Rabu, 26 Februari 2014

Pertaruhan Integritas Penyelenggara Pemilu



Bagian ke-4


Oleh: Rahman Yasin


Tidak bekerjanya norma etika sosial, norma hukum, dan ketidakberdayaan norma agama dalam praktik kehidupan secara negatif memberi kontribusi bagi kekacauan sistem bernegara. Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) tidak saja menjadi budaya tetapi sengaja direkayasa untuk kelanggenangan kekuasaan sehingga dengan begitu banyak oknum birokrasi yang dengan cara langsung maupun tak langsung berupaya membelokkan dan mengarahkan mesin birokrasi berjalan menuju pada kebutuhan individu. Penyelenggara pemilu terdiri dari KPU, Bawaslu, dan DKPP merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Ketiga institusi ini diamanatkan UU No 15 Tahun 2011 sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan. Pemilu harus dipahami sebagai usaha untuk mendapatkan suatu otoritas moral karena dalam politik terkadang negara difungsikan untuk melanggengkan kekuasaan hingga pada titik tertentu kapasitas moral negara menjadi rendah memainkan fungsi legitimasi.  Integritas pemilu sangat dibutuhkan. Integritas Pemilu terdiri atas proses/tahapan dan hasil-hasil, sementara untuk mewujudkan kedua integritas, diperlukan integritas pada penyelenggara. Kunci pemilu berintegritas adalah apabila anggota KPU, Bawaslu, dan jajaran di seluruh jenjang memiliki integritas.
Pelaksanaan pemilu 2014 hendaknya dimaknai memiliki suatu kemampuan untuk mengubah kecenderungan politik massa dari yang bersifat sporadis hingga menjadi suatu otoritas dan kekuatan politik nasional. Pemilu luber jurdil hanya dapat terwujud apabila penyelenggara memiliki integritas yang tinggi, memahami, dan menghormati hak-hak sipil dan politik warga negara. Penyelenggara yang memahami letak kemampuan pemilu di dalam memberikan legitimasi kekuatan politik karena proses dan hasil dianggap sebagai sarana pemantapan legitimasi bagi suatu rezim pemerintahan yang dibentuk nanti.
Persoalan integritas merupakan hal mendasar untuk membangun kepercayaan publik terutama dalam manajemen organisasi negara modern. Proses penyelesaian hukum proseduralistik-legalistik memakan waktu panjang sehingga untuk menjadi negara demokrasi modern diperlukan infrastruktur peradilan etika yang lebih berkeadilan restoratif guna mengatasi krisis kepercayaan publik pada institusi negara. Pembentukan sistem etika bernegara sudah menjadi perhatian dunia internasional dan tidak lagi negara-negara yang menganut demokrasi saja tetapi sudah mendunia. Dalam perspektif ini misalnya, O. Obasanjo, ‘Keynote Address (1997) mengatakan, Others are wont to argue that the African culture of appreciation and hospitality encourages corrupt practices. Again, I shudder at how an integral aspect of our culture could be taken as the basis for rationalizing an otherwise despicable behaviour. In the African concept of appreciation and hospitality, the gift is usually a token.
Pemilu berintegritas bagian dari konsolidasi demokrasi beretika. Konsolidasi demokrasi yang mengarah pada penguatan nilai kultural kebangsaan. Gagasan perubahan transformatif yang beretika bersandarkan pada budaya kebangsaan inilah tidak ada alasan untuk tidak menghasilkan proses dan hasil pemilu 2014 berintegritas. Integritas pada semua tahapan menjadi hal utama yang mesti diperhatikan. KPU dan Bawaslu di semua jajaran harus memainkan peran tanggungjawab untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa yang berintegritas. Mengingat electoral integrity tidak hanya menjadi konsentrasi negara-negara maju dan berkembang tetapi sudah menggejala hingga ke semua negara di dunia. Pemimpin-pemimpin negara di dunia sudah mulai mengangkat isu pentingnya pemilu berintegritas (democratic electoral processes). Fokus demokrasi substansial rule of law sebagai faktor determinan kekuasaan dengan penguatan supremacy of law, equality before the law, dan bersamaan penegakan rule of ethics.
Namun demikian, performa DKPP jangan sampai hanya bersandar pada kegelisahan atas sikap dan perilaku segelintir anggota KPU dan Bawaslu yang menyimpang. Lompatan kinerja untuk mengatasi defisit etika politik dan etika pemerintahan tidak hanya bersandar pada persepsi publik terutama calon peserta pemilu yang tidak siap bertarung dengan fair kemudian membuat persepsi sendiri secara negatif pada KPU dan Bawaslu melainkan bagaimana misi mulia itu disertai dengan tindakan, sikap dan perilaku yang benar. Karena hanya dengan mengandalkan konsep dan teori kebaikan tanpa dikuatkan dengan watak dan perilaku yang jujur, adil, sabar, santun, konsisten pada nilai kebaikan, dan mampu menahan godaan, rayuan, janji atau pengaruh pihak-pihak luar merupakan hal yang sangat tidak terpuji. Kejujuran dengan bersikap adil pada sesama tidak hanya karena menyimpan motif tertentu melainkan memerlukan tingkat pemahaman ethics, wawasan ethics, intelektualitas yang baik, kesadaran ethics, “rasa” ethics, serta kualitas kepribadian baik yang konsisten dengan nilai (value) keadaban sosial. Hal ini senada dengan apa yang diidealkan Plato, bahwa negara harus dikelola oleh orang-orang yang bijak dalam pengertian filosofis. Karena dari orang-orang bijak inilah lahir perasaan-perasaan etika sosial yang tinggi untuk menjalankan mandat rakyat. Dalam konteks ini, meminjam istilah Jimly Asshiddiqie, pejabat negara hendaknya mereka yang memiliki kesadaran untuk bertindak dengan berkepala dingin, bertangan dingin, dan berjiwa dingin (rasional, profesional dan berintegritas).
Ide perbaikan etika kehidupan berbangsa telah tertuang dalam TAP MPR/VI/2001 Tentang Etika Berbangsa seperti pada pokok-pokok etika berbangsa tentang etika politik dan etika pemerintahan: Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa.”
Berdasarkan ketentuan UU No. 15 Tahun 2011 dan melalui prinsip-prinsip layaknya sebuah peradilan telah menempatkan Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No. 13 Tahun 2012, No. 11 Tahun 2012, dan No. 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai "hukum materil"-nya, serta Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai "hukum formil"-nya. Tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan harus dimulai dari ide karena ide memiliki posisi kuat dalam tradisi pemikiran politik modern. Fungsi penegakan etika politik dalam sistem berbangsa dan diharapkan mampu menarik perhatian publik the believed capacity of any object to statistfy a human desire. Hal ini karena pemahaman politik elite curculation tidak berjalan efektif bahkan kecenderungan praktek yang terjadi tidak hanya keinginan merebut kekuasaan dengan berbagai cara (power aggrandizement) tetapi praktek kekuasaan absolute , misalnya, calon incunbent  kerap memanfaatkan fasilitas negara.
Proses dan hasil pemilu berintegritas ditentukan oleh sistem peraturan dan perundang-undanganelectoral laws dan electoral processe dari penyelenggaraan pemilu yang tidak hanya mengedepankan asas legalitas-formal tetapi asas-asas penalaran intelektual dan olah rasa yang tinggi pada tahapan pemilu. Dari sisi penegakan kode etik pemilu, lembaga DKPP harus bisa memastikan bahwa penegakan etika politik dan etika pemerintahan memiliki dasar dan tujuan yang begitu mulia sehingga sudah saatnya mengembangkan tradisi sikap adil dan jujur untuk membentuk pemikiran para pejabat negara supaya senantiasa bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila melakukan pelanggaran dan sikap melawan hukum dan rasa keadilan masyarakat sebagaimana dalam TAP MPR/VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Memastikan bahwa pejabat negara dalam merumuskan kebijakan mengedepankan sikap responsif, peka, transformatif atau dalam istilah Lasswell, kebijakan publik yang mengarah pada kebutuhan masyarakat (Public policy may deal with a wide variety of substantive areas: defense, energy, environment, foreign affairs, education, welfare, police, highway, taxation, housing, social security, helath, economic opprtunity, urban development, inflation and recession, and so on).
Di penghujung tahun 2013 ini adalah momentum emas bagi institusi penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) untuk menjadikan tahun 2014 sebagai “tahun kerja lembaga penyelenggara pemilu”. Tahun 2014 menjadi momentum dalam rangka mengembangkan tradisi berdemokrasi yang sehat. Menjadikan institusi penyelenggara pemilu sebagai institusi berdemokrasi, institusi dalam tradisi bernegara, dan institusi bernegara yang baik. Perlu melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi pemahaman etika politik bernegara dengan berkontemplasi (bermujahadah) pada peristiwa-peristiwa sepanjang tahun 2013 baik yang negatif maupun positif menjadi pelajaran dalam proses peningkatan kapasitas lembaga penyelenggara pemilu. Dari catatan modus-modus pelanggaran pemilu tahun 2013 dengan memotret kinerja lembaga penyelenggara pemilu berdasarkan fakta dan data, maka prospek pemilu 2014 cukup menarik perhatian semua pihak untuk berpartisipasi menyukseskannya.
Tentu saja, kita dapat mengambil atau menarik pengalaman dari penyelenggaraan pemilu-pemilu yang digelar sepanjang era reformasi (1999, 2004, 2009) dan pemilukada tahun 2013 yang tidak senyap dengan praktik kecurangan. Legitimasi proses dan hasil pemilu 2014 harus menjadi prioritas penyelenggara pemilu. DKPP sebagai lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu dalam praktik peradilan etika yang terbuka diharapkan efektif memainkan peran pencegahan karena peradilan yang diselenggarakan dengan tertutup selain bertentangan dengan arus demokrasi modern juga umumnya berkecenderungan dengan penyelesaian cara adat sehingga KKN pun tak terhindarkan.

                                    ________________________________
Penulis adalah, Staf di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar