Oleh Rahman Yasin
Setelah melakukan refleksi atas pelanggaran-pelanggaran
kode etik pemilu baik dengan trand dan modus-modusnya, pertanyaan yang muncul
ialah bagaimana dengan prospek penyelenggaraan pemilu tahun 2014?.
Pergantian anggota KPU dan Bawaslu pada tingkat tertentu di tahun 2013 dilakukan,
perubahan sistem perekrutan terus ditingkatkan, usaha menuju perbaikan selalu
diutamakan, prioritas kapasitas penguasaan baik secara konsepsional maupun
secara teknis pun telah dilaksanakan, syarat-syarat perekrutan calon anggota
penyelenggara pemilu diperketat, atau pendek kata pada tahun 2013 peningkatan
paradigma prioritas anggota penyelenggara pemilu yang berkapabilitas,
kredebilitas, dan integritas menjadi faktor penentu tetapi publik pun merasakan
betapa penyelenggaraan pemilu, pileg, dan pemilukada di tahun 2013 tidak pernah
sunyi dari praktek pelanggaran kode etik.
Bukankah dipundak mereka seluruh rakyat Indonesia menanti perubahan?
Sorotan tajam dari publik sepanjang tahun 2013 merefleksikan bagaimana publik
prihatin dengan performa sejumlah anggota KPU dan Bawaslu di semua jajaran.
Masyarakat prihatin pada perilaku politik tidak etis yang menggunakan kekuasaan
dan kekuatan politik untuk mengintimidasi, mengintervensi, termasuk menggunakan
preman untuk mengancam keselamatan jiwa dan fisik anggota penyelenggara. Rakyat
tentu menyayangkan sikap sebagian anggota penyelenggara yang terlibat dalam
politik praktis. Kita prihatin atas pelanggaran kode etik dengan berbagai
bentuk modus. Kita juga menyayangkan perilaku distorsif oknum anggota KPU dan
Bawaslu hanya karena dijanjikan oleh calon peserta tertentu kemudian membuat
kebijakan bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan. Kita
menyayangkan mengapa penyelenggara pemilu mau diseret atau bahkan saling
menyeret satu sama lain ke arena politik praktis hanya karena membela calon
peserta dengan menukar integritasnya. Padahal, dipundak mereka rakyat dan
bangsa Indonesia mengharapkan perubahan. Mereka memikul beban tanggungjawab
moral yang tinggi pada negara karena mereka dipilih, diangkat dilantik dan di
sumpah mengabdi pada bangsa dan negara. Anggota KPU dan Bawaslu adalah tumpuan
harapan segenap warga negara Indonesia diseantero nusantara karena dari
merekalah bangsa ini akan berubah ke arah yang lebih baik melalui pemilu
berintegritas. Dari cara mereka bekerja secara profesionallah diharapkan dapat
terwujud instrumen demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat (government of, by
and for the people). Pemilu berintegritas sudah pasti pemimpin yang
dihasilkan pun berintegritas.
Pemilu ternyata dalam praktik tidak saja menjadi
momentum peralihan kekuasaan secara konstitusional tetapi telah dimanfaatkan
segelintir elit untuk memperebutkan kekuasaan secara kurang beretika. Oligarki
kekuasaan internal partai politik menyebabkan begitu banyak kekacauan
penyelenggaraan pemilu terutama dikarenakan persepsi politik elit yang tidak
sejalan dengan aturan. Sebenarnya, hal ini lebih dipicu oleh ketidaksiapan untuk
menerima kenyataan. Bahkan buntut dari perilaku yang tidak bersandarkan pada
norma aturan inilah yang menimbulkan praktik KKN dalam penyelenggaraan pemilu
terutama antara aktor dan penyelenggara. Pemilu pun dijadikan ajang praktik
korupsi.
Pada penghujung 2013 (2/10/2013), KPK
menangkap ketua MK Akil Mochtar karena tertangkap basah menerima suap
pemilukada Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah yang dilakukan calon Bupati
Hambit Bintih yang hingga sekarang pelantikannya masih menimbulkan kontroversi
karena statusnya sebagai tersangka. Dari aspek etika dan estetika jelas
menunjukan betapa tradisi politik kekuasaan di negeri kita seakan tidak
berperikemanusiaan. Seorang tersangka korupsi yang jelas diketahui melakukan
suap kemudian dimenangkan dan dilantik menjadi pemimpin. Bahkan yang terkini
yakni tanggal 20 Desember 2013 KPK menetapkan dan menahan Gubernur Banten Ratu
Atut Chosiyah sebagai tersangka dalam kasus suap pemilukada Kabupaten Lebak
Banten tahun 2013.
Implikasi praktik kecurangan
dalam penanganan pemilukada di MK 2013 inilah yang kemudian turun putusan PTUN
Jakarta dengan nomor perkara 139/G2013/PTUN-Jkt membatalkan Keppres RI No
87/P/2013 tertanggal 22 Juli 2013 yang digugat Koalisi LSM Tim Penyelemat
Mahkamah Konstitusi di bawah ICW dan YLBH. Putusan PTUN tersebut secara yuridis,
Keppres RI No 87/P tentang Pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida
menjadi hakim MK dengan sendirinya batal demi hukum atau tidak lagi berkekuatan
hukum. Sebuah ironi bagi kita karena lembaga negara yang diberi wewenang
menangani PHPU dari yang paling hilir ini dikontaminasikan oleh oknum tidak
bertanggungjawab.
Betapapun penanganan pelanggaran pemilu yang sarat
kecurangan ini telah menguras energi optimisme masyarakat menatap pemilu 2014.
Meski begitu sebagai warga negara, kita harus menolak persepsi sebagian
kalangan mengenai pemilu 2014 yang dimulai dari tahapan pileg 9 April 2014
pemungutan dan penghitungan suara ini memiliki potensi kecurangan dan mengancam
legitimasi politik pemerintahan yang dibentuk nanti. Untuk menjawab pesimisme
publik pada pemilu 2014, penyelenggara pemilu hendaknya memastikan bahwa proses
dan hasil pemilu 2014 akan lebih berintegritas. Hukum di satu sisi ditegakan
dan pada sisi yang sama etika pun harus ditegakan. Pemilu 2014 harus dipastikan
jaminan ruang kompetisi bagi peserta pemilu yang fair—pemilu sebagai instrumen penting
untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan good governance dan pelayanan publik yang baik (excellent management of public services and policies). Selama ini sanksi bagi pejabat
negara dengan pendekatan hukum terasa lamban karena butuh waktu panjang
sehingga berimplikasi negatif terhadap institusi negara. Institusi yang
dipimpin pejabat fungsional maupun struktural yang tengah menghadapi kasus
korupsi misalnya, proses hukumnya benar-benar memakan waktu lama dan mengganggu
kepercayaan publik pada lembaga bersangkutan. Artinya, proses yang lamban dan
bersangkutan belum dinyatakan tersangka tetapi institusi sudah tersandra dengan
distrust.
Oleh sebab itu untuk mewujudkan kemandirian dan
imparsialitas kelembagaan KPU dan Bawaslu diperlukan penegakan rule of law
and the rule of ethics. Penyelenggara pemilu yang tidak berpihak dan dalam
praktik terlihat tidak berpihak. Anggota KPU dan Bawaslu independen dan harus
terlihat netral. Selama publik melihat tidak independen maka tugas utama
bagaimana meyakinkan publik bahwa mereka independen. Bagaimana menggunakan
ruang publik termasuk media massa untuk tidak melakukan hal-hal yang mengundang
masyarakat curiga. Tidak boleh membuat sesuatu yang dapat menimbulkan kecurigaan
publik terhadapnya karena dianggap tidak imparsial. Hal ini semata-mata untuk
mencegah agar proses pengelolaan tahapan Pemilu tidak menimbulkan kecurigaan
publik.
Sukses tidaknya pemilu 2014 tugas penyelenggara pemilu
untuk mengembalikan kepercayaan publik dalam rangka membangun
legitimasi politik dan memastikan kualitas berdemokrasi sangat ditentukan
sejauhmana relasi antara tekad dan kemauan bersama penyelenggara pemilu. Ada
banyak argumen penting menjadi kerangka acuan pemikiran betapa urgensinya
konvergensi norma etika dan norma hukum di tengah kelunturan norma agama.
Mengingat ide penataan sistem etika bernegara merupakan substansi amanat
konstitusi maka diperlukan pemahaman komprehensif mengenai infrastruktur etika.
________________________________
Penulis
adalah, Staf di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar