Rabu, 16 Desember 2015

Pilkada dan Politik Media Massa

PILKADA DAN PERAN MEDIA MASSA

Oleh: Rahman Yasin
Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

Sebuah proses penyelenggaraan pemilu yang jauh dari polusi intervensi, jauh dari proses kontaminasi politik elit partai politik dan kemudian mampu mewujudkan suasana psikologi politik masyarakat yang kondusif pula. Dengan cara tersebut, maka integritas proses dan hasil penyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis akan hadir dalam benak masyarakat, dan dengan begitu legitimasi kepemimpinan nasional kuat adanya.
Tetapi bila pendekatan komunikasi politik yang terus dilakukan secara berlebihan oleh pemimpin eksekutif terhadap lembaga-lembaga negara seperti legislatif, dan yudikatif, maka sebaliknya peluang terbukanya ruang praktik korupsi dalam penyelenggaraan pemilu tetap terbuka. Masyarakat merasa prihatin terhadap penyelenggaraan pemilu pasca reformasi yang cenderung melahirkan praktik politik uang yang tidak saja melibatkan aktor elit tetapi sampai ke tingkat bawah.
Praktik politik uang dalam penyelenggaraan pemilu selalu jadi biang kekacauan sistem demokrasi, bahkan menghancurkan sendi-sendi moralitas politik bangsa, karena uang hampir menjadi sarat penentu utama kemenangan setiap calon yang menggunakannya. Politik uang sangat berpihak kepada calon yang menggunakannya. Kekuatan finansial masih menjadi faktor kuat pemenangan calon daripada kekuatan ideologi sekalipun. Dengan demikian, praktik pengingkaran politik nurani dalam penyelenggaraan pemilu harus dihentikan dengan menegakan hukum pemilu, baik pelanggaran administrasi maupun tindak pidana pemilu merupakan suatu keniscayaan.
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan sarana yang paling efektif untuk melaksanakan kedaulatan politik rakyat dalam konteks kebebasan memilih pemimpin yang kelak menjalankan kebijakan pembangunan negara. Melalui Pemilu, terjadi proses apa yang disebut dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1999 tentang Pemilusebagai suatu cara efektif menjalankan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tentu tetap dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Arah kebijakan negara akan sangat ditentukan oleh calon-calon pemimpin yang turut ambil bagian dalam pelaksanaan pemilu. Pemilu juga merupakan sebuah konsep demokrasi yang menempatkan nilai-nilai egaliterianisme politik masyarakat secara berperadaban.
Pemilu punya arti penting tentang bagaimana pembaruan sistem kehidupan masyarakat itu di mulai, karena lewat pemilu, warga bangsa akan diberikan kebebasan penuh untuk menggunakan prefrensi politik tanpa adanya intervensi yang berarti dari rezim atau kelompok politik manapun yang mengatasnamakan demokrasi. Tesis ini diperkuat dengan basis penerapan sistem penyelenggaraan pemilu yang berasaskan Langsung, Umum Bebas, Rahasia (Luber), Jujur, dan Adil (Jurdil). Titik tekan dari substansi penyelenggaraan pemilu yang Luber dan Jurdil diatur dalam UU No. 32/2004, UU No. 22/2007, dan UU No. 10/2008 tentang sistem dan mekanisme menggunakan hak pilih masyarakat dalam pemilu.
Sejak pemilu tahun 1955, transformasi demokrasi mendapat legitimasi yang cukup kuat dari dunia Internasional. Sistem multipartai baru pertama kali diterapkan dalam sebuah kondisi geo-sosio politik yang kurang stabil, tapi fakta menunjukkan, elit politik ketika itu mampu menghadirkan suasana demokrasi politik yang berperadaban.
Protes akibat pelanggaran pemilu pun relatif kurang meskipun ada namun dari cara mendisegn tradisi politik yang santun paling kurang siap kalah dan mengakui kemenangan lawan terasa begitu kuat. Ini sangat berbeda dengan kondisi politik baik pada pemilu 1971 yang merupakan fase pertama kehadiran rezim Orde Baru dalam pentas politik nasional maupun pemilu-pemilu berikut di era Orde Baru, bahkan hingga memasuki fase reformasi.
Secara teoritik, pemerintahan Orde Lama menerapkan sistem demokrasi terpimpin yang hingga memicu tersumbatnya kran demokrasi. Kegaduhan sistem politik masa transisi demokrasi menjadi faktor kegagalan negara dalam menyusun dan menerapkan sistem pemilu yang demokratis.
Kepemimpinan Soekarno, apa yang disebut oleh Herbert Feit (1962) dalam karya monumentalnya, The Decline of Constittutional Democracy in Indonesia, sebagai solidarity makers, dan administrator atau lebih dipahami sebagai problem solver ini kurang bersahabat dengan kultur politik bangsa. Kegagalan demokrasi parlementer era kekuasaan rezim Orde Lama tampak jelas akibat diterapkannya sistem constitutional democracy. Sebuah kegagalan membangun tradisi demokrasi kekuasaan yang elegan untuk membawa bangsa ke arah peradaban politik modern.
Reformasi sistem Pemilu dan sistem politik terus dilakukan dan pada setiap pergantian “rezim kekuasaan politik legislasi” di parlemen, hampir perubahan terhadap UU Pemilu, UU Kepartaian, dan UU Politik tidak pernah luput dari sikap politik partai-partai politik yang kontraproduktif.
Akan tetapi perubahan demi perubahan sampai saat ini belum mampu mewujudkan sebuah sistem yang relevan, dan bersahabat dengan tuntutan zaman. Apa yang disebut Plato dalam karya Republik-nya terbukti adanya sebuah realitas bernegara dalam situsasi modern saat ini.
Oligarki merupakan sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan konsep politik yang mengedepankaan kekuasaan di tangan segelintir orang. Dalam catatan literatur modern, Robert Michels (1959), menyebutkan, bahwa konsep oligarki kekuasaan, setidaknya telah diperlihatkan oleh beberapa negara yang pernah menerapkan sistem kekuasaan oligarki, antara lain, Jerman yang dipimpin Hitler, Uni Sovyet dibawah kendali Stalin, Perancis dibawah kekuasaan Louis XIX, bahkan Soeharto pun dikategorikan sebagai bagian dari rezim yang menjalankan sistem oligarki.
Dalam kaitan dengan gonjang-ganjing proses revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, terlihat dengan jelas bagaimana politik kekuasaan gaya oligarki ini bekerja aktif. Politisi parlemen seakan-akan memanfaatkan setiap periode “kekuasaan politik legislasi” di parlemen selama menjabat, sebagai lahan basah untuk menghidupkan sumber pemasukan finansial partai politik sehingga ketika revisi UU Pemilu itu dilakukan, anggota Dewan yang merupakan mesin politik politik ini lebih mengedepankan kepentingan individu maupun partai di mana mereka bernaung.
Fraksi partai besar seperti FD, FG, FPDIP, dan FKS,  akan berbeda visi atau bisa jadi sama kepentingan, namun secara politik kalkulatif, sama-sama memiliki kepentingan organisasi. Akibatnya, proses pembahasan revisi UU Pemilu tidak lagi memikirkan substansi, sejauhmana kepentingan masyarakat dalam pemilu termasuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu serta transformasi pendidikan politik bagi rakyat itu bisa teragregasi dengan baik, tetapi sebaliknya para wakil rakyat justru lebih mengutamakan bagaimana memperjuangkan kepentingan partai politik masing-masing.
Revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang digulirkan sejak awal tahun 2010 dan berdasarkan potret dinamika yang terjadi, agaknya semakin memperkuat pesimistis rakyat terhadap kinerja buruk anggota Dewan yang terhormat ini. Perjalanan penuh intrik dibalik pembahasan revisi terbatas UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Perdebatan klasik hingga pragmatis mewarnai pembahasan revisi UU Pemilu.
Dari persoalan calon keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan keanggotaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pro kontra menaikan ambang batas, persoalan jumlah keanggotaan Dewan Kehormatan KPU, terkait komposisi perwakilan kalangan masyarakat dari kalangan profesional, soal kemandirian KPU dan Bawaslu, serta boleh tidak kader parpol menjadi anggota KPU dan Bawaslu.
Tahun 1999 merupakan sejarah awal perpolitikan nasional dalam membangun tradisi politik yang demokratis dalam kerangka penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sejarah baru demokratisasi ini ditandai dengan diproklamasikannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang pada perjalanannya kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pesan komunikasi politik kebijakan pemerintah yang demokratis dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang otonomi Daerah yang secara implisit menegaskan sikap pemerintah pusat ingin mengubah sistem dan cara penerapan Undang-Undang pemerintahan Daerah yang lebih adil dan demokratis.
Pertentangan ideologi politik antara masing-masing faksi politik lokal, regional, dan nasional yang terjadi dalam dua (2) sampai tiga (3) dekade dapat diredam secara elegan. Setidaknya kehadiran peraturan dan perundang-undangan pemerintah yang baru mampu merespon gejolak politik lokal yang cenderung menjurus pada disintegrasi bangsa.
Salah satu unsur problem yang seringkali memicu konflik politik antara pusat dan daerah ialah sistem penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) yang secara konstitusional menganut sistem demokrasi prosedural umum. Demokratisasi kekuasaan elit lokal hanya dikendalikan oleh sistem yang notabene menjadi dominasi elit pusat sehingga hal tersebut sangat mengganggu keamanan dan ketertiban bangsa.
Reformasi tahun 1998 menghasilkan perubahan kehidupan sistem pemerintahan yang semakin demokratis daripada masa-masa sebelum. Demokrasi prosedural di-tingkatkan menjadi demokrasi substansial yang pada intinya menempatkan kembali kedaulatan rakyat secara proporsional sesuai semangat Undang-Undang Dasar 1945.
 Demokrasi substansial telah menempatkan hak-hak politik masyarakat ke-dalam sistem yang adil. Pada fase ini demokrasi substansial kembali menghidupkan sistem penyelenggaraan Pemilu yang semakin adil dan demokratis pula, yang di-dalamnya termasuk penyelenggaraan Pemilu Kada di semua tingkatan.
Pemilu Kada yang dilaksanakan secara langsung merupakan salah satu unsur fundamental yang mampu menjawab tuntutan rakyat yang selama Pemilu-pemilu sebelumnya dianggap penuh rekayasa dan manipulasi. Pengendalian kekuasaan dan rotasi demokrasi tidak dimainkan langsung oleh rakyat tetapi hanya melibatkan para aktor elit politik pusat sehingga Pemilu dihadapan rakyat sebagai rutinitas kekuasaan yang dikehendaki segelintir elit.
Alasan utama memilih judul ini adalah menganalisis secara komprehensif dan mengkaji sejauhmana respon pilar-pilar demokrasi terhadap efektivitas pesan komunikasi kebijakan politik Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam memaksimalkaan kewenangan yang ada berdasarkan peraturan dan perundang-undangan.
Titik tekan kajian ini ialah mengukur seberapa kuat peran daan fungsi lembaga pengawas Pemilu dalam proses penyelenggaraan Pemilu hingga mampu meyakinkan publik atas keberadaan lembaga tersebut sebagai lembaga yang mandiri dan professional.

Proporsionalitas Politik Media
Media condong memihak pemilik saham dan lebih mengedepankan aspek keuntungan daripada menampilkan netralitas dan idealisme politik. Kekuatan ekonomi menentukan arus kekuatan politik, dan begitu juga sebaliknya. Antara kekuatan ekonomi dan politik saling bergantungan sehingga dalam perspektif pengembangan media sebagai sarana pendidikan budaya bangsa dalam segala dimensi kehidupan tidak berjalan sesuai cita-cita pembangunan nasional.
Tidak bisa dipungkiri, kekuatan modal sangat menentukan kebijakan yang notabene pemilik modal utama sebuah media massa yang mengarah pada diversity media. Kompetisi politik global menyebabkan pertarungan ideologi dengan keras dan tajam. Keberadaan media massa turut melegitimasi perang  politik antar kontestan merebut kekuasaan dan di dalamnya termasuk pergulatan kepentingan ekonomi bisnis. Dalam perebutan kekuasaan, peran media tidak lagi berfungsi sebagai kontrol sosial atau memberikan pelayanan informasi dan memberikan pendidikan bagi masyarakat tetapi pada kenyataannya media lebih berperan menjadi bagian dari pergulatan merebut kekuasaan.
Diversity media massa secara politik terkonstruksi oleh diaspora pergulatan ekonomi politik dalam merebut kekuasaan. Keragaman metode dan pendekatan penyampaian informasi media massa pun sangat ditentukan oleh pengendali media massa itu sendiri. Hegemoni dan monopolistik kepemilikan media antara media yang dikendalikan penguasa dan kaum pemilik modal media seringkali memangkas hak-hak informasi masyarakat yang sesungguhnya. Konstruksi berita lebih ditekankan pada aspek pembentukan opini publik dengan tujuan meyakinkan masyarakat mengikuti keinginan media massa bersangkutan.
Masyarakat tidak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi bahkan dikotomi dan monopolistik produksi informasi ini menjadikan media menjadi tidak independen. Media berperan melakukan kampanye bahkan dalam konstelasi politik yang eskalatif, media cenderung membuat persepsi secara miring dan mengaburkan hakikat kebenaran sebuah peristiwa yang semestinya.
Era modern dan kuatnya globalisasi informasi dan komunikasi, kehadiran media komunitas yang diharapkan menjadi alternatif pengimbang informasi antara kepentingan elit penguasa dan kaum pemodal media pun kenyatannya tidak efektif. Media komunitas dengan keberagaman (diversity of ownership) dengan semangat menggantikan posisi media yang monopolisasi informasi dan pemberitaan dalam kenyataannya tidak bisa tampil sebagaimana mestinya.
Media baik yang dikendalikan penguasa maupun kaum pemodal hampir tidak bisa dihindari bahwa dalam tataran praktek politik keberagaman kepemilikan (diversity of content) kerapkali menyajikan informasi yang cenderung bermuatan kepentingan sehingga substansi, content, visi terkonsentrasi pada bagaimana memaksimalkan kepentingan aktor pengendali.
Diversity of ownership dan diversity content memiliki visi untuk membuat frame informasi untuk membangun image publik atas kepentingan yang dibawah media itu sendiri. Betapapun demikian, fungsi sosial kontrol media massa tidak serta-merta diterjemahkan dalam kerangka normatif dan kontekstual dan hingga akhirnya hanya terjebak pada perspektif media yang etis dan utopis karena selalu mengambang tetapi secara rasional diakui bahwa keberagaman media dalam proses politik tetap diperlukan masyarakat.
Idealisme media menjadi sebuah utopia karena dalam pertempuran ideologi, idealisme menjadi tidak berlaku bagi sebuah media. Segala sesuatu yang ada yang merupakan produk ide atau pikiran tidak lagi digerakkan sesuai misi kemanusiaan tetapi peran budaya dan kekuatan ideologi mengesampingkan budaya idealisme dan tradisi politik positivisme.
Yang muncul dalam pertikaian ideologi, media menempatkan diri menjadi sistem kerja politik berbasis budaya dualisme, dimana proses produksi informasi dengan menggunakan cara berpikir yang bertitik tolak pada materi dan ideologi sekaligus. (Darsono, 2006: 112).

Goffman dalam dramaturgisnya menurut Doyle (1986: 42) mengatakan:

“Masalah utama yang dihadapi individu dalam pelbagai hubungan sosialnya adalah mengontrol kesan-kesan yang diberikannya pada orang lain. Pada akhirnya individu berusaha mengontrol penampilannya, keadaan fisiknya dimana mereka memainkan perannya serta perilaku perannya yang aktual dan gerak isyarat yang menyertainya”. (Lely Arrianie, 2010: 33).

Marx sebagaimana rekannya Friedrich Engels (1820-1895), menunjukkan penerimaannya akan prinsip dialektika, tetapi keduanya mengganti dasar spirit dialektika dengan dasar materi murni. (Ali Abdul Mu’ti Muhammad, 2010: 206). Filsafat Hegel memprioritaskan perkembangan akal dan pemikiran (idea). Filsafat idealisme memang memosisikan perkembangan manusia dan hubungan-hubungan sosialnya sebagai sesuatu yang dihasilkan perkembangan akal. Marx dan Engels sendiri menerima pemikiran Hegel tentang dialektika dan perkembangan terus-menerus, tetapi keduanya mengemas idealismenya.*

Catatan: Arsip tulisan pribadi

                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar