Minggu, 25 Oktober 2015

Etika Kehidupan Berbangsa

SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ETIKA:
Gagasan Transformasi Praktik Etika Kebangsaan dan Ke-Indonesiaan

Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)


1.   Sejarah Perkembangan Pemikiran Etika
Sejarah pemikiran manusia selalu memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan struktur kebudayaan dan peradaban yang ada pada zaman yang berkembang. Dari zaman klasik sampai dengan zaman modern, perkembangan pemikiran filsafat tidak bisa dilepaskan dari sejarah tradisi dan kebudayaan Yunani kuno. Bangsa Yunani memiliki relasi historis-empirik yang kuat dalam membentuk corak pemikiran filsafat pada setiap tahap perkembangan generasi yakni baik dari zaman klasik, sampai pada abad pertengahan hingga memasuki abad kontemporer.
Dalam literatur klasik maupun kontemporer, kajian-kajian ilmiah mengenai sejarah perkembagan etika selalu dikaitkan dengan pemikiran-pemikiran filsafat terutama filsafat Yunani yang sejak berpuluh-puluh abad silam telah diperbincangkan. Frans Magnis Suseno misalnya, dengan merujuk pada berbagai literatur klasik (dalam Ludigdo) mengatakan, bahwa pemikiran filsafat yang berkembang pada era modern sekarang ini tidak lepas dari pengaruh pemikiran filsafat Yunani. Dalam perkembangan filsafat Yunani, kita mendapatkan klasifikasi pemikiran filsafat seperti metafisika dan etika. Namun perkembangan pemikiran filsafat metafisika dan etika ini sesungguhnya bermula dari filsafat alam. Tipe pemikiran filsafat alam inilah disebut sebagai filsafat pra-Socrates (Betrand Russel). Pemikiran etika dapat ditelaah melalui pemikiran-pemikiran generasi setelah Pytagoras (570-496 SM).
Esensi pemikiran murid-murid Pytagoras terlihat dari penjelasan mereka mengenai tubuh manusia yang menurut mereka merupakan kubur dari jiwa sehingga dari pemikiran inilah kemudian berkembang dialektika mengenai nilai-nilai filosofis. Ada ide pembebasan. Ide pembebasan dimaksudkan, bahwa apabila manusia ingin memisahkan jiwa dari badannya maka manusia harus terlebih dahulu melakukan pembersihan. Dari sinilah titik awal persinggungan bagaimana jiwa setiap manusia itu bekerja secara rohani. Ada sesuatu yang bersifat abstrak dan diharuskan bisa bekerja dengan aktif dalam rangka menyelaraskan pemikiran manusia. Para pemikir filsafat ini menganggap bahwa kehidupan sosial dan kehidupan kolektif dalam perkembangan dan pengertian kekeluargaan, persahabatan, serta kebersamaan sebagai sesama umat manusia hendaknya dikuatkan dengan nilai-nilai kebaikan, kejujuran, dan keadilan yang tinggi yang harus dijunjung tinggi termasuk dalam kehidupan bernegara. Filsafat pemikiran ini dalam tahap perkembangan kemudian dilanjutkan oleh Democritus (460-371 SM) yang pada intinya mengajarkan dan menekankan pentingnya keadilan. Keadilan menjadi nilai etika dan moralitas dalam kehidupan bersama baik dalam kerangka persahabatan maupun dalam persaudaraan. Plato menekankan idea yang baik dan menjadi pedoman hidup sekaligus sebagai penuntun umat manusia dalam menggapai kebaikan.
Dari pendekatan Renaissance dan Humanisme mulai terlihat bermunculan sarjana di Yunani di Eropa yang secara sadar intelektual menarik minat kajian terhadap kebudayaan Yunani pada khususnya dan kebudayaan kuno pada umumnya. Orang mau mengembalikan kebudayaan kuno itu ke dunia modern. Itulah yang dianggap kebudayaan yang sempurna. Masa ini terkenal dalam sejarah sebagai lahirnya kembali zaman kuno atau renaissance. Dalam pada itu, filsafat pun tidak ketinggalan. Orang tidak lagi memusatkan pikirannya kepada Tuhan dan surga, melainkan kepada dunia saja dan dalam dunia itu yang merupakan pusat utama ialah manusia. Manusia didewa-dewakan, manusia tidak hanya merupakan pusat pandangan, di sana-sini, manusia merupakan tujuan adanya. Aliran yang memusatkan pandangan kepada manusia itu disebut haumanisme. Mungkin terjadi dalam aliran ini bahwa manusia lalu menjadi hal yang tertinggi. Lain hal tak ada: maka humanisme ini menjadi humanisme ateistis, meski tidak tiap-tiap humanisme merupakan humanisme ateistis.[1]
Dalam pengertian itulah apa yang disebut oleh Sunoto dalam bukunya berjudul “Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia” (1983), bahwa sejarah pada umumnya berisi peristiwa-peristiwa penting baik mengenai seseorang, kelompok masyarakat, maupun negara. Sejarah sebenarnya merupakan sejarah umat manusia, atau sejarah kemanusiaan. Sejarah merupakan peristiwa yang berangkai-rangkai dari masa ke masa. Kehidupan manusia dan kemanusiaan mengalami pasang surut, mengalami masa-masa yang menggembirakan dan masa-masa yang memprihatinkan. Pada suatu masa hidup dalam kedamaian dan di masa yang lain hidup di dalam kegelisahan dan keresahan. Umat manusia dapat saling tenggang-menenggang tetapi ada kalanya juga saling bermusuhan dan berebutan. Sebab musababnya bermacam-macam, antara lain harga diri yang berlebihan, keinginan untuk berkuasa, keinginan untuk memperoleh kedudukan dan harta benda. Dengan kata lain, karena nafsu manusia itu sendiri.[2]
Aristoteles menulis bukunya yang berkepala “peri-psyches”, atau tentang jiwa, yang dalam bahasa modern psichologi atau ilmu jiwa. Dalam ilmu jiwa ada banyak aliran dan banyak pula pendapat tentang apa yang dijadikan obyeknya. Akan tetapi bagaimanapun juga perbedaannya, satu hal adalah tentu dan merata di dalam semua aliran: yang menjadi tujuan dari ilmu jiwa adalah pengertian tentang manusia. Manusia sendiri sebagai gejala dengan semua tingkah lakunya, itulah yang ditinjau, yang diselidiki, itulah obyeknya. Dan yang dituju ialah pengertian tentang manusia sebagai subyek empiris.[3] Etika Yunani maupun etika modern secara substansial memiliki persamaan, di mana etika memberikan arahan agar manusia dapat hidup dengan baik dan bermakna berdasarkan nilai-nilai kebaikan universal. Agar manusia hidup baik maka yang perlu ditempuh ialah dengan menggunakan etika kebijaksanaan. Etika kebijaksanaan inilah yang memunculkan orang-orang bijaksana, karena orang-orang bijaksana memahami kehidupan dengan pemahaman atas kosmos dan realitas. Dan itulah sebabnya mengapa Plato mengatakan, negara dan pemerintahan demokrasi haruslah di bawah kendali orang-orang bijaksana. Karena orang-orang bijaksana tidak hanya menggunakan rasionalitasnya tetapi juga akal budi untuk memahami realitas.
Pada tahap perkembangan berikutnya, pemikiran Yunani dari Aristoteles (384-322 SM). Aristoteles menggambarkan etika secara lebih kritis, reflektif dan memiliki argumentasi yang kuat (Suseno) etika menurut Aristoteles sebagai sebuah cabang ilmu filsafat yang mandiri. Pendapat inilah yang membedakan Plato dengan Aristoteles. Menurut Aristoteles, pendapat Plato tentang edea. Idea menurutnya lebih merupakan interpretasi terhadap suatu realitas, di mana manusia memiliki kompetensi tertentu untuk membuat konsep-konsep universal mengenai fenomena-fenomena empiris yang menjelaskan bagaimana menolak alam idea yang abadi. Manusia tidak perlu melakukan perenungan atas idea untuk mencapai kehidupan. Pendek kata pemikiran Aristoteles lebih pada pendekatan empiris yang menekankan realitas inderawi.
Menurut Franz Magnis Suseno etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik berkaitan dengan pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral. Dalam arti yang lebih luas etika diartikan keseluruhan mengenai norma dan penelitian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.Pada zaman Yunani (Plato) orang mengartikan baik dan buruk itu merupakan keputusan masing-masing atau kesepakatan bersama dari pada suatu aturan abadi. Hukum tidak abadi dan tidak berlaku umum, melainkan berdasarkan kesepakatan dan berbeda di tempat yang berbeda.Tokoh lain yang mengutarakan tentang pengertian etika adalah Aristoteles. Etika menurutnya adalah ilmu tentang tindakan tepat dalam bidang khas manusia. Objek etika adalah alam yang berubah terutama alam manusia, oleh karena itu etika bukan merupakan episteme atau bukan ilmu pengetahuan. Dalam etika dibedakan antara etika deontologis dan teleologis. Etika deontologis menekankan kualitas etis suatu tindakan bukan tergantung pada akibat tindakan itu melainkan tindakan itu sendiri betul atau salah dalam arti moral, tanpa melihat pada akibatnya. Sebaliknya, menurut etika teleologis tindakan itu sendiri bersifat netral.
 Tindakan menjadi betul dalam arti moral apabila akibatnya baik, salah apabila akibatnya salah. Aliran de-ontologis yang dianut oleh Immanuel Kant ternyata juga mempengaruhi pendapat Franz Magnis tentang etika. Menurut aliran deontologis Franz, ini mempunyai pendapat yang sama dalam memandang bahwa etika memberikan pengertian agar segala tindakan moral manusia baik. Kesamaan pandangan terdapat pula pada pendapat Frans yang menyebut bahwa akibat dari tindakan tersebut mempengaruhi pendapat seseorang tentang kebaikan. Seseorang hendaknya bertindak sedemikian rupa untuk berhati-hati dan diarahkan pada kebaikan.
Secara historis etika sebagai usaha dari filsafat, yang lahir dari kerusakan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. pada zaman ini pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai, maka para filosof yang peka terhadap kondisi ini mulai mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi perilaku manusia. Situasi tersebut berlaku pula pada zaman sekarang ini. Persoalan yang muncul bukan hanya menbedakan antara kewajiban dan yang bukan merupakan kewajiban, melainkan manakah norma-norma untuk menentukan apa-apa yang harus dianggap sebagai kewajiban. Norma-norma moral sendiri dipersoalkan. Misalnya di bidang etika seksual, hubungan anak dan orang tua, kewajiban terhadap negara, etika sopan santun dan pergaulan dan penilaian terhadap harga nyawa manusia terdapat pandangan-pandangan yang sangat berbeda satu sama lain. Untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-pandanagan moral ini diperlukan refleksi kritis etika.

2.   Memahami dan Menerapkan
Esensi Moralitas Dalam Masyarakat Modern
Dalam bukunya Religion and Modern Man, John B. Magee mengatakan, zaman modern tanpa agama dan moral sebenarnya sudah berjalan sejak 300 tahun lamanya yakni sejak generasi Galileo tahun 1632 hingga zaman Hitler 1933 (The 300 years from the publication of Galileo’s Dialogue in 1632 to Hitler’s appointment as Chancellor of Germany in 1933 represent in round numbers the epoch I have called modernity).[4] Bahkan kediktatoran Hitler dan Nazinya telah meluluhlantakan sistem nilai-nilai kemanusiaan universal termasuk sistem politik di negara-negara yang ketika itu mengalami rotasi demokratisasi. Hitler digambarkan Henry C. Link dalam bukunya “The rediscovery of moral’s membenarkan perspektif Magee yang mengatakan, Hitler sebenarnya berusaha menghancurkan moral internasional dengan menggunakan terminologi (...... should be the first in modern times to reject international morality with the cynical world “a scrap of paper”).[5]
Dalam perspektif pemahaman mengenai moral ini semakin diminati bahkan terus menjadi perhatian masyarakat modern sehingga pada titik tertentu, negara dalam menghadapi persoalan-persoalan etika dan moral tetap dipandang sebagai bagian dari usaha untuk mewujudkan sistem kehidupan berbangsa yang berperadaban. Al Gazali dalam teorinya mengatakan, manusia atau suatu entitas masyarakat yang telah mempunyai konsensus bersama untuk hidup bersama jelas membutuhkan semacam rumah yang canggih dan modern yang di dalamnya terisi berbagai perabot kebutuhan manusia yang menghuninya. 
Al Gazali menggunakan istilah “bilad” atau “balad” (negeri) yang tentu menjadi prasyarat utama terbentuknya sebuah negara. Dengan demikian, negeri yang kemudian mengalami evolusi sesuai perkembangan zaman berubah menjadi negara dan dengan sistem kenegaraan maka secara formal negeri atau negara memerlukan institusi-institusi dengan tujuan mengatur keselamatan-keselamatan masyarakat baik bersifat pribadi maupun kolektif. Itulah sebabnya kita mengenal istilah misahah dalam urusan pembagian tanah pada rakyat dan distribusi kekuasaan politik secara adil, dan ada istilah lain yaitu jundiyah yakni memberikan perlindungan bagi semua warga negara, dan tentu semua itu dilakukan lewat suatu pemerintahan. Pemerintahan negara yang memiliki standar hukum (fiqih).[6] Hukum ditujukan untuk mengatur dengan menetapkan, menjatuhkan sanksi bagi setiap warga negara yang melanggar baik norma hukum, norma etika, dan norma-norma budaya negara bersangkutan guna menciptakan ketertiban dan kedamaian bersama.
Dalam menciptakan suasana ketertiban dan kenyamanan bernegara diperlukan kemauan kuat dan tekad yang sungguh-sungguh dari semua elit masyarakat termasuk stake-holders yang ada. Kesadaran kolektif yang bersifat ethical principle atau sebagai asas etis untuk mewujudkan kedamaian. Kesadaran dalam ethical rationalism atau rasionalisme etis seperti yang dicanangkan Socrates, Plato, dan Aristoteles. Manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki fungsi akal dan mempunyai tujuan utama dalam kehidupan akalnya. Dalam perspektif ini maka sistem metafisis sebagaimana dikemukakan Plato dan Aristoteles yang menekankan dimensi watak rasional dari realitas bagi manusia rasional untuk memahaminya. Dengan demikian, seiring terus berjalannya waktu, perkembangan ilmu dan pengetahuan terus mengalami peningkatan dan berbagai riset, pendalaman keilmuan pun terus dilakukan sehingga dengan pendekatan ikhtiar penelitian, konsep etika dan moral kemudian dipahami sebagai sesuatu yang bersifat personal namun tetap menjadi kesatuan dari etika sosial. Itulah sebabnya kita mengenal ada etika privat dan etika publik.
Dalam kehidupan sosial tidak semua individu memiliki kualitas dan kapasitas kepribadian yang pantas dijadikan sebagai rujukan atas suatu perintah. Dalam dunia organisasi sosial maupun organisasi pemerintahan sekalipun tidak semua individu dapat tampil dengan baik memberikan instruksi tertentu kepada bawahannya dengan mengatasnamakan organisasi. Itulah sebabnya dalam pembahasan mengenai etika selalu menekankan pada dimensi integritas seseorang, apakah dapat dipercaya atau tidak. Artinya, sebaik apapun sistem yang dibangun, namun di bawah kendali orang yang tidak pantas menjalankan sistem tersebut maka tidak akan menghasilkan perubahan seperti yang diinginkan. Itulah sebabnya dalam pengelolaan pemerintahan demokrasi modern diperlukan setiap individu yang memiliki kapasitas dan integritas moral yang tinggi.
Negara dengan pemerintahan demokrasi sekalipun tetapi apabila dipimpin dan dibawah kendali orang yang lemah dalam karakter dan integritas moral maka pemerintahan negara tersebut tidak memunculkan keadilan dan kesejahteraan bagi warga negara secara merata. Itulah sebabnya, pemerintahan negara demokrasi seharusnya menempatkan orang-orang yang memiliki standar kualifikasi etika dan moral yang tinggi sehingga dengan demikian dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik. Pemerintahan yang dapat memberikan pelayanan pada rakyat yang baik tanpa diskriminasi. Etika merupakan persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun etika harus dikuatkan dengan sistem yang kuat. Karena betapapun etika sosial kuat namun tidak ditopang dengan sistem yang bersih dan kuat maka tidak bisa dielak bahwa dengan sistem yang lemah akan memungkinkan bagi setiap orang yang menjalankan sistem untuk bertindak kotor. Inilah pentingnya etika menjadi fondasi moral dalam membangun sistem pemerintahan yang bersih. Plato misalnya, tidak hanya menekankan pentingnya etika sebagai basis legitimasi moral dalam sebuah pemerintahan negara tetapi juga etika harus dikuatkan dengan sistem. Bahkan lebih filosofis, Plato mengatakan, persoalan etika sesungguhnya tidak hanya terletak pada kaidah benar atau salah melainkan juga pada standar kelayakan dan kepatutan seseorang diberikan kepercayaan publik. Artinya, seseorang itu apakah berkompetensi baik atau tidak sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku sosial yang senantiasa menunjukkan kejujuran, adil, dan bertanggungjawab. Dengan merujuk pada pendapat Plato, maka tidak semua masyarakat terutama elit dalam suatu negara diberikan jabatan tertentu.

3.   Norma Etika Bernegara: Kasus Amerika Serikat
Masalah  serius yang banyak dilupakan orang adalah sistem etika yang mengalami tantangan besar dalam proses transformasi perilaku etis dalam kehidupan bernegara. Semakin marak perilaku tidak etis dan tidak bertanggungjawab pada tugas-tugas negara dari para pejabat yang mengikuti hawa nafsu dunia turut memberikontribusi negatif bagi lambannya penegakan sistem etika bernegara. Perilaku elitis dan konsumtif dengan menjadikan kekuasaan, jabatan dan pangkat jadi alat mencapai tujuan negatif hampir menggejala di mana-mana. Dalam sejarah politik Amerika Serikat, negara adikuasa ini menggunakan standar nilai etis bagi masyarakatnya untuk membangun peradaban politik demokrasi yang menurut mereka lebih unggul dengan dasar etika. Norma-norma etika sosial disadurkan dalam konstitusi Amerika Serikat. Hal ini sebagai basis penguatan nilai-nilai budaya nasional Amerika Serikat dan terbukti kuat dalam sistem demokrasinya.
Lockwood merupakan tokoh pemikir Amerika Serikat yang merumuskan konsep kehidupan bernegara berorientasi pada penekanan etika dan moral dan pengetahuan-pengetahuan sosial dengan menggunakan data empirik dan nilai-nilai historitas sebagai pendekatan yang menggambarkan konflik-konflik moral yang dramatis dalam sejarah Amerika Serikat. Karya mereka dalam buku berjudul Reasoning with Democratic Values: Ethical Problem in United State History . Dalam karya ini dijelaskan tentang “Letter to Students”, termasuk menjelaskan ke 49 episode etis dalam sejarah konflik moral di Amerika Serikat seperti digambarkan oleh Lockwood sebagaimana dikutip oleh Thomas Lickona dalam bukunya Educating for Character yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Lita S. dikatakan sebagai berikut:

“Amerika sedang berada dalam ambang keterlibatan dalam Perang Dunia I. Pada Februari 1917, Jerman memicu konflik perairan terbuka dengan seluruh pengguna transportasi perairan samudera. Tidak lama setelah itu, Jerman menenggelamkan sebuah kapal Amerika yang menewaskan sejumlah warga negara Amerika sehingga Amerika pun menyatakan perang terhadap Jerman.”
“Presiden Woodrow Wilson menyerukan pada semua warga Amerika untuk mendukung perang ini. pernyataannya: “Tidak ada pemerintahan yang dapat menolerir konflik terbuka pada masa perang.” Pada tanggal 15 Juni 1917, Kongres Amerika Serikat mengeluarkan undang-undang Spionase, yang menyatakan bahwa mengeluarkan kalimat yang menentang perang adalah sebuah kejahatan. Seluruh warga negara yang menentang perang secara terbuka akan dipenjarakan.”
“Eugene Debs, kandidat yang dicalonkan sebagai presiden dari Partai Sosialis, secara terbuka menentang undang-undang Spionase ini: bagaimana sebuah negara bersedia berperang “untuk menjadikan dunia tempat yang aman bagi demokrasi,” menyangkal hak kebebasan berbicara yang demokratis dari warga negara sendiri? Pada 16 Juni 1918, Debs menghadiri Konvensi Ohio Partai Sosialis dan mengutuk perang dengan kata-kata berikut: “Kelas penguasa selalu menjadi pihak yang menyatakan perang; kelas pengikut selalu menjadi pihak yang mentakan perang; kelas pengikut selalu menjadi pihak yang harus bertarung di medan pertempuran. Kelas penguasa dapat menarik semua keuntungan dan tak akan kehilangan apa-apa sedangkan kelas pengikut tak punya keuntungan apapun dan akan kehilangan semuanyakhususnya hidup mereka.”
“Dua minggu kemudian Eugene Debs ditahan atas tuduhan melanggar undang-undang Spionase. Juri memutuskannya bersalah; hakim menjatuhi hukuman 10 tahun penjara padanya, sebuah keputusan yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung Amerika.”
Perang dunia I berakhir pada November 1918. Sentimen publik berkembang untuk menuntut pembebasan bagi orang-orang yang dipenjara karena menentang perang. Sebuah kelompok mengajukan permohonan kepada Presiden Wilson untuk membebaskan Debs, yang waktu itu berusia 64 tahun dan dalam kondisi kesehatan yang memburuk. Wilson menolak permohonan itu dan menjawab:
“Saya tidak akan pernah memaafkan orang ini. Sementara para pemuda harapan bangsa Amerika menumpahkan darahnya untuk negara, orang ini, Debs, berdiri di belakang garis, mengecam, menyerang, dan mencaci mereka. Sebelum perang, dia punya hak penuh untuk menggunakan kebebasannya berbicara, tetapi pada saat Kongres Amerika menyatakan perang, seharusnya dia tidak perlu banyak bicara. Orang ini adalah penghianat bagi negaranya.”[7]

Kasus ini menggambarkan betapa peran seorang pemimpin mengajak warga negara untuk mendalami hikmah historis ini secara filosofis. Bagaimana sebuah bangsa yang besar menghargai nilai-nilai etis dalam kejadian historis tersebut sebagai landasan filosofis dalam mengembangkan sistem etika sosial. Gambaran peristiwa historis tersebut mengajak secara empirik bagi semua warga negara Amerika Serikat untuk mengambil hikmah dan pelajaran dan menjadikannya sebagai bahan penyusunan undang-undang terkait nasionalisme. Membangun sistem etika kebangsaan yang dilembagakan dalam suatu institusi formal.
Karya lain yang mengangkat kisah-kisah moral ditulis oleh Peter Irons dalam bukunya: The Courage for Their Convictions. Buku ini menulas persoalan-persoalan moral dan konflik-konflik hukum yang berujung di Mahkamah Agung Amerika. Sebuah sekolah SD di Riverdale, New York bernama Fieldston Lower School merupakan salah satu dari sekian sekolah di Amerika Serikat yang berbasis pada berbudaya etis. Sekolah ini dirancang untuk menginterpretasikan dinamika etis dan intelektual sebagai sarana perekat filosofis bernegara dalam sistem sosial. Gloria Frey misalnya, mengomentari buku ini sebagai tema yang menekankan pada abad pertengahan sebagai substansi dari model membangun sistem etika. Artinya, dalam abad pertengahan yang penuh hiruk-pikuk dan tantangan kerusakan tatanan etika sangat membantu bagi generasi penerus antara usia 10 sampai 11 tahun untuk memahami hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Frey melihat banyak yang paralel dengan tema-tema zaman pertengahan: (1) perjuangan untuk meraih kekuasaan, namun tetap membutuhkan perlindungan (punya kesamaan dengan sistem sosial feodalisme); tuntunan dalam melakukan perlawanan yang diperkenankan (peraturan kekesatriaan); (3) kebutuhan akan standar yang baik dan buruk (peraturan gereja); dan (4) masalah keadilan, baik bersifat individual maupun sosial.[8]
Sikap-sikap sebagaimana digambarkan di atas menuntut adanya kemauan etis baik bersifat individu maupun struktur sosial dalam membangun sistem etika sosial yang lebih praktis. Sikap yang menghendaki penguatan sistem nilai lewat sebuah institusi formal, di mana institusi negara yang difungsikan untuk mengendalikan sistem etika sosial dalam kehidupan berbangsa. Sikap kooperatif menjadi hal utama sebagai karakter berbudaya etis. Suatu sistem yang menuntut pembelajaran bagi warga negara mengedepankan aspek psiko-sosial menjadi pedoman perilaku. Dalam riset, psikolog Marilyn Watson mendapati bahwa “peluang menjadi anggota yang berkontribusi dari sebuah kelompok pertemanan yang adil dan berbudi pekerti adalah hal kondusif untuk membangun kepedulian terhadap sesama anggota kelompok, membangun sikap-sikap altruistik, dan menciptakan kecenderungan yang lebih besar untuk terlibat dalam perilaku-perilaku prososial spontan.”[9] Itulah sebabnya dibutuhkan manusia yang berperilaku sosial positif dalam kehidupan bersama.
Plato misalnya, mengatakan, bahwa, manusia pada dasarnya memiliki tujuan hidup yang baik. Untuk mencapai tujuan hidup yang baik ini maka ditempulah melalui sebuah aturan lewat apa yang disebutnya sebagai polis. Hal ini didasarkan dari pendapatnya, bahwa manusia adalah makhluk sosial yang secara kodrati harus hidup dalam sebuah sistem aturan sosial yang menjadi konsensus bersama dalam kemasyarakatan dan kenegaraan. Ide inilah yang kemudian berkembang dalam kajian ilmiah tentangan gagasan pembentukan suatu negara. Negara dibentuk berdasarkan atas dasar kepentingan ekonomi yang bersifat saling membutuhkan satu sama lain antar sesama warga negara.
Dari konsepsi negara dan masyarakat dalam tataran aturan sosial inilah kemudian kita dapatkan pemikiran Plato mengenai negara dalam klasifikasi golongan penjaga, negara dalam kategori penjaga dimaksudkan adalah para kaum filusuf yang baik secara konsepsional maupun secara nurani memiliki kemampuan mengetahui masalah kepemimpinan amanah. Melalui para kaum filsuf maka dengan kapasitas pengetahuan dan kemampuan intelektual mereka dalam memahami persoalan-persoalan tentang relasi kemanusiaan antara masyarakat dengan negara bisa mereka terapkan dengan baik tentu dengan tujuan bersama dalam negara yakni mencapai kebaikan. Selanjutnya adalah pembantu atau prajurit. Untuk kategori negara dalam perspektif pembantu atau prajurit ini yaitu mereka yang ditempatkan oleh para pemimpin di tingkat atas untuk memberikan pelayanan fasilitasi dan mendukung segala bentuk administrasi yang baik untuk keberlangsungan tugas-tugas pimpinan. Dan negara dalam pengertian golongan pekerja atau petani ini yang dibebankan oleh negara untuk seluruh kebutuhan polis.
Dari sinilah kemudian dibutuhkan pemimpin negara yang oleh Aristoteles dikatakan, orang-orang yang selalu mengedepankan keutamaan moral dan keutamaan intelektual. Keutamaan moral merupakan wujud ide dan sikap yang berani secara konsekuen memilih jalan tengah manakalah dihadapkan dengan dua pertentangan atau perbedaan yang tajam dalam suatu permasalahan. Keutamaan moral sudah pasti mengedepankan sikap tegas pada pendidirian dasarnya yakni mencapai tujuan baik bersama. Ini membutuhkan kesungguhan yang tinggi karena harus memilih jalan kebaikan dalam rangka mengurangi tingkat perbedaan yang ada sehingga dengan jalan ini maka pertentangan antar masing-masing kelompok ekstrim dapat dihindarkan. Sedangkan keutamaan intelektual yakni, manakalah manusia dalam mencari dan memecahkan suatu masalah dituntut berpikir secara rasional. Keutamaan intelektual dimaksudkan agar setiap pemimpin senantiasa mengedepankan akal budi. Dengan akal budi maka dalam mencari kebenaran dan menegakkannya dengan dasar keutamaan intelektual dan hasil dari apa yang menjadi keputusan berdampak positif bagi masyarakat. Dengan keutamaan intelektual maka setiap pemimpin dalam menghadapi permasalahan dapat menutupi kekurangannya dengan menyempurnakannya melalui rasio. Karena dalam rasio itulah yang memunculkan apa yang dikatakan Aristoteles, kebijaksanaan teoritis dan kebijaksanaan praktis.

4.   “Etika Kebangsaan dan Ke-Indonesiaan”
Indonesia merupakan negara pluralisme sosial yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya sehingga pada perkembangan demokrasi modern kerapkali dihadapkan dengan pertentangan-pertentangan politik ideologi akibat ketidaksamaan pemahaman mengenai landasan filosofi bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945 dan tujuan utama dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sesungguhnya merupakan hasil karya intelektual anak bangsa (pendiri bangsa) yang sangat fundamental dalam membangun konsensus politik bangsa yang didera kemelut seputar perbedaan-perbedaan pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar dalam etika bernegara.
Pada fase perkembangan terkini, krisis etika telah melanda di hampir semua elemen bangsa. Kerusakan moral telah memberi kontribusi secara negatif terhadap praktek korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) pada penyelenggara negara. Cita-cita yang tertanam dalam Pancasila berupa adanya integrasi nasional dan transformasi dari nilai-nilai agama yang ada di Indonesia tidak berjalan efektif sehingga kelenturan norma agama, norma hukum, dan norma etika, dan kerusakan moral semakin memperparah sistem etika sosial yang ada. Nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab, rasa kesatuan dalam berbangsa, kesadaran akan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dalam kebijaksanaan dan perwakilan, serta rasa keadilan sosial yang selalu terganggu akibat peradilan hukum kita yang lemah dikarenakan perilaku korup dari segelintir elit yang menggunakan pangkat, jabatan, kekuasaan dan wewenang untuk memperkaya diri telah menyebabkan peradilan kita kehilangan roh independennya, semua itu adalah akumulasi permasalahan dan jadi sumber kerusakan moral bangsa.
Kerusakan etika dan kekacauan moral sebenarnya sudah menjadi perhatian serius pada awal era pemerintahan reformasi di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Pemerintahan reformasi pada kepemimpinan Habibie sebenarnya sudah merancang sebuah konsep penyelesaian atas kerusakan etika dan kekacauan moral yang oleh sebagian para pemimpin dianggap perlu diatasi dengan pendekatan aturan formal. MPR kemudian menyusun suatu ketetapan yang kemudian dituangkan dalam TAP MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Maksud dan tujuan dari TAP MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini sebetulnya cukup muliah karena kehadiran TAP MPR No. VI Tahun 2001 ini diharapkan untuk membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa. Etika Kehidupan Berbangsa dirumuskan dengan tujuan menjadi acuan dasar untuk meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia serta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa. Etika Kehidupan Berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.
Rumusan TAP MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini menjadi pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa dengan mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etis kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa. Selanjutnya uraian mengenai etika kehidupan berbangsa ini mencakup enam pokok yaitu: (i) etika sosial dan budaya; (ii) etika politik dan pemerintahan; (iii) etika ekonomi dan bisnis; (iv) etika penegakan hukum yang berkeadilan; (v) etika keilmuan; serta (vi) etika lingkungan.[10]  Dalam kerangka untuk kebutuhan kajian buku ini, maka tanpa mengabaikan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa sebagaimana yang tertuang dalam TAP MPR No. VI Tahun 2001, tulisan ini memfokuskan pada poin pertama, yakni aspek kajian etika sosial dan budaya, poin kedua, berkaitan dengan etika politik dan pemerintahan, poin keempat, mengenai etika penegakan hukum yang berkeadilan, dan poin kelima yaitu tentang etika keilmuan.[11]

Etika Pancasila
Pancasila harus tetap dijadikan konsep politik bangsa dalam pengelolaan kebijakan bernegara. Dengan konsep Pancasila maka segala kehendak dan keinginan politik yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila seperti “nafsu politik segelintir elit” yang tidak membawa kebaikan bersama akan bisa dicegah. Kita perlu membangun kesadaran intelektual dan mentradisikan pemahaman ilmiah kepada kelompok elit untuk terwujudnya kemajuan bangsa dengan mendasarkan pemahaman pada Pancasila. Pancasila menjadi prinsip pengelolaan kebijakan bernegara.
Praktik kehidupan bernegara pada prinsip-prinsip fundamental dalam nilai-nilai Pancasila tercermin dari adanya suatu pemahaman dan penalaran intelektual setiap pejabat negara untuk menerapkannya. Prinsip-prinsip Pancasila tercermin dalam lima dasar Sila Pancasila itu sendiri yang kemudian dapat dikembangkan secara nalar intelektual pada tataran praktik yakni menjadi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa; prinsip Kemanusiaan yang adil dan beradab; prinsip Persatuan yang didalamnya mengajarkan kita untuk senantiasa hidup rukun, toleransi, dan saling menjaga dan memperkuat satu sama lain, prinsip Kerakyatan yang didalamnya baik secara eksplisit maupun implisit mengajarkan kita untuk selalu tolong menolong, bahu-membahu dan memunculkan sikap gotong royong, sedangkan prinsip Keadilan Sosial memuat ajaran jujur, membela kebenaran, mengedepankan musyawarah untuk kemaslahatan umum.
Prinsip-prinsip kehidupan bernegara sebagaimana diurai di atas sesungguhnya mencerminkan etika politik dan etika pemerintahan. Etika politik dan etika pemerintahan yang memuat pengertian baik secara khusus maupun secara luas. Etika dalam pengertian memuat semua dimensi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip-prinsip Pancasila ini juga merupakan intisari dari norma hukum, norma etika dan norma agama. Prinsip-prinsip dalam praktik kehidupan bernegera seperti dikemukakan diatas pada zaman sekarang terasa pudar bahkan semakin luntur di masyarakat kita sehingga diperlukan upaya kuat untuk mengembalikan spirit tersebut dengan menghidupkan prinsip-prinsip diatas salah satu jalan melalui pemberdayaan potensi sumber daya negara yang ada secara efektif dan efisien. Menggali nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam Pancasila untuk menjadi manifestasi sosial dalam kehidupan benegara.
Soekarno sebagaimana dalam sejarah dialektika pembentukan dasar negara seperti dalam Syafi’i Maarif (2006), menurutnya, Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Prinsip spiritual dan etik ini memberikan bimbingan kepada semua yang baik bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Sejalan dengan prinsip dasar ini, sila kedua, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, adalah kelanjutan dari sila pertama dalam praktik. Begitu juga dengan sila ketiga dan keempat. Sedangkan sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, menjadi tujuan akhir dari ideologi Pancasila.[12]
Pancasila menjadi dasar-dasar filosofis kenegaraan terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme. Dengan tidak diubahnya Pembukaan UUD 1945, maka tidak berubah pula kedudukan Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis bangunan Negara Republik Indonesia. Yang berubah adalah sistem dan institusi untuk mewujudkan cita-cita berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan makna Pancasila sebagai ideologi terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam sistem yang demokratis dan bersentuhan dengan nilai-nilai dan perkembangan masyarakat.[13] Dan bila masalah dasar negara disebut Soekarno sebagai Philosofische grondslag maupun Weltanschauung, maka Piagama Jakarta yang selanjutnya disebut menjadi Pembukaan UUD 1945 yang merupakan Philosofische grondslag dan Weltanschauung bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.[14]
Indonesia sebagai negara hukum dari perspektif Pancasila maka negara yang berketuhanan Yang Maha Esa. Negara hukum yang berketuhanan Yang Maha Esa ini mencerminkan kultur kebangsaan yang majemuk namun tetap dalam ikatan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, hukum negara tidak dimaksudkan untuk dipertentangkan dengan nilai-nilai keagamaan, tetapi sebaliknya dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan beragama seluruh masyarakat dan warga negara. Oleh sebab itu, norma hukum dibangun seiring dan sejalan dengan sistem nilai dan norma-norma yang hidup dalam keyakinan hukum masyarakat, dan bahkan ditegakan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai hakim tertinggi. Dalam konsepsi negara hukum Indonesia, sistem norma hukum, norma kesusilaan, dan norma agama difungsikan secara simultan dan saling melengkapi satu dengan yang lain, sehingga idealitas perilaku masyarakat dan warga negara dapat diarahkan dan dikendalikan secara efektif dan tidak saling bertentangan.[15] Norma-norma etika, norma hukum, dan norma agama menjadi perwujudan dalam transformasi nilai-nilai kehidupan nyata. Tidak boleh ada pertentangan politik ideologi atas nama demokrasi atau menggunakan terminologi Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai alat untuk mengaburkan makna substansi Pancasila karena Pancasila sebagai dasar negara sudah merupakan konsensus politik hukum kita dalam bernegara.
Negara akan menjadi kuat apabila ditopang dan dikuatkan oleh tiang-tiang penyangga dan tiang-tiang penyangga dimaksud adalah norma hukum, norma etika dan norma agama. Norma etika, norma hukum dan norma akan memiliki peranan penting untuk menentukan arah dan tujuan ke mana kita bernegara. Negara Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, bersatu dalam wadah NKRI, berkerakyatan dan bermusyawarah dalam konsep hikmah dan kebijaksaan serta berkeadilan sosial tanpa diskriminasi satu sama lain. Mengingat Indonesia adalah negara pluralisme sosial yang majemuk maka pluralitas sosial harus diarahkan kepada tujuan-tujuan bernegara yang baik yang tentu dengan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Namun demikian, yang perlu menjadi pemahaman bersama serta pentingnya membangun kesadaran kebersamaan dalam bernegara guna terwujudnya cita-cita negara hukum yang semestinya maka konsep penegakan hukum yang lamban harus diimbangi dengan penguatan etika sosial. Pelembagaan nilai-nilai etika sosial dalam praktik bernegara dengan membangun infrastruktur ethics untuk mencegah segala bentuk penyimpangan pengelolaan kebijakan negara.
Pancasila tidak hanya dipahami pada tahap dasar ideologi terbuka bangsa tetapi ia sekaligus merupakan falsafah dan pandangan hidup bangsa. Pancasila sebagaimana telah disinggung sebelumnya yakni merupakan falsafah bangsa yang sebenarnya nilai-nilai etik dan moral sudah tumbuh dan berkembang sejak lama jauh sebelum Indonesia merdeka. Oleh karena Pancasila merupakan falsafah bangsa maka sistem politik nasional dan sistem hukum hendaknya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Pada tanggal 1 Juni 1945 adalah hari di mana peristiwa pencetusan Pancasila secara resmi namun sesungguhnya Pancasila sudah sejak lama lahir dan berkembang bersama-sama dengan bangsa yang menjadi pendukung falsafah itu sendiri. Daniel Bell menulis:

“For example, makes the following argument: “Any society, in the end, is a moral order ... the problem inevitably, is the relation between self-interest and public interest, between personal impulses and community requirements ... without a public philosphy, explicitly stated, we lack a fundamental condition whereby a modern polity can live by consensus and justice” (1978, p. 250).[16] “Let us not get to the point, where we brand many and different daily activities with the label criminal behaviour that carries with it serious punishment, where it is difficult to suppose that the lawgiver intended to impose stipulated in the law. We have to proceed along a thin line that divides criminal sancitions on one hand from noncriminal behaviour on the other, even if the latter is faulty from the ethical and aesthetic point of view ... At the same time, we have to estabilish norms and standards that will assure that the public interest (which the public servant is in change of) is safeguarded in practice, and that the public’s trust is safeguarded as to its belief the public servant arrived at his decisions objectively and were carried out fairly and honestly.”[17]

Dari sinilah pentingnya membangun pemahaman etik untuk menyiapkan infra-structur in public servies offixe dalam konteks penyelenggaraan negara modern dan berperadaban. Falsafah bangsa dalam kerangka pembangunan sistem etika dan politik hukum nasional pun harus mengandung norma etika sosial kebangsaan seperti tradisi yang dikenal adat istiadat, toleransi, kesalehan sosial, dan lain-lain. Betapapun demikian sistem politik hukum nasional tidak boleh digagas dan dirumuskan mengikuti ideologi-ideologi impor karena perbedaan antar tradisi di negara-negara di dunia sangat berpotensi mengacaukan sistem etika sosial suatu bangsa.
Sebagai landasan falsafah negara maka karakter masyarakat bangsa dapat tercermin dari nilai-nilai Pancasila yang mengajarkan sifat-sifat kemasyarakatan dalam kehidupan bernegara. Ajaran-ajaran dalam Pancasila yang mencerminkan sifat dan perilaku masyarakat Indonesia dapat dilihat dari beberapa hal prinsip dasar yakni sebagai berikut: (i) sifat dekat dengan Tuhan, (ii) sifat berpegang teguh pada pribadi bangsa, (iii) sifat mementingkan unsur jiwa rasa, (iv) sifat mementingkan unsur immateriil, (v) sifat artistik, dan (vi) sifat “prasojo” (bersahaja).
Dari enam sifat tersebut di atas adalah bagian inti yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Keenam sifat ini merupakan karakter inti dari identitas bangsa yang melahirkan sifat-sifat lain sehingga meluas hingga ke sifat-sifat lain. Artinya, manusia pada umumnya memiliki sifat dan cara berperilaku yang serba berwarna namun keenam sifat yang digambarkan di atas merupakan representasi dari sifat-sifat esensial yang menjadi sumber pemunculan sifat-sifat lain seperti gotong royong, toleransi, menghargai satu sama lain, saling bahu membahu, menghormati satu sama lain dan lain-lain. Maka praktik politik berdasarkan Pancasila hendaknya menjadi pemahaman bangsa untuk mengembangkan tradisi pemikiran kritis tentang kebangsaan sehingga politik yang merupakan kumpulan dari segala aktivitas dalam sebuah sistem politik formal negara yang secara substansial menyangkut proses penentuan-penentuan kebijakan dan tujuan serta pelaksanaan sistem itu sendiri di dalam mencapai cita-cita luhur dalam bernegara. Pemahaman Pancasila sebagai filsafat dalam kehidupan bernegara sangat penting untuk ditumbuh kembangkan atau ditradisikan terutama pada kalangan generasi muda. Dalam penyelenggaraan negara, apakah itu menyangkut kekuasaan negara, kebijakan politik hukum dan menyangkut tujuan negara termasuk urusan pelayanan publik, pembagian wewenang, desentralisasi dan dekonsentrasi pembangunan hendaknya selalu dalam lingkaran nilai-nilai Pancasila dengan berdasarkan pada legitimasi moral dan etika.

Etika Perubahan
            Sikap dan sifat ketertutupan adalah pertanda kelemahan dan kesesatan yang menganggap diri sempurna serta tidak dapat menerima pendapat orang lain, betapapun benar dan berbahaya pendapat itu, hal itu merupakan satu cara untuk mrnutupi kelemahan yang terdapat dalam diri kita sendiri. Jika sifat dan sikap keterbukaan ini kita terapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka kita tidak perlu khawatir untuk menyampaikan kebenaran karena adanya jaminan hukum bahwa yang benar itu adalah benar walaupun pahit untuk diterima pemimpin atau pemuka masyarakat harus mau dan mampu untuk memberikan contoh walaupun yang berbuat tidak baik dan tidak benar itu adalah diri sendiri. Hal ini mencerminkan adanya jaminan hukum dan jaminan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Apabila hal ini dapat kita tumbuhkembangkan, terhadap tumbuhnya masyarakat yang madani. Jadi, jelas bagi kita, apabila kita mampu menyadari bahwa makhluk ciptaan Tuhan maka masing-masing mempunyai kelemahan dan kelebihan. Kita bersedia untuk memberi dan menerima pikiran dan perasaan serta pendapat orang lain. Hal ini hendaknya tampil dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tentunya tidak lepas dari adanya jaminan hukum dan keadilan. Terutama dari aparat penegak hukum itu sendiri., bukan jaminan hukum dan keadilan orang/golongan kelompok tertentu saja. Kita semua sebagai makhluk ciptaannya dapat dan mampu berpartisipasi dalam upaya peningkatan jaminan hukum dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai warga Negara kesatuan Republik Indonesia.
            Dalam konteks sejarah perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana diketahui bersama penuh dengan pertentangan politik ideologi. Pertentangan politik ideologi mengenai dasar negara NKRI. Paham-paham ideologi politik multikultural ikut mewarnai pengesahan dasar NKRI. Di antaranya ialah paham demokrasi, sosialisme, liberalisme, komunisme, agama, dan Pancasila, namun dengan semangat dan kebersamaan sebagai bangsa yang dijajah muncul suatu tekad bersama untuk memproklamasikan kemerdekaan NKRI. Tanggal 17 Agustus adalah tonggak sejarah di mana Indonesia merdeka dari penjajahan kolonial Belanda.
Pada faktanya Pancasila telah menjadi dasar ideologi politik yang oleh pemerintahan Orde Baru disebut sebagai ideologi terbuka dan senantiasa hidup untuk dikontekstualisasikan sesuai tuntutan zaman. Maka perubahan UUD 1945 sejak reformasi merupakan gerakan yang didasari oleh kesadaran intelektual anak bangsa untuk mengartikulasikan Pancasila sebagaimana orisinalitasnya. Sidang Istimewa MPR tahun 1998 mencabut TAP MPR Nomor XVIII/MPR/1998 yang ditandai pencabutan P-4 dan Pancasila menjadi satu-satunya asas bagi semua organisasi sosial politik (partai politik) adalah merupakan gerakan ideologis substantif yang modern dengan mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai dasar NKRI. Gerakan fundamental dalam reformasi juga menghasilkan karya intelektual generasi abad modern seperti mencabut mandat MPR yang diberikan kepada Presiden tentang kewenangannya dalam mentradisikan nilai-nilai etika sosial dan moralitas kebangsaan melalui P-4 dan asas tunggal Pancasila. Pemahaman ini menghantarkan kita pada pertanyaan what is a constitution yang secara sederhana dikemukakan oleh Brian Thompson dan dapat dijawab bahwa “... a constitution is a document which contains the rules for the operation of an organization”. Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya termasuk organisasi sosial politik.[18] Maka disinilah pentingnya Pancasila menjadi asas ideologi politik organisasi sosial politik yang resmi diakui negara. Pancasila menjadi falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platform atau kalimatun sawah di antara sesama warga masyarakat yang dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka.[19]

Kebebasan yang Terkelola
Perubahan fundamental pada UUD 1945 ialah semua warga negara memiliki hak yang sama dalam berserikat, berkumpul, dan menyampaikan aspirasi politik sesuai peraturan dan perundang-undangan. Kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul dan kebebasan berpendapat tidak lagi dipasung pemerintah tetapi benar-benar dibuka. Semua warga negara memiliki hak untuk berserikat dan memilih teman atau kawan tanpa ada paksaan atau dilarang oleh pihak ketiga (The ability of an individual to choose the nature of their relationships with others without interference with third parties).[20] Kebebasan dalam arti yang postif dan diatur oleh negara. Perubahan UUD 1945 telah membuka ruang kebebasan bagi semua warga negara dalam menggunakan hak-hak yang merupakan naluri alamiah sebagai makhluk sosial. Prinsip kemerdekaan dalam prinsip berserikat (freedom of association) atau kebebasan berserikat (the right or the freedom of association) ini di Amerika umumnya dipahami sebagai konsep yang tumbuh dari amandemen pertama UUD. Pengalaman Amerika Serikat pertama kali melakukan amandemen terhadap konstitusinya memberikan jaminan pada warga negaranya untuk berserikat secara damai. Pada perubahan konstitusi Amerika Serikat yang pertama ini oleh sebagian ahli menganggapnya sebagai “the right of association” sebagai suatu “penumbra” amandemen pertama (the First Amandement) yang mengandung makna the privacy of certain kinds of organizational memberships, dan sebaian pakar menyebutnya sebagai freedom of association yakni sebagai suatu hak alamiah (natural right).[21]
Dalam perspektif ke-Indonesiaan, perubahan telah menempatkan Pancasila dalam posisi yang kuat sehingga Pancasila dipercaya sebagai way of life, falsafah bangsa atau ideologi negara tidak lagi diragukan. Pancasila menjadi roh serta pikiran dari semua anak bangsa yang terdiri dari berbagai perbedaan-perbedaan suku, bahasa, agama, dan budaya yang membentuk pemahaman dan perilaku dan sekaligus perekat integritas NKRI. Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap yakni dari tahun 1999 sampai tahun 2002 selama empat kali yang secara bersamaan dibentuk Komisi Konstitusi untuk melakukan pengkajian komprehensif tentang perubahan Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.[22]
Dalam konteks ini tugas dan tanggungjawab generasi zaman sekarang yang perlu digerakan ialah bagaimana terus secara aktif menggali nilai-nilai luhur dalam ajaran Pancasila serta memahaminya sebagai suatu karya intelektual para pendiri bangsa. Bangsa kita telah bebas dari segala bentuk pemahaman mengenai sosialisme, kapitalisme, liberalisme, dan sistem-sistem lain dalam praktik dan implikasinya bila Pancasila kita dengan konsisten dan terus merawat komitmen para pendiri bangsa maka bisa dirasakan akan lebih kuat dari sistem-sistem nilai lain yang dikembangkan negara-negara di dunia. Kita perlu membangun kesadaran berbangsa mengenai Pancasila dan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya jika diterapkan menjadi solusi komprehensif atas persoalan-persoalan kebangsaan yang tengah kita hadapi. Pancasila seharusnya kita pahami dan praktekan sebagai filsafat berpikir, filsafat dalam berperilaku sehari-hari sehingga memberikan pengaruh baik secara sosiologis-antropologis maupun psikologi-sosial dalam kehidupan.
Pemerintah sekarang perlu menghidupkan tradisi pemahaman dan praktek kehidupan sosial sesuai nilai-nilai Pancasila karena Pancasila sesungguhnya tidak hanya sebuah teks sosial kehidupan yang dipelajari begitu saja tetapi penting untuk diimplementasikan dalam rangka mengembangkan kehidupan yang beretika. Pancasila telah menjadi urat nadi bagi anak-anak bangsa dan dengan demikian pemahaman kultural seperti sikap gotong royong, musyawarah, kemanusiaan, persatuan, sikap kekeluargaan, sikap responsif dan aktif membantu sesama, serta kesadaran akan ketuhanan termasuk dalam pengembangan aspek politik nasional hendak dikuatkan. Pancasila harus menjadi manifestasi pemahaman politik nasional sebagaimana warisan dalam ajaran Budha di India yang bersumber pada kitab suci Tri Pitaka dalam tiga klasifikasi, yaitu, Sutha Pitaka, Abhidama Pitaka, dan Vinaya Pitaka. Secara sosio-historis masuknya agama Hindu di Indonesia, nilai-nilai moral dan etika dalam Pancasila mengalami kemajuan di mana nilai-nilai etika dan moral dalam Pancasila dapat ditransformasikan ke dalam khasanah kepustakaan Jawa, terutama pada zaman Majapahit. Zaman keemasan Majapahit melalui pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gadjah Mada, terdapat ajaran Nagarakertagama yang melukiskan syair-syair tentang pujian bagi istana Empu Prapanca yang ditulis sejak tahun 1365.
Oleh ajaran-ajaran Pancasila sebenarnya masuk dalam ajaran Budaha sebagaimana dalam sebuah syair pada bait kedua dilukiskan “Yatnaggegwani pancasyiila kertasangkarbhisekaka krama”, yang menekankan tentang tata krama dalam pergaualan sosial baik dalam internal kebangsaan maupun dalam pergaulan dunia internasional. Maka tidak ada jalan yang baik dalam memilih sistem sosial bernegara selain menjadikan Pancasila sebagai nilai-nilai luhur dalam kehidupan dan menjadi dimensi pembangunan politik nasional sebagai jawaban atas tuntutan kebangsaan kita sekarang. Orientasi pembenahan dan penataan sistem etika kehidupan bernegera hendaknya dimulai dari gerakan penyadaran mengenai hakikat praktik politik berbasis kemanusiaan pada pelbagai komponen bangsa terutama aktor pemegang kekuasaan dalam pemerintahan dengan menjadikan Pancasila sebagai sendi-sendi kehidupan.
Dalam konteks itulah, pemerintahan sekarang seyogyanya mempercepat agenda pembahasan RUU Etika Penyelenggara Negara yang sudah masuk dalam Prolegnas. DPR dan Pemerintah tidak ada alasan untuk menunda apalagi memperlambat hingga menghambat proses pembahasan RUU ini, karena bila terus diperlambat tanpa kepastian waktu yang jelas maka kecenderungan mengabaikan agenda ini semakin kuat. Pembahasan RUU Etika Penyelenggara Negara hendaknya melibatkan para pakar, kaum intelektual dan kalangan cendikiawan serta tokoh-tokoh agama yang kredibel dan berintegritas tinggi pada prinsip-prinsip kebangsaan dan kenegaraan dalam kerangka Pancasila, UUD 1945 dan TAP MPR No. 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Pada prinsipnya etika pemerintahan harus dimanifestasikan dari nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia. Menggali tradisi-tradisi lokal yang dianggap relevan dan baik untuk dijadikan sebagai pedoman dalam rangka memperkuat basis-basis nilai kebangsaan yang telah dipraktikkan selama ini.*

_______________________________________________



Daftar Pustaka


Ahmad, Zainal, Abidin. Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam Al Gazali, Jakarta: Penerbit, Bulan Bintang.
Asshiddiqie, Jimly, 2005. Kemerdekaan Berserikat; Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press.
----------, 2012. Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, Jakarta: RajaGrafindo.
----------, 2014. Peradilan Etik & Etika Konstitusi, Jakarta: Sinar Grafika.
Benjamin Geist and Asher Friedberg, State Audit and Moral Integrity In The Public Market, yang membahas panjang lebar seputar isu-isu mutakhir tentang bagaimana respon negara-negara maju dan berkembang dalam menyiapkan ethics infra-structure in public offices sebagai perubahan paradigma pengelolaan pemerintahan modern.
Curtis Ventriss, Reconstructing Government Ethics: A Public Philosophy Of Civic Virtue.
Magnis, Suseno, Frans, 1987. Etika Dasar, Masalah-masalah pokok Filsafat Moral, Jakarta: Kanisius.
----------, 2001. Kuasa & Moral, Jakarta: Gramedia.  
Kaelan, dan Zubaidi, Achmad. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta:  Paradigma.
Marilyn Watson dkk., 1989. “The Child Development Project: Combining Traditional and Developmental Approaches to Values Education” dalam Larry P. Nucci (ed.), Moral Development and Character Education (Berkeley, CA: McCutchan, 1989).
Syamsir. 2009. Buku Ajar Pendidikan kewarganegaraan. Padang: UNPPress.
Thomas Lickona, 2013. Educating for Character, dalam (terj.), Lita S., Pendidikan Karakter, Bandung: Nusa Media
Winarno. 2006. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi Aksara.
Maksum, Ali, 2012. Pengantar Filsafat; Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Vos, De, 1969. Inleiding tot de Ethiek, dalam (terj.), Soejono Soemargono, 2002, Pengantar Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana.




Biografi Penulis
Rahman Yasin lahir di Kampung Lewotala, Adonara, Flores Timur, 07 Maret 1975. Pendidikan S1 di Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, S2 di Komunikasi Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta. Pernah bekerja sebagai tenaga ahli anggota DPD RI tahun 2009, editor di Penamadani, aktif di Lembaga Studi Pembangunan Indonesia dan sekarang bekerja di Sekretariat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI, dan mendirikan Lembaga Pengembangan Pendidikan Anak Bangsa, serta aktif menulis karya-karya ilmiah, karya terbaru buku berjudul: Menulis tentang Pemilu (2014).

Alamat:
Jl. M.H. Thamrin No. 14 Jakarta
Blog: http://www.jujuradil.blogspot.com
Nomor Rekening: Bank BRI, A,N, Rahman Yasin: 0230001038284506
Nomor Kontak: 081315897374





[1] Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Filsafat, P.T. Pembangunan, Cetakan Kelima, Jakarta, 1980, hal, 91.
[2] Sunoto dkk., Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia, Penerbit, Yayasan Lembaga Studi Filsafat Pancasila dan Andi Offset, Yogyakarta, 1983, hal, 22.
[3] N. Drijarkara S.J. Percikan Filsafat, P.T. Pembangunan, Jakarta, Cetakan Kelima, 1989, hal, 156.
[4]  Zainal, Abidin, Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam Al Gazali, Penerbit, Bulan Bintang, Jakarta, hal, 18.
[5]  Ibid.
[6]  Ibid, hal, 22.
[7]  Thomas Lickona, Educating for Character, dalam (terj.), Lita S., Pendidikan Karakter, Nusa Media, Bandung, 2013, hal, 219-220.
[8]  Ibid, hal, 227.
[9] Marilyn Watson dkk., “ The Child Development Project: Combining Traditional and Developmental Approaches to Values Education” dalam Larry P. Nucci (ed.), Moral Development and Character Education (Berkeley, CA: McCutchan, 1989).
[10] Lihat TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa
[11] Reformasi sistem hukum dan politik pasca runtuhnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tidak mampu mengendalikan jalannya arus perubahan yang dituntut masyarakat. Letupan politik dan riak-riak konflik vertikal-horisontal serta ekspresi kebebasan yang melampaui batas-batas tradisi dan norma-norma budaya bangsa sebagai identitas kebangsaan menjadi salah satu pertimbangan pemerintah dan MPR untuk kemudian mengeluarkan TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. TAP MPR Nomor 6 ini dimaksudkan untuk mengatasi praktik kehidupan sosial budaya yang dengan atasnama demokrasi lalu menghilangkan basis-basis nilai kebudayaan bangsa Indonesia. Gerakan reformasi dan tuntutan perubahan di segala bidang kehidupan praktik berbangsa dan bernegara tidak terrencana secara sistematis dan tanpa mempersiapkan sebuah grand design konsep pembangunan etika dalam segala aspek kehidupan bernegara. Implikasi negatif yang terjadi dalam praktik, etika kebudayaan berbasis Pancasila tidak saja mengalami kelunturan nilai tetapi transformasi praktik budaya impor yang justru menjadi pilihan masyarakat. TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001 ini diharapkan menjadi payung hukum untuk menopang tegaknya nilai-nilai budaya kebangsaan dalam praktik bernegara. Itulah yang menjadi alasan hingga kini TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini masih terus dipertahankan.
[12] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, LP3ES, Jakarta, 2006, hal, 158.
[13] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-pilar Demokrasi, Edisi Kedua-Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal, 257.
[14] Ibid, hal, 262
[15] Jimly Asshiddiqie, Prinsip-prinsip Negara Hukum Indonesia, dalam (karya) Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, Prenada, Jakarta, 2012, hal, 31.
[16] Lihat dalam tulisan Curtis Ventriss, Reconstructing Government Ethics: A Public Philosophy Of Civic Virtue.
[17] Selanjutnya bisa ditelusuri dalam tulisan Benjamin Geist and Asher Friedberg, State Audit and Moral Integrity In The Public Market, yang membahas panjang lebar seputar isu-isu mutakhir tentang bagaimana respon negara-negara maju dan berkembang dalam menyiapkan ethics infra-structure in public offices sebagai perubahan paradigma pengelolaan pemerintahan modern.
[18] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Edisi Pertama-Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal, 284.
[19]  Ibid, hal, 289.
[20] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat; Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal, 22.
[21]  Jimly Asshiddiqie, Op, Cit,  hal, 23.
[22]  Ibid, hal, 291.