip-prinsip universal sistem peradilan modern. Karena itu, jika perkembangan di semua negara dewasa ini sudah sampai kepada tahap perkembangan etika fungsional, fungsionalisasi etik yang dimaksud masih bersifat tertutup, tidak terbuka, maka kita harus mempelopori suatu era masa depan, dimana sistem penegakan kode etik itu dilakukan secara terbuka melalui proses peradilan etik, seperti yang dipraktikkan di dunia peradilan hukum.
            Dengan demikian, kita dapat mencatat adanya lima tahap perkembangan sistem etika, yaitu (i) etika teologis, (ii) etika ontologis, (iii) etika positivist, (iv) etika fungsional tertutup, dan )v) etika fungsional terbuka (peradilan etika). Inilah yang dicontohkan atau dipraktikkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP-RI) yang bekerja secara permanen untuk waktu lima tahun, mengadili dan menegakkan kode etik. Cara kerja dewan ini persis seperti biasanya lembaga peradilan yang dikenal di dunia hukum, mulai dari proses penerimaan pengaduan sampai ke pembacaan putusan dan eksekusi putusan berdasarkan standar-standar yang bersifat universal. Karena itu, dikatakan bahwa DK-KPU sebagai cikal bakal awalnya, dan DKPP merupakan lembaga peradilan etika pertama di Indonesia, dan juga di dunia. Semoga ini dapat menjadi sumbangan bangsa Indonesia bagi perkembangan teori dan praktik di bidang hukum dan etika di Indonesia dan di dunia yang terus bergerak, berubah, dan berkembang pesat tiada hentinya, di masa-masa kini dan masa datang. Saya berharap karya saya terbaru yang memuat ide mengenai pentingnya negara kita membangun infrastruktur etika tidak hanya berhenti pada tataran teori dan konsep tetapi sekaligus pada tahap praktik nyata dalam upaya kita membenahi sistem etika kehidupan berbangsa berdasarkan amanat TAP MPR No.VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Kita tentu merauh perhatian khusus kepada pemerintah dan DPR periode 2014-2019 untuk melanjutkan visi mulia ini dalam wujud yang lebih kongkrit serta saya sebagai ketua DKPP berharap kepada kalangan dunia perguruan tinggi dan kaum intelektual agar bisa turut berpartisipasi dalam pengembangan studi dan praktik lebih lanjut di dunia hukum dan etika.
Hukum bukan berfungsi sebagai sarana pembebasan (liberating), tetapi merupakan sarana yang pengendalian dan pembatasan kebebasan manusia yang pada dasarnya tidak dapat dipercaya itu.
Masalahnya sekarang, di masa kini, bagaimanakah sebaiknya kita membangun dan memahami pola hubungan atau relasi yang ideal antara sistem norma hukum, norma, etika, dan norma agama itu? Apakah cara pandang para sarjana hukum yang menempatkan hukum pada posisi tertinggi masih dapat dipertahankan? Lihatlah bagaimana para ulama, pendeta dan rohaniawan lainnya memandang etika dan agama pada posisi yang lebih tinggi daripada hukum. Hukum negara bagi para tokoh-tokoh agama justru tidak boleh bertentangan dengan hukum-hukum agama, sehingga norma agamalah yang dianggap paling tinggi, bukan norma hukum. Jika kedua pandangan ini dipertentangkan, secara mudah orang dapat berkesimpulan bahwa kedua cara pandang tersebut sama-sama bias. Para sarjana hukum tentu saja bias dan berusaha untuk memelihara kesombongannya sendiri dengan hanya mengakui hukum sebagai panglima kehidupan, bukan agama ataupun etika. Doktrin hukum yang diyakini benar selama selama ini adalah prinsip “the rule of law, not of man” sebagai ciri utama negara hukum atau ‘rechtsstaat’. Sebaliknya para rohaniawan atau agamawan sudah tentu akan menempatkan kaedah agama dalam posisi tertinggi, bukan hukum.
Perdebatan mengenai kaedah mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah itu terjadi karena berkembang-luasnya upaya untuk memisahkan secara kaku sistem norma hukum itu sendiri dari sistem norma agama dan etika. Namun, dalam perkembangan di zaman sekarang, muncul praktik-praktik baru yang justru memberikan gambaran yang berbeda mengenai pola hubungan atau relasi ideal di antara ketiga sistem norma tersebut, terutama antara sistem norma hukum dan sistem norma etika. Di zaman sekarang, banyak bukti menunjukkan bahwa kedua sistem norma ini tidak dapat lagi dipahami terpisah sama sekali satu dengan yang lain. Sistem hukum yang selama ini dipercaya dan dijadikan tumpuan harapan yang dinilai paling handal untuk menyelesaikan pelbagai masalah kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, terbukti makin memperlihatkan keterbatasannya. Pidana mati yang semula dianggap sebagai solusi semakin dinilai tidak manusiawi, sedangkan pidana penjara yang dijadikan andalan semakin tidak efektif dalam mencapai tujuan mulianya untuk resosialisasi. Dimana-mana penjara penuh dan jumlah serta jenis kejahatan terus berkembang biak semakin tidak teratasi.
Kedua, hubungan ideal di antara keduanya bukanlah bersifat atas-bawah, tetapi – dalam pendapat saya – justeru harus dipahami bersifat luar-dalam. Hukum tidak dapat lagi dipahami sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada sistem etika. Konstitusi adalah hukum tertinggi, tetapi di dalamnya bukan hanya berisi nilai-nilai hukum atau ‘constitutional law’, tetapi harus pula dipahami sebagai dokumen yang berisi nilai-nilai etika atau ‘constitutional ethics’ yang juga sama tingginya dengan ‘constitutional law’. Hukum dapat diibaratkan sebagai jasad, sedangkan etika adalah roh atau jiwanya. Hukum adalah bentuk, sedangkan etika adalah esensi. Karena itu, hukum tidak boleh dipisahkan dari rohnya, yaitu keadilan. Karena itu, secara berseloroh, saya sering mengatakan kepada para mahasiswa hukum, janganlah menjadi sarjana peraturan dengan mengabaikan keadilan. Jangan tegakkan hukum tetapi melupakan keadilan. Dalam praktik, berapa banyak peraturan ditegakkan oleh para petugas penegakan hukum tetapi yang ditegakkan itu bukanlah keadilan. Hukum haruslah dipahami dalam keseimbangan antara pengertian-pengertian tentang peraturan dan keadilan. Para Sarjana Hukum (SH) diharapkan benar-benar menjadi hukum, bukan sekedar Sarjana Peraturan (SP). Setiap Sarjana Hukum mampu menangkap, memahami, dan menghayati nilai-nilai keadilan yang esensial yang terkandung dalam aneka teks-teks peraturan perundang-undangan.
Ketiga, etika haruslah dipandang lebih luas cakupan dan jangkauannya daripada hukum. Sesuatu perbuatan yang melanggar hukum sudah pasti dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang juga melanggar etika. Tetapi sesuatu perbuatan yang melanggar etika, belum tentu merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Karena itu, pengadilan hukum tidak dapat menilai putusan pengadilan etika, karena penilaian tentang etika berada di luar jangkaun hukum dan berada dalam ranah peradilan etika. Misalnya, seorang pegawai negeri diberhentikan oleh atasannya dengan keputusan tata usaha negara berdasarkan hasil persidangan majelis kehormatan sebagai institusi penegak kode etik yang menilai bahwa yang bersangkutan terbukti melanggar kode etik dengan kategori sangat berat. Jika persoalan ini dibawa ke pengadilan tata usaha negara sebagai institusi peradilan hukum, maka kesimpulannya belum tentu dinyatakan sebagai pelanggaran hukum, meskipun institusi penegak kode etik sebagai lembaga peradilan etik menyatakannya sebagai pelanggaran etik dengan kategori sangat berat. Karena itu, keputusan tata usaha negara yang melaksanakan putusan peradilan etika tidak mungkin dibawa ke ranah hukum dengan memberikan kewenangan kepada pengadilan tata usaha negara untuk menilai keputusan tata usaha negara yang menjalankan putusan peradilan etik tersebut ataupun – apalagi -- untuk menilai materi putusan institusi peradilan etika tersebut.
Bahkan, keempat, di samping lebih luas, etika juga ibarat samudera yang luas, tempat hukum sebagai kapal keadilan dapat berlayar lepas. Samudera tentu sangat luas terbentang, tetapi lebih daripada itu, samudera yang luas itu juga harus dipahami sebagai tempat kapal hukum itu mengapung kokoh untuk mewujudkan impian keadilan dalam kehidupan. Karena itu, Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969)  pernah menyatakan, “In civilized life, law floats in a sea of ethics” (Di dalam kehidupan yang beradab, hukum mengapung di atas samudera etika) . Artinya, sistem norma hukum itu bukan saja tidak dapat dipisahkan dari etika, tetapi bahkan tumbuh dan tegak berfungsinya hukum itu dengan baik hanya dapat terjadi jika ia ditopang dan didukung oleh bekerja sistem norma etika dalam kehidupan masyarakat yang berkeadaban. Karena itu, keadilan juga tidak dapat dipisahkan dari keberadaban. Itulah sebabnya ‘the founding leaders’ Indonesia merumuskan sila kedua Pancasila dengan perkataan “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” yang ditulis langsung sesudah sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Peradaban suatu bangsa selalu membutuhkan sinergi antara nilai-nilai ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan prinsip keadilan yang diimpikan dalam sila kedua dalam hubungan yang serasi antara tiga serangkai nilai, yaitu ketuhanan, keadilan, dan keadaban.
Selain itu, dalam perkembangan di zaman sekarang, sistem norma etika juga tengah mengalami perubahan yang pesat seperti yang pernah dialami oleh sistem norma hukum. Kecenderungan yang pernah dialami oleh sistem norma hukum dalam sejarah, yaitu munculnya arus kebutuhan untuk melakukan upaya positivisasi hukum juga sedang dialami oleh sistem norma etika, terutama di abad ke-21 ini. Ini terlihat pada kecenderungan munculnya kebutuhan di mana-mana di seluruh dunia untuk mengembangkan infra-struktur etik, terutama di dunia bisnis dan di lingkungan jabatan-jabatan publik dengan cara menuliskan naskah-naskah kode etik dan kode perilaku dengan didukung oleh pembentukan institusi-institusi penegakan kode etik dan kode perilaku secara resmi dalam sistem administrasi pemerintahan negara. Karena itu, jika dulu norma hukum (legal norms) secara tegas dibedakan dari norma etik (ethical norms) semata-mata dari sifat memaksa dalam proses keberlakuan atau pemberlakuannya, yaitu bahwa ‘legal norm is imposed from without’, sedangkan ‘ethical norm is imposed from within’, maka dewasa ini pembedaan demikian tidak lagi bersifat mutlak.
Dalam perkembangan dewasa ini, harus dicatat bahwa pembedaan antara daya paksa dari dalam versus dari luar itu juga berkembang dari waktu ke waktu. Sistem infra-struktur etik yang dibahas panjang lebar dalam buku ini memperlihatkan kenyataan bahwa pengertian bahwa norma etika semata-mata hanya bersifat ‘imposed from within’ sudah tidak memadai lagi. Di seluruh dunia dewasa ini, berkembang luas kebutuhan untuk membangun infra-struktur kode etik dan institusi penegak kode etik secara melembaga yang dapat memaksakan berlakunya dengan pengenaan sanksi yang konkrit bagi para pelanggar kode etik. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri sesuai keputusan Sidang Umum tahun 1996 yang lalu, justru merekomendasikan agar semua negara anggota PBB membangun apa yang dinamakan “ethics infra structure in public offices”, infra-struktur etik untuk jabatan-jabatan publik. Untuk itu, maka pengaturan-pengaturan tentang kode etik dan prosedur penegakan kode etik itu mulai dituangkan secara resmi dalam bentuk undang-undang atau peraturan lain yang bersifat mengikat untuk umum, sehingga nilai-nilai etika dan perilaku ideal dimaksud dapat ditegakkan dengan efektif atas dukungan kekuasaan negara.
Yang diatur dalam perundang-undangan itu pun tidak hanya berkenaan dengan prosedur penegakannya tetapi juga mengenai sebagian materi etika itu sendiri, sekurang-kurangnya mengenai prinsip-prinsip nilai yang bersifat umum dan abstrak. Meskipun materi kode etik masih tetap dirumuskan bersama oleh para subjek yang mengikatkan diri untuk tunduk kepada kode etik tersebut, tetapi sebagian materi dan prosedurnya berasal dari materi undang-undang atau peraturan perundang-undangan resmi, sehingga sistem norma etik juga ditopang oleh sistem norma hukum. Setidaknya kita dapat membedakan, seperti dalam sistem norma hukum, yaitu adanya etika materiel dan etika formil seperti dalam hukum dikenal adanya hukum materiel dan hukum formil. Etika materiel dapat disebut sebagai etika primer, sedangkan etika formil merupakan etika sekunder. Karena itu, seperti sanksi hukum, sistem norma sanksi etik juga dapat dipaksakan dari luar kesadaran sendiri, yaitu oleh institusi penegaknya yang bersifat independen dan otoritatif. Meskipun demikian, tentu sifat sanksi ketiga norma agama, hukum, dan etika tersebut tetap dapat dibedakan antara dua jenis sanksi itu. Sanksi ketiga jenis norma tersebut tetap dapat dibedakan antara sanksi yang dijatuhkan dari dalam kesadaran sendiri (imposed from within) dan sanksi yang dikenakan dari luar kesadaran sendiri (imposed from without).
Semua ini dapat kita namakan sebagai perkembangan etika positif dalam arti munculnya upaya untuk melakukan positivisasi sistem norma etika, seperti yang sudah biasa kita kenal dengan istilah hukum positif yang berkembang atas pengaruh positivisme hukum di masa lalu. Artinya, cara pandang positivisme tersebut, di samping banyak dampak negatifnya, juga banyak kegunaannya bagi perkembangan hukum dan juga etika. Karena itu, sebagaimana akan diuraikan pada bagian yang tersendiri dalam buku ini, perkembangan etika positif  yang digambarkan di atas juga muncul sebagai akibat pengaruh positif aliran pikiran positivisme tersebut. Dulu sistem norma hukum pada mulanya juga tidak dituliskan secara resmi dan dikukuhkan keberlakuannya oleh kekuasaan negara, sampai saatnya muncul kebutuhan untuk menuliskannya dan diberlakukan secara resmi oleh kekuasaan negara dalam bentuk perundang-undangan. Inilah yang dipahami dalam sejarah dengan pengertian peraturan perundang-undangan.
Pengalaman yang sama dewasa ini juga sedang dialami oleh sistem norma etika. Semula norma etika dipahami sebagai sesuatu sistem norma yang hidup dalam pergaulan bermasyarakat tanpa membutuhkan penuangan resmi dalam bentuk tulisan. Tetapi, lama kelamaan muncul kebutuhan untuk menuliskannya dalam bentuk kode etik dan kode perilaku, dan bahkan dimulai pada akhir abad ke-20 muncul lagi kebutuhan untuk membentuk infra-struktur kelembagaan yang berfungsi sebagai penegak kode etika dan kode perilaku tersebut, sekaligus sebagai institusi pemberi sanksi atas pelanggaran terhadapnya. Inilah gejala yang saya namakan sebagai positivisasi sistem etika, seperti yang pernah dialami oleh sistem norma hukum di masa lalu karena pengaruh yang luas dari aliran positivisme hukum. Dengan perkataan, terlepas dari pelbagai kelemahan dari cara pandang positivisme hukum logika positivisme juga ada gunanya, baik untuk perkembangan hukum maupun untuk perkembangan sistem etika publik dewasa ini.

Kepeloporan dalam Sistem Peradilan Etika
Sekarang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sudah cukup banyak berdiri lembaga-lembaga penegak kode etik dalam jabatan-jabatan publik. Di bidang kehakiman, misalnya, sudah ada Komisi Yudisial, di samping adanya Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dalam sistem internal Mahkamah Agung. Di Mahkamah Konstitusi juga ada mekanisme Majelis Kehormatan Hakim (MKH) MK. Di dunia pers dan jurnalistik, terdapat Dewan Pers. Di lingkungan lembaga legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga telah diatur dalam UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD adanya Badan Kehormatan DPR dan Badan Kehormatan DPD sebagai lembaga penegak kode etik.
            Di lingkungan organisasi profesi, seperti misalnya di dunia kedokteran sekarang sudah ada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang salah satu tugasnya membentuk mengatur keberadaan majelis kehormatan etika kedokteran. Sedangkan di bidang-bidang profesi lain, lembaga penegak etika dilembagakan secara internal dalam masing-masing organisasi profesi, organisasi-organisasi kemasyarakatan atau pun partai-partai politik. Dewasa ini, banyak lembaga negara dan semua partai politik, serta kebanyakan organisasi kemasyrakatan (Ormas) telah mempunyai sistem kode etik yang diberlakukan secara internal dan disertai dengan pengaturan mengenai lembaga-lembaga penegaknya. Di lingkungan Pegawai Negeri sudah ada Kode Etik Pegawai Republik Indonesia dan mekanisme penegakannya. Di lingkungan Komnasham juga diatur adanya Kode Etika Komisioner dan mekanisme penegakannya.
Di lingkungan organisasi profesi hukum pun sudah sejak lama berkembang adanya sistem kode etik. Di lingkungan PERADI (Persatuan Advokat Indonesia) juga sudah diatur adanya Kode Etika dan Majelis Kehormatan Advokat. Yang dapat dikatakan paling maju adalah di lingkungan institusi Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia. Di lingkungan Tentara dan Kepolisian bahkan dibedakan antara kode etik dankode perilaku, etika profesi dan disiplin organisasi. Demikian pula di lingkungan Ikatan Notaris Indonesia pun sejak lama berdiri Majelis Kehormatan Notaris (MKN). Dengan adanya majelis penegak kode etik profesi notaris ini diharapkan bahwa profesi notaris dapat dijaga kehormatannya, dengan menjamin semua prinsip etika profesi ditegakkan sebagaimana mestinya.
            Namun demikian, semua lembaga penegak kode etik tersebut, sebagian besar masih bersifat proforma. Bahkan sebagian di antaranya belum pernah menjalankan tugasnya dengan efektif dalam rangka menegakkan kode etik yang dimaksud. Salah satu sebabnya ialah lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut di atas tidak memiliki kedudukan yang independen, sehingga kinerjanya tidak efektif. Karena itu, sebagai solusinya, lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut harus direkonstruksikan sebagai lembaga peradilan etik yang diharuskan menerapkan prinsip-prinsip peradilan yang lazim di dunia modern, terutama soal transparansi, independensi, dan imparsialitas.
            Hal itulah yang hendak dirintis dan dipelopori DKPP, yaitu agar sistem ketatanegaraan kita didukung oleh sistem hukum dan sistem etik yang bersifat fungsional. Sistem demokrasi yang kita bangun diharapkan dapat ditopang oleh tegak dan dihormatinya hukum dan etika secara bersamaan. Kita harus membangun demokrasi yang sehat dengan ditopang oleh ‘the rule of law and the rule of ethics’ secara bersamaan. “The Rule of Law” bekerja berdasarkan “Code of Law”, sedangkan “the Rule of Ethics” bekerja berdasarkan “Code of Ethics”, yang penegakannya dilakukan melalui proses peradilan yang independen, imparsial, dan terbuka, yaitu peradilan hukum (Court of Law) untuk masalah hukum, dan peradilan etika (Court of Ethics) untuk masalah etika.
                                                _______________________________
Penulis adalah, Rahman Yasin
Dosen Filsafat Dakwah
Univ. Islam As-Syafi’iyah (UIA)
dan Tenaga Ahli di DKPP RI
catatan:
naskah ini pernah dimuat dalam buku
60 Thn Jimly Asshiddiqie, terbitan Yayasan Obor Indonesia
Jakarta, April 2016



[1]   Keith E. Whittington, loc.cit., hal. 61.
[2] Seorang pakar kenamaan Keith E. Whittington dari Amerika Serikat bahkan mengajak para ilmuwan mengembangkan teori tersendiri di bidang ini, melalui tulisannya, “On the Need of a Theory of Constitutional Ethics”, Constitutional Corner. Ini juga yang terus saya promosikan sejak terbentuknya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum pertama kali pada tahun 2009 dan saya dipercaya menjadi ketuanya dengan menerapkan sistem peradilan modern dalam cara kerja lembaga penegak kode etik ini. Menyangkut gagasan etika konstitusi, sistem peradilan etik, dan bahkan doktrin baru yang saya sebut sebagai ‘rule of ethics’, saya tulis tersendiri dalam buku yang akan terbit mengenai hal ini. Buku baru ini akan melengkapi buku saya yang sudah terbit sebelumnya yang berjudul “Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu” (2013). 
[3] Lihat Resolusi UN-General Assembly, A/RES/51/59, 28 January 1997. Pada tanggal 12 Desember 1996, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan Sidang Umum ke-82 dan mengesahkan Resolusi PBB tentang “Action Against Corruption” dengan naskah “International Code of Conduct for Public Officials” sebagai Annex.
[4] Keith E. Whittington adalah guru besar ilmu politik di Princeton University, Amerika Serikat dan juga  guru besar tamu Fakultas Hukum University of Texas di Austin. Di antara bukunya yang dikenal luas adalah “Constitutional Interpretation: Textual Meaning, Original Intent, and Judicial Review”, dan juga “Political Foundations of Judicial Supremacy: The Presidency, the Supreme Court, and Constitutional Leadership in U.S. History”.
[5] The Constitutional Corner, “On the Need for a Theory of Constitutional Ethics”, The Good Society, A PEGS Journal 9:3 (Spring 2000), hal. 60-66.