Rabu, 26 Februari 2014

Pertaruhan Integritas Penyelenggara Pemilu



Bagian ke-4


Oleh: Rahman Yasin


Tidak bekerjanya norma etika sosial, norma hukum, dan ketidakberdayaan norma agama dalam praktik kehidupan secara negatif memberi kontribusi bagi kekacauan sistem bernegara. Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) tidak saja menjadi budaya tetapi sengaja direkayasa untuk kelanggenangan kekuasaan sehingga dengan begitu banyak oknum birokrasi yang dengan cara langsung maupun tak langsung berupaya membelokkan dan mengarahkan mesin birokrasi berjalan menuju pada kebutuhan individu. Penyelenggara pemilu terdiri dari KPU, Bawaslu, dan DKPP merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Ketiga institusi ini diamanatkan UU No 15 Tahun 2011 sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan. Pemilu harus dipahami sebagai usaha untuk mendapatkan suatu otoritas moral karena dalam politik terkadang negara difungsikan untuk melanggengkan kekuasaan hingga pada titik tertentu kapasitas moral negara menjadi rendah memainkan fungsi legitimasi.  Integritas pemilu sangat dibutuhkan. Integritas Pemilu terdiri atas proses/tahapan dan hasil-hasil, sementara untuk mewujudkan kedua integritas, diperlukan integritas pada penyelenggara. Kunci pemilu berintegritas adalah apabila anggota KPU, Bawaslu, dan jajaran di seluruh jenjang memiliki integritas.
Pelaksanaan pemilu 2014 hendaknya dimaknai memiliki suatu kemampuan untuk mengubah kecenderungan politik massa dari yang bersifat sporadis hingga menjadi suatu otoritas dan kekuatan politik nasional. Pemilu luber jurdil hanya dapat terwujud apabila penyelenggara memiliki integritas yang tinggi, memahami, dan menghormati hak-hak sipil dan politik warga negara. Penyelenggara yang memahami letak kemampuan pemilu di dalam memberikan legitimasi kekuatan politik karena proses dan hasil dianggap sebagai sarana pemantapan legitimasi bagi suatu rezim pemerintahan yang dibentuk nanti.
Persoalan integritas merupakan hal mendasar untuk membangun kepercayaan publik terutama dalam manajemen organisasi negara modern. Proses penyelesaian hukum proseduralistik-legalistik memakan waktu panjang sehingga untuk menjadi negara demokrasi modern diperlukan infrastruktur peradilan etika yang lebih berkeadilan restoratif guna mengatasi krisis kepercayaan publik pada institusi negara. Pembentukan sistem etika bernegara sudah menjadi perhatian dunia internasional dan tidak lagi negara-negara yang menganut demokrasi saja tetapi sudah mendunia. Dalam perspektif ini misalnya, O. Obasanjo, ‘Keynote Address (1997) mengatakan, Others are wont to argue that the African culture of appreciation and hospitality encourages corrupt practices. Again, I shudder at how an integral aspect of our culture could be taken as the basis for rationalizing an otherwise despicable behaviour. In the African concept of appreciation and hospitality, the gift is usually a token.
Pemilu berintegritas bagian dari konsolidasi demokrasi beretika. Konsolidasi demokrasi yang mengarah pada penguatan nilai kultural kebangsaan. Gagasan perubahan transformatif yang beretika bersandarkan pada budaya kebangsaan inilah tidak ada alasan untuk tidak menghasilkan proses dan hasil pemilu 2014 berintegritas. Integritas pada semua tahapan menjadi hal utama yang mesti diperhatikan. KPU dan Bawaslu di semua jajaran harus memainkan peran tanggungjawab untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa yang berintegritas. Mengingat electoral integrity tidak hanya menjadi konsentrasi negara-negara maju dan berkembang tetapi sudah menggejala hingga ke semua negara di dunia. Pemimpin-pemimpin negara di dunia sudah mulai mengangkat isu pentingnya pemilu berintegritas (democratic electoral processes). Fokus demokrasi substansial rule of law sebagai faktor determinan kekuasaan dengan penguatan supremacy of law, equality before the law, dan bersamaan penegakan rule of ethics.
Namun demikian, performa DKPP jangan sampai hanya bersandar pada kegelisahan atas sikap dan perilaku segelintir anggota KPU dan Bawaslu yang menyimpang. Lompatan kinerja untuk mengatasi defisit etika politik dan etika pemerintahan tidak hanya bersandar pada persepsi publik terutama calon peserta pemilu yang tidak siap bertarung dengan fair kemudian membuat persepsi sendiri secara negatif pada KPU dan Bawaslu melainkan bagaimana misi mulia itu disertai dengan tindakan, sikap dan perilaku yang benar. Karena hanya dengan mengandalkan konsep dan teori kebaikan tanpa dikuatkan dengan watak dan perilaku yang jujur, adil, sabar, santun, konsisten pada nilai kebaikan, dan mampu menahan godaan, rayuan, janji atau pengaruh pihak-pihak luar merupakan hal yang sangat tidak terpuji. Kejujuran dengan bersikap adil pada sesama tidak hanya karena menyimpan motif tertentu melainkan memerlukan tingkat pemahaman ethics, wawasan ethics, intelektualitas yang baik, kesadaran ethics, “rasa” ethics, serta kualitas kepribadian baik yang konsisten dengan nilai (value) keadaban sosial. Hal ini senada dengan apa yang diidealkan Plato, bahwa negara harus dikelola oleh orang-orang yang bijak dalam pengertian filosofis. Karena dari orang-orang bijak inilah lahir perasaan-perasaan etika sosial yang tinggi untuk menjalankan mandat rakyat. Dalam konteks ini, meminjam istilah Jimly Asshiddiqie, pejabat negara hendaknya mereka yang memiliki kesadaran untuk bertindak dengan berkepala dingin, bertangan dingin, dan berjiwa dingin (rasional, profesional dan berintegritas).
Ide perbaikan etika kehidupan berbangsa telah tertuang dalam TAP MPR/VI/2001 Tentang Etika Berbangsa seperti pada pokok-pokok etika berbangsa tentang etika politik dan etika pemerintahan: Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa.”
Berdasarkan ketentuan UU No. 15 Tahun 2011 dan melalui prinsip-prinsip layaknya sebuah peradilan telah menempatkan Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No. 13 Tahun 2012, No. 11 Tahun 2012, dan No. 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai "hukum materil"-nya, serta Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai "hukum formil"-nya. Tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan harus dimulai dari ide karena ide memiliki posisi kuat dalam tradisi pemikiran politik modern. Fungsi penegakan etika politik dalam sistem berbangsa dan diharapkan mampu menarik perhatian publik the believed capacity of any object to statistfy a human desire. Hal ini karena pemahaman politik elite curculation tidak berjalan efektif bahkan kecenderungan praktek yang terjadi tidak hanya keinginan merebut kekuasaan dengan berbagai cara (power aggrandizement) tetapi praktek kekuasaan absolute , misalnya, calon incunbent  kerap memanfaatkan fasilitas negara.
Proses dan hasil pemilu berintegritas ditentukan oleh sistem peraturan dan perundang-undanganelectoral laws dan electoral processe dari penyelenggaraan pemilu yang tidak hanya mengedepankan asas legalitas-formal tetapi asas-asas penalaran intelektual dan olah rasa yang tinggi pada tahapan pemilu. Dari sisi penegakan kode etik pemilu, lembaga DKPP harus bisa memastikan bahwa penegakan etika politik dan etika pemerintahan memiliki dasar dan tujuan yang begitu mulia sehingga sudah saatnya mengembangkan tradisi sikap adil dan jujur untuk membentuk pemikiran para pejabat negara supaya senantiasa bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila melakukan pelanggaran dan sikap melawan hukum dan rasa keadilan masyarakat sebagaimana dalam TAP MPR/VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Memastikan bahwa pejabat negara dalam merumuskan kebijakan mengedepankan sikap responsif, peka, transformatif atau dalam istilah Lasswell, kebijakan publik yang mengarah pada kebutuhan masyarakat (Public policy may deal with a wide variety of substantive areas: defense, energy, environment, foreign affairs, education, welfare, police, highway, taxation, housing, social security, helath, economic opprtunity, urban development, inflation and recession, and so on).
Di penghujung tahun 2013 ini adalah momentum emas bagi institusi penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) untuk menjadikan tahun 2014 sebagai “tahun kerja lembaga penyelenggara pemilu”. Tahun 2014 menjadi momentum dalam rangka mengembangkan tradisi berdemokrasi yang sehat. Menjadikan institusi penyelenggara pemilu sebagai institusi berdemokrasi, institusi dalam tradisi bernegara, dan institusi bernegara yang baik. Perlu melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi pemahaman etika politik bernegara dengan berkontemplasi (bermujahadah) pada peristiwa-peristiwa sepanjang tahun 2013 baik yang negatif maupun positif menjadi pelajaran dalam proses peningkatan kapasitas lembaga penyelenggara pemilu. Dari catatan modus-modus pelanggaran pemilu tahun 2013 dengan memotret kinerja lembaga penyelenggara pemilu berdasarkan fakta dan data, maka prospek pemilu 2014 cukup menarik perhatian semua pihak untuk berpartisipasi menyukseskannya.
Tentu saja, kita dapat mengambil atau menarik pengalaman dari penyelenggaraan pemilu-pemilu yang digelar sepanjang era reformasi (1999, 2004, 2009) dan pemilukada tahun 2013 yang tidak senyap dengan praktik kecurangan. Legitimasi proses dan hasil pemilu 2014 harus menjadi prioritas penyelenggara pemilu. DKPP sebagai lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu dalam praktik peradilan etika yang terbuka diharapkan efektif memainkan peran pencegahan karena peradilan yang diselenggarakan dengan tertutup selain bertentangan dengan arus demokrasi modern juga umumnya berkecenderungan dengan penyelesaian cara adat sehingga KKN pun tak terhindarkan.

                                    ________________________________
Penulis adalah, Staf di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI.


Tantangan Pemilu 2014


Oleh Rahman Yasin

Setelah melakukan refleksi atas pelanggaran-pelanggaran kode etik pemilu baik dengan trand dan modus-modusnya, pertanyaan yang muncul ialah bagaimana dengan prospek penyelenggaraan pemilu tahun 2014?.
Pergantian anggota KPU dan Bawaslu pada tingkat tertentu di tahun 2013 dilakukan, perubahan sistem perekrutan terus ditingkatkan, usaha menuju perbaikan selalu diutamakan, prioritas kapasitas penguasaan baik secara konsepsional maupun secara teknis pun telah dilaksanakan, syarat-syarat perekrutan calon anggota penyelenggara pemilu diperketat, atau pendek kata pada tahun 2013 peningkatan paradigma prioritas anggota penyelenggara pemilu yang berkapabilitas, kredebilitas, dan integritas menjadi faktor penentu tetapi publik pun merasakan betapa penyelenggaraan pemilu, pileg, dan pemilukada di tahun 2013 tidak pernah sunyi dari praktek pelanggaran kode etik. Bukankah dipundak mereka seluruh rakyat Indonesia menanti perubahan?
Sorotan tajam dari publik sepanjang tahun 2013 merefleksikan bagaimana publik prihatin dengan performa sejumlah anggota KPU dan Bawaslu di semua jajaran. Masyarakat prihatin pada perilaku politik tidak etis yang menggunakan kekuasaan dan kekuatan politik untuk mengintimidasi, mengintervensi, termasuk menggunakan preman untuk mengancam keselamatan jiwa dan fisik anggota penyelenggara. Rakyat tentu menyayangkan sikap sebagian anggota penyelenggara yang terlibat dalam politik praktis. Kita prihatin atas pelanggaran kode etik dengan berbagai bentuk modus. Kita juga menyayangkan perilaku distorsif oknum anggota KPU dan Bawaslu hanya karena dijanjikan oleh calon peserta tertentu kemudian membuat kebijakan bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan. Kita menyayangkan mengapa penyelenggara pemilu mau diseret atau bahkan saling menyeret satu sama lain ke arena politik praktis hanya karena membela calon peserta dengan menukar integritasnya. Padahal, dipundak mereka rakyat dan bangsa Indonesia mengharapkan perubahan. Mereka memikul beban tanggungjawab moral yang tinggi pada negara karena mereka dipilih, diangkat dilantik dan di sumpah mengabdi pada bangsa dan negara. Anggota KPU dan Bawaslu adalah tumpuan harapan segenap warga negara Indonesia diseantero nusantara karena dari merekalah bangsa ini akan berubah ke arah yang lebih baik melalui pemilu berintegritas. Dari cara mereka bekerja secara profesionallah diharapkan dapat terwujud instrumen demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat (government of, by and for the people). Pemilu berintegritas sudah pasti pemimpin yang dihasilkan pun berintegritas. 
Pemilu ternyata dalam praktik tidak saja menjadi momentum peralihan kekuasaan secara konstitusional tetapi telah dimanfaatkan segelintir elit untuk memperebutkan kekuasaan secara kurang beretika. Oligarki kekuasaan internal partai politik menyebabkan begitu banyak kekacauan penyelenggaraan pemilu terutama dikarenakan persepsi politik elit yang tidak sejalan dengan aturan. Sebenarnya, hal ini lebih dipicu oleh ketidaksiapan untuk menerima kenyataan. Bahkan buntut dari perilaku yang tidak bersandarkan pada norma aturan inilah yang menimbulkan praktik KKN dalam penyelenggaraan pemilu terutama antara aktor dan penyelenggara. Pemilu pun dijadikan ajang praktik korupsi.
Pada penghujung 2013 (2/10/2013), KPK menangkap ketua MK Akil Mochtar karena tertangkap basah menerima suap pemilukada Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah yang dilakukan calon Bupati Hambit Bintih yang hingga sekarang pelantikannya masih menimbulkan kontroversi karena statusnya sebagai tersangka. Dari aspek etika dan estetika jelas menunjukan betapa tradisi politik kekuasaan di negeri kita seakan tidak berperikemanusiaan. Seorang tersangka korupsi yang jelas diketahui melakukan suap kemudian dimenangkan dan dilantik menjadi pemimpin. Bahkan yang terkini yakni tanggal 20 Desember 2013 KPK menetapkan dan menahan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka dalam kasus suap pemilukada Kabupaten Lebak Banten tahun 2013.
Implikasi praktik kecurangan dalam penanganan pemilukada di MK 2013 inilah yang kemudian turun putusan PTUN Jakarta dengan nomor perkara 139/G2013/PTUN-Jkt membatalkan Keppres RI No 87/P/2013 tertanggal 22 Juli 2013 yang digugat Koalisi LSM Tim Penyelemat Mahkamah Konstitusi di bawah ICW dan YLBH. Putusan PTUN tersebut secara yuridis, Keppres RI No 87/P tentang Pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida menjadi hakim MK dengan sendirinya batal demi hukum atau tidak lagi berkekuatan hukum. Sebuah ironi bagi kita karena lembaga negara yang diberi wewenang menangani PHPU dari yang paling hilir ini dikontaminasikan oleh oknum tidak bertanggungjawab.
Betapapun penanganan pelanggaran pemilu yang sarat kecurangan ini telah menguras energi optimisme masyarakat menatap pemilu 2014. Meski begitu sebagai warga negara, kita harus menolak persepsi sebagian kalangan mengenai pemilu 2014 yang dimulai dari tahapan pileg 9 April 2014 pemungutan dan penghitungan suara ini memiliki potensi kecurangan dan mengancam legitimasi politik pemerintahan yang dibentuk nanti. Untuk menjawab pesimisme publik pada pemilu 2014, penyelenggara pemilu hendaknya memastikan bahwa proses dan hasil pemilu 2014 akan lebih berintegritas. Hukum di satu sisi ditegakan dan pada sisi yang sama etika pun harus ditegakan. Pemilu 2014 harus dipastikan jaminan ruang kompetisi bagi peserta pemilu yang fairpemilu sebagai instrumen penting untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan good governance dan pelayanan publik yang baik (excellent management of public services and policies). Selama ini sanksi bagi pejabat negara dengan pendekatan hukum terasa lamban karena butuh waktu panjang sehingga berimplikasi negatif terhadap institusi negara. Institusi yang dipimpin pejabat fungsional maupun struktural yang tengah menghadapi kasus korupsi misalnya, proses hukumnya benar-benar memakan waktu lama dan mengganggu kepercayaan publik pada lembaga bersangkutan. Artinya, proses yang lamban dan bersangkutan belum dinyatakan tersangka tetapi institusi sudah tersandra dengan distrust.
Oleh sebab itu untuk mewujudkan kemandirian dan imparsialitas kelembagaan KPU dan Bawaslu diperlukan penegakan rule of law and the rule of ethics. Penyelenggara pemilu yang tidak berpihak dan dalam praktik terlihat tidak berpihak. Anggota KPU dan Bawaslu independen dan harus terlihat netral. Selama publik melihat tidak independen maka tugas utama bagaimana meyakinkan publik bahwa mereka independen. Bagaimana menggunakan ruang publik termasuk media massa untuk tidak melakukan hal-hal yang mengundang masyarakat curiga. Tidak boleh membuat sesuatu yang dapat menimbulkan kecurigaan publik terhadapnya karena dianggap tidak imparsial. Hal ini semata-mata untuk mencegah agar proses pengelolaan tahapan Pemilu tidak menimbulkan kecurigaan publik.
Sukses tidaknya pemilu 2014 tugas penyelenggara pemilu untuk mengembalikan kepercayaan publik dalam rangka membangun legitimasi politik dan memastikan kualitas berdemokrasi sangat ditentukan sejauhmana relasi antara tekad dan kemauan bersama penyelenggara pemilu. Ada banyak argumen penting menjadi kerangka acuan pemikiran betapa urgensinya konvergensi norma etika dan norma hukum di tengah kelunturan norma agama. Mengingat ide penataan sistem etika bernegara merupakan substansi amanat konstitusi maka diperlukan pemahaman komprehensif mengenai infrastruktur etika.

________________________________
Penulis adalah, Staf di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI.

Modus Pelanggaran Kode Etik Pemilu



Bagian ke-2

Oleh Rahman Yasin


Dalam kenyataan, pemilu 2009 mengakumulasi segenap praktek manipulasi, politik uang, penyalahgunaan wewenang bagian dari perdebatan yang menghiasi hiruk-pikuk perjuangan sebagian elit politik baik yang belum dapat kesempatan maupun yang terlempar dari arena pertarungan merebut kekuasaan akibat kelalaian oknum penyelenggara. Pemilu 2009 banyak menyimpan aib politik. Kekacauan penyelenggaraan pemilu tidak hanya terletak lemahnya prosedur aturan formal tetapi sistem pemilu memungkinkan peserta dan penyelenggara menyimpang dari aturan main (rule of the gime). Electoral integrity tidak sejalan dengan kesadaran untuk menghindari praktek election fraud sampai pada tahap proses dan hasil pemilu (electoral result and process). Pemilu 2009 gagal memperkuat basis kapasitas demokratisasi kita. Buntut kekacauan pemilu dan pemilukada akibat ketidaknetralan anggota penyelenggara berdampak pada pemberhentian secara tidak terhormat anggota KPU Andi Nurpati tahun 2010 karena terbukti melanggar asas dan kode etik pemilu. Praktek kecurangan hampir terjadi pada setiap tahapan. Bahkan banyak survei menyebutkan pemilukada menjadi salah satu faktor tumbuhnya praktek KKN. Pemilukada melahirkan perilaku politik sebagian elit masyarakat baik peserta maupun penyelenggara menjadi semakin korup. Persekongkolan politik antara penyelenggara dengan aktor dalam kontestasi kian menggurita. Penyelenggara tidak saja berfungsi sebagai penengah atau sekurang-kurangnya menjadi “wasit” tetapi di beberapa daerah dengan diam-diam merangkap jadi pemain.
Trand pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu umumnya sikap tidak netral dan kecenderungan berpihak hampir terjadi pada setiap tahapan, baik pemilu legislatif, Pilpres, dan pemilukada. Pelanggaran kode etik mulanya bermuara dari tahapan penanganan daftar pemilih (DPT), pendiskualifikasian karena persyaratan seperti ketercukupan jumlah dukungan atau persyaratan yang lewat waktu, penyalahgunaan jabatan, wewenang, dugaan suap dalam pembentukan badan penyelenggara pemilu, netralitas, imparsialitas, dan penetapan yang tidak cermat. Pengelolaan tahapan pemilu yang kerap disusupi kepentingan oknum penyelenggara dengan bertindak tidak netral dalam pengambilan kebijakan. Pengalaman menunjukkan pada tahap krusial seperti penetapan persyaratan calon pemilukada, penghitungan suara, penetapan pasangan calon misalnya, di beberapa daerah dilakukan tidak netral sehingga dalam keterbatasan waktu timbul ketidakseragaman persepsi dan memicu perdebatan hingga tanpa keputusan. Dan proses pemilukada kadang tidak jelas akibat tidak ada keputusan rapat pleno.
Salah satu terobosan yang patut jadi perhatian kita yakni dengan adanya keberadaan lembaga penegak kode etik pemilu dalam mengawal komitmen pemerintah, DPR, KPU, dan Bawaslu pada pemilukada provinsi DKI Jakarta 2012 yang menjadikannya sebagai barometer pemilu 2014. DKPP juga memberhentikan ketua Panwaslukada Provinsi karena terbukti melanggar kode etik dengan bertindak tidak independen. Artinya sukses tidaknya penyelenggaraan pemilukada Provinsi DKI Jakarta jadi persepsi baik buruknya penyelenggaraan pemilu 2014.
Apa dampak dari ini semua? Sidang perdana lembaga penegak kode etik pemilu ini dilaksanakan pada hari Rabu (27/6/2012) atau 15 hari setelah dilantik Presiden (12/6/2012). Alhasil, Putusan DKPP dijalankan selain merapikan DPT dengan melibatkan peserta parpol dalam pemilukada tetapi juga mengumpulkan pimpinan parpol membuat kesepakatan bersama menciptakan pemilukada damai. Pendek kata modus pelanggaran kode etik meliputi sikap keberpihakan dan tidak mengedepankan asas netralitas, profesionalisme, kelalaian yang membuat tidak cermat pada tahap penetapan pasangan calon, penetapan pasangan calon terpilih, penetapan DPT, penyalahgunaan wewenang, melalaikan tugas, menerima suap baik pada tahap penyeleksian anggota penyelenggara, hingga pada konflik internal yang melibatkan fungsional dan sekretariat serta pengabaian pada putusan lembaga pengadilan  yang ditangani DKPP selama tahun 2013 memperlihatkan bahwa pemilu berintegritas memerlukan kesadaran etika yang mendalam dari penyelenggara. Maka pertanyaan yang mengemuka ialah apakah KPU, Bawaslu, DPR, dan Pemerintah dapat menjaga komitmen pemilu 2014 berjalan dengan baik sesuai komitmen mereka pada Pemilukada Provinsi DKI Jakarta?
Berdasarkan data-data pengaduan/laporan yang diterima DKPP selama enam bulan terakhir (Juni hingga Desember 2013) menunjukan pelanggaran kode etik pemilu dengan modus-modusnya lebih banyak pada KPU di semua jenjang. Modus pelanggaran kode etik yang menyebabkan pemberhentian tetap umumnya karena keberpihakan anggota penyelenggara pada calon tertentu. Modus-modus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tersebut terungkap melalui persidangan DKPP yang diselenggarakan dengan terbuka. Modus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu ini seperti diungkapkan sebelumnya, yakni selalu bermuara dari ketidaknetralan atau keberpihakan anggota penyelenggara pada calon peserta pemilu. Selain keberpihakan, melalaikan tugas dan fungsi yang semestinya, penyelenggara juga kerap menggunakan jabatan/wewenang untuk kepentingan tertentu. Penyelenggara pemilu juga kerap didapatkan menerima suap dalam penetapan pasangan calon, proses seleksi anggota penyelenggara, dan tahap penetapan paslon yang cenderung tidak netral.
Sepanjang Januari sampai dengan Desember 2013 tercatat secara keseluruhan pengaduan pelanggaran kode etik yang diterima DKPP sebanyak 569 dan 442 didismis, 135 perkara disidangkan terdapat 368 anggota penyelenggara pemilu yang direhabilitasi nama baiknya karena tidak terbukti melanggar kode etik, peringatan tertulis sebanyak 112, peringatan sementara 13 dan pemberhentian tetap sebanyak 86 anggota dari 131 perkara yang diputuskan, 96 putusan dan 5 ketetapan. Sekadar catatan, dipenghujung 2012 dan sepanjang 6 bulan 2013, DKPP menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran kode etik yang tingkat pelanggarannya sangat problematik yang diantaranya sikap anggota KPU Provinsi Jawa Timur   pada tahap penetapan calon pemilukada Jawa Timur pada pertengahan Juli 2013 tidak meloloskan calon Gubernur 2013-2018 Khofifah Indar Parawansa-Herman Sumawiredja hingga pada 31 Juli dikeluarkan amar putusan yang kemudian KPU Jatim mengikutsertakan Khofifah-Sumawiredja. Peristiwa serupa pada kasus pemilukada Kota Tangerang yang menimbulkan 4 anggota diberhentikan dan pengadu H. Arief R Wismansyah-H Sachrudin dan Bakal Pasangan Calon H Ahmad Marju Kodri-Gatot Suprijanto ikut pemilukada. Selain kasus pelanggaran kode etik pemilukada provinsi Jatim dan Kota Tangerang, kasus pengaduan caleg dari DPP PAN dapil Sumbar 1, mengadukan Bawaslu pusat, dan KPU Maluku Uatara, KPU Provinsi Papua, dan bakal cleg DPP PAN Selviana Sofyan Hosen,  dan masih banyak kasus lain yang secara garis besarnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Modus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan anggota penyelenggara pemilu yakni KPU dan Bawaslu di semua jajaran dapat diketahui dan terkonfirmasi dengan jelas pada proses persidangan DKPP. Dengan mekanisme sistem persidangan kode etik yang terbuka dapat membantu majelis persidangan untuk menganalisis dengan lebih cermat lagi berdasarkan data, dokumen laporan/pengaduan yang diberikan pelapor/pengadu. Dengan demikian, dalam pleno pengambilan kebijakan terkait putusan DKPP tetap berpedoman pada hasil proses persidangan kode etik.
Sedangkan jumlah penanganan perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu baik dilakukan KPU dan Bawaslu di semua jajaran sepanjang pertengahan tahun 2012 sampai dengan akhir tahun 2013 yang diterima dan diproses DKPP ini menunjukan ada perubahan signifikan dari relasi antara dampak putusan sidang kode etik DKPP terhadap perubahan sikap dan perilaku anggota penyelenggara pemilu dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilukada di berbagai daerah sepanjang tahun 2013.
Dalam mengatasi praktek pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dengan berdasarkan data-data yang diadukan dan diproses DKPP, maka perlu dilakukan semaksimal untuk pencegahan. Langkah preventif sangat efektif guna mencegah praktek kecurangan pada pelaksanaan pemilu 2014. Selain itu penguatan tugas, fungsi, wewenang dan kapasitas kelembagaan sangat diperlukan, namun penguatan tersebut hendaknya sebanding dengan peningkatan kinerja sehingga performa lembaga peradilan etika modern ini bisa menghasilkan solusi yang konstruktif.
Dengan model persidangan terbuka maka peradilan etika ini diharapkan menyigkap berbagai misteri pelanggaran-pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu baik dilakukan peserta maupun penyelenggara. Prinsipnya, semua proses harus diselenggarakan dengan terbuka. Semua pengaduan/laporan harus melalui tahapan yang teratur. Setiap laporan dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu, tim kampanye, dan pemilih selalu diterima dan diverifikasi untuk dilakukan kajian mendalam untuk dipastikan di pleno apakah diproses atau ditolak karena tidak memenuhi dua unsur berupa keterangan saksi; keterangan ahli; surat/tulisan; petunjuk; keterangan pihak atau data dan informasi yang dapat dibaca atau didengar karena terdapat pelapor/pengadu yang hanya mencari-cari kesalahan—tidak siap kalah dan menjadikan penyelenggara sebagai tempat pelampiasan emosi. Proses verifikasi dan kajian dilakukan dengan penuh ketelitian dan dalam persidangan baik pengadu, teradu, dan pihak terkait diberikan kesempatan yang sama untuk saling beradu argumentasi.  Apabila dalam persidangan Majelis Sidang memastikan bahwa teradu terbukti melanggar kode etik maka DKPP menjatuhkan sanksi yakni dari sanksi teguran tertulis; pemberhentian sementara; atau pemberhentian tetap.
Tugas DKPP menerima pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, melakukan penyelidikan, verifikasi, dan pemeriksaan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, menetapkan putusan dan menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti. DKPP juga memiliki wewenang memanggil terlapor yang diduga  melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan. Memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan termasuk dokumen atau bukti lain. Memberikan sanksi kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik. Kasus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang melibatkan anggota penyelenggara seiring berjalannya waktu semakin terkendali dengan Putusan-putusan DKPP yang baik memberhentikan (pemecatan), peringatan maupun rehabilitasi.

________________________________
Penulis adalah, Staf di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI.