Bagian ke-4
Oleh: Rahman Yasin
Tidak bekerjanya norma etika sosial, norma hukum, dan ketidakberdayaan
norma agama dalam praktik kehidupan secara negatif memberi kontribusi bagi
kekacauan sistem bernegara. Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) tidak saja menjadi
budaya tetapi sengaja direkayasa untuk kelanggenangan kekuasaan sehingga dengan
begitu banyak oknum birokrasi yang dengan cara langsung maupun tak langsung
berupaya membelokkan dan mengarahkan mesin birokrasi berjalan menuju pada
kebutuhan individu. Penyelenggara pemilu terdiri dari KPU, Bawaslu, dan DKPP
merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Ketiga institusi ini
diamanatkan UU No 15 Tahun 2011 sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan. Pemilu
harus dipahami sebagai usaha untuk mendapatkan suatu otoritas moral karena
dalam politik terkadang negara difungsikan untuk melanggengkan kekuasaan hingga
pada titik tertentu kapasitas moral negara menjadi rendah memainkan fungsi
legitimasi. Integritas pemilu sangat
dibutuhkan. Integritas Pemilu terdiri atas proses/tahapan dan hasil-hasil,
sementara untuk mewujudkan kedua integritas, diperlukan integritas pada
penyelenggara. Kunci pemilu berintegritas adalah apabila anggota KPU, Bawaslu,
dan jajaran di seluruh jenjang memiliki integritas.
Pelaksanaan pemilu 2014 hendaknya dimaknai memiliki suatu kemampuan untuk
mengubah kecenderungan politik massa dari yang bersifat sporadis hingga menjadi
suatu otoritas dan kekuatan politik nasional. Pemilu luber jurdil hanya dapat
terwujud apabila penyelenggara memiliki integritas yang tinggi, memahami, dan
menghormati hak-hak sipil dan politik warga negara. Penyelenggara yang memahami
letak kemampuan pemilu di dalam memberikan legitimasi kekuatan politik karena
proses dan hasil dianggap sebagai sarana pemantapan legitimasi bagi suatu rezim
pemerintahan yang dibentuk nanti.
Persoalan
integritas merupakan hal mendasar untuk membangun kepercayaan publik terutama
dalam manajemen organisasi negara modern. Proses penyelesaian hukum
proseduralistik-legalistik memakan waktu panjang sehingga untuk menjadi negara
demokrasi modern diperlukan infrastruktur peradilan etika yang lebih
berkeadilan restoratif guna mengatasi krisis kepercayaan publik pada institusi
negara. Pembentukan sistem etika bernegara sudah menjadi perhatian dunia
internasional dan tidak lagi negara-negara yang menganut demokrasi saja tetapi
sudah mendunia. Dalam perspektif ini misalnya, O. Obasanjo, ‘Keynote Address
(1997) mengatakan, “Others are wont to argue that the
African culture of appreciation and hospitality encourages corrupt practices.
Again, I shudder at how an integral aspect of our culture could be taken as the
basis for rationalizing an otherwise despicable behaviour. In the African
concept of appreciation and hospitality, the gift is usually a token.
Pemilu berintegritas bagian dari
konsolidasi demokrasi beretika. Konsolidasi demokrasi yang mengarah pada
penguatan nilai kultural kebangsaan. Gagasan perubahan transformatif yang beretika
bersandarkan pada budaya kebangsaan inilah tidak ada alasan untuk tidak
menghasilkan proses dan hasil pemilu 2014 berintegritas. Integritas pada semua
tahapan menjadi hal utama yang mesti diperhatikan. KPU dan Bawaslu di semua
jajaran harus memainkan peran tanggungjawab untuk menghasilkan
pemimpin-pemimpin bangsa yang berintegritas. Mengingat electoral integrity
tidak hanya menjadi konsentrasi negara-negara maju dan berkembang tetapi sudah
menggejala hingga ke semua negara di dunia. Pemimpin-pemimpin negara di dunia
sudah mulai mengangkat isu pentingnya pemilu berintegritas (democratic
electoral processes). Fokus demokrasi substansial rule of law sebagai
faktor determinan kekuasaan dengan penguatan supremacy of law, equality
before the law, dan bersamaan penegakan rule of ethics.
Namun demikian, performa DKPP jangan sampai hanya bersandar
pada kegelisahan atas sikap dan perilaku segelintir anggota KPU dan Bawaslu
yang menyimpang. Lompatan kinerja untuk mengatasi defisit etika politik dan
etika pemerintahan tidak hanya bersandar pada persepsi publik terutama calon
peserta pemilu yang tidak siap bertarung dengan fair kemudian membuat
persepsi sendiri secara negatif pada KPU dan Bawaslu melainkan bagaimana misi
mulia itu disertai dengan tindakan, sikap dan perilaku yang benar. Karena hanya
dengan mengandalkan konsep dan teori kebaikan tanpa dikuatkan dengan watak dan
perilaku yang jujur, adil, sabar, santun, konsisten pada nilai kebaikan, dan
mampu menahan godaan, rayuan, janji atau pengaruh pihak-pihak luar merupakan
hal yang sangat tidak terpuji. Kejujuran dengan bersikap adil pada sesama tidak
hanya karena menyimpan motif tertentu melainkan memerlukan tingkat pemahaman ethics,
wawasan ethics, intelektualitas yang baik, kesadaran ethics, “rasa”
ethics, serta kualitas kepribadian baik yang konsisten dengan nilai (value)
keadaban sosial. Hal ini senada dengan apa yang diidealkan Plato, bahwa
negara harus dikelola oleh orang-orang yang bijak dalam pengertian filosofis.
Karena dari orang-orang bijak inilah lahir perasaan-perasaan etika sosial yang
tinggi untuk menjalankan mandat rakyat. Dalam konteks ini, meminjam istilah
Jimly Asshiddiqie, pejabat negara hendaknya mereka yang memiliki kesadaran
untuk bertindak dengan berkepala dingin, bertangan dingin, dan berjiwa dingin
(rasional, profesional dan berintegritas).
Ide perbaikan etika kehidupan berbangsa telah tertuang dalam TAP
MPR/VI/2001 Tentang Etika Berbangsa seperti pada pokok-pokok etika berbangsa
tentang etika politik dan etika pemerintahan: “Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk
mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan
suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa
bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur
dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam
kehidupan berbangsa.”
Berdasarkan ketentuan UU No.
15 Tahun 2011 dan melalui prinsip-prinsip layaknya sebuah peradilan telah
menempatkan Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No. 13 Tahun 2012, No. 11
Tahun 2012, dan No. 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai
"hukum materil"-nya, serta Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2012 tentang
Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai "hukum
formil"-nya. Tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan harus dimulai
dari ide karena ide memiliki posisi kuat dalam tradisi pemikiran politik
modern. Fungsi
penegakan etika politik dalam sistem berbangsa dan diharapkan mampu menarik
perhatian publik the believed capacity of
any object to statistfy a human desire. Hal ini karena pemahaman politik elite curculation tidak berjalan efektif bahkan kecenderungan
praktek yang terjadi tidak hanya keinginan merebut kekuasaan dengan berbagai
cara (power aggrandizement) tetapi
praktek kekuasaan absolute , misalnya,
calon incunbent kerap memanfaatkan fasilitas negara.
Proses
dan hasil pemilu berintegritas ditentukan oleh sistem peraturan dan
perundang-undangan—electoral laws dan electoral
processe dari penyelenggaraan pemilu yang tidak hanya mengedepankan asas
legalitas-formal tetapi asas-asas penalaran intelektual dan olah rasa yang
tinggi pada tahapan pemilu. Dari sisi penegakan kode etik pemilu, lembaga DKPP
harus bisa memastikan bahwa penegakan etika politik dan etika pemerintahan
memiliki dasar dan tujuan yang begitu mulia sehingga sudah saatnya
mengembangkan tradisi sikap adil dan jujur untuk membentuk pemikiran para
pejabat negara supaya senantiasa bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani,
berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari
jabatan publik apabila melakukan pelanggaran dan sikap melawan hukum dan rasa
keadilan masyarakat sebagaimana dalam TAP MPR/VI/2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa. Memastikan bahwa pejabat negara dalam merumuskan kebijakan mengedepankan
sikap responsif, peka, transformatif atau dalam istilah Lasswell, kebijakan
publik yang mengarah pada kebutuhan masyarakat (Public policy may deal with a wide variety of substantive
areas: defense, energy, environment, foreign affairs, education, welfare,
police, highway, taxation, housing, social security, helath, economic
opprtunity, urban development, inflation and recession, and so on).
Di
penghujung tahun 2013 ini adalah momentum emas bagi institusi penyelenggara
pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) untuk menjadikan tahun 2014 sebagai “tahun kerja
lembaga penyelenggara pemilu”. Tahun 2014 menjadi momentum dalam rangka
mengembangkan tradisi berdemokrasi yang sehat. Menjadikan institusi
penyelenggara pemilu sebagai institusi berdemokrasi, institusi dalam tradisi
bernegara, dan institusi bernegara yang baik. Perlu melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi
pemahaman etika politik bernegara dengan berkontemplasi (bermujahadah) pada peristiwa-peristiwa sepanjang tahun 2013 baik
yang negatif maupun positif menjadi pelajaran dalam proses peningkatan
kapasitas lembaga penyelenggara pemilu. Dari catatan modus-modus pelanggaran pemilu
tahun 2013 dengan memotret kinerja lembaga penyelenggara pemilu berdasarkan
fakta dan data, maka prospek pemilu 2014 cukup menarik perhatian semua pihak
untuk berpartisipasi menyukseskannya.
Tentu
saja, kita dapat mengambil atau menarik pengalaman dari penyelenggaraan
pemilu-pemilu yang digelar sepanjang era reformasi (1999, 2004, 2009) dan
pemilukada tahun 2013 yang tidak senyap dengan praktik kecurangan. Legitimasi
proses dan hasil pemilu 2014 harus menjadi prioritas penyelenggara pemilu. DKPP
sebagai lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu dalam praktik peradilan
etika yang terbuka diharapkan efektif memainkan peran pencegahan karena
peradilan yang diselenggarakan dengan tertutup selain bertentangan dengan arus
demokrasi modern juga umumnya berkecenderungan dengan penyelesaian cara adat sehingga
KKN pun tak terhindarkan.
________________________________
Penulis
adalah, Staf di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI.