Minggu, 27 Desember 2015

Agenda Pilkada Serentak Berintegritas

Pilkada Serentak Tahap I Tahun 2015
Catatan Reflektif Atas Agenda Transformasi Kepemimpinan Berintegritas 

Oleh : Rahman Yasin
Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu


Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) untuk tahap I akan digelar secara serentak pada tanggal 09 Desember 2015 untuk 269 daerah otonom. Dari 269 daerah tersebut, terdiri dari 9 provinsi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, 224 untuk tingkat Kabupaten dan sebanyak 36 untuk tingkat Kota. Tahapan-tahapan krusial telah dijalankan. Tahapan bakal calon, pencalonan, pendaftaran pasangan calon (paslon), penetapan paslon sampai pada tahapan kampanye kini tengah laksanakan. Potensi pelanggaran pelaksanaan tahapan tidak hanya jadi masalah serius yang membutuhkan perhatian khusus tetapi juga soal ketidaktelitian atau ketidakcermatan penyelenggara membuat kebijakan terkait kelengkapan berkas dan dokumen syarat paslon dapat menimbulkan efek buruk bagi penyelenggara pemilu itu sendiri. Tahapan penetapan paslon yang tidak melalui suatu proses penelitian yang cermat sering jadi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melaporkan penyelenggara pemilu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Pelaksanaan tahapan pilkada yang benar berdasarkan ketentuan peraturan dan perundang-undangan merupakan kunci utama di dalam mewujudkan proses dan hasil yang berintegritas. Integritas proses dan hasil pilkada sangat ditentukan oleh penyelenggara. Meski pengawasan pilkada sesungguhnya merupakan tanggungjawab semua masyarakat. Pilkada berintegritas tidak serta-merta mengandalkan prosedur kerja yang bersifat formalistik, namun dibutuhkan terobosan substansial, terlebih di dalam menghadapi situasi atau keadaan tertentu yang dapat menyebabkan tidak bekerjanya sistem norma hukum secara normal. Penyelenggara pilkada dituntut bekerja dan memperlakukan semua peserta pilkada secara independen, imparsial, profesional, tidak memihak dan itu benar-benar ditampakkan dalam sikap dan kebijakan di mata para peserta pilkada
Di dalam penyelenggaraan pilkada, terdapat empat (4) aktor utama yang terlibat secara langsung untuk bersentuhan dengan kepentingan proses dan hasil pilkada berintegritas. Keempat aktor tersebut yakni, penyelenggara pilkada (KPU dan Bawaslu), peserta pilkada, kandidat atau pasangan calon, dan voters atau masyarakat selaku pemilik suara. Keempat aktor ini dalam praktik penyelenggaraan pemilu legislatif, pilpres, dan pilkada susah diharapkan dapat berlaku independen dan profesional. Keempat aktor ini tidak selalu sejalan dalam mewujudkan pemilu dan pilkada berintegritas. Tuntutan sikap integritas, menghasilkan kebijakan institusi maupun perseorangan berdasarkan standar perilaku kode etik penyelenggara pemilu pun sangat terbatas. Penyelenggara pilkada lebih banyak dituntut berlaku selayaknya standar etik yang sudah dibuatkan dalam ketentuan Undang-undang, sedangkan ketiga aktor lain tidak begitu diikat secara moral maupun etik dalam suatu sistem yang terintegrasikan. Padahal, idealnya, sikap integritas atau perilaku ideal berdasarkan standar perilaku etik sejatinya keempat aktor ini bisa sama-sama sejalan, serasi, selaras dan seimbang dalam sistem norma yang lebih besar yakni melalui pemahaman etika politik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi bernegara. Jadi tidak ada alasan bagi aktor peserta pilkada, pasangan calon dan masyarakat sebagai pemilik suara untuk berlaku dan memperlakukan pilkada sesuai prinsip-prinsip umum dalam batas-batas kultural kebangsaan kita.
Tahapan pilkada di beberapa daerah mengalami pergeseran teknis dan substansi diakibatkan konflik internal partai politik. Konflik di tubuh internal partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berupa dualisme kepemimpinan pada masa transisi menjelang putusan Mahkamah Agung misalnya, secara langsung turut merepotkan penyelenggara pemilu karena terkait perubahan dukungan paslon dan pergantian kepengurusan seperti di PPP provinsi Kalimantan Tengah secara mendadak. Kasus internal partai Golkar juga sempat memicu tahapan pilkada di Kabupaten Kepulauan Aru. Artinya, banyak urusan non electoral yang sesungguhnya dipaksakan menjadi bagian dari problem electoral.
Dalam praktik memang paslon dan tim sukses selalu kreatif mencari simpati dan dukungan masyarakat. Tidak tanggung-tanggung etika politik selalu diabaikan, dan kecenderungan menghalalkan segala cara diutamakan. Praktik suap-menyuap kerap terjadi dalam pilkada. Paslon sebagai peserta seringkali lewat tim sukses mempraktikan jual beli suara pada rakyat. Walau ini sulit dibuktikan tetapi fakta dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada selalu jadi masalah tersendiri. Tren yang berkembang bahkan sudah mentradisi yakni istilah ambil uangnya, tapi tidak harus pilih orangnya, dan perilaku pemilih yang dididik dengan perilaku distorsif seperti ini selalu muncul pada hari H pelaksanaan pilkada.
Penyimpangan juga kerap terjadi pada aktor penyelenggara. Dalam praktik penyelenggaraan selalu ada celah bagi oknum yang dengan sengaja memengaruhi proses kebijakan kearah kepentingan pasangan calon tertentu. Hal ini umumnya, oknum penyelenggara berkolaborasi dengan paslon atau tim sukses tertentu yang selalu berimplikasi pada ketidakpastian hukum pada pengelolaan tahapan. Tindakan dengan sengaja atau tidak dalam pengeloaan tahapan umumnya dilakukan penyelenggaara berupa manipulasi data dan dokumen syarat paslon, memperlakukan paslon tertentu secara tidak netral, penyalahgunaan jabatan dan wewenang, kelalaian dalam melakukan verifikasi berkas atau dokumen paslon. Modus penyimpangan yang menyebabkan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu seperti ini sering ditemukan dalam persidangan DKPP.

Penguatan Kelembagaan
Salah satu hal penting yang sering diabaikan DPR dan Pemerintah dalam mewujudkan pilkada berintegritas ialah tidak ada sistem kontrol dan tidak adanya sistem sanksi yang kuat bagi partai politik-partai politik yang terlibat di dalam penyelenggaraan pilkada. Pelanggaran kode etik tidak hanya dilakukan penyelenggara, melainkan juga tiga aktor lain yang sudah disebut diatas, yaitu paslon dan tim suskses yang di dalamnya terdapat kader partai politik, calon perseorangan, dan rakyat sebagai pemilik suara. Partai politik lebih diuntungkan dalam konteks penegakan hukum pemilu di satu sisi, dan pada sisi yang sama penyelenggara dibebankan dengan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan pilkada.
Dalam konteks ini, pilkada tahap I tanggal 9 Desember 2015 harus jadi ajang momentum untuk dilakukannya penguatan pada kelembagaan penyelenggara pemilu, kelembagaan partai politik, dan pencerdasan politik bagi masyarakat. Penguatan kelembagaan partai politik secara fundamental harus menyentuh pada aspek perombakan sistem perekrutan dan pengkaderan kepemimpinan politik. Pengkaderan kepemimpinan politik selama ini sering jadi masalah yang akut. Idealnya, partai politik secara kelembagaan memiliki suatu sistem dan mekanisme perekrutan anggota dengan menempatkan kepengurusan yang kredibel dan memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni, dan senantiasa mengutamakan paradigma kepemimpinan berbasis pada sikap amanah, shiddiq tablig, dan fathanah. Pengkaderan kepemimpinan politik yang demikian, akan tercipta iklim persaingan politik di internal partai yang sehat. Perekrutan anggota dan pengkaderan politik yang tidak semata-mata menekankan politik kekuasaan namun senantiasa mengutamakan pengembangan kualitas sumber daya manusia yang kuat yang pada gilirannya turut memperkuat sumber daya politik bangsa. Bila paradigma ini yang diterapkan maka rakyat makin merasa memiliki partai politik.
Oleh karena itu, gerakan penguatan kelembagaan partai politik dalam jangka panjang harus menjadi perhatian serius DPR dan Pemerintah sebagai pembuat regulasi. Pilkada serentak 2015 haruslah dibangun paradigma politik elit mengenai pentingnya memperkuat kelembagaan partai politik. Meminjam istilah Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie (2015), dengan “kemajemukan yang bersifat ‘segmented’ dan bahkan ‘fragmented’ (segmented and fragmaneted pluralism), apapun kebijakan ‘treshold’ yang diterapkan untuk penyerdehanaan jumlah partai politik secara alamiah”. Karena dari perspektif praktik budaya politik di Indonesia, rasanya sulit baik dalam jangka pendek maupun panjang, sistem multipartai yang diterapkan sekarang kemudian di satu saat dapat dirampingkan hingga hanya dua partai politik yang dominan atau dengan kata lain sebagai kekuatan utama diantara sekian partai politik yang ada seperti yang diterapkan di Amerika Serikat.
Gagasan penguatan kelembagaan partai politik ini merupakan pemahaman politik elit yang dewasa ini cenderung tidak berjalan normal melainkan yang marak dipraktikkan, tidak saja keinginan merebut kekuasaan dengan berbagai kreativitas (power aggrandizement) tetapi cenderung menonjolkan praktik kekuasaan absolute, opportunity, dan praktik ologarki kekuasaan. Proses dan hasil pilkada berintegritas sangat ditentukan oleh sistem peraturan dan perundang-undanganelectoral laws sekaligus electoral processe dari penyelenggaraan dalam konteks penegakan kode etik menyangkut sikap dan perilaku anggota KPU dan Bawaslu di semua jajaran.

Pilkada dan Pemimpin Berintegritas
Proses dan hasil penyelenggaraan pilkada yang demokratis saja jelas tidak cukup. Oleh karena itu, proses dan hasil pilkada haruslah demokratis dan sekaligus berintegritas. Pilkada berintegritas sudah pasti demokratis, tetapi pilkada demokratis dalam pengertian dimensi etika politik maka integritas merupakan kata kunci. Karena integritas pilkada mencakup integritas perilaku baik penyelenggara pilkada, peserta pilkada, paslon, dan masyarakat yang cerdas menggunakan preferensi politik berdasarkan standar norma etika politik yang ada.
Pilkada langsung dan serentak tahap I hendaklah jadi momentum catatan sejarah baru bagi bangsa yang bermartabat, dan menjadi titik tolak bagi para elit politik untuk membangkitkan kesadaran etika politik berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan TAP MPR No. 06 tentang Etika Kehidupan Berbangsa sebagai sumber konstitusi dalam praktik bernegara yang baik. Penguatan institusi penyelenggara pilkada, penguatan kelembagaan peradilan etika pemilu, dan penguatan kelembagaan partai politik menjadi sesuatu yang niscaya. Karena dengan memperkuat institusi penyelenggara, dan penguatan sistem peradilan etika, penguatan kelembagaan partai politik secara bersamaan maka akan terciptalah suatu iklim dimana partisipasi masyarakat akan semakin dewasa dan institusi terkait diharapkan dapat saling menopang dan memperkuat satu sama lainsehingga rakyat semakin cerdas menggunakan hak pilih.
Menururt sumber data Sekretariat DKPP terhitung sejak tanggal 12 Juni 2012 sampai dengan tanggal 27 Desember 2015 dari hasil rekapitulasi penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, jumlah penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dengan kategorisasi pertahun yakni, tahun 2012 terdapat 99 pengaduan yang diterima, dan 38 diproses hingga disidangkan, yang ditolak sebanyak 61 pengaduan karena tidak memenuhi syarat. Dari 30 perkara yang disidangkan, menghasilkan putusan perindividu sebagai berupa sanksi rehabilitasi 25 anggota, 18 peringatan tertulis, 30 pemberhentian tetap dan tidak ada yang diberikan sanksi pemberhentian sementara. Sedangkan jumlah perkara yang diputus sebanyak 30, dan ada 21 putusan, serta terdapat 3 ketetapan. Tahun 2013, sebanyak 606 pengaduan yang diterima DKPP dengan kategorisasi yakni sebanyak 444 ditolak, dan yang disidangkan 141 dengan menghasilkan putusan perindividu yakni, 383 direhabilitasi, 126 peringatan tertulis, 13 pemberhentian sementara, 109 pemberhentian tetap, jumlah perkara yang diputus 141 dengan putusan 104 dan terdapat 6 ketetapan. Tahun 2014 terdapat 879 pengaduan yang diterima. Dari jumlah pengaduan tersebut yang diproses ke sidang yakni sebanyak 333 perkara, dan 546 ditolak. Dari 333 perkara yang disidangkan menghasilkan putusan perindividu berupa sanksi sebanyak 661 direhabilitasi, 308 peringatan tertulis, 5 pemberhentian sementara, 180 diberhentikan secara tetap dari 365 perkara yang diputus dan 252 putusan serta 60 ketetapan. Tahun 2015 terdapat 289 pengaduan yang diterima, dan hanya 75 yang disidangkan, sedangkan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 211. Penanganan perkara kode etik ini menghasilkan sanksi sanksi rehabilitasi sebanyak 37, sanksi peringatan tertulis 60, sanksi pemberhentian tetap sebanyak 17 dan tidak ada yang diberhentikan secara sementara, dan terdapat 38 perkara yang diputus, dan 252 putusan serta 3 ketetapan.
Dengan demikian, secara keseluruhan menurut data sekretariat DKPP terhitung sejak 2012 sampai dengan dengan 18 Desember 2015 terdapat 1873 pengaduan perkara dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu yang diterima dan diproses DKPP. Dari jumlah pengaduan tersebut, DKPP menolak pengaduan disebabkan karena tidak memenuhi syarat sebanyak 1262, dan yang disidangkan sebanyak 579. Dari jumlah penanganan perkara tersebut menghasilkan sanksi berupa rehabilitasi secara keseluruhan sebanyak 1106, peringatan tertulis 512, pemberhentian sementara sebanyak 18, dan yang diberhentikan secara tetap karena terbukti melanggar kode etik penyelenggara Pemilu sebanyak 336. Adapun jumlah perkara yang diputus secara keseluruhan sebanyak 574, dan terdapat 403 putusan serta 72 ketetapan.
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada tanggal 09 Desember 2019 juga menjadi salah satu agenda utama perhatian DKPP untuk memastikan dengan mengawal dan bertekad mewujudkan proses dan hasil pelaksanaan pada semua tahapan agar berjalan berdasarkan peraturan dan perundang-undangan dengan spirit Pilkada dapat diselenggarakan secara demokratis, berkualitas dan berintegritas. Pilkada serentak 09 Desember 2015 yang semula dijadwalkan akan digelar di 269 daerah otonom, namun dalam praktiknya ada 5 daerah yang diundurkan karena dengan berbagai latarproblem yang berbeda. Kelima daerah ini yakni Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Kabupaten Pematangsiantar, Sumatera Utara, Kota Manado, Sulawesi Utara, Kabupaten Fak-fak, Papua Barat dan Provinsi Kalimantan Tengah.
Kasus diatas, secara statistik menunjukkan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu masih saja terus terjadi, diluar dari penanganan pelanggaran administrasi dan pidana pemilu. Khusus tahun 2014 karena ada tiga macam penyelenggaraan pemilu (pileg, pilpres, pilkada dibeberapa daerah) jadi wajar bila lebih tinggi jumlah pelanggaran dibandingkan tahun 2012, 2013 dan khusus 2015 yang ditangani masih pada tahapan pilkada dan belum pada tahapan kunci yaitu pasca pemungutan dan penghitungan suara hasil pilkada. Tahapan ini merupakan tahapan inti dan potensi pelanggaran pemilu masih terjadi, baik itu dilakukan penyelenggara, peserta maupun masyarakat pengguna hak suara. Pada titik ini memang tugas dan wewenang DKPP sebagai peradilan etika yang dapat menegakkan rule of law dan rule of ethics bagi penyelenggara pemilu diharapkan dapat tercapainya pilkada yang menurut Ginsberg “...memiliki kemampuan untuk mengubah kecenderungan politik massa yang bersifat sporadis menjadi sumber utama bagi legitimasi kekuatan otoritas moral pada politik nasional.”
Moralitas politik merupakan moralitas universal, dan politik etis adalah manifestasi kesadaran filosofis akan tanggungjawab atas apa yang diperbuatkan, bukan semata-mata politik an sich. Karena moralitas universal dibangun dari tindakan etik individual. Bertolak dari standar nilai-nilai moral universal dan perilaku etik individual yang penuh dengan rasa tanggungjawab, maka sikap keberpihakan pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan atau dengan kata lain, menjalankan tugas dan fungsi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan itu yang harus menjadi pedoman, bukan pada ketaatan semu dan kepatuhan palsu, karena moralitas universal dan perilaku etik individual secara teoritik, tidak dapat didemarkasikan lantaran ada kepentingan yang sifatnya orang-perorang.
Penekanan pemahaman pilkada berintegritas adalah bagaimana proses dan hasil pilkada dapat menggali sumber-sumber potensi kepemimpinan anak bangsa berdasarkan standar nilai moral dan budaya etika politik bangsa. Pilkada serentak berintegritas harus dibuktikkan melalui suatu kompetisi yang sehat dan mampu mencegah segala bentuk praktik kejahatan politik sehingga pemimpin yang didapatkan pun tidak hanya karena bermodalkan finansial yang kuat untuk membeli populisme murahan yang pada hakikatnya berperilaku rent seeker, bossism, social banditary, mobokrator, dan strongman, atau sebaliknya menghasilkan kepemimpinan berbasis intelektual tukang, aktivis komprador, kyai dan pendeta bermental kekuasaan, atau kalangan upsurge protester dan aliran moralis yang sebetulnya begitu menjabat langsung berperilaku elitis bahkan menjadi sangat hedonis. Kata kunci pilkada berintegritas (electoral integrity) pada pengelolaan tahapan secara demokratis (democratic electoral processes). Kita berharap semua pemangku kepentingan dapat membangun konsensus moral dan menanamkan komitmen etik yang tinggi baik pada tingkat individu maupun dalam pengertian struktur sosial yang itu betul-betul muncul dari nurani yang paling dalam dengan memainkan peran masing-masing berdasarkan kapasitas yang dimiliki guna mewujudkan pilkada berintegritas di daerah masing-masing.
Pilkada tahap I digelar 9 Desember 2015 di 269 daerah otonom hendaknya dijadikan momentum menyaring pemimpin-pemimpin daerah yang amanah, shiddiq, tabliq, dan fathanah dalam pengertian homorable, respectable, creditable atau dalam istilah religius disebut mahkamam mahmuda. Pemimpin yang berani mengatakan yang benar itu benar dan salah itu salah secara akuntabel dan transparan atau openminded and straight forwandness, suatu keberanian moral untuk menegakkan yang benar dan tidak memihak yang bathil karena dasar integritas moral yang tinggi. Sikap mode of existence atau suatu sikap yang selalu mengutamakan pelayanan prima pada masyarakat dan sikap as it is, apa adanya dengan berperilaku lurus sehingga tidak ada tindakan atau kebijakan yang didasarkan pada upaya mencari popularitas semu. Itulah tujuan manusia yang memiliki kesadaran etik dimana dirinya tidak ada gunanya bila dalam bhakti pengabdian tidak membawa manfaat bagi khalayak orang.
                                    _______________________________


Rabu, 16 Desember 2015

Pilkada dan Politik Media Massa

PILKADA DAN PERAN MEDIA MASSA

Oleh: Rahman Yasin
Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

Sebuah proses penyelenggaraan pemilu yang jauh dari polusi intervensi, jauh dari proses kontaminasi politik elit partai politik dan kemudian mampu mewujudkan suasana psikologi politik masyarakat yang kondusif pula. Dengan cara tersebut, maka integritas proses dan hasil penyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis akan hadir dalam benak masyarakat, dan dengan begitu legitimasi kepemimpinan nasional kuat adanya.
Tetapi bila pendekatan komunikasi politik yang terus dilakukan secara berlebihan oleh pemimpin eksekutif terhadap lembaga-lembaga negara seperti legislatif, dan yudikatif, maka sebaliknya peluang terbukanya ruang praktik korupsi dalam penyelenggaraan pemilu tetap terbuka. Masyarakat merasa prihatin terhadap penyelenggaraan pemilu pasca reformasi yang cenderung melahirkan praktik politik uang yang tidak saja melibatkan aktor elit tetapi sampai ke tingkat bawah.
Praktik politik uang dalam penyelenggaraan pemilu selalu jadi biang kekacauan sistem demokrasi, bahkan menghancurkan sendi-sendi moralitas politik bangsa, karena uang hampir menjadi sarat penentu utama kemenangan setiap calon yang menggunakannya. Politik uang sangat berpihak kepada calon yang menggunakannya. Kekuatan finansial masih menjadi faktor kuat pemenangan calon daripada kekuatan ideologi sekalipun. Dengan demikian, praktik pengingkaran politik nurani dalam penyelenggaraan pemilu harus dihentikan dengan menegakan hukum pemilu, baik pelanggaran administrasi maupun tindak pidana pemilu merupakan suatu keniscayaan.
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan sarana yang paling efektif untuk melaksanakan kedaulatan politik rakyat dalam konteks kebebasan memilih pemimpin yang kelak menjalankan kebijakan pembangunan negara. Melalui Pemilu, terjadi proses apa yang disebut dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1999 tentang Pemilusebagai suatu cara efektif menjalankan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tentu tetap dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Arah kebijakan negara akan sangat ditentukan oleh calon-calon pemimpin yang turut ambil bagian dalam pelaksanaan pemilu. Pemilu juga merupakan sebuah konsep demokrasi yang menempatkan nilai-nilai egaliterianisme politik masyarakat secara berperadaban.
Pemilu punya arti penting tentang bagaimana pembaruan sistem kehidupan masyarakat itu di mulai, karena lewat pemilu, warga bangsa akan diberikan kebebasan penuh untuk menggunakan prefrensi politik tanpa adanya intervensi yang berarti dari rezim atau kelompok politik manapun yang mengatasnamakan demokrasi. Tesis ini diperkuat dengan basis penerapan sistem penyelenggaraan pemilu yang berasaskan Langsung, Umum Bebas, Rahasia (Luber), Jujur, dan Adil (Jurdil). Titik tekan dari substansi penyelenggaraan pemilu yang Luber dan Jurdil diatur dalam UU No. 32/2004, UU No. 22/2007, dan UU No. 10/2008 tentang sistem dan mekanisme menggunakan hak pilih masyarakat dalam pemilu.
Sejak pemilu tahun 1955, transformasi demokrasi mendapat legitimasi yang cukup kuat dari dunia Internasional. Sistem multipartai baru pertama kali diterapkan dalam sebuah kondisi geo-sosio politik yang kurang stabil, tapi fakta menunjukkan, elit politik ketika itu mampu menghadirkan suasana demokrasi politik yang berperadaban.
Protes akibat pelanggaran pemilu pun relatif kurang meskipun ada namun dari cara mendisegn tradisi politik yang santun paling kurang siap kalah dan mengakui kemenangan lawan terasa begitu kuat. Ini sangat berbeda dengan kondisi politik baik pada pemilu 1971 yang merupakan fase pertama kehadiran rezim Orde Baru dalam pentas politik nasional maupun pemilu-pemilu berikut di era Orde Baru, bahkan hingga memasuki fase reformasi.
Secara teoritik, pemerintahan Orde Lama menerapkan sistem demokrasi terpimpin yang hingga memicu tersumbatnya kran demokrasi. Kegaduhan sistem politik masa transisi demokrasi menjadi faktor kegagalan negara dalam menyusun dan menerapkan sistem pemilu yang demokratis.
Kepemimpinan Soekarno, apa yang disebut oleh Herbert Feit (1962) dalam karya monumentalnya, The Decline of Constittutional Democracy in Indonesia, sebagai solidarity makers, dan administrator atau lebih dipahami sebagai problem solver ini kurang bersahabat dengan kultur politik bangsa. Kegagalan demokrasi parlementer era kekuasaan rezim Orde Lama tampak jelas akibat diterapkannya sistem constitutional democracy. Sebuah kegagalan membangun tradisi demokrasi kekuasaan yang elegan untuk membawa bangsa ke arah peradaban politik modern.
Reformasi sistem Pemilu dan sistem politik terus dilakukan dan pada setiap pergantian “rezim kekuasaan politik legislasi” di parlemen, hampir perubahan terhadap UU Pemilu, UU Kepartaian, dan UU Politik tidak pernah luput dari sikap politik partai-partai politik yang kontraproduktif.
Akan tetapi perubahan demi perubahan sampai saat ini belum mampu mewujudkan sebuah sistem yang relevan, dan bersahabat dengan tuntutan zaman. Apa yang disebut Plato dalam karya Republik-nya terbukti adanya sebuah realitas bernegara dalam situsasi modern saat ini.
Oligarki merupakan sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan konsep politik yang mengedepankaan kekuasaan di tangan segelintir orang. Dalam catatan literatur modern, Robert Michels (1959), menyebutkan, bahwa konsep oligarki kekuasaan, setidaknya telah diperlihatkan oleh beberapa negara yang pernah menerapkan sistem kekuasaan oligarki, antara lain, Jerman yang dipimpin Hitler, Uni Sovyet dibawah kendali Stalin, Perancis dibawah kekuasaan Louis XIX, bahkan Soeharto pun dikategorikan sebagai bagian dari rezim yang menjalankan sistem oligarki.
Dalam kaitan dengan gonjang-ganjing proses revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, terlihat dengan jelas bagaimana politik kekuasaan gaya oligarki ini bekerja aktif. Politisi parlemen seakan-akan memanfaatkan setiap periode “kekuasaan politik legislasi” di parlemen selama menjabat, sebagai lahan basah untuk menghidupkan sumber pemasukan finansial partai politik sehingga ketika revisi UU Pemilu itu dilakukan, anggota Dewan yang merupakan mesin politik politik ini lebih mengedepankan kepentingan individu maupun partai di mana mereka bernaung.
Fraksi partai besar seperti FD, FG, FPDIP, dan FKS,  akan berbeda visi atau bisa jadi sama kepentingan, namun secara politik kalkulatif, sama-sama memiliki kepentingan organisasi. Akibatnya, proses pembahasan revisi UU Pemilu tidak lagi memikirkan substansi, sejauhmana kepentingan masyarakat dalam pemilu termasuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu serta transformasi pendidikan politik bagi rakyat itu bisa teragregasi dengan baik, tetapi sebaliknya para wakil rakyat justru lebih mengutamakan bagaimana memperjuangkan kepentingan partai politik masing-masing.
Revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang digulirkan sejak awal tahun 2010 dan berdasarkan potret dinamika yang terjadi, agaknya semakin memperkuat pesimistis rakyat terhadap kinerja buruk anggota Dewan yang terhormat ini. Perjalanan penuh intrik dibalik pembahasan revisi terbatas UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Perdebatan klasik hingga pragmatis mewarnai pembahasan revisi UU Pemilu.
Dari persoalan calon keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan keanggotaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pro kontra menaikan ambang batas, persoalan jumlah keanggotaan Dewan Kehormatan KPU, terkait komposisi perwakilan kalangan masyarakat dari kalangan profesional, soal kemandirian KPU dan Bawaslu, serta boleh tidak kader parpol menjadi anggota KPU dan Bawaslu.
Tahun 1999 merupakan sejarah awal perpolitikan nasional dalam membangun tradisi politik yang demokratis dalam kerangka penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sejarah baru demokratisasi ini ditandai dengan diproklamasikannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang pada perjalanannya kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pesan komunikasi politik kebijakan pemerintah yang demokratis dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang otonomi Daerah yang secara implisit menegaskan sikap pemerintah pusat ingin mengubah sistem dan cara penerapan Undang-Undang pemerintahan Daerah yang lebih adil dan demokratis.
Pertentangan ideologi politik antara masing-masing faksi politik lokal, regional, dan nasional yang terjadi dalam dua (2) sampai tiga (3) dekade dapat diredam secara elegan. Setidaknya kehadiran peraturan dan perundang-undangan pemerintah yang baru mampu merespon gejolak politik lokal yang cenderung menjurus pada disintegrasi bangsa.
Salah satu unsur problem yang seringkali memicu konflik politik antara pusat dan daerah ialah sistem penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) yang secara konstitusional menganut sistem demokrasi prosedural umum. Demokratisasi kekuasaan elit lokal hanya dikendalikan oleh sistem yang notabene menjadi dominasi elit pusat sehingga hal tersebut sangat mengganggu keamanan dan ketertiban bangsa.
Reformasi tahun 1998 menghasilkan perubahan kehidupan sistem pemerintahan yang semakin demokratis daripada masa-masa sebelum. Demokrasi prosedural di-tingkatkan menjadi demokrasi substansial yang pada intinya menempatkan kembali kedaulatan rakyat secara proporsional sesuai semangat Undang-Undang Dasar 1945.
 Demokrasi substansial telah menempatkan hak-hak politik masyarakat ke-dalam sistem yang adil. Pada fase ini demokrasi substansial kembali menghidupkan sistem penyelenggaraan Pemilu yang semakin adil dan demokratis pula, yang di-dalamnya termasuk penyelenggaraan Pemilu Kada di semua tingkatan.
Pemilu Kada yang dilaksanakan secara langsung merupakan salah satu unsur fundamental yang mampu menjawab tuntutan rakyat yang selama Pemilu-pemilu sebelumnya dianggap penuh rekayasa dan manipulasi. Pengendalian kekuasaan dan rotasi demokrasi tidak dimainkan langsung oleh rakyat tetapi hanya melibatkan para aktor elit politik pusat sehingga Pemilu dihadapan rakyat sebagai rutinitas kekuasaan yang dikehendaki segelintir elit.
Alasan utama memilih judul ini adalah menganalisis secara komprehensif dan mengkaji sejauhmana respon pilar-pilar demokrasi terhadap efektivitas pesan komunikasi kebijakan politik Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam memaksimalkaan kewenangan yang ada berdasarkan peraturan dan perundang-undangan.
Titik tekan kajian ini ialah mengukur seberapa kuat peran daan fungsi lembaga pengawas Pemilu dalam proses penyelenggaraan Pemilu hingga mampu meyakinkan publik atas keberadaan lembaga tersebut sebagai lembaga yang mandiri dan professional.

Proporsionalitas Politik Media
Media condong memihak pemilik saham dan lebih mengedepankan aspek keuntungan daripada menampilkan netralitas dan idealisme politik. Kekuatan ekonomi menentukan arus kekuatan politik, dan begitu juga sebaliknya. Antara kekuatan ekonomi dan politik saling bergantungan sehingga dalam perspektif pengembangan media sebagai sarana pendidikan budaya bangsa dalam segala dimensi kehidupan tidak berjalan sesuai cita-cita pembangunan nasional.
Tidak bisa dipungkiri, kekuatan modal sangat menentukan kebijakan yang notabene pemilik modal utama sebuah media massa yang mengarah pada diversity media. Kompetisi politik global menyebabkan pertarungan ideologi dengan keras dan tajam. Keberadaan media massa turut melegitimasi perang  politik antar kontestan merebut kekuasaan dan di dalamnya termasuk pergulatan kepentingan ekonomi bisnis. Dalam perebutan kekuasaan, peran media tidak lagi berfungsi sebagai kontrol sosial atau memberikan pelayanan informasi dan memberikan pendidikan bagi masyarakat tetapi pada kenyataannya media lebih berperan menjadi bagian dari pergulatan merebut kekuasaan.
Diversity media massa secara politik terkonstruksi oleh diaspora pergulatan ekonomi politik dalam merebut kekuasaan. Keragaman metode dan pendekatan penyampaian informasi media massa pun sangat ditentukan oleh pengendali media massa itu sendiri. Hegemoni dan monopolistik kepemilikan media antara media yang dikendalikan penguasa dan kaum pemilik modal media seringkali memangkas hak-hak informasi masyarakat yang sesungguhnya. Konstruksi berita lebih ditekankan pada aspek pembentukan opini publik dengan tujuan meyakinkan masyarakat mengikuti keinginan media massa bersangkutan.
Masyarakat tidak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi bahkan dikotomi dan monopolistik produksi informasi ini menjadikan media menjadi tidak independen. Media berperan melakukan kampanye bahkan dalam konstelasi politik yang eskalatif, media cenderung membuat persepsi secara miring dan mengaburkan hakikat kebenaran sebuah peristiwa yang semestinya.
Era modern dan kuatnya globalisasi informasi dan komunikasi, kehadiran media komunitas yang diharapkan menjadi alternatif pengimbang informasi antara kepentingan elit penguasa dan kaum pemodal media pun kenyatannya tidak efektif. Media komunitas dengan keberagaman (diversity of ownership) dengan semangat menggantikan posisi media yang monopolisasi informasi dan pemberitaan dalam kenyataannya tidak bisa tampil sebagaimana mestinya.
Media baik yang dikendalikan penguasa maupun kaum pemodal hampir tidak bisa dihindari bahwa dalam tataran praktek politik keberagaman kepemilikan (diversity of content) kerapkali menyajikan informasi yang cenderung bermuatan kepentingan sehingga substansi, content, visi terkonsentrasi pada bagaimana memaksimalkan kepentingan aktor pengendali.
Diversity of ownership dan diversity content memiliki visi untuk membuat frame informasi untuk membangun image publik atas kepentingan yang dibawah media itu sendiri. Betapapun demikian, fungsi sosial kontrol media massa tidak serta-merta diterjemahkan dalam kerangka normatif dan kontekstual dan hingga akhirnya hanya terjebak pada perspektif media yang etis dan utopis karena selalu mengambang tetapi secara rasional diakui bahwa keberagaman media dalam proses politik tetap diperlukan masyarakat.
Idealisme media menjadi sebuah utopia karena dalam pertempuran ideologi, idealisme menjadi tidak berlaku bagi sebuah media. Segala sesuatu yang ada yang merupakan produk ide atau pikiran tidak lagi digerakkan sesuai misi kemanusiaan tetapi peran budaya dan kekuatan ideologi mengesampingkan budaya idealisme dan tradisi politik positivisme.
Yang muncul dalam pertikaian ideologi, media menempatkan diri menjadi sistem kerja politik berbasis budaya dualisme, dimana proses produksi informasi dengan menggunakan cara berpikir yang bertitik tolak pada materi dan ideologi sekaligus. (Darsono, 2006: 112).

Goffman dalam dramaturgisnya menurut Doyle (1986: 42) mengatakan:

“Masalah utama yang dihadapi individu dalam pelbagai hubungan sosialnya adalah mengontrol kesan-kesan yang diberikannya pada orang lain. Pada akhirnya individu berusaha mengontrol penampilannya, keadaan fisiknya dimana mereka memainkan perannya serta perilaku perannya yang aktual dan gerak isyarat yang menyertainya”. (Lely Arrianie, 2010: 33).

Marx sebagaimana rekannya Friedrich Engels (1820-1895), menunjukkan penerimaannya akan prinsip dialektika, tetapi keduanya mengganti dasar spirit dialektika dengan dasar materi murni. (Ali Abdul Mu’ti Muhammad, 2010: 206). Filsafat Hegel memprioritaskan perkembangan akal dan pemikiran (idea). Filsafat idealisme memang memosisikan perkembangan manusia dan hubungan-hubungan sosialnya sebagai sesuatu yang dihasilkan perkembangan akal. Marx dan Engels sendiri menerima pemikiran Hegel tentang dialektika dan perkembangan terus-menerus, tetapi keduanya mengemas idealismenya.*

Catatan: Arsip tulisan pribadi