Rabu, 26 Februari 2014

Tantangan Pemilu 2014


Oleh Rahman Yasin

Setelah melakukan refleksi atas pelanggaran-pelanggaran kode etik pemilu baik dengan trand dan modus-modusnya, pertanyaan yang muncul ialah bagaimana dengan prospek penyelenggaraan pemilu tahun 2014?.
Pergantian anggota KPU dan Bawaslu pada tingkat tertentu di tahun 2013 dilakukan, perubahan sistem perekrutan terus ditingkatkan, usaha menuju perbaikan selalu diutamakan, prioritas kapasitas penguasaan baik secara konsepsional maupun secara teknis pun telah dilaksanakan, syarat-syarat perekrutan calon anggota penyelenggara pemilu diperketat, atau pendek kata pada tahun 2013 peningkatan paradigma prioritas anggota penyelenggara pemilu yang berkapabilitas, kredebilitas, dan integritas menjadi faktor penentu tetapi publik pun merasakan betapa penyelenggaraan pemilu, pileg, dan pemilukada di tahun 2013 tidak pernah sunyi dari praktek pelanggaran kode etik. Bukankah dipundak mereka seluruh rakyat Indonesia menanti perubahan?
Sorotan tajam dari publik sepanjang tahun 2013 merefleksikan bagaimana publik prihatin dengan performa sejumlah anggota KPU dan Bawaslu di semua jajaran. Masyarakat prihatin pada perilaku politik tidak etis yang menggunakan kekuasaan dan kekuatan politik untuk mengintimidasi, mengintervensi, termasuk menggunakan preman untuk mengancam keselamatan jiwa dan fisik anggota penyelenggara. Rakyat tentu menyayangkan sikap sebagian anggota penyelenggara yang terlibat dalam politik praktis. Kita prihatin atas pelanggaran kode etik dengan berbagai bentuk modus. Kita juga menyayangkan perilaku distorsif oknum anggota KPU dan Bawaslu hanya karena dijanjikan oleh calon peserta tertentu kemudian membuat kebijakan bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan. Kita menyayangkan mengapa penyelenggara pemilu mau diseret atau bahkan saling menyeret satu sama lain ke arena politik praktis hanya karena membela calon peserta dengan menukar integritasnya. Padahal, dipundak mereka rakyat dan bangsa Indonesia mengharapkan perubahan. Mereka memikul beban tanggungjawab moral yang tinggi pada negara karena mereka dipilih, diangkat dilantik dan di sumpah mengabdi pada bangsa dan negara. Anggota KPU dan Bawaslu adalah tumpuan harapan segenap warga negara Indonesia diseantero nusantara karena dari merekalah bangsa ini akan berubah ke arah yang lebih baik melalui pemilu berintegritas. Dari cara mereka bekerja secara profesionallah diharapkan dapat terwujud instrumen demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat (government of, by and for the people). Pemilu berintegritas sudah pasti pemimpin yang dihasilkan pun berintegritas. 
Pemilu ternyata dalam praktik tidak saja menjadi momentum peralihan kekuasaan secara konstitusional tetapi telah dimanfaatkan segelintir elit untuk memperebutkan kekuasaan secara kurang beretika. Oligarki kekuasaan internal partai politik menyebabkan begitu banyak kekacauan penyelenggaraan pemilu terutama dikarenakan persepsi politik elit yang tidak sejalan dengan aturan. Sebenarnya, hal ini lebih dipicu oleh ketidaksiapan untuk menerima kenyataan. Bahkan buntut dari perilaku yang tidak bersandarkan pada norma aturan inilah yang menimbulkan praktik KKN dalam penyelenggaraan pemilu terutama antara aktor dan penyelenggara. Pemilu pun dijadikan ajang praktik korupsi.
Pada penghujung 2013 (2/10/2013), KPK menangkap ketua MK Akil Mochtar karena tertangkap basah menerima suap pemilukada Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah yang dilakukan calon Bupati Hambit Bintih yang hingga sekarang pelantikannya masih menimbulkan kontroversi karena statusnya sebagai tersangka. Dari aspek etika dan estetika jelas menunjukan betapa tradisi politik kekuasaan di negeri kita seakan tidak berperikemanusiaan. Seorang tersangka korupsi yang jelas diketahui melakukan suap kemudian dimenangkan dan dilantik menjadi pemimpin. Bahkan yang terkini yakni tanggal 20 Desember 2013 KPK menetapkan dan menahan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka dalam kasus suap pemilukada Kabupaten Lebak Banten tahun 2013.
Implikasi praktik kecurangan dalam penanganan pemilukada di MK 2013 inilah yang kemudian turun putusan PTUN Jakarta dengan nomor perkara 139/G2013/PTUN-Jkt membatalkan Keppres RI No 87/P/2013 tertanggal 22 Juli 2013 yang digugat Koalisi LSM Tim Penyelemat Mahkamah Konstitusi di bawah ICW dan YLBH. Putusan PTUN tersebut secara yuridis, Keppres RI No 87/P tentang Pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida menjadi hakim MK dengan sendirinya batal demi hukum atau tidak lagi berkekuatan hukum. Sebuah ironi bagi kita karena lembaga negara yang diberi wewenang menangani PHPU dari yang paling hilir ini dikontaminasikan oleh oknum tidak bertanggungjawab.
Betapapun penanganan pelanggaran pemilu yang sarat kecurangan ini telah menguras energi optimisme masyarakat menatap pemilu 2014. Meski begitu sebagai warga negara, kita harus menolak persepsi sebagian kalangan mengenai pemilu 2014 yang dimulai dari tahapan pileg 9 April 2014 pemungutan dan penghitungan suara ini memiliki potensi kecurangan dan mengancam legitimasi politik pemerintahan yang dibentuk nanti. Untuk menjawab pesimisme publik pada pemilu 2014, penyelenggara pemilu hendaknya memastikan bahwa proses dan hasil pemilu 2014 akan lebih berintegritas. Hukum di satu sisi ditegakan dan pada sisi yang sama etika pun harus ditegakan. Pemilu 2014 harus dipastikan jaminan ruang kompetisi bagi peserta pemilu yang fairpemilu sebagai instrumen penting untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan good governance dan pelayanan publik yang baik (excellent management of public services and policies). Selama ini sanksi bagi pejabat negara dengan pendekatan hukum terasa lamban karena butuh waktu panjang sehingga berimplikasi negatif terhadap institusi negara. Institusi yang dipimpin pejabat fungsional maupun struktural yang tengah menghadapi kasus korupsi misalnya, proses hukumnya benar-benar memakan waktu lama dan mengganggu kepercayaan publik pada lembaga bersangkutan. Artinya, proses yang lamban dan bersangkutan belum dinyatakan tersangka tetapi institusi sudah tersandra dengan distrust.
Oleh sebab itu untuk mewujudkan kemandirian dan imparsialitas kelembagaan KPU dan Bawaslu diperlukan penegakan rule of law and the rule of ethics. Penyelenggara pemilu yang tidak berpihak dan dalam praktik terlihat tidak berpihak. Anggota KPU dan Bawaslu independen dan harus terlihat netral. Selama publik melihat tidak independen maka tugas utama bagaimana meyakinkan publik bahwa mereka independen. Bagaimana menggunakan ruang publik termasuk media massa untuk tidak melakukan hal-hal yang mengundang masyarakat curiga. Tidak boleh membuat sesuatu yang dapat menimbulkan kecurigaan publik terhadapnya karena dianggap tidak imparsial. Hal ini semata-mata untuk mencegah agar proses pengelolaan tahapan Pemilu tidak menimbulkan kecurigaan publik.
Sukses tidaknya pemilu 2014 tugas penyelenggara pemilu untuk mengembalikan kepercayaan publik dalam rangka membangun legitimasi politik dan memastikan kualitas berdemokrasi sangat ditentukan sejauhmana relasi antara tekad dan kemauan bersama penyelenggara pemilu. Ada banyak argumen penting menjadi kerangka acuan pemikiran betapa urgensinya konvergensi norma etika dan norma hukum di tengah kelunturan norma agama. Mengingat ide penataan sistem etika bernegara merupakan substansi amanat konstitusi maka diperlukan pemahaman komprehensif mengenai infrastruktur etika.

________________________________
Penulis adalah, Staf di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar