SEJARAH PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN ETIKA:
Gagasan Transformasi Praktik Etika
Kebangsaan dan Ke-Indonesiaan
Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu)
1. Sejarah Perkembangan Pemikiran Etika
Sejarah
pemikiran manusia selalu memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung
dengan struktur kebudayaan dan peradaban yang ada pada zaman yang berkembang.
Dari zaman klasik sampai dengan zaman modern, perkembangan pemikiran filsafat
tidak bisa dilepaskan dari sejarah tradisi dan kebudayaan Yunani kuno. Bangsa
Yunani memiliki relasi historis-empirik yang kuat dalam membentuk corak
pemikiran filsafat pada setiap tahap perkembangan generasi yakni baik dari
zaman klasik, sampai pada abad pertengahan hingga memasuki abad kontemporer.
Dalam literatur klasik maupun kontemporer,
kajian-kajian ilmiah mengenai sejarah perkembagan etika selalu dikaitkan dengan
pemikiran-pemikiran filsafat terutama filsafat Yunani yang sejak berpuluh-puluh
abad silam telah diperbincangkan. Frans Magnis Suseno misalnya, dengan merujuk
pada berbagai literatur klasik (dalam Ludigdo) mengatakan, bahwa pemikiran
filsafat yang berkembang pada era modern sekarang ini tidak lepas dari pengaruh
pemikiran filsafat Yunani. Dalam perkembangan filsafat Yunani, kita mendapatkan
klasifikasi pemikiran filsafat seperti metafisika dan etika. Namun perkembangan
pemikiran filsafat metafisika dan etika ini sesungguhnya bermula dari filsafat
alam. Tipe pemikiran filsafat alam inilah disebut sebagai filsafat pra-Socrates
(Betrand Russel). Pemikiran etika dapat ditelaah melalui pemikiran-pemikiran
generasi setelah Pytagoras (570-496 SM).
Esensi pemikiran murid-murid Pytagoras
terlihat dari penjelasan mereka mengenai tubuh manusia yang menurut mereka merupakan
kubur dari jiwa sehingga dari pemikiran inilah kemudian berkembang dialektika
mengenai nilai-nilai filosofis. Ada ide pembebasan. Ide pembebasan dimaksudkan,
bahwa apabila manusia ingin memisahkan jiwa dari badannya maka manusia harus
terlebih dahulu melakukan pembersihan. Dari sinilah titik awal persinggungan
bagaimana jiwa setiap manusia itu bekerja secara rohani. Ada sesuatu yang
bersifat abstrak dan diharuskan bisa bekerja dengan aktif dalam rangka
menyelaraskan pemikiran manusia. Para pemikir filsafat ini menganggap bahwa
kehidupan sosial dan kehidupan kolektif dalam perkembangan dan pengertian
kekeluargaan, persahabatan, serta kebersamaan sebagai sesama umat manusia
hendaknya dikuatkan dengan nilai-nilai kebaikan, kejujuran, dan keadilan yang tinggi
yang harus dijunjung tinggi termasuk dalam kehidupan bernegara. Filsafat
pemikiran ini dalam tahap perkembangan kemudian dilanjutkan oleh Democritus
(460-371 SM) yang pada intinya mengajarkan dan menekankan pentingnya keadilan.
Keadilan menjadi nilai etika dan moralitas dalam kehidupan bersama baik dalam
kerangka persahabatan maupun dalam persaudaraan. Plato menekankan idea yang
baik dan menjadi pedoman hidup sekaligus sebagai penuntun umat manusia dalam
menggapai kebaikan.
Dari pendekatan Renaissance dan Humanisme
mulai terlihat bermunculan sarjana di Yunani di Eropa yang secara sadar
intelektual menarik minat kajian terhadap kebudayaan Yunani pada khususnya dan
kebudayaan kuno pada umumnya. Orang mau mengembalikan kebudayaan kuno itu ke
dunia modern. Itulah yang dianggap kebudayaan yang sempurna. Masa ini terkenal
dalam sejarah sebagai lahirnya kembali zaman kuno atau renaissance. Dalam pada
itu, filsafat pun tidak ketinggalan. Orang tidak lagi memusatkan pikirannya
kepada Tuhan dan surga, melainkan kepada dunia saja dan dalam dunia itu yang
merupakan pusat utama ialah manusia. Manusia didewa-dewakan, manusia tidak
hanya merupakan pusat pandangan, di sana-sini, manusia merupakan tujuan adanya.
Aliran yang memusatkan pandangan kepada manusia itu disebut haumanisme. Mungkin
terjadi dalam aliran ini bahwa manusia lalu menjadi hal yang tertinggi. Lain
hal tak ada: maka humanisme ini menjadi humanisme ateistis, meski tidak
tiap-tiap humanisme merupakan humanisme ateistis.[1]
Dalam pengertian
itulah apa yang disebut oleh Sunoto dalam bukunya berjudul “Pemikiran
tentang Kefilsafatan Indonesia” (1983), bahwa sejarah pada umumnya berisi
peristiwa-peristiwa penting baik mengenai seseorang, kelompok masyarakat,
maupun negara. Sejarah sebenarnya merupakan sejarah umat manusia, atau sejarah
kemanusiaan. Sejarah merupakan peristiwa yang berangkai-rangkai dari masa ke
masa. Kehidupan manusia dan kemanusiaan mengalami pasang surut, mengalami
masa-masa yang menggembirakan dan masa-masa yang memprihatinkan. Pada suatu
masa hidup dalam kedamaian dan di masa yang lain hidup di dalam kegelisahan dan
keresahan. Umat manusia dapat saling tenggang-menenggang tetapi ada kalanya
juga saling bermusuhan dan berebutan. Sebab musababnya bermacam-macam, antara
lain harga diri yang berlebihan, keinginan untuk berkuasa, keinginan untuk
memperoleh kedudukan dan harta benda. Dengan kata lain, karena nafsu manusia
itu sendiri.[2]
Aristoteles menulis bukunya yang berkepala
“peri-psyches”, atau tentang jiwa, yang dalam bahasa modern psichologi atau ilmu jiwa. Dalam ilmu
jiwa ada banyak aliran dan banyak pula pendapat tentang apa yang dijadikan
obyeknya. Akan tetapi bagaimanapun juga perbedaannya, satu hal adalah tentu dan
merata di dalam semua aliran: yang menjadi tujuan dari ilmu jiwa adalah pengertian
tentang manusia. Manusia sendiri sebagai gejala dengan semua tingkah lakunya,
itulah yang ditinjau, yang diselidiki, itulah obyeknya. Dan yang dituju ialah
pengertian tentang manusia sebagai subyek empiris.[3] Etika Yunani maupun etika
modern secara substansial memiliki persamaan, di mana etika memberikan arahan
agar manusia dapat hidup dengan baik dan bermakna berdasarkan nilai-nilai
kebaikan universal. Agar manusia hidup baik maka yang perlu ditempuh ialah
dengan menggunakan etika kebijaksanaan. Etika kebijaksanaan inilah yang
memunculkan orang-orang bijaksana, karena orang-orang bijaksana memahami
kehidupan dengan pemahaman atas kosmos dan realitas. Dan itulah sebabnya
mengapa Plato mengatakan, negara dan pemerintahan demokrasi haruslah di bawah
kendali orang-orang bijaksana. Karena orang-orang bijaksana tidak hanya
menggunakan rasionalitasnya tetapi juga akal budi untuk memahami realitas.
Pada tahap perkembangan berikutnya, pemikiran
Yunani dari Aristoteles (384-322 SM). Aristoteles menggambarkan etika secara
lebih kritis, reflektif dan memiliki argumentasi yang kuat (Suseno) etika
menurut Aristoteles sebagai sebuah cabang ilmu filsafat yang mandiri. Pendapat
inilah yang membedakan Plato dengan Aristoteles. Menurut Aristoteles, pendapat
Plato tentang edea. Idea menurutnya lebih merupakan interpretasi terhadap suatu
realitas, di mana manusia memiliki kompetensi tertentu untuk membuat
konsep-konsep universal mengenai fenomena-fenomena empiris yang menjelaskan
bagaimana menolak alam idea yang abadi. Manusia tidak perlu melakukan
perenungan atas idea untuk mencapai kehidupan. Pendek kata pemikiran
Aristoteles lebih pada pendekatan empiris yang menekankan realitas inderawi.
Menurut
Franz Magnis Suseno etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik berkaitan dengan
pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral. Dalam arti yang
lebih luas etika diartikan keseluruhan mengenai norma dan penelitian yang
dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya
menjalankan kehidupannya.Pada zaman Yunani (Plato) orang mengartikan baik dan
buruk itu merupakan keputusan masing-masing atau kesepakatan bersama dari pada
suatu aturan abadi. Hukum tidak abadi dan tidak berlaku umum, melainkan
berdasarkan kesepakatan dan berbeda di tempat yang berbeda.Tokoh lain yang
mengutarakan tentang pengertian etika adalah Aristoteles. Etika menurutnya
adalah ilmu tentang tindakan tepat dalam bidang khas manusia. Objek etika
adalah alam yang berubah terutama alam manusia, oleh karena itu etika bukan
merupakan episteme atau bukan ilmu pengetahuan. Dalam etika dibedakan antara
etika deontologis dan teleologis. Etika deontologis menekankan kualitas etis
suatu tindakan bukan tergantung pada akibat tindakan itu melainkan tindakan itu
sendiri betul atau salah dalam arti moral, tanpa melihat pada akibatnya.
Sebaliknya, menurut etika teleologis tindakan itu sendiri bersifat netral.
Tindakan menjadi betul dalam arti moral
apabila akibatnya baik, salah apabila akibatnya salah. Aliran de-ontologis yang
dianut oleh Immanuel Kant ternyata juga mempengaruhi pendapat Franz Magnis
tentang etika. Menurut aliran deontologis Franz, ini mempunyai pendapat yang
sama dalam memandang bahwa etika memberikan pengertian agar segala tindakan
moral manusia baik. Kesamaan pandangan terdapat pula pada pendapat Frans yang
menyebut bahwa akibat dari tindakan tersebut mempengaruhi pendapat seseorang
tentang kebaikan. Seseorang hendaknya bertindak sedemikian rupa untuk
berhati-hati dan diarahkan pada kebaikan.
Secara
historis etika sebagai usaha dari filsafat, yang lahir dari kerusakan tatanan
moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. pada zaman ini
pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai, maka
para filosof yang peka terhadap kondisi ini mulai mempertanyakan kembali
norma-norma dasar bagi perilaku manusia. Situasi tersebut berlaku pula pada
zaman sekarang ini. Persoalan yang muncul bukan hanya menbedakan antara
kewajiban dan yang bukan merupakan kewajiban, melainkan manakah norma-norma
untuk menentukan apa-apa yang harus dianggap sebagai kewajiban. Norma-norma
moral sendiri dipersoalkan. Misalnya di bidang etika seksual, hubungan anak dan
orang tua, kewajiban terhadap negara, etika sopan santun dan pergaulan dan
penilaian terhadap harga nyawa manusia terdapat pandangan-pandangan yang sangat
berbeda satu sama lain. Untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan
pandangan-pandanagan moral ini diperlukan refleksi kritis etika.
2. Memahami dan
Menerapkan
Esensi Moralitas Dalam Masyarakat Modern
Dalam bukunya Religion and Modern Man, John B. Magee
mengatakan, zaman modern tanpa agama dan moral sebenarnya sudah berjalan sejak
300 tahun lamanya yakni sejak generasi Galileo tahun 1632 hingga zaman Hitler
1933 (The 300 years from the publication
of Galileo’s Dialogue in 1632 to Hitler’s appointment as Chancellor of Germany
in 1933 represent in round numbers the epoch I have called modernity).[4] Bahkan kediktatoran Hitler dan Nazinya
telah meluluhlantakan sistem nilai-nilai kemanusiaan universal termasuk sistem
politik di negara-negara yang ketika itu mengalami rotasi demokratisasi. Hitler
digambarkan Henry C. Link dalam bukunya “The
rediscovery of moral’s membenarkan perspektif Magee yang mengatakan, Hitler
sebenarnya berusaha menghancurkan moral internasional dengan menggunakan
terminologi (...... should be the first
in modern times to reject international morality with the cynical world “a
scrap of paper”).[5]
Dalam perspektif pemahaman mengenai moral ini semakin diminati bahkan
terus menjadi perhatian masyarakat modern sehingga pada titik tertentu, negara
dalam menghadapi persoalan-persoalan etika dan moral tetap dipandang sebagai
bagian dari usaha untuk mewujudkan sistem kehidupan berbangsa yang
berperadaban. Al Gazali dalam teorinya mengatakan, manusia atau suatu entitas
masyarakat yang telah mempunyai konsensus bersama untuk hidup bersama jelas
membutuhkan semacam rumah yang canggih dan modern yang di dalamnya terisi
berbagai perabot kebutuhan manusia yang menghuninya.
Al Gazali menggunakan istilah “bilad”
atau “balad” (negeri) yang tentu
menjadi prasyarat utama terbentuknya sebuah negara. Dengan demikian, negeri
yang kemudian mengalami evolusi sesuai perkembangan zaman berubah menjadi
negara dan dengan sistem kenegaraan maka secara formal negeri atau negara
memerlukan institusi-institusi dengan tujuan mengatur keselamatan-keselamatan
masyarakat baik bersifat pribadi maupun kolektif. Itulah sebabnya kita mengenal
istilah misahah dalam urusan
pembagian tanah pada rakyat dan distribusi kekuasaan politik secara adil, dan
ada istilah lain yaitu jundiyah yakni
memberikan perlindungan bagi semua warga negara, dan tentu semua itu dilakukan
lewat suatu pemerintahan. Pemerintahan negara yang memiliki standar hukum (fiqih).[6]
Hukum ditujukan untuk mengatur dengan menetapkan, menjatuhkan sanksi bagi
setiap warga negara yang melanggar baik norma hukum, norma etika, dan
norma-norma budaya negara bersangkutan guna menciptakan ketertiban dan
kedamaian bersama.
Dalam menciptakan suasana ketertiban dan kenyamanan bernegara
diperlukan kemauan kuat dan tekad yang sungguh-sungguh dari semua elit
masyarakat termasuk stake-holders
yang ada. Kesadaran kolektif yang bersifat ethical
principle atau sebagai asas etis untuk mewujudkan kedamaian. Kesadaran
dalam ethical rationalism atau
rasionalisme etis seperti yang dicanangkan Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki fungsi akal dan mempunyai tujuan
utama dalam kehidupan akalnya. Dalam perspektif ini maka sistem metafisis
sebagaimana dikemukakan Plato dan Aristoteles yang menekankan dimensi watak
rasional dari realitas bagi manusia rasional untuk memahaminya. Dengan
demikian, seiring terus berjalannya waktu, perkembangan ilmu dan pengetahuan
terus mengalami peningkatan dan berbagai riset, pendalaman keilmuan pun terus
dilakukan sehingga dengan pendekatan ikhtiar penelitian, konsep etika dan moral
kemudian dipahami sebagai sesuatu yang bersifat personal namun tetap menjadi
kesatuan dari etika sosial. Itulah sebabnya kita mengenal ada etika privat dan
etika publik.
Dalam kehidupan sosial tidak semua individu
memiliki kualitas dan kapasitas kepribadian yang pantas dijadikan sebagai
rujukan atas suatu perintah. Dalam dunia organisasi sosial maupun organisasi
pemerintahan sekalipun tidak semua individu dapat tampil dengan baik memberikan
instruksi tertentu kepada bawahannya dengan mengatasnamakan organisasi. Itulah
sebabnya dalam pembahasan mengenai etika selalu menekankan pada dimensi
integritas seseorang, apakah dapat dipercaya atau tidak. Artinya, sebaik apapun
sistem yang dibangun, namun di bawah kendali orang yang tidak pantas
menjalankan sistem tersebut maka tidak akan menghasilkan perubahan seperti yang
diinginkan. Itulah sebabnya dalam pengelolaan pemerintahan demokrasi modern
diperlukan setiap individu yang memiliki kapasitas dan integritas moral yang
tinggi.
Negara dengan pemerintahan demokrasi
sekalipun tetapi apabila dipimpin dan dibawah kendali orang yang lemah dalam
karakter dan integritas moral maka pemerintahan negara tersebut tidak memunculkan
keadilan dan kesejahteraan bagi warga negara secara merata. Itulah sebabnya,
pemerintahan negara demokrasi seharusnya menempatkan orang-orang yang memiliki
standar kualifikasi etika dan moral yang tinggi sehingga dengan demikian dalam
menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik. Pemerintahan yang dapat
memberikan pelayanan pada rakyat yang baik tanpa diskriminasi. Etika merupakan
persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun etika harus
dikuatkan dengan sistem yang kuat. Karena betapapun etika sosial kuat namun
tidak ditopang dengan sistem yang bersih dan kuat maka tidak bisa dielak bahwa
dengan sistem yang lemah akan memungkinkan bagi setiap orang yang menjalankan
sistem untuk bertindak kotor. Inilah pentingnya etika menjadi fondasi moral
dalam membangun sistem pemerintahan yang bersih. Plato misalnya, tidak hanya
menekankan pentingnya etika sebagai basis legitimasi moral dalam sebuah
pemerintahan negara tetapi juga etika harus dikuatkan dengan sistem. Bahkan
lebih filosofis, Plato mengatakan, persoalan etika sesungguhnya tidak hanya
terletak pada kaidah benar atau salah melainkan juga pada standar kelayakan dan
kepatutan seseorang diberikan kepercayaan publik. Artinya, seseorang itu apakah
berkompetensi baik atau tidak sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku sosial
yang senantiasa menunjukkan kejujuran, adil, dan bertanggungjawab. Dengan
merujuk pada pendapat Plato, maka tidak semua masyarakat terutama elit dalam
suatu negara diberikan jabatan tertentu.
3. Norma Etika Bernegara: Kasus
Amerika Serikat
Masalah serius yang banyak dilupakan orang adalah
sistem etika yang mengalami tantangan besar dalam proses transformasi perilaku
etis dalam kehidupan bernegara. Semakin marak perilaku tidak etis dan tidak
bertanggungjawab pada tugas-tugas negara dari para pejabat yang mengikuti hawa
nafsu dunia turut memberikontribusi negatif bagi lambannya penegakan sistem
etika bernegara. Perilaku elitis dan konsumtif dengan menjadikan kekuasaan,
jabatan dan pangkat jadi alat mencapai tujuan negatif hampir menggejala di mana-mana.
Dalam sejarah politik Amerika Serikat, negara adikuasa ini menggunakan standar
nilai etis bagi masyarakatnya untuk membangun peradaban politik demokrasi yang
menurut mereka lebih unggul dengan dasar etika. Norma-norma etika sosial
disadurkan dalam konstitusi Amerika Serikat. Hal ini sebagai basis penguatan
nilai-nilai budaya nasional Amerika Serikat dan terbukti kuat dalam sistem
demokrasinya.
Lockwood
merupakan tokoh pemikir Amerika Serikat yang merumuskan konsep kehidupan
bernegara berorientasi pada penekanan etika dan moral dan
pengetahuan-pengetahuan sosial dengan menggunakan data empirik dan nilai-nilai
historitas sebagai pendekatan yang menggambarkan konflik-konflik moral yang
dramatis dalam sejarah Amerika Serikat. Karya mereka dalam buku berjudul Reasoning with Democratic Values: Ethical
Problem in United State History . Dalam karya ini dijelaskan tentang “Letter to Students”, termasuk
menjelaskan ke 49 episode etis dalam sejarah konflik moral di Amerika Serikat
seperti digambarkan oleh Lockwood sebagaimana dikutip oleh Thomas Lickona dalam
bukunya Educating for Character yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Lita S. dikatakan sebagai berikut:
“Amerika sedang berada
dalam ambang keterlibatan dalam Perang Dunia I. Pada Februari 1917, Jerman
memicu konflik perairan terbuka dengan seluruh pengguna transportasi perairan
samudera. Tidak lama setelah itu, Jerman menenggelamkan sebuah kapal Amerika
yang menewaskan sejumlah warga negara Amerika sehingga Amerika pun menyatakan
perang terhadap Jerman.”
“Presiden Woodrow Wilson
menyerukan pada semua warga Amerika untuk mendukung perang ini. pernyataannya:
“Tidak ada pemerintahan yang dapat menolerir konflik terbuka pada masa perang.”
Pada tanggal 15 Juni 1917, Kongres Amerika Serikat mengeluarkan undang-undang
Spionase, yang menyatakan bahwa mengeluarkan kalimat yang menentang perang
adalah sebuah kejahatan. Seluruh warga negara yang menentang perang secara
terbuka akan dipenjarakan.”
“Eugene Debs, kandidat
yang dicalonkan sebagai presiden dari Partai Sosialis, secara terbuka menentang
undang-undang Spionase ini: bagaimana sebuah negara bersedia berperang “untuk
menjadikan dunia tempat yang aman bagi demokrasi,” menyangkal hak kebebasan
berbicara yang demokratis dari warga negara sendiri? Pada 16 Juni 1918, Debs
menghadiri Konvensi Ohio Partai Sosialis dan mengutuk perang dengan kata-kata
berikut: “Kelas penguasa selalu menjadi pihak yang menyatakan perang; kelas
pengikut selalu menjadi pihak yang mentakan perang; kelas pengikut selalu menjadi
pihak yang harus bertarung di medan pertempuran. Kelas penguasa dapat menarik
semua keuntungan dan tak akan kehilangan apa-apa sedangkan kelas pengikut tak
punya keuntungan apapun dan akan kehilangan semuanya—khususnya hidup mereka.”
“Dua minggu kemudian
Eugene Debs ditahan atas tuduhan melanggar undang-undang Spionase. Juri
memutuskannya bersalah; hakim menjatuhi hukuman 10 tahun penjara padanya,
sebuah keputusan yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung Amerika.”
Perang dunia I berakhir
pada November 1918. Sentimen publik berkembang untuk menuntut pembebasan bagi
orang-orang yang dipenjara karena menentang perang. Sebuah kelompok mengajukan
permohonan kepada Presiden Wilson untuk membebaskan Debs, yang waktu itu
berusia 64 tahun dan dalam kondisi kesehatan yang memburuk. Wilson menolak
permohonan itu dan menjawab:
“Saya tidak akan pernah
memaafkan orang ini. Sementara para pemuda harapan bangsa Amerika menumpahkan
darahnya untuk negara, orang ini, Debs, berdiri di belakang garis, mengecam,
menyerang, dan mencaci mereka. Sebelum perang, dia punya hak penuh untuk
menggunakan kebebasannya berbicara, tetapi pada saat Kongres Amerika menyatakan
perang, seharusnya dia tidak perlu banyak bicara. Orang ini adalah penghianat
bagi negaranya.”[7]
Kasus ini
menggambarkan betapa peran seorang pemimpin mengajak warga negara untuk
mendalami hikmah historis ini secara filosofis. Bagaimana sebuah bangsa yang
besar menghargai nilai-nilai etis dalam kejadian historis tersebut sebagai
landasan filosofis dalam mengembangkan sistem etika sosial. Gambaran peristiwa
historis tersebut mengajak secara empirik bagi semua warga negara Amerika
Serikat untuk mengambil hikmah dan pelajaran dan menjadikannya sebagai bahan
penyusunan undang-undang terkait nasionalisme. Membangun sistem etika kebangsaan
yang dilembagakan dalam suatu institusi formal.
Karya lain
yang mengangkat kisah-kisah moral ditulis oleh Peter Irons dalam bukunya: The Courage for Their Convictions. Buku
ini menulas persoalan-persoalan moral dan konflik-konflik hukum yang berujung
di Mahkamah Agung Amerika. Sebuah sekolah SD di Riverdale, New York bernama
Fieldston Lower School merupakan salah satu dari sekian sekolah di Amerika
Serikat yang berbasis pada berbudaya etis. Sekolah ini dirancang untuk
menginterpretasikan dinamika etis dan intelektual sebagai sarana perekat
filosofis bernegara dalam sistem sosial. Gloria Frey misalnya, mengomentari
buku ini sebagai tema yang menekankan pada abad pertengahan sebagai substansi
dari model membangun sistem etika. Artinya, dalam abad pertengahan yang penuh
hiruk-pikuk dan tantangan kerusakan tatanan etika sangat membantu bagi generasi
penerus antara usia 10 sampai 11 tahun untuk memahami hakikat kehidupan yang
sesungguhnya. Frey melihat banyak yang paralel dengan tema-tema zaman
pertengahan: (1) perjuangan untuk meraih kekuasaan, namun tetap membutuhkan
perlindungan (punya kesamaan dengan sistem sosial feodalisme); tuntunan dalam
melakukan perlawanan yang diperkenankan (peraturan kekesatriaan); (3) kebutuhan
akan standar yang baik dan buruk (peraturan gereja); dan (4) masalah keadilan,
baik bersifat individual maupun sosial.[8]
Sikap-sikap
sebagaimana digambarkan di atas menuntut adanya kemauan etis baik bersifat
individu maupun struktur sosial dalam membangun sistem etika sosial yang lebih
praktis. Sikap yang menghendaki penguatan sistem nilai lewat sebuah institusi
formal, di mana institusi negara yang difungsikan untuk mengendalikan sistem
etika sosial dalam kehidupan berbangsa. Sikap kooperatif menjadi hal utama
sebagai karakter berbudaya etis. Suatu sistem yang menuntut pembelajaran bagi
warga negara mengedepankan aspek psiko-sosial menjadi pedoman perilaku. Dalam
riset, psikolog Marilyn Watson mendapati bahwa “peluang menjadi anggota yang
berkontribusi dari sebuah kelompok pertemanan yang adil dan berbudi pekerti
adalah hal kondusif untuk membangun kepedulian terhadap sesama anggota
kelompok, membangun sikap-sikap altruistik, dan menciptakan kecenderungan yang
lebih besar untuk terlibat dalam perilaku-perilaku prososial spontan.”[9] Itulah
sebabnya dibutuhkan manusia yang berperilaku sosial positif dalam kehidupan
bersama.
Plato
misalnya, mengatakan, bahwa, manusia pada dasarnya memiliki tujuan hidup yang
baik. Untuk mencapai tujuan hidup yang baik ini maka ditempulah melalui sebuah
aturan lewat apa yang disebutnya sebagai polis.
Hal ini didasarkan dari pendapatnya, bahwa manusia adalah makhluk sosial
yang secara kodrati harus hidup dalam sebuah sistem aturan sosial yang menjadi
konsensus bersama dalam kemasyarakatan dan kenegaraan. Ide inilah yang kemudian
berkembang dalam kajian ilmiah tentangan gagasan pembentukan suatu negara.
Negara dibentuk berdasarkan atas dasar kepentingan ekonomi yang bersifat saling
membutuhkan satu sama lain antar sesama warga negara.
Dari konsepsi
negara dan masyarakat dalam tataran aturan sosial inilah kemudian kita dapatkan
pemikiran Plato mengenai negara dalam klasifikasi golongan penjaga, negara
dalam kategori penjaga dimaksudkan adalah para kaum filusuf yang baik secara
konsepsional maupun secara nurani memiliki kemampuan mengetahui masalah
kepemimpinan amanah. Melalui para kaum filsuf maka dengan kapasitas pengetahuan
dan kemampuan intelektual mereka dalam memahami persoalan-persoalan tentang
relasi kemanusiaan antara masyarakat dengan negara bisa mereka terapkan dengan
baik tentu dengan tujuan bersama dalam negara yakni mencapai kebaikan.
Selanjutnya adalah pembantu atau prajurit. Untuk kategori negara dalam
perspektif pembantu atau prajurit ini yaitu mereka yang ditempatkan oleh para
pemimpin di tingkat atas untuk memberikan pelayanan fasilitasi dan mendukung
segala bentuk administrasi yang baik untuk keberlangsungan tugas-tugas
pimpinan. Dan negara dalam pengertian golongan pekerja atau petani ini yang
dibebankan oleh negara untuk seluruh kebutuhan polis.
Dari sinilah
kemudian dibutuhkan pemimpin negara yang oleh Aristoteles dikatakan,
orang-orang yang selalu mengedepankan keutamaan moral dan keutamaan
intelektual. Keutamaan moral merupakan wujud ide dan sikap yang berani secara
konsekuen memilih jalan tengah manakalah dihadapkan dengan dua pertentangan
atau perbedaan yang tajam dalam suatu permasalahan. Keutamaan moral sudah pasti
mengedepankan sikap tegas pada pendidirian dasarnya yakni mencapai tujuan baik
bersama. Ini membutuhkan kesungguhan yang tinggi karena harus memilih jalan
kebaikan dalam rangka mengurangi tingkat perbedaan yang ada sehingga dengan
jalan ini maka pertentangan antar masing-masing kelompok ekstrim dapat
dihindarkan. Sedangkan keutamaan intelektual yakni, manakalah manusia dalam
mencari dan memecahkan suatu masalah dituntut berpikir secara rasional.
Keutamaan intelektual dimaksudkan agar setiap pemimpin senantiasa mengedepankan
akal budi. Dengan akal budi maka dalam mencari kebenaran dan menegakkannya
dengan dasar keutamaan intelektual dan hasil dari apa yang menjadi keputusan
berdampak positif bagi masyarakat. Dengan keutamaan intelektual maka setiap
pemimpin dalam menghadapi permasalahan dapat menutupi kekurangannya dengan
menyempurnakannya melalui rasio. Karena dalam rasio itulah yang memunculkan apa
yang dikatakan Aristoteles, kebijaksanaan teoritis dan kebijaksanaan praktis.
4. “Etika Kebangsaan dan Ke-Indonesiaan”
Indonesia
merupakan negara pluralisme sosial yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan
budaya sehingga pada perkembangan demokrasi modern kerapkali dihadapkan dengan
pertentangan-pertentangan politik ideologi akibat ketidaksamaan pemahaman
mengenai landasan filosofi bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945 dan tujuan utama
dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia
tahun 1945 sesungguhnya merupakan hasil karya intelektual anak bangsa (pendiri
bangsa) yang sangat fundamental dalam membangun konsensus politik bangsa yang
didera kemelut seputar perbedaan-perbedaan pemahaman tentang prinsip-prinsip
dasar dalam etika bernegara.
Pada fase perkembangan terkini, krisis etika telah
melanda di hampir semua elemen bangsa. Kerusakan moral telah memberi kontribusi
secara negatif terhadap praktek korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) pada
penyelenggara negara. Cita-cita yang tertanam dalam Pancasila berupa adanya
integrasi nasional dan transformasi dari nilai-nilai agama yang ada di
Indonesia tidak berjalan efektif sehingga kelenturan norma agama, norma hukum,
dan norma etika, dan kerusakan moral semakin memperparah sistem etika sosial
yang ada. Nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab, rasa
kesatuan dalam berbangsa, kesadaran akan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
dalam kebijaksanaan dan perwakilan, serta rasa keadilan sosial yang selalu
terganggu akibat peradilan hukum kita yang lemah dikarenakan perilaku korup
dari segelintir elit yang menggunakan pangkat, jabatan, kekuasaan dan wewenang
untuk memperkaya diri telah menyebabkan peradilan kita kehilangan roh
independennya, semua itu adalah akumulasi permasalahan dan jadi sumber
kerusakan moral bangsa.
Kerusakan etika dan kekacauan moral sebenarnya sudah
menjadi perhatian serius pada awal era pemerintahan reformasi di bawah
kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Pemerintahan reformasi pada kepemimpinan
Habibie sebenarnya sudah merancang sebuah konsep penyelesaian atas kerusakan
etika dan kekacauan moral yang oleh sebagian para pemimpin dianggap perlu
diatasi dengan pendekatan aturan formal. MPR kemudian menyusun suatu ketetapan
yang kemudian dituangkan dalam TAP MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika
Kehidupan Berbangsa. Maksud dan tujuan dari TAP MPR No. VI Tahun 2001 tentang
Etika Kehidupan Berbangsa ini sebetulnya cukup muliah karena kehadiran TAP MPR
No. VI Tahun 2001 ini diharapkan untuk membantu memberikan penyadaran tentang
arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa. Etika
Kehidupan Berbangsa dirumuskan dengan tujuan menjadi acuan dasar untuk
meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia serta
berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa. Etika Kehidupan Berbangsa
merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat
universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila
sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam
kehidupan berbangsa.
Rumusan TAP MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa ini menjadi pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa dengan
mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etis
kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga
kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa. Selanjutnya uraian
mengenai etika kehidupan berbangsa ini mencakup enam pokok yaitu: (i) etika
sosial dan budaya; (ii) etika politik dan pemerintahan; (iii) etika ekonomi dan
bisnis; (iv) etika penegakan hukum yang berkeadilan; (v) etika keilmuan; serta
(vi) etika lingkungan.[10]
Dalam kerangka untuk kebutuhan kajian
buku ini, maka tanpa mengabaikan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa
sebagaimana yang tertuang dalam TAP MPR No. VI Tahun 2001, tulisan ini
memfokuskan pada poin pertama, yakni aspek kajian etika sosial dan budaya, poin
kedua, berkaitan dengan etika politik dan pemerintahan, poin keempat, mengenai
etika penegakan hukum yang berkeadilan, dan poin kelima yaitu tentang etika
keilmuan.[11]
Etika Pancasila
Pancasila
harus tetap dijadikan konsep politik bangsa dalam pengelolaan kebijakan
bernegara. Dengan konsep Pancasila maka segala kehendak dan keinginan politik
yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila seperti “nafsu politik
segelintir elit” yang tidak membawa kebaikan bersama akan bisa dicegah. Kita
perlu membangun kesadaran intelektual dan mentradisikan pemahaman ilmiah kepada
kelompok elit untuk terwujudnya kemajuan bangsa dengan mendasarkan pemahaman
pada Pancasila. Pancasila menjadi prinsip pengelolaan kebijakan bernegara.
Praktik kehidupan bernegara pada
prinsip-prinsip fundamental dalam nilai-nilai Pancasila tercermin dari adanya
suatu pemahaman dan penalaran intelektual setiap pejabat negara untuk
menerapkannya. Prinsip-prinsip Pancasila tercermin dalam lima dasar Sila
Pancasila itu sendiri yang kemudian dapat dikembangkan secara nalar intelektual
pada tataran praktik yakni menjadi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa; prinsip
Kemanusiaan yang adil dan beradab; prinsip Persatuan yang didalamnya
mengajarkan kita untuk senantiasa hidup rukun, toleransi, dan saling menjaga
dan memperkuat satu sama lain, prinsip Kerakyatan yang didalamnya baik secara
eksplisit maupun implisit mengajarkan kita untuk selalu tolong menolong,
bahu-membahu dan memunculkan sikap gotong royong, sedangkan prinsip Keadilan Sosial
memuat ajaran jujur, membela kebenaran, mengedepankan musyawarah untuk
kemaslahatan umum.
Prinsip-prinsip kehidupan bernegara
sebagaimana diurai di atas sesungguhnya mencerminkan etika politik dan etika
pemerintahan. Etika politik dan etika pemerintahan yang memuat pengertian baik
secara khusus maupun secara luas. Etika dalam pengertian memuat semua dimensi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip-prinsip Pancasila ini juga
merupakan intisari dari norma hukum, norma etika dan norma agama. Prinsip-prinsip
dalam praktik kehidupan bernegera seperti dikemukakan diatas pada zaman
sekarang terasa pudar bahkan semakin luntur di masyarakat kita sehingga
diperlukan upaya kuat untuk mengembalikan spirit tersebut dengan menghidupkan
prinsip-prinsip diatas salah satu jalan melalui pemberdayaan potensi sumber
daya negara yang ada secara efektif dan efisien. Menggali nilai-nilai
kemanusiaan yang terkandung dalam Pancasila untuk menjadi manifestasi sosial
dalam kehidupan benegara.
Soekarno sebagaimana dalam sejarah
dialektika pembentukan dasar negara seperti dalam Syafi’i Maarif (2006),
menurutnya, Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan
prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Prinsip spiritual
dan etik ini memberikan bimbingan kepada semua yang baik bagi rakyat dan bangsa
Indonesia. Sejalan dengan prinsip dasar ini, sila kedua, “Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab”, adalah kelanjutan dari sila pertama dalam praktik. Begitu juga
dengan sila ketiga dan keempat. Sedangkan sila kelima, “Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia”, menjadi tujuan akhir dari ideologi Pancasila.[12]
Pancasila menjadi dasar-dasar filosofis
kenegaraan terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan kesepakatan pertama
penyangga konstitusionalisme. Dengan tidak diubahnya Pembukaan UUD 1945, maka
tidak berubah pula kedudukan Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis bangunan
Negara Republik Indonesia. Yang berubah adalah sistem dan institusi untuk
mewujudkan cita-cita berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan
makna Pancasila sebagai ideologi terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam
sistem yang demokratis dan bersentuhan dengan nilai-nilai dan perkembangan
masyarakat.[13]
Dan bila masalah dasar negara disebut Soekarno sebagai Philosofische grondslag maupun Weltanschauung,
maka Piagama Jakarta yang selanjutnya disebut menjadi Pembukaan UUD 1945
yang merupakan Philosofische grondslag dan
Weltanschauung bangsa Indonesia.
Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar
negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.[14]
Indonesia sebagai negara hukum dari
perspektif Pancasila maka negara yang berketuhanan Yang Maha Esa. Negara hukum
yang berketuhanan Yang Maha Esa ini mencerminkan kultur kebangsaan yang majemuk
namun tetap dalam ikatan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, hukum negara
tidak dimaksudkan untuk dipertentangkan dengan nilai-nilai keagamaan, tetapi
sebaliknya dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan beragama seluruh
masyarakat dan warga negara. Oleh sebab itu, norma hukum dibangun seiring dan
sejalan dengan sistem nilai dan norma-norma yang hidup dalam keyakinan hukum
masyarakat, dan bahkan ditegakan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagai hakim tertinggi. Dalam konsepsi negara hukum Indonesia, sistem
norma hukum, norma kesusilaan, dan norma agama difungsikan secara simultan dan
saling melengkapi satu dengan yang lain, sehingga idealitas perilaku masyarakat
dan warga negara dapat diarahkan dan dikendalikan secara efektif dan tidak
saling bertentangan.[15]
Norma-norma etika, norma hukum, dan norma agama menjadi perwujudan dalam
transformasi nilai-nilai kehidupan nyata. Tidak boleh ada pertentangan politik
ideologi atas nama demokrasi atau menggunakan terminologi Hak Asasi Manusia
(HAM) sebagai alat untuk mengaburkan makna substansi Pancasila karena Pancasila
sebagai dasar negara sudah merupakan konsensus politik hukum kita dalam
bernegara.
Negara akan menjadi kuat apabila ditopang
dan dikuatkan oleh tiang-tiang penyangga dan tiang-tiang penyangga dimaksud
adalah norma hukum, norma etika dan norma agama. Norma etika, norma hukum dan
norma akan memiliki peranan penting untuk menentukan arah dan tujuan ke mana
kita bernegara. Negara Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa,
berperikemanusiaan yang adil dan beradab, bersatu dalam wadah NKRI,
berkerakyatan dan bermusyawarah dalam konsep hikmah dan kebijaksaan serta
berkeadilan sosial tanpa diskriminasi satu sama lain. Mengingat Indonesia
adalah negara pluralisme sosial yang majemuk maka pluralitas sosial harus
diarahkan kepada tujuan-tujuan bernegara yang baik yang tentu dengan
berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Namun demikian, yang perlu menjadi
pemahaman bersama serta pentingnya membangun kesadaran kebersamaan dalam
bernegara guna terwujudnya cita-cita negara hukum yang semestinya maka konsep
penegakan hukum yang lamban harus diimbangi dengan penguatan etika sosial.
Pelembagaan nilai-nilai etika sosial dalam praktik bernegara dengan membangun
infrastruktur ethics untuk mencegah
segala bentuk penyimpangan pengelolaan kebijakan negara.
Pancasila tidak hanya dipahami pada tahap
dasar ideologi terbuka bangsa tetapi ia sekaligus merupakan falsafah dan
pandangan hidup bangsa. Pancasila sebagaimana telah disinggung sebelumnya yakni
merupakan falsafah bangsa yang sebenarnya nilai-nilai etik dan moral sudah
tumbuh dan berkembang sejak lama jauh sebelum Indonesia merdeka. Oleh karena
Pancasila merupakan falsafah bangsa maka sistem politik nasional dan sistem hukum
hendaknya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Pada tanggal 1 Juni 1945
adalah hari di mana peristiwa pencetusan Pancasila secara resmi namun
sesungguhnya Pancasila sudah sejak lama lahir dan berkembang bersama-sama
dengan bangsa yang menjadi pendukung falsafah itu sendiri. Daniel Bell menulis:
“For example, makes the following argument: “Any
society, in the end, is a moral order ... the problem inevitably, is the
relation between self-interest and public interest, between personal impulses
and community requirements ... without a public philosphy, explicitly stated,
we lack a fundamental condition whereby a modern polity can live by consensus
and justice” (1978,
p. 250).[16]
“Let us not get to the point, where we
brand many and different daily activities with the label criminal behaviour
that carries with it serious punishment, where it is difficult to suppose that
the lawgiver intended to impose stipulated in the law. We have to proceed along
a thin line that divides criminal sancitions on one hand from noncriminal
behaviour on the other, even if the latter is faulty from the ethical and
aesthetic point of view ... At the same time, we have to estabilish norms and
standards that will assure that the public interest (which the public servant
is in change of) is safeguarded in practice, and that the public’s trust is
safeguarded as to its belief the public servant arrived at his decisions
objectively and were carried out fairly and honestly.”[17]
Dari sinilah pentingnya membangun pemahaman
etik untuk menyiapkan infra-structur in
public servies offixe dalam konteks penyelenggaraan negara modern dan
berperadaban. Falsafah bangsa dalam kerangka pembangunan sistem etika dan
politik hukum nasional pun harus mengandung norma etika sosial kebangsaan
seperti tradisi yang dikenal adat istiadat, toleransi, kesalehan sosial, dan
lain-lain. Betapapun demikian sistem politik hukum nasional tidak boleh digagas
dan dirumuskan mengikuti ideologi-ideologi impor karena perbedaan antar tradisi
di negara-negara di dunia sangat berpotensi mengacaukan sistem etika sosial
suatu bangsa.
Sebagai landasan falsafah negara maka
karakter masyarakat bangsa dapat tercermin dari nilai-nilai Pancasila yang
mengajarkan sifat-sifat kemasyarakatan dalam kehidupan bernegara. Ajaran-ajaran
dalam Pancasila yang mencerminkan sifat dan perilaku masyarakat Indonesia dapat
dilihat dari beberapa hal prinsip dasar yakni sebagai berikut: (i) sifat dekat dengan Tuhan, (ii) sifat
berpegang teguh pada pribadi bangsa, (iii) sifat mementingkan unsur jiwa rasa,
(iv) sifat mementingkan unsur immateriil, (v) sifat artistik, dan (vi) sifat “prasojo” (bersahaja).
Dari enam sifat tersebut di atas adalah
bagian inti yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Keenam sifat ini
merupakan karakter inti dari identitas bangsa yang melahirkan sifat-sifat lain
sehingga meluas hingga ke sifat-sifat lain. Artinya, manusia pada umumnya
memiliki sifat dan cara berperilaku yang serba berwarna namun keenam sifat yang
digambarkan di atas merupakan representasi dari sifat-sifat esensial yang
menjadi sumber pemunculan sifat-sifat lain seperti gotong royong, toleransi,
menghargai satu sama lain, saling bahu membahu, menghormati satu sama lain dan
lain-lain. Maka praktik politik berdasarkan Pancasila hendaknya menjadi
pemahaman bangsa untuk mengembangkan tradisi pemikiran kritis tentang
kebangsaan sehingga politik yang merupakan kumpulan dari segala aktivitas dalam
sebuah sistem politik formal negara yang secara substansial menyangkut proses
penentuan-penentuan kebijakan dan tujuan serta pelaksanaan sistem itu sendiri
di dalam mencapai cita-cita luhur dalam bernegara. Pemahaman Pancasila sebagai
filsafat dalam kehidupan bernegara sangat penting untuk ditumbuh kembangkan
atau ditradisikan terutama pada kalangan generasi muda. Dalam penyelenggaraan
negara, apakah itu menyangkut kekuasaan negara, kebijakan politik hukum dan
menyangkut tujuan negara termasuk urusan pelayanan publik, pembagian wewenang,
desentralisasi dan dekonsentrasi pembangunan hendaknya selalu dalam lingkaran
nilai-nilai Pancasila dengan berdasarkan pada legitimasi moral dan etika.
Etika Perubahan
Sikap
dan sifat ketertutupan adalah pertanda kelemahan dan kesesatan yang menganggap
diri sempurna serta tidak dapat menerima pendapat orang lain, betapapun benar
dan berbahaya pendapat itu, hal itu merupakan satu cara untuk mrnutupi
kelemahan yang terdapat dalam diri kita sendiri. Jika sifat dan sikap
keterbukaan ini kita terapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, maka kita tidak perlu khawatir untuk menyampaikan kebenaran karena
adanya jaminan hukum bahwa yang benar itu adalah benar walaupun pahit untuk
diterima pemimpin atau pemuka masyarakat harus mau dan mampu untuk memberikan
contoh walaupun yang berbuat tidak baik dan tidak benar itu adalah diri
sendiri. Hal ini mencerminkan adanya jaminan hukum dan jaminan keadilan dalam
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Apabila hal ini dapat kita
tumbuhkembangkan, terhadap tumbuhnya masyarakat yang madani. Jadi, jelas bagi
kita, apabila kita mampu menyadari bahwa makhluk ciptaan Tuhan maka
masing-masing mempunyai kelemahan dan kelebihan. Kita bersedia untuk memberi
dan menerima pikiran dan perasaan serta pendapat orang lain. Hal ini hendaknya
tampil dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Tentunya tidak lepas dari adanya jaminan hukum dan keadilan.
Terutama dari aparat penegak hukum itu sendiri., bukan jaminan hukum dan
keadilan orang/golongan kelompok tertentu saja. Kita semua sebagai makhluk
ciptaannya dapat dan mampu berpartisipasi dalam upaya peningkatan jaminan hukum
dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai anggota masyarakat
maupun sebagai warga Negara kesatuan Republik Indonesia.
Dalam
konteks sejarah perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana diketahui bersama penuh dengan
pertentangan politik ideologi. Pertentangan politik ideologi mengenai dasar
negara NKRI. Paham-paham ideologi politik multikultural ikut mewarnai
pengesahan dasar NKRI. Di antaranya ialah paham demokrasi, sosialisme,
liberalisme, komunisme, agama, dan Pancasila, namun dengan semangat dan
kebersamaan sebagai bangsa yang dijajah muncul suatu tekad bersama untuk
memproklamasikan kemerdekaan NKRI. Tanggal 17 Agustus adalah tonggak sejarah di
mana Indonesia merdeka dari penjajahan kolonial Belanda.
Pada faktanya
Pancasila telah menjadi dasar ideologi politik yang oleh pemerintahan Orde Baru
disebut sebagai ideologi terbuka dan senantiasa hidup untuk
dikontekstualisasikan sesuai tuntutan zaman. Maka perubahan UUD 1945 sejak
reformasi merupakan gerakan yang didasari oleh kesadaran intelektual anak
bangsa untuk mengartikulasikan Pancasila sebagaimana orisinalitasnya. Sidang
Istimewa MPR tahun 1998 mencabut TAP MPR Nomor XVIII/MPR/1998 yang ditandai
pencabutan P-4 dan Pancasila menjadi satu-satunya asas bagi semua organisasi
sosial politik (partai politik) adalah merupakan gerakan ideologis substantif
yang modern dengan mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai dasar NKRI.
Gerakan fundamental dalam reformasi juga menghasilkan karya intelektual
generasi abad modern seperti mencabut mandat MPR yang diberikan kepada Presiden
tentang kewenangannya dalam mentradisikan nilai-nilai etika sosial dan
moralitas kebangsaan melalui P-4 dan asas tunggal Pancasila. Pemahaman ini
menghantarkan kita pada pertanyaan what is a constitution yang secara
sederhana dikemukakan oleh Brian Thompson dan dapat dijawab bahwa “... a
constitution is a document which contains the rules for the operation of an
organization”. Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas
strukturnya termasuk organisasi sosial politik.[18]
Maka disinilah pentingnya Pancasila menjadi asas ideologi politik organisasi
sosial politik yang resmi diakui negara. Pancasila menjadi falsafah kenegaraan
atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag
dan common platform atau kalimatun sawah di antara sesama warga
masyarakat yang dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme
menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka.[19]
Kebebasan yang Terkelola
Perubahan
fundamental pada UUD 1945 ialah semua warga negara memiliki hak yang sama dalam
berserikat, berkumpul, dan menyampaikan aspirasi politik sesuai peraturan dan
perundang-undangan. Kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul dan kebebasan
berpendapat tidak lagi dipasung pemerintah tetapi benar-benar dibuka. Semua
warga negara memiliki hak untuk berserikat dan memilih teman atau kawan tanpa
ada paksaan atau dilarang oleh pihak ketiga (The ability of an individual to
choose the nature of their relationships with others without interference with
third parties).[20]
Kebebasan dalam arti yang postif dan diatur oleh negara. Perubahan UUD 1945
telah membuka ruang kebebasan bagi semua warga negara dalam menggunakan hak-hak
yang merupakan naluri alamiah sebagai makhluk sosial. Prinsip kemerdekaan dalam
prinsip berserikat (freedom of association) atau kebebasan berserikat (the
right or the freedom of association) ini di Amerika umumnya dipahami
sebagai konsep yang tumbuh dari amandemen pertama UUD. Pengalaman Amerika
Serikat pertama kali melakukan amandemen terhadap konstitusinya memberikan
jaminan pada warga negaranya untuk berserikat secara damai. Pada perubahan
konstitusi Amerika Serikat yang pertama ini oleh sebagian ahli menganggapnya
sebagai “the right of association” sebagai suatu “penumbra” amandemen
pertama (the First Amandement) yang mengandung makna the privacy of certain
kinds of organizational memberships, dan sebaian pakar menyebutnya sebagai freedom
of association yakni sebagai suatu hak alamiah (natural right).[21]
Dalam perspektif
ke-Indonesiaan, perubahan telah menempatkan Pancasila dalam posisi yang kuat
sehingga Pancasila dipercaya sebagai way of life, falsafah bangsa atau
ideologi negara tidak lagi diragukan. Pancasila menjadi roh serta pikiran dari
semua anak bangsa yang terdiri dari berbagai perbedaan-perbedaan suku, bahasa,
agama, dan budaya yang membentuk pemahaman dan perilaku dan sekaligus perekat
integritas NKRI. Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap yakni dari tahun
1999 sampai tahun 2002 selama empat kali yang secara bersamaan dibentuk Komisi
Konstitusi untuk melakukan pengkajian komprehensif tentang perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang
Pembentukan Komisi Konstitusi.[22]
Dalam konteks ini
tugas dan tanggungjawab generasi zaman sekarang yang perlu digerakan ialah
bagaimana terus secara aktif menggali nilai-nilai luhur dalam ajaran Pancasila
serta memahaminya sebagai suatu karya intelektual para pendiri bangsa. Bangsa
kita telah bebas dari segala bentuk pemahaman mengenai sosialisme, kapitalisme,
liberalisme, dan sistem-sistem lain dalam praktik dan implikasinya bila
Pancasila kita dengan konsisten dan terus merawat komitmen para pendiri bangsa
maka bisa dirasakan akan lebih kuat dari sistem-sistem nilai lain yang
dikembangkan negara-negara di dunia. Kita perlu membangun kesadaran berbangsa
mengenai Pancasila dan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya jika
diterapkan menjadi solusi komprehensif atas persoalan-persoalan kebangsaan yang
tengah kita hadapi. Pancasila seharusnya kita pahami dan praktekan sebagai
filsafat berpikir, filsafat dalam berperilaku sehari-hari sehingga memberikan
pengaruh baik secara sosiologis-antropologis maupun psikologi-sosial dalam
kehidupan.
Pemerintah
sekarang perlu menghidupkan tradisi pemahaman dan praktek kehidupan sosial
sesuai nilai-nilai Pancasila karena Pancasila sesungguhnya tidak hanya sebuah
teks sosial kehidupan yang dipelajari begitu saja tetapi penting untuk
diimplementasikan dalam rangka mengembangkan kehidupan yang beretika. Pancasila
telah menjadi urat nadi bagi anak-anak bangsa dan dengan demikian pemahaman
kultural seperti sikap gotong royong, musyawarah, kemanusiaan, persatuan, sikap
kekeluargaan, sikap responsif dan aktif membantu sesama, serta kesadaran akan
ketuhanan termasuk dalam pengembangan aspek politik nasional hendak dikuatkan.
Pancasila harus menjadi manifestasi pemahaman politik nasional sebagaimana
warisan dalam ajaran Budha di India yang bersumber pada kitab suci Tri Pitaka
dalam tiga klasifikasi, yaitu, Sutha Pitaka, Abhidama Pitaka, dan Vinaya
Pitaka. Secara sosio-historis masuknya agama Hindu di Indonesia, nilai-nilai
moral dan etika dalam Pancasila mengalami kemajuan di mana nilai-nilai etika
dan moral dalam Pancasila dapat ditransformasikan ke dalam khasanah kepustakaan
Jawa, terutama pada zaman Majapahit. Zaman keemasan Majapahit melalui
pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gadjah Mada, terdapat ajaran
Nagarakertagama yang melukiskan syair-syair tentang pujian bagi istana Empu
Prapanca yang ditulis sejak tahun 1365.
Oleh
ajaran-ajaran Pancasila sebenarnya masuk dalam ajaran Budaha sebagaimana dalam
sebuah syair pada bait kedua dilukiskan “Yatnaggegwani pancasyiila
kertasangkarbhisekaka krama”, yang menekankan tentang tata krama dalam
pergaualan sosial baik dalam internal kebangsaan maupun dalam pergaulan dunia
internasional. Maka tidak ada jalan yang baik dalam memilih sistem sosial
bernegara selain menjadikan Pancasila sebagai nilai-nilai luhur dalam kehidupan
dan menjadi dimensi pembangunan politik nasional sebagai jawaban atas tuntutan
kebangsaan kita sekarang. Orientasi pembenahan dan penataan sistem etika
kehidupan bernegera hendaknya dimulai dari gerakan penyadaran mengenai hakikat praktik
politik berbasis kemanusiaan pada pelbagai komponen bangsa terutama aktor
pemegang kekuasaan dalam pemerintahan dengan menjadikan Pancasila sebagai
sendi-sendi kehidupan.
Dalam konteks itulah,
pemerintahan sekarang seyogyanya mempercepat agenda pembahasan RUU Etika
Penyelenggara Negara yang sudah masuk dalam Prolegnas. DPR dan Pemerintah tidak
ada alasan untuk menunda apalagi memperlambat hingga menghambat proses pembahasan
RUU ini, karena bila terus diperlambat tanpa kepastian waktu yang jelas maka
kecenderungan mengabaikan agenda ini semakin kuat. Pembahasan RUU Etika
Penyelenggara Negara hendaknya melibatkan para pakar, kaum intelektual dan
kalangan cendikiawan serta tokoh-tokoh agama yang kredibel dan berintegritas
tinggi pada prinsip-prinsip kebangsaan dan kenegaraan dalam kerangka Pancasila,
UUD 1945 dan TAP MPR No. 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Pada
prinsipnya etika pemerintahan harus dimanifestasikan dari nilai-nilai luhur
budaya bangsa Indonesia. Menggali tradisi-tradisi lokal yang dianggap relevan
dan baik untuk dijadikan sebagai pedoman dalam rangka memperkuat basis-basis
nilai kebangsaan yang telah dipraktikkan selama ini.*
_______________________________________________
Daftar Pustaka
Ahmad, Zainal, Abidin. Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam Al
Gazali, Jakarta: Penerbit, Bulan Bintang.
Asshiddiqie,
Jimly, 2005. Kemerdekaan Berserikat;
Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi
Press.
----------,
2012. Menegakkan Etika Penyelenggara
Pemilu, Jakarta: RajaGrafindo.
----------,
2014. Peradilan Etik & Etika
Konstitusi, Jakarta: Sinar Grafika.
Benjamin
Geist and Asher Friedberg, State Audit
and Moral Integrity In The Public Market, yang membahas panjang lebar
seputar isu-isu mutakhir tentang bagaimana respon negara-negara maju dan
berkembang dalam menyiapkan ethics infra-structure in public offices sebagai perubahan paradigma
pengelolaan pemerintahan modern.
Curtis Ventriss, Reconstructing
Government Ethics: A Public Philosophy Of Civic Virtue.
Magnis, Suseno, Frans, 1987. Etika Dasar, Masalah-masalah pokok
Filsafat Moral, Jakarta:
Kanisius.
----------, 2001. Kuasa
& Moral, Jakarta: Gramedia.
Kaelan, dan
Zubaidi, Achmad. 2007. Pendidikan
Kewarganegaraan. Yogyakarta:
Paradigma.
Marilyn
Watson dkk., 1989. “The Child Development
Project: Combining Traditional and Developmental Approaches to Values
Education” dalam Larry P. Nucci (ed.), Moral
Development and Character Education (Berkeley, CA: McCutchan, 1989).
Syamsir. 2009. Buku Ajar Pendidikan kewarganegaraan. Padang: UNPPress.
Thomas
Lickona, 2013. Educating
for Character, dalam (terj.), Lita S., Pendidikan Karakter, Bandung: Nusa Media
Winarno.
2006. Paradigma Baru Pendidikan
Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi Aksara.
Maksum, Ali, 2012. Pengantar Filsafat; Dari Masa Klasik Hingga
Postmodernisme, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Vos, De, 1969. Inleiding tot de Ethiek, dalam (terj.), Soejono Soemargono, 2002, Pengantar Etika, Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Biografi Penulis
Rahman
Yasin lahir di Kampung Lewotala, Adonara, Flores Timur, 07 Maret 1975.
Pendidikan S1 di Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, S2 di Komunikasi Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta. Pernah bekerja sebagai tenaga ahli anggota
DPD RI tahun 2009, editor di Penamadani, aktif di Lembaga Studi Pembangunan
Indonesia dan sekarang bekerja di Sekretariat Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu RI, dan mendirikan Lembaga Pengembangan Pendidikan Anak Bangsa, serta
aktif menulis karya-karya ilmiah, karya terbaru buku berjudul: Menulis tentang Pemilu (2014).
Alamat:
Jl.
M.H. Thamrin No. 14 Jakarta
Blog:
http://www.jujuradil.blogspot.com
Nomor
Rekening: Bank BRI, A,N, Rahman Yasin: 0230001038284506
Nomor
Kontak: 081315897374
[1] Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Filsafat, P.T.
Pembangunan, Cetakan Kelima, Jakarta, 1980, hal, 91.
[2] Sunoto dkk., Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia, Penerbit,
Yayasan Lembaga Studi Filsafat Pancasila dan Andi Offset, Yogyakarta, 1983,
hal, 22.
[3] N. Drijarkara S.J. Percikan Filsafat, P.T. Pembangunan,
Jakarta, Cetakan Kelima, 1989, hal, 156.
[4] Zainal, Abidin, Ahmad, Konsepsi
Negara Bermoral Menurut Imam Al Gazali, Penerbit, Bulan Bintang, Jakarta,
hal, 18.
[5] Ibid.
[6] Ibid, hal,
22.
[7] Thomas Lickona, Educating for Character, dalam (terj.), Lita S., Pendidikan
Karakter, Nusa Media, Bandung, 2013, hal, 219-220.
[8] Ibid, hal,
227.
[9] Marilyn Watson dkk.,
“ The Child Development Project:
Combining Traditional and Developmental Approaches to Values Education” dalam
Larry P. Nucci (ed.), Moral Development and
Character Education (Berkeley, CA: McCutchan, 1989).
[10] Lihat TAP MPR Nomor
6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa
[11] Reformasi sistem
hukum dan politik pasca runtuhnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan
Presiden Soeharto tidak mampu mengendalikan jalannya arus perubahan yang
dituntut masyarakat. Letupan politik dan riak-riak konflik vertikal-horisontal
serta ekspresi kebebasan yang melampaui batas-batas tradisi dan norma-norma
budaya bangsa sebagai identitas kebangsaan menjadi salah satu pertimbangan
pemerintah dan MPR untuk kemudian mengeluarkan TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001
tentang Etika Kehidupan Berbangsa. TAP MPR Nomor 6 ini dimaksudkan untuk
mengatasi praktik kehidupan sosial budaya yang dengan atasnama demokrasi lalu
menghilangkan basis-basis nilai kebudayaan bangsa Indonesia. Gerakan reformasi
dan tuntutan perubahan di segala bidang kehidupan praktik berbangsa dan bernegara
tidak terrencana secara sistematis dan tanpa mempersiapkan sebuah grand design
konsep pembangunan etika dalam segala aspek kehidupan bernegara. Implikasi
negatif yang terjadi dalam praktik, etika kebudayaan berbasis Pancasila tidak
saja mengalami kelunturan nilai tetapi transformasi praktik budaya impor yang
justru menjadi pilihan masyarakat. TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001 ini diharapkan
menjadi payung hukum untuk menopang tegaknya nilai-nilai budaya kebangsaan
dalam praktik bernegara. Itulah yang menjadi alasan hingga kini TAP MPR Nomor 6
Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini masih terus dipertahankan.
[12] Ahmad Syafii Maarif,
Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara:
Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, LP3ES, Jakarta, 2006, hal, 158.
[13] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-pilar
Demokrasi, Edisi Kedua-Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal, 257.
[15] Jimly Asshiddiqie, Prinsip-prinsip Negara Hukum Indonesia, dalam
(karya) Muhammad Tahir Azhary, Beberapa
Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, Prenada, Jakarta,
2012, hal, 31.
[16] Lihat dalam tulisan
Curtis Ventriss, Reconstructing
Government Ethics: A Public Philosophy Of Civic Virtue.
[17] Selanjutnya bisa
ditelusuri dalam tulisan Benjamin Geist and Asher Friedberg, State Audit and Moral Integrity In The
Public Market, yang membahas panjang lebar seputar isu-isu mutakhir tentang
bagaimana respon negara-negara maju dan berkembang dalam menyiapkan ethics infra-structure in public offices sebagai perubahan
paradigma pengelolaan pemerintahan modern.
[18] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Edisi Pertama-Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal, 284.
[20] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat; Pembubaran Partai
Politik dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal, 22.
[21] Jimly Asshiddiqie, Op, Cit, hal, 23.