MEWUJUDKAN
PILEG DAN PILPRES 2014 YANG BERINTEGRITAS
Kajian
Putusan No. 216/DKPP-PKE-III/2014, No. 215/DKPP-PKE-III/2014, dan No. 255/DKPP-PKE-III/2014
MAKING
AND PILPRES 2014 PILEG INTEGRITY
Study
of Decision No. 216 / DKPP-PKE-III / 2014, No. 215 / DKPP-PKE-III / 2014, and
No. 255 / DKPP-PKE-III / 2014
Oleh : Rahman Yasin
Tenaga Ahli Di Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu
Abstrak
Pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu legislatif dan pilpres 2014 umumnya disebabkan oleh sikap
tidak netral dan kecenderungan berpihak terjadi pada setiap tahapan, baik
pemilu legislatif, Pilpres, dan pemilukada. Pelanggaran kode etik mulanya bermuara
dari tahapan penanganan daftar pemilih (DPT), pendiskualifikasian karena
persyaratan seperti ketercukupan jumlah dukungan atau
persyaratan yang lewat waktu, penyalahgunaan jabatan, wewenang, dugaan suap
dalam pembentukan badan penyelenggara pemilu, netralitas, imparsialitas, dan penetapan yang tidak cermat. Pengelolaan tahapan pemilu
kerap disusupi kepentingan oknum penyelenggara dengan bertindak tidak netral
dalam pengambilan kebijakan. Fakta pelaksanaan pileg dan pilpres 2014
menunjukkan pada tahap krusial seperti penetapan persyaratan caleg hingga pada
penghitungan suara, penetapan pasangan calon misalnya, di beberapa daerah
dilakukan tidak netral sehingga dalam keterbatasan waktu timbul
ketidakseragaman persepsi dan memicu perdebatan hingga tanpa keputusan. Modus pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu yang dilakukan anggota penyelenggara pemilu yakni KPU dan
Bawaslu di semua jajaran terkonfirmasi dengan jelas lewat proses persidangan
DKPP. Dengan mekanisme sistem persidangan kode etik yang terbuka dapat membantu
majelis persidangan untuk menganalisis dengan lebih cermat lagi berdasarkan
data, dokumen laporan/pengaduan yang diberikan pelapor/pengadu hingga
mengeluarkan putusan.
Kata Kunci: Mewujudkan Pemilihan Umum Berintegritas
Abstract
Code violations organizers legislative and presidential
elections in 2014 is generally caused by a neutral attitude and tendency siding
occur at any stage, whether legislative elections, presidential elections, and
the election. Violations of the code of conduct initially comes down from the
stage of the handling of the voters list (DPT), disqualification due to
requirements such as the adequacy of the amount of support or the requirements
of the passing of time, abuse of office, authority, allegations of bribery in
the formation of the election management body, neutrality, impartiality and
determination are not careful. Management of election stages often compromised
the interests of unscrupulous organizers to act is not neutral in policy
making. Facts implementation pileg and presidential elections in 2014 show at
such a crucial stage of the determination of the terms of candidates to the
vote count, the determination of the candidate, for example, in some areas do
not neutral so that the time constraints arising heterogeneity of perception
and spark debate up without a decision. Mode of election organizers code
violations committed by members of the election management KPU and Bawaslu at
all levels clearly confirmed through court proceedings DKPP. With the court system
mechanism that opens the code of conduct can assist the panel hearing to
analyze more carefully again based on data, documents, reports / complaints
given the complainant / complainant to issue a verdict.
Keywords: Realising Election Integrity
I. PENDAHULUAN
Pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilihan umum (pemilu) merupakan pelanggaran prinsip moral dan etika
penyelenggara pemilu yang berpedoman pada sumpah/janji sebelum menjalankan
tugas sebagai penyelenggara dan asas penyelenggara pemilu, dan peraturan
perundang-undangan penyelenggaraan pemilu dan peraturan perundang-undangan
lainnya yang berlaku. Sedangkan pelanggaran pada prinsip-prinisp
moral dan etika penyelenggara pemilu berpedoman pada sumpah/janji sebelum
menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu dan asas penyelenggara pemilu, dan peraturan perundang-undangan
mengenai penyelenggaraan pemilu dan peraturan perundang-undangan lainnya yang
berlaku merupakan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Standar internasional pemilu demokratis menggariskan, setiap pelanggaran dalam pemilu diselesaikan secara demokratis; penyelesaian perkara-perkara pemilu dimaksudkan untuk mencapai derajat
keadilan dalam penyelenggaraan pemilu; tidak diselesaikannya perkara-perkara
pemilu berakibat pada terciderainya proses penyelenggaraan pemilu. Khusus penyelesaian pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dimaksudkan
untuk menjaga integritas penyelenggara pemilu, dengan terjaganya integritas penyelenggara pemilu memengaruhi integritas proses/tahapan pemilu serta hasil-hasil pemilu; tak diselesaikannya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu akan jadi pertanyaan akan legitimasinya hasil-hasil pemilu; dan tak dituntaskannya perkara pelanggaran-pelanggaran kode
etik penyelenggara pemilu berarti sama dengan tindakan untuk tak menyelamatkan kepentingan masyarakat pemilih. Pada kasus
kecurangan penyelenggaraan pemilu
legislatif dan pilpres 2014, maka ada 3 bentuk
kecurangan yang terjadi, yakni pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana
dan pelanggaran kode etik.
Adapun modus-modus yang sering digunakan
antara lain, penyelenggara pemilu bekerja cenderung melalaikan peraturan
perundang-undangan dan kode etik penyelenggara pemilu, penyelenggara
pemilu menghilangkan hak pilih masyarakat, penyelenggara
pemilu menggunakan jabatan dan kewenangannya untuk mengarahkan penyelenggara
pemilu lainnya mendukung partai atau caleg tertentu, hal ini banyak dilakukan
oleh komisioner KPU didaerah dengan mengarahkan PPK maupun PPS untuk mendukung
caleg tertentu, penyelenggara Pemilu mengubah berita acara hasil perhitungan
suara untuk memenangkan partai atau caleg tertentu, hal ini banyak dilakukan
mulai dari tingkat KPPS sampai dengan KPU Kab/KPU Prov. Penyelenggara
pemilu (Bawaslu/Panwaslu) di beberapa daerah terkesan lamban memproses temuan
maupun laporan pelanggaran pemilu yang dilaporkan oleh masyarakat, penyelenggara
pemilu menerima suap dari partai atau caleg tertentu,
Penyelenggara bermain dan intervensi dalam pengadaan logistik pemilu dan
pengelolaan keuangan pemilu, Penyelenggara pemilu membuat kebijakan yang
menguntungkan partai atau caleg tertentu. Adapun bentuk-bentuk
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang sering digunakan antara lain: netralitas imprealitas, profesionalitas, ketidakcermatan, penetapan
paslon terpilih, penanganan DPT, abuse of power, mengabaikan
putusan pengadilan, melalaikan tugas, penyuapan, dan seleksi penyelenggara pemilu, serta konflik internal.
Maka secara
umum trend pelanggaran terdapat dalam empat
bentuk. Pertama, beli kursi (seat buying) yang muncul karena
pencalonan hanya boleh dilakukan melalui pintu partai politik tanpa memberikan
peluang bagi kandidat independen untuk turut serta sebagai calon. Kedua,
praktek beli pengaruh (influence buying), yang dilakukan dengan
’membeli’ tokoh masyarakat seperti pemuka agama dan pemuka adat untuk
mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan politik mereka dengan cara
merekrutnya untuk menjadi juru kampanye. Ketiga, praktek pembelian
penyelenggara pemilu, yang dilakukan dengan menyuap para penyelenggara
pemilu, dari tingkat desa, kecamatan, kelurahan, dan seterusnya, serta pengawas
pemilu untuk melakukan praktek-praktek curang seperti menggandakan jumlah
pemilih, memasukkan surat suara ilegal, membatalkan suara sah, dan memanipulasi
perhitungan suara. Keempat adalah praktik pembelian suara, yang
dilakukan kandidat dengan memberikan uang atau bentuk bantuan lainnya kepada
calon pemilih.
A. Latar Belakang
Pada pelaksanaan
pileg 2014 dengan mengambil kasus Gorontalo,
sebagaimana dalam
penanganan DKPP sejak kasus dilaporkan pada tanggal 18 Juni 2014, dengan
akta penerimaan pengaduan No.555/I-P/L-DKPP/2013, yang diregistrasi dengan
perkara No.217/DKPP-PKE-II/2013 (Putusan No.217/DKPP-PKE-III/2014, Putusan No.216/DKPP-PKE-III/2014, dan Putusan No.2015/DKPP-PKE-III/2014).
Dengan inti masalah yakni, para teradu telah melakukan perbuatan melanggar kode
etik dengan menghilangkan hak konstitusi pengadu sebagai calon terpilih peraih
suara terbanyak pertama. Para teradu telah melakukan tindakan yang tidak
adil dan tidak netral dalam membuat keputusan penggantian untuk meloloskan
calon tertentu, ini membuktikan ketidaknetralan teradu KPU Kota Gorontalo.
Dengan melakukan perbuatan yang ikut campur dalam urusan internal yang
merupakan kewenangan Partai Bulan Bintang dengan mengabaikan surat-surat Dewan
Pimpinan Pusat (DPP) Partai Bulan Bintang tersebut. Ini memperlihatkan para teradu KPU Kota Gorontalo berpihak kepada
calon tertentu. Dalam hal ini KPU Kota Gorontalo (lama) telah menetapkan pengadu
sebagai caleg terpilih anggota DPRD Kota Gorontalo melalui Berita Acara
No.25/BA/V/2014 tertanggal 28 Mei 2014 tentang rapat pleno tertutup penetapan
calon terpilih anggota DPRD Kota Gorontalo pemilu 2014, dan Surat Keputusan
No.16/Kpts/KPU.Kota-027.436571/2014 tanggal 28 Mei 2014 tentang penetapan calon
terpilih anggota DPRD Kota Gorontalo, atas nama penggugat. Tetapi setelah ada
pergantian seluruh ketua dan anggota-anggota KPU Kota Gorontalo, secara sepihak
para teradu KPU Kota Gorontalo telah melakukan penggantian atau membatalkan
surat keputusan KPU (lama) yang sudah disahkan secara nasional, dengan tanpa
adanya bukti baru. KPU Kota Gorontalo juga tidak independen disaat mengeluarkan
keputusan penggantian dan membatalkan Pengadu I karena beralasan, adanya surat
DPC PBB Kota Gorontalo dan DPW PBB provinsi Gorontalo yang menegaskan sepihak,
bahwa surat pemecatan pengadu I telah sah secara hukum, sehingga dalam
persidangan DKPP hingga keluar putusan disimpulkan bahwa KPU Kota Gorontalo
telah melanggar undang-undang dan peraturan terutama UU No 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 220; UU
No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, Pasal 32 dan Pasal 33; dan UU
No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu pada pasal 2; serta PKPU No 29 Tahun 2013 yang telah diubah
dengan PKPU No. 8 tahun 2014, Bab IV penggantian calon terpilih Pasal 50 dan pasal 51, serta Pasal 52.
Fakta yang terungkap dalam persidangan, dan setelah memeriksa
keterangan para pengadu, memeriksa jawaban dan keterangan para teradu,
memeriksa keterangan terkait, serta
bukti-bukti dokumen yang disampaikan para pengadu dan para teradu,
maka dapat mengambil kesimpulan. (Putusan: No.217/DKPP-PKE-III/2014), bahwa: DKPP
berwenang mengadili pengaduan pengadu; pengadu memiliki
kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan pengaduan a quo; dan teradu I
hingga teradu V terbukti melakukan pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu. Untuk
selanjutnya dapat mengambil keputusan untuk mengabulkan pengaduan para pengadu
untuk seluruhnya; selanjutnya menjatuhkan sanksi
berupa pemberhentian tetap kepada lima orang teradu dan memerintahkah
kepada KPU Provinsi Gorontalo untuk menindaklanjuti putusan tersebut
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; serta memerintahkan
kepada KPU RI dan Bawaslu RI untuk mengawasi pelaksanaan putusan. Maka dengan sendirinya terlihat bahwa putusan DKPP agar setiap
penyelenggara pemilu mematuhi undang-undang
dan peraturan lainnya yang terkait pemilu, partai politik, tentang penyelenggara pemilu.
Menyelesaikan setiap pelanggaran secara demokratis untuk mencapai derajad
keadilan dan tidak cideranya dalam penyelenggaraan pemilu, demi menjaga
integritas proses/tahapan serta hasil-hasil pemilu, hal tersebut merupakan
tindakan untuk menyelamatkan kepentingan masyarakat pemilih.
Masalah yang sama juga pada penanganan
kasus dugaan pelanggaran kode etik penyelenggaraan pemilu presiden (pilpres).
Ketua dan para anggota KPU pusat diadukan oleh pasangan calon presiden dan
wakil presiden Prabowo-Hatta, melalui kuasa hukum mereka M. Mahendradatta,
Didik Supriyanto, Sutedjo Sapto Jalu, Warno, Sahroni, Guntur Fattahillah, Ega
Windratno. Pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Hatta ini
mengadukan ketua KPU Husni Kamil Manik, dan anggota Ferry Kurnia Rizkiansyah,
Ida Budhiati, Arif Budiman, Hadar Nafis Gumay, Juri Ardiantoro, dan Sigit
Pamungkas. Ketua dan anggota KPU dianggap telah melalaikan tugas sebagai
penyelenggara pemilu karena tidak cermat dalam menertibkan KPU di bawahnya
sehingga kasus pembukaan kotak suara dianggap merugikan pasangan calon presiden
dan wakil presiden Prabowo-Hatta.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut: Bagaimana dampak dari perubahan kebijakan etik pengelolaan
tahapan penyelenggaraan pemilu oleh penyelenggara atas putusan DKPP oleh
penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) serta tingkat legitimasi masyarakat
terhadap pelaksanaan pileg dan pilpres 2014?
C. Tujuan dan
Kegunaan
Tujuan penelitian ini adalah dalam rangka untuk
mendapatkan jawaban apa adanya dengan tidak sama sekali melibatkan unsur
informan baik hakim etik DKPP maupun penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) dan
masyarakat di daerah yang merupakan objek kajian dari studi ini dengan titik
tekan tidak ada interpretasi dari pihak-pihak dimaksud karena lebih
mengutamakan data. Dari kajian ini, maka penulis ingin mendapatkan jawaban,
mengapa ketua dan anggota KPU Kota Gorontalo tidak konsisten menjalankan aturan
tahapan pileg 2014 sehingga menimbulkan keluarnya putusan DKPP yang
memberhentikan secara tetap kelima anggota KPU Kota Gorontalo dan apa yang
mendasari kelalaian ketua dan anggota KPU Pusat untuk tidak memastikan tahapan
pilpres berjalan sesuai ketentuan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum kemudian mereka diberikan peringatan tertulis oleh DKPP melalui
putusan No. 255/DKPP-PKE-III/2014 dan bagaimana ekspektasi
masyarakat terhadap peran DKPP pada usaha mewujudkan pemilu berintegritas?
Adapun kegunaan
kajian ini secara singkat dapat dikemukakan beberapa manfaatnya:
1.
Hasil kajian ini dapat memberikan jawaban dan
sekaligus dapat memberikan gambaran pada kenyataan praktik etika dan hukum yang
secara khusus dalam perspektif penyelenggara pemilu (KPU Kota Gorontalo)
berdasarkan hambatan maupun kendala-kendala teknis ataupun tindakan dengan
sengaja menimbulkan ketidakpuasan para pengadu pada peserta pileg 2014 dan
pasangan capres cawapres nomor urut 1 Prabowo-Hatta yang merasa dirugikan oleh
KPU Pusat karena memerintahkan seluruh KPUD mengeluarkan Surat Edaran No. 1446/KPU/VII/2014, tertanggal 25 Juli 2014 tentang
Penyiapan dan Penyampaian Formulir Model A5 PPWP dan Model C7 PPWP jo Surat Edaran No. 1449/KPU/VII/2014
tanggal 25 Juli 2014 tentang Sengketa PHPU Presiden dan Wakil Presiden Tahun
2014, yang pada intinya memerintahkan kepada seluruh KPUD untuk melakukan
Pembukaan Kotak Suara yang sudah tersegel.
2.
Hasil kajian ini setidaknya dapat menjadi bahan tolok
ukur untuk mengetahui bagaimana respon dan ekspektasi masyarakat terhadap
perubahan etika politik penyelenggara pemilu setelah dibentuk lembaga baru
yakni DKPP yang berfungsi menangani dugaan pelanggaran kode etik pemilu.
3.
Hasil kajian ini setidaknya dapat menjadi alat ukur
untuk mengetahui ekspektasi masyarakat terhadap pileg dan pilpres yang
berintegritas berdasarkan asas dan prinsip-prinsip pemilu demokratis.
D. Studi Pustaka
Para ilmuan
politik memberikan pengertian mengenai sistem pemilihan umum memiliki relasi
yang sangat erat dengan sistem perwakilan proporsional (proportional representation, selanjutnya akan disingkat PR) dengan
sistem multi partai di satu pihak, serta antara sistem pemilihan distrik (single member district) dengan sistem
dua partai di pihak lain. Dari hubungan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa
sistem pemilihan merupakan faktor penting yang menentukan tipe sistem
kepartaian. Maurice Duverger pada tahun 1950 menguraikan pengaruh sistem-sistem
pemilihan secara menyeluruh. Pendekatan yang dipakai Duverger adalah konsep
polarisasi dan depolarisasi. Polarisasi terdapat pada sistem suara mayoritas
dan merupakan hasil dari proses dua tingkat (two
fold process). Fase pertama dari proses ini disebut sebagai proses “mekanis”.
Proses tersebut menghasilkan fenomena “over-representation”
dan “under-representation”. Duverger
menunjukan bahwa presentase jumlah kursi yang dimenangkan oleh partai-partai
mayoritas, mereka cenderung mengalami over-representation.
Fase kedua meliputi apa yang disebut sebagai faktor “psikologis”. (John G.
Grumm, 1996: 65).
Sistem pemilihan
umum juga diartikan sebagai suatu kumpulan metode atau cara warga masyarakat
memilih para wakil mereka (Lijphart, 1995). Manakala sebuah lembaga perwakilan
rakyat—apakah itu DPR ataupun DPRD—dipilih, menurut
Afan Gaffar, maka sistem pemilihan mentransfer jumlah suara dalam jumlah kursi.
Sementara itu, pemilihan presiden, gubernur dan bupati, yang merupakan
representasi tunggal dalam sistem pemilihan, dasar jumlah suara yang diperoleh
menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan kenyataan seperti
ini, maka penting sebenanrnya menerapkan sistem pemilihan umum demokratis.
(Afan Gaffar, 1999: 255).
Dari
pengertian-pengertian tersebut, dapat dimaknai secara konsepsional, bahwa
sistem pemilihan baik bersifat distrik maupun proporsional sesungguhnya
memiliki makna yang sama yakni bagaimana suara rakyat dalam pemilihan umum
dapat menentukan perolehan kursi bagi setiap calon anggota DPR, DPD, dan DPRD
maupun calon presiden dan wakil presiden yang tentu melalui sebuah mekanisme
politik yang teratur. Indonesia setelah reformasi dan perubahan atas UU Pemilu
dari waktu ke waktu (UU No. 3 Tahun 1999, UU No. 12 Tahun 2003, UU No. 22 Tahun
2007 dan UU No. 15 Tahun 2011) telah memilih menggunakan sistem electoral treshold (ET) khususnya pada pemilu 1999, dan pada pemilu
2004 meningkat menjadi sistem Parliamentary
Treshold (PT) atau penggunaan ambang batas dari 2,5 hingga pada pemilu 2009
menjadi 3,5 persen untuk nasional. Dengan sistem multi-partai dan proporsional
terbuka serta putusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008 tentang suara
terbanyak memberikan implikasi positif dalam penerapan sistem pemilu
demokratis.
Sebuah
pemerintahan mendapatkan keabsahan dari keberhasilannya yang memperoleh mandat
dari rakyat untuk memerintah. Cara memperoleh mandat sangat penting bagi mutu
keabsahan itu dan bagi kesediaan semua pihak mengakuinya. Pemilihan umum yang
tidak memiliki keabsahan melahirkan keadaan tidak stabil dan lingkungan yang
mendorong korupsi berkembang biak dengan cepat. Otoritas moral seperti itu akan
jauh lebih kuat bila pemerintah hasil pemilihan umum diakui telah terpilih
sesuai dengan undang-undang di bawah pengawasan KPU yang independen. (Jeremy
Pope, 2003: 305-306). Dalam konteks ini, pemilihan legislatif dan pilpres 2014
berdasarkan ketentuan UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu,
terdiri dari tiga lembaga sekaligus sebagai satu kesatuan penyelenggara pemilu
yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP. KPU sebagai penyelenggara teknis, Bawaslu
berfungsi mengawasi, dan DKPP berfungsi menegakkan kode etiknya.
Pemilihan umum
merupakan cara yang sah untuk berebut kekuasaan politik. Pemilu juga merupakan
ujian bagi mereka yang sedang berkuasa (incunbent).
Pemilu merupakan sarana dalam rangka memperoleh mandat rakyat. Pemilu
merupakan kehendak mutlak bangsa Indonesia sebagai penganut sistem demokrasi.
(Abdillah Fauzi Achmad, 2012: 479).
Banyak teoritisi
yang berpendapat bahwa hendaknya demokrasi tidak semata-mata dipersepsi atau
dikonseptualisasikan sebagai sebuah “metode politik” (political method), tetapi juga sebagai suatu “tujuan etnis” (ethical end). Dalam pengertian ini
menurut Bahtiar Effendy, demokrasi bisa dipandang secara berbeda, sebenarnya ada
dua unsur atau “family resemblances” yang
membuat sebuah sistem dapat disebut demokratis. Robert A. Dahl menjelaskan,
bahwa sebuah rezim politik dapat dianggap demokratis kalau ia: (1)
menyelenggarakan pemilihan yang terbuka dan bebas; (2) mengembangkan pola
kehidupan politik yang kompetitif; (3) dan memberi perlindungan terhadap
kebebasan masyarakat (civil liberties). Senada
dengan Dahl, Juan Linz mengajukan pengertian-pengertian demokrasi secara lebih
ketat. Menurutnya, sebuah sistem politik baru bisa dikatakan demokratis kalau
ia: (1) memberi kebebasan bagi masyarakatnya untuk merumuskan
preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan,
informasi, dan komunikasi; (2) memberikan kesempatan bagi warganya untuk
bersaing secara teratur, melalui cara-cara damai; dan (3) tidak melarang
siapapun untuk memperebutkan jabatan-jabatan politik yang ada. (Bahtiar
Effendy, 1999: 106).
Pergeseran sistem
pemilihan umum di Indonesia pasca amandemen UUD 1945 dari sistem pemilihan umum
yang semula bersifat prosedural ke sistem substansial cukup prospek dan telah
memberikan arah baru bagi sistem pemilihan umum, apakah itu pemilihan anggota
DPR, DPD, DPRD maupun calon presiden dan wakil presiden yang relatif dalam
implementasinya dapat dikatakan demokratis. Apalagi UU No. 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum mengamanatkan pembentukan lembaga Dewan
Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) bersifat ad hoc dan kemudian pada revisi UU No. 22 Tahun 2007 menjadi UU No.
15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu meningkatkan kapasitas lembaga
penegak kode etik penyelenggara pemilu ini menjadi DKPP (Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu) bersifat permanen dan ditingkatkan tugas dan wewenangnya,
dari semula DK KPU hanya memberikan rekomendasi kepada penyelenggara pemilu
(KPU) sekarang menjadi berwenang memberikan sanksi, baik berupa sanksi
peringatan, sanksi pemberhentian sementara maupun tetap maupun merehabilitasi
nama baik bagi yang tidak terbukti. Pada titik inilah integritas dan
kredebilitas penyelenggara pemilu diawasi DKPP. Dengan kewenangan memberikan
sanksi teguran, peringatan, pemberhentian sementara dan tetap bagi anggota
penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu
maka kualitas pemilu demokratis dan berintegritas dapat terjaga dengan baik.
II. METODE
Penelitian
ini akan berusaha menggambarkan dan menjelaskan bagaimana muncul dan
berkembangnya kebijakan KPU Kota Gorontalo pada pelaksanaan pileg tahun 2014
yang menyebabkan para pengadu H. Zulkarnain
M. Dunda,
Hadi Sutrisno Daud, dan Rauf Ali melaporkan ketua dan anggota KPU
Kota Gorontalo Thaib Saleh, Abdulah Mansyur,
Asni Abubakar, Jusrin Kadir, dan Nurul Syamsu Pana
ke DKPP, serta ketua dan anggota KPU RI Husni Kamil Manik, Ferry Kurnia Rizkiansyah, Ida Budhiati, Arif Budiman, Sigit
Pamungkas, Hadar Nafis Gumai, dan Juri Ardiantoro diadukan oleh pasangan
Capres-Cawapres nomor urut 1 Prabowo-Hatta melalui kuasa hukum mereka M.
Mahendradatta, Didi Supriyanto, Sutejo Sapto
Jalu, Warno, Sahroni, Guntur Fattahillah, dan Ega Windratno, dan berdasarkan Putusan DKPP No. 255/DKPP-PKE-III/2014 kelimanya dijatuhi sanksi
peringatan.
Penelitian ini merupakan penelitian kasus (case research) atau studi kasus (case study) terhadap putusan No. 216/DKPP-PKE-III/2014, No. 215/DKPP-PKE-III/2014, dan No. 255/DKPP-PKE-III/2014 terkait penanganan pelanggaran
kode etik penyelenggara pemilu pada pelaksanaan pileg dan pilpres 2014 pada
kasus KPU Kota Gorontalo dan KPU RI. Penelitian ini menggunakan metode
eksploratif dan analisis yang cermat dan intensif mengenai keadaan suatu unit
sosial, yaitu berupa pribadi, suatu keluarga, institusi, kelompok kebudayaan
atau kelompok masyarakat. Adapun yang diteliti dalam
tulisan ini terdapat dua kasus, sesuai dengan pendapat Apter maka penelitian
menggunakan tipologi penelitian dengan metode konfigurasional sehingga bukan
merupakan metode penelitian komparasi atau simulasi, atau dalam konteks ini menurut
Whitney, suatu penelitian kasus menurut jenisnya, digolongkan dalam studi
dengan metode deskriptif. Metode penulisan ini tentunya didasari
oleh upaya untuk lebih memahami latar belakang
kelalaian yang menimbulkan pelanggaran kode etik pemilu, penelitian menggunakan
pendekatan metode deskriptif-analisis, yaitu
menggambarkan dan menganalisis sedetail mungkin mengenai pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu yang dilakukan oleh KPU Kota Gorontalo dan KPU RI pada
pileg dan pilpres 2014 serta peran dan fungsi lembaga peradilan etik DKPP dalam
mewujudkan pemilu berintegritas.
Sedangkan untuk cakupan/besaran sumber data dan teknik
pengumpulan data pada kajian ini adalah menggunakan metode pendekatan triangulation atau suatu pendekatan
terhadap pengumpulan data, sebagaimana dikemukakan Boy S. Sabarguna (2006), “dengan
mengumpulkan bukti-bukti dari dokumen-dokumen pemeriksaan dan persidangan secara
saksama dan dari berbagai sumber yang berbeda-beda dan berdiri sendiri-sendiri,
dan seringkali juga dengan alat yang berbeda-beda (contoh: membandingkan
kesaksian lisan dengan catatan tertulis), atau mengacu pada perspektif teoritis
yang berbeda”. (p. 27).
Kajian tulisan ini berusaha menjelaskan dengan mendasarkan
pada data-data primer dan sekunder yaitu data dan dokumen yang termuat dalam
putusan serta dokumen pendukung lain. Adapun metode yang digunakan di dalam objek
kajian pengumpulan data yaitu kajian terhadap
Putusan No. 216/DKPP-PKE-III/2014, No. 215/DKPP-PKE-III/2014, dan No. 255/DKPP-PKE-III/2014 dan kajian pustaka yang mendalam. Dengan menggunakan instrumen dan
metode seperti ini maka akan sangat berguna karena saling mengisi dan
melengkapi. Karena kajian putusan dan metode pengumpulan dan analisis data
bersifat kepustakaan merupakan metode yang lazim dilakukan di dalam sebuah
penelitian.
III.
PEMBAHASAN
Pemilu berintegritas (electoral integrity)
tidak hanya menjadi fokus perhatian negara-negara maju dan berkembang tetapi
sudah menjadi pusat perhatian pada perbaikan kualitas demokrasi negara-negara
di dunia. Hal ini terlihat dari negara-negara maju dan berkembang melalui
masing-masing aktor pemimpinnya sudah mulai memikirkan dan mendorong isyu
percepatan pentingnya membangun infrastruktur etik sebagai instrumen penopang
sistem pemilu dan demokrasi yang berintegritas (democratic electoral
processes). “Integritas penyelenggaraan pemilu ditata baik dalam kerangka
manajemen organisasi penyelenggaraan pemilu yang tertib dan profesional ataupun
dalam kerangka mengelola dan menjalankan peraturan administrasi pemilu yang
meliputi pengaturan teknis-operasional tahapan dalam bentuk perumusan peraturan
internal KPU dan Bawaslu yang sejalan dengan UU, menegakkan peraturan tindak
pidana pemilu, maupun terkait dengan pelaksanaan peraturan penegakan kode etik
penyelenggara pemilu”. Penegakkan kode etik penyelenggara pemilu adalah bagian
substansial dalam membangun kualitas pemahaman dan menanamkan kesadaran ethics
bagi semua penyelenggara pemilu mengenai pentingnya melaksanakan tugas dan
fungsi secara profesional dan independen. DKPP sebagai lembaga penegak kode
etik penyelenggara pemilu dalam menjaga dan mengawal kehormatan pileg dan
pilpres 2014 telah menerapkan prinsip-prinsip negara hukum yang beretika (rule
of law and the rule of ethics) secara bersamaan.
Hal inilah yang tercermin dalam kasus penanganan pelanggaran
kode etik penyelenggara pemilu khususnya pileg dan pilpres 2014 yang ditangani
DKPP melalui putusan No. 216/DKPP-PKE-III/2014, No. 215/DKPP-PKE-III/2014, dan No. 255/DKPP-PKE-III/2014 terkait kasus pileg yang
melibatkan ketua dan anggota KPU Kota Gorontalo dan ketua dan anggota KPU RI
pada dugan pelanggaran kode etik pilpres 2014 yang diadukan pasangan
capres-cawapres nomor urut 1 melalui kuasa hukum mereka M.
Mahendradatta, Didi Supriyanto, Sutejo Sapto
Jalu, Warno, Sahroni, Guntur Fattahillah, dan Ega Windratno, dan berdasarkan Putusan DKPP No. 255/DKPP-PKE-III/2014 kelimanya dijatuhi sanksi
peringatan.
Dalam putusan No.217/DKPP-PKE-III/2014,
No.216/DKPP-PKE-III/2014,
dan No.215/DKPP-PKE-III/2014
terkait penanganan kode etik penyelenggara pemilu pada pileg 2014 dengan teradu
ketua dan anggota KPU Kota Gorontalo dengan melihat pengadu memiliki kedudukan
hukum (legal standing), lalu dikeluarkanlah
putusan yang mengabulkan pengaduan pengadu untuk seluruhnya. Putusan mengabulkan pengaduan untuk seluruhnya
dengan menjatuhkan sanksi berupa
pemberhentian tetap kepada teradu I hingga teradu V masing-masing
Thaib Saleh, Abdullah Mansyur, Asni Abu Bakar, Jusrin Kadir, dan Nurul Syamsu
Pana selaku ketua dan Anggota KPU Kota Gorontalo dan
sekaligus memerintahkah KPU Provinsi Gorontalo untuk menindaklanjuti putusan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
memerintahkan KPU RI dan Bawaslu RI mengawasi pelaksanaan putusan”.
Sedangkan
dalam putusan nomor No. 255/DKPP-PKE-III/2014 terkait pengaduan perkara
pelanggaran kode etik pada penyelenggara pemilihan presiden dan wakil presiden
(pilpres) 2014 yang diadukan pasangan capres cawapres nomor urut 1
Prabowo-Hatta dan teradu ketua dan anggota KPU RI, putusan dengan menerima sebagian pengaduan dengan menjatuhkan sanksi berupa peringatan kepada teradu I hingga teradu VII yakni Husni
Kamil Manik, Ferry Kurnia Rizkiansyah, Ida
Budhiati, Arif Budiman, Hadar Nafis Gumay, Sigit
Pamungkas, dan Juri Ardiantoro (Ketua dan Anggota KPU RI), dan memerintahkan Bawaslu RI mengawasi
terhadap pelaksanaan putusan dimaksud“.
Dalam pertimbangan putusan terkait
penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu pada pelaksanaan pileg
2014 dengan teradu ketua dan anggota KPU Kota Gorontalo yang diadukan oleh H. Zulkarnain M. Dunda, Hadi Sutrisno Daud, dan Rauf Ali,
pada intinya dinyatakan bahwa para pengadu
menganggap ketua dan anggota KPU Kota Gorontalo telah menetapkan
Zulkarnain M. Dunda sebagai caleg terpilih anggota DPRD Kota Gorontalo di dalam Berita Acara
No. 25/BA/V/2014 tanggal 28 Mei 2014 sesuai rapat pleno tertutup penetapan calon
terpilih anggota DPRD Kota Gorontalo pada pemilu DPR, DPD, dan DPRD 2014 yang dituangkan dalam Keputusan KPU Kota Gorontalo
No.16/Kpts/KPU.Kota-027.436571/2014 tanggal 28 Mei 2014 tentang Penetapan Calon
Terpilih Anggota DPRD Kota Gorontalo Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014. Pada tanggal 2 Juni 2014, terjadi pergantian anggota KPU Kota
Gorontalo dengan menyisakan seorang nama Jusrin Kadir, (teradu IV),
setelah 9 (sembilan) hari dilantik sebagai Ketua dan
anggota KPU Kota Gorontalo, teradu menggelar rapat pleno dengan
salah satu agenda mengevaluasi dan merevisi Keputusan KPU No.
16/Kpts/KPU.Kota-027.436571/2014 tanggal 28 Mei
2014. Rapat pelno memutuskan menggugurkan caleg terpilih Zulkarnain
M. Dunda dan mengganti dengan Hasyim Alhabsyi melalui Surat Keputusan
No. 17/Kpts/KPU.Kota-027.436571/2014 tentang
Peggantian Calon Terpilih Anggota DPRD Kota Gorontalo
Partai Bulan Bintang Daerah Pemilihan Kota Gorontalo III
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tanggal 11 Juni 2014. Pengadu menilai
keputusan para teradu merupakan pelanggaran berat terhadap ketentuan yang hanya pada surat penegasan
yang diajukan ketua DPC
PBB Kota Gorontalo No. B-213/PCKGT-Sek./07/1435 perihal Pengesahan
Kepastian Hukum Atas
Keputusan DPC PBB Kota Gorontalo.
Padahal, DPP PBB melalui Surat No.
B-1219/DPP-Sek/07/1435 yang ditujukan kepada Ketua KPU
Kota Gorontalo sudah dikatakan, Surat DPC PBB Kota
Gorontalo No. SK.PCKGT/007/2014, tidak sah karena melanggar UU
No. 8 Tahun 2012,
dan AD/ART
PBB. Selain itu, dengan merujuk bukti Keputusan No. SKR.PP/1296/2014 yang memuat jabatan pengadu I sebagai wakil sekretaris jenderal DPP PBB dan sesuai Keputusan No. A-1272/DPP-Sek/09/1435 yang memulihkan Zulkarnain
M. Dunda, DPP PBB menyampaikan kepada teradu,
berdasarkan ketentuan AD/ART PBB, apabila seorang anggota pengurus
dinilai melanggar disiplin partai, maka forum pemeriksaan tindakan indisipliner berada di tangan Badan Kehormatan sesuai tingkatannya. Dengan
demikian, jabatan pengadu I sebagai wakil sekjen DPP PBB, maka kewenangan memeriksa adalah BK DPP PBB dan bukan BK DPC PBB. Pada intinya pengadu
berpendapat baha para teradu telah melakukan pelanggaran kode etik terkait penolakan terhadap 3
(tiga) rekomendasi Panwaslu, yakni No 150/Panwaslu-Kota/Gtlo/VI/2014, terkait materi perkara a quo dan sekaligus merupakan tindakan
yang tidak menghormati sesama lembaga penyelenggara pemilu.
Sementara dalam konteks penanganan
pelanggaran kode etik pilpres 2014 yang menjadikan ketua dan anggota KPU RI
sebagai teradu, putusan DKPP mendasarkan pada hasil verifikasi berkas dan
kajian dokumen pengaduan yang kemudian pleno putusan sebagaimana dalam
pertimbangan putusan dinyatakan, pada intinya teradu melakukan pelanggaran kode
etik penyelenggara pemilu dengan melakukan Pembukaan Kotak Suara yang tersegel, karena pada hari Jumat tanggal 25 Juli 2014, teradu mengeluarkan
Surat Edaran No. 1446/KPU/VII/2014 tentang Penyiapan
dan Penyampaian Formulir Model A5 PPWP dan Model C7 PPWP jo Surat Edaran No. 1449/KPU/VII/2014 tanggal 25 Juli 2014 tentang
Sengketa PHPU Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014. Surat Edaran KPU memuat
perintah kepada seluruh KPUD melakukan Pembukaan Kotak Suara yang tersegel. Berdasarkan Pasal 149 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden dan PKPU Nomor 21 Tahun 2014 yang
menyatakan “KPU Kabupaten/Kota menyimpan menjaga dan mengamankan keutuhan kotak
suara setelah pelaksanan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
pasangan calon sehingga KPU/KIP Kabupaten/Kota wajib menyimpan, menjaga dan
mengamankan kotak suara”. Tindakan KPU mengeluarkkan Surat Edaran untuk pembukaan kotak suara melanggar
PKPU Nomor 21 Tahun 2014. KPU/KIP
Kabupaten/Kota wajib menyimpan dan menjaga dan mengamankan keutuhan seluruh
kotak suara yang berisi surat suara dari seluruh TPS di wilayah
kerjanya dan formulir ditingkat TPS dalam keadaan tersegel. Surat
Edaran ini juga melanggar
Pasal 38 ayat (3) PKPU Nomor 31 Tahun 2014, yang pada pokoknya mengatur bahwa KPU/KIP Kabupaten/Kota wajib menyimpan kotak suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada tempat yang memadai dan dapat dijamin
keamanannya.
A. Tugas dan
Wewenang DKPP
Berdasarkan ketentuan UU No. 15 Tahun
2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, DKPP dibentuk dengan tujuan untuk menjaga dan
mengawal kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota penyelenggara
pemilu. Pada 110 (1) UU No 15 Tahun
2011 dinyatakan, Penyelenggara Pemilu yakni terdiri dari anggota KPU,
KPU Provinsi, KPU Kab/Kota, PPK, PPS, PPLN, KPPS, KPPSLN, serta Anggota
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kab/Kota, Panwascam, PPL, dan Was LN. Adapun Kode Etik berlaku bagi jajaran
sekretariat penyelenggara Pemilu dengan pengenaan sanksinya diserahkan kepada
atasan masing-masing sesuai ketentuan disiplin dan kode etik kepegawaian. Dalam
menjalankan tugas dan wewenang kelembagaan dalam penegakan kode etik
penyelenggara pemilu, DKPP menerima pengaduan/laporan
dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dengan melakukan penyelidikan, verifikasi, dan pemeriksaan terhadap setiap pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilu oleh pengadu/pelapor, dan sekaligus menetapkan putusan. Putusan tentu
melalui prosedur dan tahapan-tahapan peradilan etik DKPP yang berdasarkan pada
peraturan internal yakni Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP Nomor 13
Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, dan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik
Penyelenggara Pemilu dan Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman
Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
DKPP
juga menyampaikan hasil putusan kepada pihak-pihak
terkait untuk ditindaklanjuti. DKPP memanggil penyelenggara
pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk
memberikan penjelasan dan pembelaan secara terbuka dalam persidangan kode etik yang juga
dilaksanakan dengan terbuka untuk umum, serta memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk
dimintai keterangan termasuk dokumen atau bukti lain, dan putusan
yang memberikan sanksi kepada penyelenggara pemilu. Putusan DKPP
memuat sanksi kepada penyelenggara pemilu yang disidangkan dalam kode etik
dengan memperhatikan dan memastikan tergantung kapasitas pembuktian pelanggaran
sehingga sanksi dapat berupa peringatan ringan, peringatan, peringatan keras,
pemberhentian sementara hingga pemberhentian tetap. Dalam maknanya yang lebih
khusus DKPP mempunyai tugas dan wewenang memeriksa, mengadili, dan memutus
pengaduan dugaan pelanggaran kode etik dengan teradu anggota KPU, anggota
Bawaslu serta sekretariat dan jajaran di bawahnya.
DKPP
melaksanakan persidangan kode etik secara terbuka dengan prinsip cepat dan
sederhana. Berlangsung tertib, khidmat, aman, lancar, dan berwibawa. Tidak dikenai
biaya. Putusan DKPP bersifat final dan mengikat, wajib dilaksanakan KPU dan
diawasi Bawaslu. Putusan disampaikan kepada para pihak begitu usai dibacakan. Pada hakikatnya dugaan pelanggaran kode etik
diselesaikan melalui prinsip-prinsip selayaknya peradilan lazimnya, dengan
menempatkan Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No. 13 Tahun 2012, No. 11
Tahun 2012, dan No. 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai
"hukum materil"-nya, serta Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2012 tentang
Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai "hukum
formil"-nya.
Namun demikian, setiap
laporan/pengaduan, DKPP terlebih dahulu melakukan verifikasi administrasi.
Dengan menerima pengaduan, DKPP tidak serta-merta menyidangkannya. Tetapi
terlebih dahulu akan dikaji oleh sekretariat DKPP. Verifikasi administrasi
dimaksud setidaknya meliputi jelasnya identitas pengadu, teradu, barang bukti
dengan minimal dua alat bukti, uraian kejadian mengenai tindakan/sikap Teradu,
yakni waktu perbuatan dilakukan (tempus), tempat perbuatan dilakukan (lokus),
perbuatan yang dilakukan (fokus), dan cara perbuatan tersebut dilakukan
(modus). Dalam persidangan DKPP, pengadu diberi kesempatan menyampaikan pokok
aduannya, demikian juga Teradu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk membela
diri terhadap tuduhan yang disampaikan pengadu. Apabila diperlukan, baik
pengadu maupun teradu dapat menghadirkan saksi-saksi termasuk keterangan ahli
di bawah sumpah serta keterangan pihak Terkait lainnya. Dalam pleno penetapan
putusan dipastikan bahwa penetapan putusan diambil dalam rapat pleno DKPP
dilakukan secara tertutup, mendengarkan pertimbangan/pendapat anggota DKPP
untuk selanjutnya diputuskan secara musyawarah mufakat/berdasarkan suara
terbanyak. Apabila terjadi perbedaan menyangkut hal ikhwal yang luar biasa,
setiap anggota majelis yang berpendapat berbeda dapat menuliskan pendapat yang
berbeda (dissenting opinion). Putusan
DKPP dibacakan di dalam suatu persidangan dengan memanggil pihak Teradu dan
Pengadu. Adapun amar putusan DKPP memastikan bahwa (1) pengaduan tidak dapat
diterima; (2) teradu terbukti melanggar; dan (3) teradu tidak terbukti
melanggar. Apabila amar putusan dinyatakan terbukti melanggar, DKPP menjatuhkan
sanksi: teguran tertulis, pemberhentian
sementara, dan pemberhentian tetap. Namun apabila putusan dinyatakan sebagai
tak terbukti, DKPP merehabilitasi pihak teradu.
Dalam konteks itulah bila merujuk pada ketentuan
Pasal 112 ayat (12) UU No 15 Tahun 2011, Putusan DKPP bersifat final dan
mengikat, serta sesuai Ketentuan Pasal 8 ayat (4) huruf k, Pasal 9 ayat (4)
huruf k, dan Pasal 10 ayat (4) huruf k, dan Pasal 112 ayat (13) UU No 15 Tahun
2011, dan dengan memenuhi ketentuan Pasal 73 ayat (3) huruf b angka 12 UU No 15
Tahun 2011, KPU dan jajarannya wajib melaksanakan Putusan DKPP dan Bawaslu
bertugas mengawasi pelaksanaan Putusan DKPP ini.
Dalam sebuah makalahnya ketua DKPP Jimly Asshiddiqie
(2014: 3), tugas dan wewenang DKPP dalam penegakan kode etik penyelenggara
pemilu, yang disampaikan pada Kegiatan
Pelatihan Peningkatan Kemampuan Penyidikan Tindak Pidana Pemilihan Umum Tahun
2014, di Wisma PKBI, Jalan Hang Jebat III/F-3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan,
pada Hari Selasa (21/1/2014), mengatakan, “Putusan DKPP bersifat final dan
mengikat. Final artinya tidak tersedia lagi upaya hukum lain atau upaya hukum
yang lebih lanjut sesudah berlakunya putusan DKPP sejak ditetapkan dan
diucapkan dalam sidang pleno terbuka DKPP terbuka untuk umum. Mengikat artinya
putusan itu langsung mengikat dan bersifat memaksa sehingga semua lembaga
penyelenggara kekuasaan negara dan termasuk badan-badan peradilan terikat dan
wajib melaksanakan putusan DKPP itu sebagaimana mestinya. Pelaksanaan atau
eksekusi putusan DKPP itu wajib ditindak-lanjuti sebagaimana mestinya oleh KPU,
Bawaslu, atau pun oleh Pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait”.
Putusan
DKPP yang memberhentikan anggota KPU Provinsi wajib ditindaklanjuti oleh KPU
Pusat dengan menerbitkan Surat Keputusan Pemberhentian yang bersangkutan dari
kedudukannya sebagai anggota KPU Provinsi yang bersangkutan. Keputusan KPU
Pusat itu hanya bersifat administratif, karena pemberhentian tersebut berlaku
sejak putusan DKPP dibacakan dalam sidang pleno DKPP yang terbuka untuk umum.
Demikian pula apabila yang diberhentikan oleh putusan DKPP itu adalah anggota KPU
Pusat atau pun anggota Bawaslu Pusat, maka surat pemberhentiannya secara
administratif harus dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden yang
pemberhentiannya itu berlaku sejak tanggal putusan DKPP dibacakan atau
diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.
Dengan
demikian, menurut Jimly (2013), “putusan-putusan DKPP dan keputusan-keputusan
administratif atau yang biasa dikenal sebagai keputusan-keputusan tata usaha
negara yang melaksanakan putusan DKPP tersebut, tidak dapat dijadikan objek
perkara di pengadilan, khususnya di Pengadilan Tata Usaha Negara. Karena
menurut UU tentang Penyelenggara Pemilu, putusan DKPP bersifat final dan
mengikat. Sifat final dan mengikat ini sudah dipahami bersama. Putusan DKPP
tidak berkaitan dengan proses tahapan pemilihan umum. Sebabnya ialah, objectum
litis perkara di DKPP hanya berkaitan dengan isu persona aparat penyelenggara
pemilihan umum, maka dengan sendirinya putusan DKPP pun tidak mengandung akibat
hukum terhadap proses atau tahapan pemilihan umum. Objek perkara di DKPP juga
tidak tergantung kepada ‘tempos delicti’ atau saat kapan suatu perbuatan
melanggar kode etik” (p. 5).
B. Analisis
1.
Modus Pelanggaran
Kode Etik
Berdasarkan
data-data pengaduan/laporan yang diterima DKPP selama pelaksanaan pileg dan
pilpres 2014 menunjukan pelanggaran kode etik pemilu dengan modus-modusnya
lebih banyak pada KPU di semua jenjang. Modus pelanggaran kode etik yang
menyebabkan pemberhentian tetap umumnya karena keberpihakan anggota
penyelenggara pada calon tertentu. Modus-modus pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu tersebut terungkap melalui persidangan DKPP yang
diselenggarakan dengan terbuka. Modus pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilu ini seperti diungkapkan sebelumnya, yakni selalu bermuara dari
ketidaknetralan atau keberpihakan anggota penyelenggara pada calon peserta
pemilu. Selain keberpihakan, melalaikan tugas dan fungsi yang semestinya,
penyelenggara juga kerap menggunakan jabatan/wewenang untuk kepentingan
tertentu. Penyelenggara pemilu juga kerap didapatkan menerima suap dalam
penetapan pasangan calon, proses seleksi anggota penyelenggara, dan tahap
penetapan paslon yang cenderung tidak netral.
Berdasarkan data pengaduan/laporan
yang diterima DKPP, khususnya setelah
penyelenggaraan pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan umum presiden dan wakil
presiden (pilpres) 2014 menunjukan pelanggaran kode etik pemilu dengan
modus-modusnya lebih banyak pada KPU di semua jenjang. Modus pelanggaran kode
etik yang menyebabkan pemberhentian tetap umumnya karena keberpihakan anggota
penyelenggara pada calon tertentu. Modus-modus pelanggaran ini terungkap melalui persidangan DKPP yang
diselenggarakan dengan terbuka. Modus pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilu selalu bermuara dari ketidaknetralan atau keberpihakan anggota
penyelenggara pada calon peserta pemilu. Selain keberpihakan, melalaikan tugas
dan fungsi yang semestinya, penyelenggara juga kerap menggunakan jabatan/wewenang
untuk kepentingan tertentu. Penyelenggara pemilu sering didapatkan menerima suap dalam penetapan pasangan
calon, proses seleksi anggota penyelenggara, dan tahap penetapan paslon yang
cenderung tidak netral.
Dengan
permasalahan diatas, maka dapat disimpulkan, proses demokrasi di negara kita
ini masih belum berjalan sesuai dengan harapan dari praktik dan transformasi
nilai-nilai demokrasi itu sendiri, apalagi dari proses pelaksanaan demokrasi
itu akan dapat membawa perubahan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat
secara menyeluruh, itu sangat sulit diharapkan dan untuk sementara waktu kita
hanya bisa mengibaratkan hanya sebagai mimpi yang entah kapan akan terwujud. Dewasa ini sebagian pelaku politik
potensial dengan kualitas SDM yang memadai masih terpinggirkan dalam proses
demokrasi karena terlalu dominannya money
politics yang pada gilirannya mencederai output politik. Realitas tersebut
pada gilirannya berkonsekuensi pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
perangkat hukum yang mengatur sistem dan proses
pemilu/pilkada. Pemilu dipraktikkan di Indonesia sebagai salah satu wujud
reformasi terkait dengan obsesi untuk mengembangkan dan menumbuhsuburkan
demokrasi. Proses pemilu/pilkada memang merupakan indikator tumbuhnya
(transisi) demokrasi, namun praktik (proses, hasil dan dampak) pemilu/pilkada
selama era reformasi juga menimbulkan sejumlah masalah yang runyam.
2.
Penanganan Kode Etik Pemilu Legislatif 2014
Secara umum penanganan
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu pasca Pileg dan Pilpres 2014 dapat diketahui bahwa, secara
keseluruhan DKPP menerima pengaduan sebanyak 800 kasus dugaan pelanggaran kode
etik, dan setelah pelaksanaan pileg
jumlah yang masuk ke DKPP sebanyak 646. Untuk pengaduan pelanggaran kode etik
pada tahapan pelaksanaan, setelah dilakukan analisis dan kajian mendalam
ternyata ditemukan tidak semua pengaduan/laporan harus disidangkan sehingga
pleno pimpinan DKPP
kemudian memutuskan untuk didismiss. Dari total pengaduan 800 pelanggaran kode etik
dengan rincian sebagai berikut: 526 (65,75%) dinyatakan dismis, dan 274
(34,25%) kasus disidangkan. Dari jumlah 274 kasus yang sidangkan, sebanyak 296
(46,91%) anggota direhabilitasi karena tidak terbukti, 210
(33,28%) diberikan peringatan tertulis, 5 (0,79%) pemberhentian sementara, dan
pemberhentian tetap sebanyak 120 (19,02%) anggota penyelenggara pemilu. Ini
merupakan akumulasi dari perkara yang diputus sebanyak 158 yang terdiri dari
133 putusan dan 7 ketetapan.
Adapun pengaduan
dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu anggota legislatif pasca
pelaksanaan yang ditangani DKPP, yakni sebanyak 646 pengaduan, dari jumlah
pengaduan tersebut kemudian dalam proses verifikasi berkas pengaduan
terdapat 386 (59,75%) dinyatakan dismis, sehingga
dengan demikian, sebanyak 260 (40,25%) perkara disidangkan. Dalam persidangan
DKPP, jumlah perkara yang diputus sebanyak 122, dan menghasilkan sebanyak 102
putusan, serta sebanyak 3 ketetapan yang masing-masing 237 (47,31%) dinyatakan
direhabilitasi, 157 (31,34%) diberikan peringatan tertulis, 5 (1%)
pemberhentian sementara dan 102 (20,35%) diberhentian dengan tetap.
Grafik
1
Persidangan
dalam
Pemilu Legislatif
Sepanjang
Periode Juni 2014-Juni 2015
Sumber:
Diolah dari Buku Tahun Ke- 3 DKPP / 12 Juni 2015.
Modus pelanggaran penyelenggaraan Pileg 2014 seperti telah dikemukakan
sebelumnya yakni umumnya pada proses pencalonan, hasil penetapan KPU yang tidak
cermat, gejolak internal partai politik dan persaingan antar calon di daerah
pemilihan yang sama, yang tidak hanya berbeda partai politik tetapi juga
persaingan internal partai politik pun masih menjadi problem tersendiri yang
membutuhkan perbaikan dalam waktu panjang. Problem akut yang kita hadapi juga
adalah praktik oligarki kekuasaan internal partai politik. pada pelaksanaan
Pileg 2014 ternyata hampir sebagian besar praktik kecurangan/pelanggaran
terjadi di tingkat Kecamatan yang melibatkan baik secara langsung maupun tak
langsung petugas PPK dan Panwascam.
3.
Penangangan Kode Etik Pilpres 2014
Pengaduan dugaan
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu pasca pelaksanaan Pilpres 2014, DKPP
menerima sebanyak 21 pengaduan. Dari 21 pengaduan tersebut, 7 (33,33%)
pengaduan dinyatakan dismiss, dan terdapat 14 (66,66%) perkara disidangkan. Berdasarkan proses persidangan kode etik
DKPP yang dilaksanakan secara terbuka untuk umum ini ditemukan baik berbagai bukti pelanggaran maupun yang tidak
terbukti dan DKPP mengeluarkan sanksi kode etik bagi
yang terbukti melanggar dengan berdasarkan kadar kesalahan, dan juga merehabilitasi
nama baik anggota KPU dan Bawaslu yang terbukti tidak bersalah. Dari 14 perkara
yang DKPP sidangkan, dan hasil persidangan kode etik terkait pengaduan
pelanggaran kode etik Pilpres, terdapat 16 perkara yang diputus, 14 putusan,
dan 1 ketetapan sehingga dengan demikian, anggota KPU Bawaslu yang
direhabilitasi sebanyak 26 (36,11%), yang diberikan peringatan
tertulis sebanyak 37 (51,39%), tidak ada pemberhentian sementara (0), dan
terdapat 9 (12,5%) anggota penyelenggara diberhentikan secara tetap.
Grafik
2
Persidangan DKPP Menurut
Pilpres Tahun 2014
Sumber:
Diolah dari Buku Tahun Ke- 3 DKPP / 12 Juni 2015.
Pelanggaran kode etik pada penyelenggaraan pilpres 2014 yang diadukkan ke DKPP oleh Tim pasangan calon presiden dan
calon wakil presiden Prabowo-Hatta dan Tim pasangan Jokowi-JK serta dari unsur
masyarakat dengan modus pelanggaran perihal pembukaan kotak suara oleh KPU,
persoalan rekomendasi surat SPKTB, persyaratan calon presiden, dan kasus yang
boleh dikatakan cukup menghebohkan publik yakni pelaksanaan Pilpres di
Kabupaten Dogiyai Papua pada akhirnya dapat ditangani dengan baik oleh DKPP.
Modus lain adalah penggunaan fasilitas negara dan DPKTb yang dipersolakan oleh
Tim pasangan Prabowo-Hatta.
Para pengadu baik Tim pasangan Prabowo-Hatta dari calon presiden dan
calon wakil presiden nomor urut 1 maupun Tim pasangan calon presiden dan calon
wakil presiden Jokowi-JK nomor urut 2 dan kelompok masyarakat yang
mengatasnamakan unsur masyarakat mengadukkan KPU Pusat/Provinsi/Kabupaten Kota,
Bawaslu Pusat/Bawaslu Provinsi/Panwaslu Kabupaten Kota, dan terhadap semua
pengaduan kode etik penyelenggara pemilu, DKPP memprosesnya berdasarkan fungsi
dan wewenang yang dimiliki.
Modus
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan anggota penyelenggara
pemilu yakni KPU dan Bawaslu di semua jajaran dapat diketahui dan terkonfirmasi
dengan jelas pada proses persidangan DKPP. Dengan mekanisme sistem persidangan
kode etik yang terbuka dapat membantu majelis persidangan untuk menganalisis
dengan lebih cermat lagi berdasarkan data, dokumen laporan/pengaduan yang
diberikan pelapor/pengadu. Dengan demikian, dalam pleno pengambilan kebijakan
terkait putusan DKPP tetap berpedoman pada hasil proses persidangan kode etik.
Adapun modus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu selanjutnya bisa
dilihat pada tebel di bawah ini:
Tabel
Memuat
modus-modus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, baik yang dilakukan KPU
maupun Bawaslu di semua jenjang yang pernah diproses DKPP
No
|
Jenis
|
Jajaran KPU
|
%
|
Jajaran
Bawaslu
|
%
|
Total
|
1
|
Netralitas
|
22
|
75,9
|
7
|
24,1
|
29
|
2
|
Profesionalitas
|
36
|
75
|
12
|
25
|
48
|
3
|
Penetapan
Paslon
|
72
|
100
|
-
|
0
|
72
|
4
|
Penetapan
Paslon Terpilih
|
9
|
100
|
-
|
0
|
9
|
5
|
Penanganan
DPT
|
6
|
100
|
-
|
0
|
6
|
6
|
Penyalahgunaan
Jabatan/Wewenang
|
2
|
50
|
2
|
50
|
4
|
7
|
Mengabaikan
Putusan Pengadilan
|
5
|
100
|
-
|
0
|
5
|
8
|
Melalaikan
Tugas
|
4
|
100
|
-
|
0
|
4
|
9
|
Menerima Suap
|
-
|
0
|
2
|
100
|
2
|
10
|
Seleksi
anggota Penyelenggara Pemilu
|
14
|
37,8
|
23
|
62,2
|
37
|
11
|
Konflik dengan
Sekretariat
|
1
|
50
|
1
|
50
|
2
|
|
Total
|
171
|
76,9
|
46
|
23,1
|
217
|
Sumber:
Data Diolah Sekretariat DKPP per 8 Juni 2015
Jumlah
penanganan perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu baik dilakukan
KPU dan Bawaslu di semua jajaran sepanjang pertengahan tahun 2012 sampai dengan
akhir tahun 2013 yang diterima dan diproses DKPP ini menunjukan ada perubahan
signifikan dari relasi antara dampak putusan sidang kode etik DKPP terhadap
perubahan sikap dan perilaku anggota penyelenggara pemilu dalam penyelenggaraan
pemilu dan pemilukada di berbagai daerah sepanjang tahun 2013. Artinya, dampak
positif dari putusan DKPP telah mengubah pemahaman etika politik dengan
meningkatkan kesadaran ethics anggota
penyelenggara pemilu mengenai pentingnya menyelenggarakan pemilu dan pemilukada
dengan luber dan jurdil.
Kinerja
baik DKPP ini merupakan prospek yang positif bagi pengembangan tradisi
berdemokrasi yang sehat. DKPP dengan produk putusan yang final dan mengikat
telah memberikan daya sumbang yang positif bagi upaya perbaikan dan penataan
sistem etika politik dan etika pemerintahan di era modern. Putusan DKPP
setidaknya menjadi tolok ukur sejauhmana perubahan sikap dan perilaku serta
sebera peduli anggota penyelenggara pemilu meningkatkan dan mengamalkan
nilai-nilai ethics khususnya dalam
menjalankan peraturan dan perundang-undangan penyelenggara pemilu. Dalam
mengatasi dan mengurangi praktek pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu
dengan berdasarkan data-data yang diadukan dan diproses DKPP, maka strategi
yang dilakukan ialah berusaha semaksimal untuk pencegahan. Strategi pencegahan dengan sosialisasi, peningkatan
kapasitas penanganan melalui Bimbingan Teknis, kampanye yang gencar, baik
kampaye langsung maupun melalui media massa. Dengan strategi tersebut
diharapkan agar pemangku kepentingan turut mengawasi dan melaporkan apabila
menemukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Sementara proses persidangan DKPP dilakukan dengan terbuka untuk umum.
Sebuah peradilan etika yang betul-betul modern karena tidak ada yang
ditutup-tutupi dalam persidangan. Inilah yang menjadi perhatian lembaga penegak
kode etik penyelenggara pemilu. Prinsipnya, semua proses kerja DKPP
diselenggarakan secara terbuka. Maka semua pengaduan/laporan harus melalui
tahapan yang teratur. Setiap laporan dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu,
tim kampanye, dan pemilih selalu diterima dan diverifikasi untuk dilakukan
kajian mendalam untuk dipastikan di pleno apakah diproses atau ditolak karena
tidak memenuhi dua unsur berupa keterangan saksi; keterangan ahli;
surat/tulisan; petunjuk; keterangan pihak atau data dan informasi yang dapat
dibaca atau didengar karena terdapat pelapor/pengadu yang hanya mencari-cari
kesalahan—tidak siap kalah dan menjadikan penyelenggara sebagai tempat
pelampiasan emosi. Proses verifikasi dan kajian dilakukan dengan penuh
ketelitian dan dalam persidangan baik pengadu, teradu, dan pihak terkait
diberikan kesempatan yang sama untuk saling beradu argumentasi. Apabila dalam persidangan Majelis Sidang
memastikan bahwa teradu terbukti melanggar kode etik maka DKPP menjatuhkan
sanksi yakni dari sanksi teguran tertulis; pemberhentian
sementara; atau pemberhentian tetap.
Tugas DKPP menerima pengaduan/laporan dugaan
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, melakukan penyelidikan, verifikasi,
dan pemeriksaan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilu, menetapkan putusan dan menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait
untuk ditindaklanjuti. DKPP juga memiliki wewenang memanggil terlapor yang diduga
melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan
pembelaan. Memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait
untuk dimintai keterangan termasuk dokumen atau bukti lain. Memberikan sanksi
kepada penyelenggara pemilu yang
terbukti melanggar kode etik. Kasus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang melibatkan anggota
penyelenggara seiring berjalannya waktu semakin terkendali dengan
Putusan-putusan DKPP yang baik memberhentikan (pemecatan), peringatan maupun
rehabilitasi.
4.
Telaah Putusan DKPP dan Pospek Penegakan Kode Etik
Betapapun pelanggaran kode etik
pemilu legislatif dan pilpres 2014 telah menguras energi optimisme masyarakat,
namun Putusan DKPP Nomor 16/DKPP-PKE-III/2014,
dan No. 215/DKPP-PKE-III/2014, dan No. 255/DKPP-PKE-III/2014 terkait penanganan kasus
dugaan dalam pelanggaran pelaksanaan pileg dan pilpres 2014 sebagaimana
dilaporkan oleh Zulkarnain M. Dunda, Hadi Sutrisno Daud, dan
Rauf Ali, yang mengadukan ketua dan anggota KPU
Kota Gorontalo, yakni, Thaib Saleh,
Abdulah Mansyur, Asni Abu Bakar,
Jusrin Kadir, dan Nurul Syamsu Pana,
yang disidangkan oleh DKPP dalam perkaraka pelanggaran kode etik
penyelenggaraan pileg, dan DKPP juga menyidangkan para teradu lain dalam kasus
pilpres yang diadukan yakni dari pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa melalui kuasa hukum mereka M. Mahendradatta, Didik
Supriyanto, Sutejo Sapto Jalu, Warno, Sahroni, Guntur Fattahillah, Ega Windratno, yang mengadukan ketua dan anggota KPU RI, Husni Kamil Manik,
Ferry Kurnia Rizkiansyah, Ida Budhiati,
Arif Budiman, Hadar Nafis Gumay,
Sigit Pamungkas, dan Juri Ardiantoro,
ketujuhnya ditempatkan sebagai teradu dalam penanganan kasus dugaan pelanggaran
kode etik penyelenggara pilpres 2014 tidak sependapat dengan persepsi sebagian
kalangan bahwa pemilu 2014 memiliki potensi kecurangan dan mengancam legitimasi
politik pemerintahan yang dibentuk.
Untuk menjawab pesimisme publik pada
pemilu 2019 DKPP setidaknya telah menunjukkan terobosan positif dengan
menjadikan lembaga peradilan etik terbuka ini sebagai rule model pemilu
berintegritas. Hukum di satu sisi ditegakan dan pada sisi yang sama etika pun
harus ditegakan. Pemilu 2014 DKPP telah memastikan terciptanya ruang kompetisi
bagi peserta pemilu yang fair—pemilu
sebagai instrumen penting untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan good
governance dan pelayanan publik
yang baik (excellent
management of public services and policies). Selama ini sanksi bagi pejabat
negara dengan pendekatan hukum terasa lamban karena butuh waktu panjang
sehingga berimplikasi negatif terhadap institusi negara. Institusi yang
dipimpin pejabat fungsional maupun struktural yang tengah menghadapi kasus
korupsi misalnya, proses hukumnya benar-benar memakan waktu lama dan mengganggu
kepercayaan publik pada lembaga bersangkutan. Artinya, proses yang lamban dan
bersangkutan belum dinyatakan tersangka tetapi institusi sudah tersandra dengan
distrust.
Oleh sebab itu untuk mewujudkan
kemandirian dan imparsialitas kelembagaan KPU dan Bawaslu diperlukan penegakan rule
of law and the rule of ethics. Penyelenggara pemilu yang tidak berpihak dan
dalam praktik terlihat tidak berpihak. Anggota KPU dan Bawaslu independen dan
harus terlihat netral. Selama publik melihat tidak independen maka tugas utama
bagaimana meyakinkan publik bahwa mereka independen. Bagaimana menggunakan
ruang publik termasuk media massa untuk tidak melakukan hal-hal yang mengundang
masyarakat curiga. Tidak boleh membuat sesuatu yang dapat menimbulkan
kecurigaan publik terhadapnya karena dianggap tidak imparsial. Hal ini
semata-mata untuk mencegah agar proses pengelolaan tahapan Pemilu tidak
menimbulkan kecurigaan publik. Inilah salah satu misi dan cita-cita mulia ketua
dan anggota DKPP menjadikan lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu
dapat memastikan pemilu 2014 dan pemilukada lebih baik dari pemilu-pemilu
sebelumnya.
Keberhasilan
DKPP mengembalikan kepercayaan publik dalam rangka membangun infrastruktur
etika bernegara sangat ditentukan sejauhmana relasi antara tekad dan kemauan
bersama semua pihak. Ada banyak argumen penting menjadi acuan pemikiran betapa
urgensinya menerapkan teori konvergensi norma etika dan norma hukum di tengah
kelunturan norma agama. Mengingat ide penataan sistem etika bernegara merupakan
substansi amanat konstitusi sehingga diperlukan pemahaman komprehensif mengenai
peradilan etika. Ide utama ketua DKPP dalam rangka membangun sistem peradilan
etika modern tercermin dari konsep dan teori tahap perkembangan etika. Etika
dalam konsep dan praktik nyata pada fase generasi modern mengalami perkembangan
pengertian.
Dari
konteks itulah dapat dipahami, bahwa Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie yang juga dua
periode memimpin DK KPU ini dengan ide dan komitmennya pada keadilan restoratif
mencoba memadukan pengalaman historis-empirik yang konstruktif menjadi titik
tolak transformasi nilai-nilai demokrasi dalam pengertian pemilu berintegritas.
Transformasi nilai-nilai demokrasi dalam pemilu berintegritas diartikulasikan
lewat praktik nilai-nilai etika politik pada lembaga penegakan kode etik. DKPP
merupakan perkembangan lebih lanjut dari lembaga DK-KPU yang sebelumnya diatur
berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Sejak UU No. 22
Tahun 2007, putusan Dewan Kehormatan dinyatakan bersifat final dan mengikat,
sehingga dapat dikatakan memiliki karakter dan mekanisme kerja seperti lembaga
peradilan. Maka sejak terbentuknya DK-KPU pertama 2009, Jimly dipercaya menjadi
ketua secara berturut-turut selama dua tahun. Mekanisme kerja DK KPU didesain
sebagai badan peradilan etika yang menerapkan semua prinsip peradilan modern.
Beberapa prinsip penting yang dipraktikkan dalam peradilan
etik DK KPU dan juga pada tahap perkembangan berikutnya DKPP yang ada sekarang,
misalnya, prinsip-prinsip ‘audi et alteram partem’, prinsip
independensi, imparsialitas, dan transparansi. Dengan diberlakukannya
prinsip-prinsip ini, maka semua pihak yang terkait dengan perkara wajib
didengarkan dalam persidangan yang diselenggarakan secara terbuka, dimana para
anggota DKPP bertindak sebagai hakim yang menengahi pertentangan untuk
mengatasi konflik dan memberikan solusi yang adil. Sebagai pengadilan etik,
para anggota DKPP juga bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan
kasus-kasus yang timbul untuk popularitas pribadi. Para anggota dilarang
menikmati pujian yang timbul dari putusan, dan sebaliknya dilarang pula
tersinggung atau marah karena dikritik oleh masyarakat yang tidak puas akan
putusan DKPP. Pendek kata, sebagai lembaga peradilan etika, DKPP juga harus
menjadi contoh mengenai perilaku etika dalam menyelenggarakan sistem peradilan
etika yang menyangkut aneka kepentingan yang saling bersitegang antara para
peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu atau antara masyarakat pemilih (voters)
dengan penyelenggara pemilu, ataupun di antara sesama penyelenggara pemilu
sendiri, khususnya antara aparat KPU dan aparat Bawaslu.
5.
Putusan No.16/DKPP-PKE-III/2014, No.215/DKPP-PKE-III/2014, dan
No.255/DKPP-PKE-III/2014
Berangkat dari ide tersebut, putusan DKPP No. 16/DKPP-PKE-III/2014, dan No. 215/DKPP-PKE-III/2014, dan No. 255/DKPP-PKE-III/2014 terkait penanganan kasus
dugaan dalam pelanggaran pelaksanaan pileg dan pilpres 2014 sebagaimana
dilaporkan oleh Zulkarnain M. Dunda, Hadi Sutrisno Daud, dan
Rauf Ali, yang mengadukan ketua dan anggota KPU
Kota Gorontalo, yakni, Thaib Saleh,
Abdulah Mansyur, Asni Abu Bakar,
Jusrin Kadir, dan Nurul Syamsu Pana,
yang disidangkan oleh DKPP dalam perkara pelanggaran kode etik penyelenggaraan
pileg, dan DKPP juga menyidangkan para teradu lain dalam kasus pilpres yang
diadukan yakni dari pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa melalui kuasa hukum mereka M. Mahendradatta, Didik
Supriyanto, Sutejo Sapto Jalu, Warno, Sahroni, Guntur Fattahillah, Ega Windratno, yang mengadukan ketua dan anggota KPU RI, Husni Kamil Manik,
Ferry Kurnia Rizkiansyah, Ida Budhiati,
Arif Budiman, Hadar Nafis Gumay,
Sigit Pamungkas, dan Juri Ardiantoro,
ketujuhnya ditempatkan sebagai teradu dalam penanganan kasus dugaan pelanggaran
kode etik penyelenggara pilpres 2014 dalam penanganan kode etik pelaksanaan pileg dan pilpres
2014, maka patut kiranya bagi semua pemangku kepentingan dalam pemilu terutama
pemantau/pegiat/pemerhati pemilu untuk senantiasa aktif berpartisipasi
mendorong lembaga penegakan kode etik penyelenggara pemilu ini untuk rekonsolidasi
demokrasi yang bermartabat. Selain aktif memberikan dukungan, masyarakat,
pemantau/pegiat/pemerhati pemilu juga diharapkan secara aktif pula mengawasi
dan mengkritisi kinerja DKPP dengan konstruktif. Tanpa kontrol masyarakat maka
lembaga apapun tetap berpotensi melakukan penyimpangan karena dibalik lembaga
ada ide dan struktur yang melekat didalamnya.
Dengan demikian, berdasarkan trand analisis modus-modus
pelanggaran kode penyelenggara pemilu pada pelaksanaan pileg dan pilpres 2014
serta dampak etik putusan DKPP No 216/DKPP-PKE-III/2014, dan No. 215/DKPP-PKE-III/2014, dan No. 255/DKPP-PKE-III/2014 terkait dugaan pelanggaran kode
etik pemilu pada pelaksanaan pileg dan pilpres 2014 sebagaimana diuraikan di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan sementara, sangat relevan jika bercermin dari
putusan DKPP tersebut telah mampu memberikan sumbangan positif terhadap
pemahaman mengenai pentingnya menyelenggarakan peradilan etik secara terbuka
dan secara sosiologis mampu meningkatkan kesadaran etika berbangsa dan dapat
menjadi rule model dalam penataan sistem peradilan etik di Indonesia. Tentu
saja, kita dapat mengambil pengalaman dari apa yang telah diterapkan pada
beberapa lembaga peradilan kode etik yang selama reformasi tidak terdengar
sistem dan mekanisme persidangan kode etiknya seperti apa dikarenakan tertutup.
Peradilan etik yang tertutup berkecenderungan penyelesaian cara adat dan
praktik KKN berpotensi terjadi. DKPP khususnya dalam mempraktikkan sistem
peradilan etika yang terbuka sekurang-kurangnya menjadi model baru dalam
pengembangan demokrasi modern.
E. KESIMPULAN
Untuk mewujudkan proses dan hasil pelaksanaan pemilihan anggota
legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden 2014 yang berintegritas,
maka diperlukan tidak hanya upaya-upaya penegakan hukum tetapi juga penegakan
etik dalam konteks pengawasan etika khususnya bagi penyelenggara pemilu. Integritas
pemilu sangat dibutuhkan dan itu terdiri atas proses/tahapan dan hasil-hasil,
sementara untuk mewujudkan kedua integritas, diperlukan integritas pada
penyelenggara. Kunci pemilu berintegritas yakni anggota KPU, Bawaslu, dan
jajaran di seluruh jenjang memiliki integritas.
DKPP menegakkan sistem peradilan etik terbuka dengan maksud
memperkuat sistem ketatanegaraan yang didukung oleh sistem hukum dan sistem
etik yang bersifat fungsional. Demokrasi ditopang oleh tegak dan dihormatinya
hukum dan etika secara bersamaan. Integritas pemilu melahirkan demokrasi yang
sehat dengan ditopang oleh ‘the rule of law and the rule of ethics’ secara
bersamaan. “the rule of law” bekerja berdasarkan “code of law”,
sedangkan “the rule of ethics” bekerja berdasarkan “code of ethics”,
yang penegakannya dilakukan melalui proses peradilan yang independen,
imparsial, dan terbuka, yaitu peradilan hukum (court of law) untuk
masalah hukum, dan peradilan etika (court of ethics) untuk masalah
etika. Sidang
DKPP bersifat terbuka dan sifat putusan final dan mengikat berdasarkan UU No.
15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu telah menjadi perhatian serius dalam
praktik peradilan etik yang bersifat fungsional terbuka. Maka berdasarkan
ketentuan UU No. 15 Tahun 2011 dan melalui prinsip-prinsip layaknya sebuah
peradilan telah menempatkan Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No. 13
Tahun 2012, No. 11 Tahun 2012, dan No. 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik
Penyelenggara Pemilu sebagai "hukum materil"-nya, serta Peraturan DKPP
No. 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu
sebagai hukum formilnya.
DKPP berdasarkan ketentuan UU
No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan melalui prinsip-prinsip
layaknya sebuah peradilan menempatkan Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP
No. 13 Tahun 2012, No. 11 Tahun 2012, dan No. 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik
Penyelenggara Pemilu sebagai "etika
materil"-nya, serta Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2012 tentang Pedoman
Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai "etika formil"-nya. Berdasarkan pemeriksaan dan verifikasi
berkas pengaduan dengan akta penerimaan Pengaduan No.
555/I-P/L-DKPP/2013, yang diregistrasi dengan perkara No. 217/DKPP-PKE-II/2013,
kuat alasan etik untuk diproses karena KPU Kota Gorontalo (lama) telah menetapkan pengadu sebagai caleg terpilih anggota DPRD Kota Gorontalo melalui Berita Acara No. 25/BA/V/2014 tanggal
28 Mei 2014 tentang rapat pleno tertutup penetapan calon terpilih anggota DPRD Kota Gorontalo pemilu 2014 tanggal dan Surat Keputusan No. 16/Kpts/KPU.Kota-027.436571/2014
tanggal 28 Mei 2014 tentang penetapan calon terpilih anggota DPRD Kota
Gorontalo Partai Bulan Bintang daerah pemilihan Kota Gorontalo 3 (tiga) dalam
Pemilihan Umum 2014 dan surat Model EB-4 No. 170/KPU-Kota/027.436571/V/2014
tanggal 28 Mei 2014 tentang pemberitahuan calon terpilih anggota DPRD Kota
Gorontalo atas nama H. Zulkarnain M. Dunda. Sedangkan salah satu alasan DKPP
memproses laporan pelanggaran kode etik pilpres yang menjadikan ketua dan
anggota KPU RI sebagai teradu adalah dikarenakan tindakan ketua dan anggota KPU
yang mengeluarkan Surat Edaran yang
memerintahkan kepada seluruh KPU Daerah, jelas merupakan tindakan yang melawan
hukum, sebagaimana di atur Pasal 149 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden yang menyatakan “KPU Kabupaten/Kota menyimpan
menjaga dan mengamankan keutuhan kotak suara setelah pelaksanaan rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara pasangan calon sehingga KPU/KIP Kabupaten/Kota
wajib menyimpan, menjaga dan mengamankan kotak suara.” Tindakan ketua dan
anggota penyelenggara pemilu ini dinilai melanggar Pasal 43 PKPU No. 21 Tahun
2014, yang menyebutkan bahwa KPU/KIP Kabupaten/Kota wajib menyimpan, menjaga
dan mengamankan keutuhan seluruh kotak suara yang berisi surat suara dari
seluruh TPS di wilayah kerjanya dan formulir ditingkat TPS dalam keadaan
tersegel. Selain itu, tindakan Para Teradu juga dinilai melanggar Pasal 38 ayat
(3) PKPU No. 31 Tahun 2014 yang menyebutkan KPU/KIP Kabupaten/Kota wajib
menyimpan kotak suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada tempat yang
memadai dan dapat dijamin keamanannya.
Daftar Pustaka
Buku
Apter,
David E. (1987). Introduction to Political Analysis, dalam (terj.),
Setiawan Abadi, Pengantar Analisa Politik, Jakarta: LP3ES.
Ardianto,
Elvinaro, dkk. (2007). Komunikasi Massa
Suatu Pengantar, Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Asshiddiqie, Jimly. (2012). Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, Jakarta:
Raja Grafindo.
---------. (2011). Peradilan Konstitusi Di 10 Negara, Jakarta: Sinar Grafika.
---------. 2014. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi: Pespektif Baru tentang ‘Rule Of Law And Rule Of Ethics’ &
Constitutional Law And Constitutional Ethics’, Jakarta: Sinar Grafika.
Effendy, Bahtiar. (1999). Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press.
Fauzi, Achmad, Abdillah. (2012). Tata Kelola Bernegara dalam Perspektif Politik, Jakarta: Golden
Terayon Press.
Gaffar, Afan. (1999). Politik
Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Grumm, John G. (1996). Beberapa Teori tentang Sistem Pemilihan, dalam
(ed.), Ichlasul Amal, Teori-Teori
Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Edisi Revisi, PT. Tiara Wacana.
Hidayat, Nur Sardini. (2015). Mekanisme
Penyelesaian Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu, Jakarta: LP2AB.
Pope, Jeremy. (2003). Strategi
Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Yasin, Rahman. (2006). Gagasan
Islam tentang Demokrasi, Yogyakarta: Ak Group.
---------. (2014). Menulis
tentang Pemilu, Yogyakarta: Imperium.
Peraturan Perundang-Undang
Undang-Undang
Dasar 1945.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 220.
Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
Peraturan
Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, dan Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Kode Etik Penyelenggara Pemilu
Peraturan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara
Pemilihan Umum.
Peraturan
KPU Nomor 29 Tahun 2013 yang telah diubah dengan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun
2014, Bab IV Penggantian Calon Terpilih Pasal 50 dan pasal 51, serta Pasal 52.
Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor
217/DKPP-PKE-III/2014.
Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor
216/DKPP-PKE-III/2014.
Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor
2015/DKPP-PKE-III/2014.
Keterangan: Arsip Tulisan Agustus 2014