Dari Kontestasi hingga Ke
Konstitusionalitas Pilkada
Oleh : Rahman Yasin
Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu
Tidak bisa dipungkiri bahwa politik adalah suatu rangkaian
aktifitas yang mengarah pada perebutan kekuasaan atau dengan kata lain politik
memiliki orientasi semata-mata meraih kekuasaan dengan cara apapun, baik dengan
cara-cara konstitusional maupun non-konstitusional. Politik sesungguhnya
merupakan alat untuk mencapai tujuan, dan tujuan dalam politik adalah kekuasaan
itu sendiri, yang tentu diatur dalam sebuah aturan main (rule of the game). Manusia politik adalah manusia yang menggunakan
aturan main untuk mencapai tujuan-tujuan politik yakni untuk mendapatkan
kekuasaan berdasarkan aturan main yang sudah menjadi kesepakatan bernegara.
Tetapi dalam praktik seringkali kita diperlihatkan, para aktor politik
memperlakukan aktifitas politik sebagai bahan yang menimbulkan kesan rakyat
menjadi begitu keji. Maka wajar bila rakyat menganggap politik itu kotor.
Karena dalam praktik, politisi kerap menunjukkan sikap korup, serakah dan
bermental pengecut, paling gampang memanipulasi realitas menjadi suatu aneka
produk wacana pembenaran. Itulah sebabnya, seorang pakar komunikasi politik
Harrol D Laswel mendefenisikan politik sebagai “who gets what, when and how” (siapa mendapat apa, kapan dan
bagaimana mendapatkannya). Politik dalam pengertian Laswel adalah suatu
kegiatan bersifat membantu, mendorong, memprovokasi orang untuk ikut terlibat
baik langsung maupun tak langsung mendukung untuk memenangkan (pemilu) dan
sebagai konsekuensi diberikan timbal balik atas kerja aktifnya memenangkan
seseorang dalam pemilu.
Titik tekan politik berorientasi sentral pada kekuasaan
adalah kesepakatan jahat yang bersifat transaksional dengan menggunakan
retorika pembenaran sebagai argumentasi. Maka politik melahirkan harapan dan
pengharapan baik secara positif maupun negatif. Positif dan negatif dari
konsekuensi logis yang diterima oleh seseorang dalam kegiatan politik adalah
berupa balas jasa kekuasaan. Dari sinilah kemudian muncul praktik obral
jabatan, dan jual beli kedudukan. Karena pada dasarnya manusia politik umumnya
memiliki hasrat berkuasa sangatlah tinggi, dan dominasi sifat keserakahan pun
teramatlah kuat sehingga dalam praktik tidak heran bila meminjam terminologi
Hobbes, yakni saling memakan antar satu sama lain, saling menikam dan membunuh
antar satu sama lain, karena rumus umum dalam politik kekuasaan adalah
kepentingan yang abadi. Itulah yang lazim dikemukakan orang bahwa politik itu
tidak ada kawan maupun lawan abadi tetapi yang ada adalah kepentingan. Politisi
seringkali menampilkan perilaku amoral dan bertentangan dengan prinsip-prinsip
konstitusi, bahkan perilaku jegal-menjegal, aksi tipu-tipu sesama teman,
termasuk melanggar kesepakatan/janji/sumpah atau apapun bentuk kerjasama yang
telah disepakati bersama. Semua itu dilakukan tidak lain dengan tujuan
kekuasaan dan berkuasa, sehingga tak jarang seorang politisi memanfaatkan cara
kotor atau menghalalkan segala cara untuk mencapai hasrat, sebagaimana
dikemukakan seorang teoritikus dan praktisi politik Nicolo Machievelly dalam
bukunya il principel (sang pangeran).
Gambaran praktik politik seperti diatas tidak berarti
tidak terjadi dalam praktik politisasi Pilkada langsung tidak langsung di
parlemen melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota. Isu Perppu menjadi seksi sekaligus dijadikan ajang
menang-menangan para aktor politik di senayan. Akal waras dikesampingkan, etika
dan moral dinomorduakan, konstitusi dijadikan alat tafsir politik pembenaran.
Ironinya, umumnya mereka mengaku idealis dan ideologilah yang memotifasi mereka
untuk memperjuangkan dan mempertahankan status Perppu. Itulah politik kekuasaan
yang intinya adalah berkuasa.
Demokrasi
Kontekstual
Dalam prinsip
demokrasi, tidak menganut kesetaraan formal melainkan kesetaraan substantif.
Kesetaraan substantif memutar ulang konsep keadilan lama dari Aristoteles: “yang sama diperlakukan sama, yang tidak
sama diperlakukan lain”. Demos adalah konsep yang berpagar.
Kesetaraan hanya berlaku pada demos sebagai yang terbatas. Demos diukur
berdasarkan partisipasinya terhadap substansi politik yang sama dalam arti yang
tidak berbagi substansi politik yang sama adalah non-demos, sehingga boleh diperlakukan tidak sama. Demokrasi
bekerja dengan gagasan homogenitas, bukan heterogenitas. Prinsip homogenitas
mengkaitkan dengan gagasan kesetaraan atau kesamaan kedudukan dalam hukum (equality befor the law), sehingga
subyek hukum disebut Pihak dan bukan subordinat
dengan mengedepankan kepentingan bersama dan kepentingan umum (kolektif).
Oleh karena itu, dalam
tataran konsolidasi demokrasi, maka demokrasi
merupakan “the only game in town” (satu-satunya aturan yang
berlaku). Keyakinan akan demokrasi tersebut bahkan tetap terpelihara dalam
situasi politik dan ekonomi yang sangat buruk sekalipun, sehingga mayoritas
rakyat tetap meyakini perubahan politik harus tetap dilakukan berdasarkan
parameter-parameter yang terdapat dalam prosedur demokrasi. Dalam tataran teknis
penyelenggaraan demokrasi terdapar prinsip majority rule, artinya kedaulatan suara
mayoritas, sebagai penentu suara demokrasi. Dalam demokrasi, suara mayoritas
adalah merupakan suatu syarat bagi terbentuknya sistem politik yang
mencerminkan demokrasi. Prinsip mayoritas (Majority
Principle) dalam tataran teoritis terdiri dari tiga tipe: (1) mayoritas absolute (absollut majority), yaitu setengah
jumlah anggota ditambah satu atau 50 plus satu; (2) mayoritas biasa (simple majority), yaitu apabila
keputusan di setujui oleh sebanyak-banyaknya suara sehingga tampak perbedaan
antara mayoritas dan minoritas; dan (3) mayoritas bersyarat (qualified
majority) yang menetapkan keputusan berdasarkan perhitungan tertentu,
sehingga 3/4 atau 2/3 suara. Prinsip-prinsip demokrasi
konstitusional yang berlaku secara universal tersebut
bersesuaian dengan prinsip-prinsip kedaulatan
rakyat yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan prinsip-prinsip
negara hukum sebagaiamana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Oleh karena
itu, dinamika penerapan demokrasi dalam perspektif pemilihan kepala daerah
merupakan drama yang memiliki episode-episode konteksual dengan dinamika
politik dalam transisi demokrasi di Indonesia. Kita harus bijaksana dalam
menilai setiap episode tersebut, karena dalam suatu transisi demokrasi
pilihan-pilihan penerapan demokrasi sebagai bagian dari dinamika politik
berbanding lurus dengan kondisi dinamis baik di dalam negeri maupun kondisi
dinamis global. Perubahan pilihan sepanjang sebagai bagian dari tafsir UUD 1945
harus dipahami sebagai bagian dari penerapan prinsip demokrasi tersebut baik
dalam memilih pejabat dalam jabatan publik, maupun
dalam menetapkan arah kebijakan public
dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan bersama.
Demikian pula
dalam memahami perubahan pilihan penerapan demokrasi dalam pemilihan kepala
daerah dari pemilihan melalui DPRD sesuai tingkatan perubahan dengan pemilihan secara langsung sejak tahun
2008 melalui UU
No.12 Tahun 2008. Jika tahun 2014 dinamika penerapan demokrasi dalam pemilihan
kepala daerah berubah yaitu dari “langsung” kepada “tidak langsung” yaitu oleh
DPRD sesuai tingkatannya melalui UU No. 22 Tahun 2014 dan selanjutnya
dibatalkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1
Tahun 2014, juga harus dipahami sebagai bagian dari dinamika demokrasi.
Dalam konteks itulah dapat dipahami, UU No. 22 Tahun 2014 dan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014, adalah sama-sama
produk politik hukum yang dalam konstelasi Pileg dan Pilpres 2014 yang kuat
ikut mewarnai secara psikologis didalamnya sehingga perlu dimaknai sebagai bagian dari dinamika penerapan
demokrasi yang merupakan drama politik dalam transisi demokrasi.
Konstitusionalitas
Pilkada
Kepala Daerah (Chief of executive) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 adalah “Kepala
Pemerintah Daerah” sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, karena keduanya memiliki unsur, kedudukan,
dan fungsi yang sama sebagai “Chief of
Executive”. Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten,
dan kota yang dipilih secara demokratis”. Pada dasarnya setiap daerah baik
provinsi, kabupaten, maupun kota menurut UUD negara RI tahun 1945 hanya memilki
“Kepala Daerah” yaitu ‘Gubernur’ untuk daerah provinsi, ‘Bupati’ untuk daerah kabupaten, dan ‘Walikota’ untuk daerah kota. Dalam
perspektif ‘recruitment’ kepala daerah, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
menegaskan bahwa pemilihannya dilakukan ‘secara demokratis’ dan tidak
menggunakan prinsip ‘secara langsung’ sebagaimana
pemilihan Presiden dan Wakil presiden yang ditetntukan dalam Pasal 6A ayat (1)
UUD 1945.
Hal ini dapat dipahami karena secara historis bahwa Perumusan dan
penetapan Pasal 18 secara keseluruhan dilakukan pada perubahan UUD yang kedua,
sedangkan perumusan dan penetapan Pasal 6A ayat (1) tersebut dilakukan pada perubahan UUD yang
ketiga. Pada perubahan kedua UUD 1945 (tahun 2000), belum ada kesepakatan MPR
tentang tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden apakah secara langsung
atau tidak langsung. Oleh karena itu, untuk menetapkan pasal 18 ayat (4)
tersebut dipilih kata ‘demokratis’ yang pelaksanaannya dapat dilakukan secara
langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, apabila UU yang dibentuk berdasarkan
perintah Pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 2004 menetapkan pemilihan secara
demokratis dengan mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat
daerah yang bersangkutan atau tidak langsung melalui lembaga perwakilan daerah
yang bersangkutan maka secara normatif tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak melanggar prinsip ‘hierarki’ peraturan perundang-undangan
Penyelenggaraan pemerintahan yang
demokratis tercermin dalam ’recruitment’ kepala pemerintahan, dan
anggota perwakilan (DPR/DPD/DPRD) serta cara pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan kepentingan publik oleh lembaga yang diberikan kewenangan dan
tugas untuk kepentingan itu. Persoalannya adalah bagaimana proses politik
justeru tidak mencederai demokrasi itu sendiri. Artinya produk politik yang
digodok di lembaga perwakilan sebagai representasi rakyat menghasilkan produk
kebijakan yang mampu mendorong partisipasi dalam perwujudan kesejahteraan
bersama. Agar menghasilkan produk kebijakan yang memiliki kualitas tinggi dan pemihakan
yang jelas terhadap kesejahteraan bersama, maka diperlukan pemikiran, konsep
yang teknokratis yang dapat diukur dan diuji keberhasilannya. Prinsip demokrasi
tercermin dalam aspek ’legitimasi’ dan prinsip teknokrasi
tercermin dalam aspek ’kompetensi’.
Keseimbangan antara prinsip ’legitimasi’ dan prinsip ’kompetensi’ akan mengasilkan kebijakan
publik yang diterima oleh masyarakat dan sekaligus mempercepat terhadap
perwujudan indikator kesejahteraan bersama. Dalam perspektif ini, maka proses ’recruitment’
harus didasarkan pada prinsip demokrasi yang dipandu oleh prinsip hukum (legal),
dan akan menghasilkan pemimpin yang diterima oleh sebagaian besar masyarakat (legitimate)
karena kesalehan intelektual, moral dan berkinerja tinggi (competence).
Oleh karena itu, Pemilihan Kepala Daerah memiliki posisi strategis dalam
membangun demokrasi yang bermartabat, maka penyelenggaraannya harus mengacu
pada prinsip kebebasan sejati, kejujuran dan keadilan. Jika proses ’recruitment’
untuk mengisi jabatan publik,
dan cara pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik
dilakukan melalui proses demokrasi yang bermartabat dan berkeadilan, maka
hasilnya bukan saja kepastian, tetapi didalamnya terangkum keadilan dan
kemanfaatan dalam kerangka memajukan kesejahteraan bersama.
Untuk memahami masalah konsep
demokrasi, secara garis besar terdapat 5 (lima) hal yang merupakan elemen dari
demokrasi: (1) masyarakat dapat
menikmati apa yang menjadi hak-hak dasar mereka termasuk hak untuk berserikat (freedom
of assembly), hak untuk berpendapat (freedom of speech), dan
menikmati pers yang bebas (freedom of the press); (2) adanya pemilihan umum yang dilakukan secara teratur dimana si
pemilih secara bebas menentukan pilihannya tanpa ada unsur paksaaan; (3) partisipasi politik masyarakat dilakukan
secara mandiri tanpa direkayasa; (4)
adanya kemungkinan rotasi berkuasa sebagai produk dari pemilihan umum yang
bebas; dan (5) adanya rekruitmen politik yang
bersifat terbuka untuk mengisi posisi-posisi politik yang penting di dalam
proses penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, demokrasi tidak dapat dipahami hanya dari segi pengertian demos
dan cratos, melainkan secara komperhensif harus dikaitkan
dengan pemahaman mengenai doktrin liberalisme.
Liberalism
dipahami sebagai gagasan terdiri atas dua tingkat yang saling berhubungan. Pada
tingkat pertama, liberalisme adalah sekumpulan prinsip filosofis yang mengatur
soal kesetaraan, kebebasan, individualitas dan rasionalitas. Liberalisme
mengatur bahwa seseorang tidak secara kodrati lebih rendah dibanding orang
lain. Setiap orang, bagi liberalisme, memiliki peluang yang sama untuk
mengaksentuasi bakat dan kecakapannya. Di sini liberalisme tidak menginginkan
kesamaan hasil melainkan kesempatan. Dua orang diberi kesempatan sama berdagang
di pasar. Kesuksesan keduanya tergantung pada jerih payah dan kerja keras
masing-masing, bukan status sosial yang disandang. Liberalisme menegaskan
betapa setiap orang adalah otonom dalam artian memiliki kapasitas untuk
menimbang dan memutuskan secara independen.
Oleh sebab itu, setiap orang tidak
boleh dijadikan alat bagi tujuan orang atau kelompok lain, semulia apa pun
tujuan tersebut. Individu mendahului komunitas. Komunitas tak lain adalah
agregat individu dengan beraneka kepentingan dan keinginan. Terakhir,
liberalisme menetapkan bahwa setiap klaim yang diajukan di ruang publik wajib
diperiksa secara kritis dan imparsial. Sikap individu terhadap asuransi sosial
harus dapat diperdebatkan secara terbuka apabila sikap tersebut ingin
dilegalisir menjadi undang-undang.
.
_______________________________________________________
Pesimistis Publik pada UU Pemilu
Oleh: Rahman
Yasin
Masyarakat Indonesia tidak saja terus
dibuat resah oleh perilaku korup elit politik kita sehubungan proses
pelaksanaan revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
yang tidak kunjung selesai, tetapi juga dikejutkan dengan kasus pemalsuan surat
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diduga dilakukan mantan anggota KPU, Andi
Nurpati yang saat ini menjadi salah satu fungsionaris Partai Demokrat. Isu
skandal politik ini cukup seksi dan menyedot perhatian publik karena
mengungkapkan dugaan pemalsuan surat putusan MK No. 112/PAN.MK/VIII/2009,
tertanggal 17 Agustus 2009 terkait kursi DPR dari Dapil I Sulawesi Selatan ini
setidaknya turut memperkuat asumsi publik terhadap manajemen pemilu dari waktu
ke waktu tidak mengalami perubahan signifikan. Apabila kasus dugaan pemalsuan
surat ini tidak diselesaikan dengan adil, maka rakyat tidak saja semakin
kehilangan percaya pada kinerja partai politik lagi tetapi justru semakin
memperparah kualitas demokrasi kita di mata dunia Internasional. Bahkan sangat
berpotensi membawah preseden buruk bagi masa depan pelaksanaan pemilu kita.
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan
sarana yang paling efektif untuk melaksanakan kedaulatan politik rakyat dalam
konteks kebebasan memilih pemimpin yang kelak menjalankan kebijakan pembangunan
negara. Melalui Pemilu, terjadi proses apa yang disebut dalam Undang-Undang
Nomor. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu—sebagai suatu cara efektif
menjalankan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
yang tentu tetap dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Arah kebijakan negara
akan sangat ditentukan oleh calon-calon pemimpin yang turut ambil bagian dalam
pelaksanaan pemilu. Pemilu juga merupakan sebuah konsep demokrasi yang
menempatkan nilai-nilai egaliterianisme politik masyarakat secara berperadaban.
Pemilu punya arti penting tentang
bagaimana pembaruan sistem kehidupan masyarakat itu di mulai, karena lewat
pemilu, warga bangsa akan diberikan kebebasan penuh untuk menggunakan prefrensi
politik tanpa adanya intervensi yang berarti dari rezim atau kelompok politik
manapun yang mengatasnamakan demokrasi. Tesis ini diperkuat dengan basis
penerapan sistem penyelenggaraan pemilu yang berasaskan Langsung, Umum Bebas,
Rahasia (Luber), Jujur, dan Adil (Jurdil). Titik tekan substansi penyelenggaraan
pemilu yang Luber dan Jurdil diatur dalam UU No. 32/2004, UU No. 22/2007, dan
UU No. 10/2008 terkait mekanisme menggunakan hak pilih masyarakat dalam pemilu
sebenarnya sudah diatur secara tegas dan jelas. Jika demikian, mengapa
institusi penyelenggara pemilu (KPU) cendrung inkonsisten menerapkan tugas
maupun fungsi konstitusionalnya, dan bagaimana upaya semua pemangku kepentingan
terhadap kualitas pemilu 2014?
Sejak pemilu tahun 1955, kita tahu
betapa transformasi demokrasi mendapat legitimasi yang cukup kuat dari dunia
Internasional. Sistem multipartai baru pertama kali diterapkan dalam sebuah
kondisi geo-sosio politik yang kurang stabil, tapi fakta menunjukkan, elit
politik ketika itu mampu menghadirkan suasana demokrasi politik yang berperadaban.
Protes akibat pelanggaran pemilu pun relatif kurang meskipun ada namun dari
cara men-disegn tradisi politik yang
santun paling kurang siap kalah dan mengakui kemenangan lawan terasa begitu
kuat. Ini sangat berbeda dengan kondisi politik baik pada pemilu 1971 yang
merupakan fase pertama kehadiran rezim Orde Baru dalam pentas politik nasional
maupun pemilu-pemilu berikut di era Orde Baru, bahkan hingga memasuki fase
reformasi.
Secara teoritik, pemerintahan Orde
Lama menerapkan sistem demokrasi terpimpin yang hingga memicu tersumbatnya kran
demokrasi. Kegaduhan sistem politik masa transisi demokrasi menjadi faktor
kegagalan negara dalam menyusun dan menerapkan sistem pemilu yang demokratis.
Kepemimpinan Soekarno, apa yang disebut oleh Herbert Feit (1962) dalam karya
monumentalnya, The Decline of
Constittutional Democracy in Indonesia, sebagai solidarity makers, dan administrator
atau lebih dipahami sebagai problem
solver ini kurang bersahabat dengan kultur politik bangsa. Kegagalan demokrasi parlementer era
kekuasaan rezim Orde Lama tampak jelas akibat diterapkannya sistem constitutional democracy. Sebuah
kegagalan membangun tradisi demokrasi kekuasaan yang elegan untuk membawa
bangsa ke arah peradaban politik modern.
Yang lebih disayangkan lagi, etape kekuasaan
rezim Orde Baru, perhelatan demokrasi melalui pemilu, tidak lagi mencerminkan
semangat kebebasan untuk menggunakan hak-hak politik masyarakat dalam memilih
pemimpin, hampir tidak ada. Pemilu sarat dengan praktik manipulasi, distorsi
kekuasaan, jabatan politik formal dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan
rezim yang sedang dan akan berkuasa. Pendek kata, pemilu pada era rezim Orde
Baru sama sekali kehilangan pesan keadilan demokrasi. Demokrasi jadi pemanis
perhelatan kekuasaan. Maka sangat wajar, apabila kondisi ini kemudian memicu
krisis kepemimpinan demokrasi bangsa di mata dunia Internasional karena negara
dianggap tidak sanggup menjalankan demokrasi dengan baik.
Reformasi yang menyertai transisi
demokrasi pun disusupi oleh oligarki dan pragmatisme kekuasaan sehingga hampir
setiap proses dan tahapan pemilu selalu muncul kecurangan. Demokrasi menjadi
liberalis akibat kekuatan-kekuatan ideologi global yang begitu mendominasi.
Volume tuntutan pembaruan sistem demokrasi termasuk sistem hukum dan politik
terus meningkat di satu sisi, tetapi sisi lain, implementasi demokrasi yang
ambigu pun terlihat terus menguat khususnya dalam proses penerapan UU
Pemilu.
Demokrasi Versus Oligarki
Reformasi sistem Pemilu dan sistem
politik terus dilakukan dan pada setiap pergantian “rezim kekuasaan politik
legislasi” di parlemen, hampir perubahan terhadap UU Pemilu, UU Kepartaian, dan
UU Politik tidak pernah luput dari sikap politik partai-partai politik yang
kontraproduktif. Akan tetapi perubahan demi perubahan sampai saat ini belum
mampu mewujudkan sebuah sistem yang relevan, dan bersahabat dengan tuntutan
zaman. Apa yang disebut Plato dalam karya Republik-nya,
terbukti adanya sebuah realitas bernegara dalam situsasi modern saat ini.
Oligarki merupakan sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan konsep
politik yang mengedepankaan kekuasaan di tangan segelintir orang. Dalam catatan
literatur modern, Robert Michels (1959), menyebutkan, bahwa konsep oligarki
kekuasaan, setidaknya telah diperlihatkan oleh beberapa negara yang pernah
menerapkan sistem kekuasaan oligarki, antara lain, Jerman yang dipimpin Hitler,
Uni Sovyet dibawah kendali Stalin, Perancis dibawah kekuasaan Louis XIX, bahkan
Soeharto pun dikategorikan sebagai bagian dari rezim yang menjalankan sistem
oligarki.
Ketidakpastian revisi UU No. 22/2007
tentang Penyelenggara Pemilu, menunjukkan, mesin politik kekuasaan oligarki
bekerja aktif. Politisi parlemen seakan-akan memanfaatkan setiap periode
“kekuasaan politik legislasi” di parlemen selama menjabat, sebagai lahan basah
untuk menghidupkan sumber pemasukan finansial partai politik sehingga ketika
revisi UU Pemilu itu dilakukan, anggota Dewan yang merupakan mesin politik
Parpol ini lebih mengedepankan kepentingan individu maupun partai di mana
mereka bernaung. Fraksi partai besar seperti FD, FG, FPDIP, dan FKS, akan berbeda visi atau bisa jadi sama kepentingan,
namun secara politik kalkulatif, sama-sama memiliki kepentingan organisasi.
Akibatnya, proses revisi UU Pemilu tidak lagi menempatkan aspek substansi,
sejauhmana kepentingan masyarakat dalam pemilu termasuk meningkatkan
partisipasi pemilih dalam pemilu serta transformasi pendidikan politik bagi
rakyat itu bisa teragregasi, tetapi sebaliknya para wakil rakyat justru lebih
mengutamakan, memperjuangkan kepentingan partai politik masing-masing.
Revisi UU No. 22/2007 tentang
Penyelenggara Pemilu yang digulirkan sejak awal tahun 2010 dan berdasarkan
potret dinamika yang terjadi, agaknya semakin memperkuat pesimistis rakyat
terhadap kinerja buruk anggota Dewan yang terhormat ini. Perjalanan penuh
intrik dibalik pembahasan revisi terbatas UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara
Pemilu. Perdebatan klasik hingga pragmatis mewarnai pembahasan revisi UU
Pemilu. Dari persoalan calon keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan
keanggotaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ketidaksepahaman, dan
ketidaktemuan masalah ambang batas, jumlah keanggotaan Dewan Kehormatan KPU,
terkait komposisi perwakilan kalangan masyarakat dari kalangan profesional,
soal kemandirian KPU dan Bawaslu, serta boleh tidak kader parpol menjadi
anggota KPU dan Bawaslu.
Perbedaan memuncak ketika sikap
pemerintah menolak keinginan segelintir anggota DPR yang menghendaki agar
anggota DK KPU terdiri dari satu orang perwakilan Bawaslu, dan empat orang
lainnya perwakilan tokoh masyarakat, serta delegasi partai politik di parlemen.
Pada sisi lain, tekanan masyarakat semakin kuat agar DPR tetap mempertahankan
keanggotaan KPU dari kalangan profesional yang tidak memiliki ikatan struktur
maupun keanggotaan dari partai politik tertentu. Cara apapun akan terus
ditempuh anggota Dewan untuk meloloskan kepentingan politik mereka. Oleh karena
itu, suara kritis apapun dan kekuatan manapun diluar Parpol yang mencoba
mengganggu atau mengotak-atik bahkan menghalangi keinginan menggolkan
kepentingan mereka dalam UU Pemilu, maka dengan berbagai cara politisi senayan
tersebut membangun argumentasi dan retorika untuk pembenaran politik mereka.
Kehilangan Substansi
Berdasarkan perdebatan panjang yang
sampai memakan waktu begitu lama, serta ketajaman perbedaan politik dari
masing-masing Fraksi di DPR ini menunjukkan, wakil rakyat kita semakin tidak
memiliki kepekaan politik untuk melihat, merasakan, dan tahu akan asas maslahah maupun mudharat dari apa yang mereka perjuangkan untuk pembangunan iklim
politik bangsa yang demokratis ke depan. Alih-alih para anggota Dewan ini lebih
dari sekadar mengalihkan isu dan membangun wacana baru. Dari kerangka ini juga
akan terlihat betapa terjadi pergeseran substansi revisi UU No. 22/2007 tentang
Penyelenggara Pemilu ini ke arah yang lebih baik atau justru sebaliknya. Kecil
sekali nuansa kepentingan masyarakat dalam hajat demokrasi melalui pemilu. Ini
tentu tidak saja terjadinya pergeseran substansi nilai pemilu tetapi juga
mengancam prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Banyak persoalan substansi yang
diabaikan bahkan sengaja dilalui demi kepentingan politik golongan. Padahal,
persoalan-persoalan substansial yang semestinya jadi fokus pembenahan sistem
dalam revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yakni antara lain
persoalan DPS, DPT, Pemilih ganda, pengaturan mekanisme keterbukaan, dan kiat
mudah mengakses data-data tahapan pemilu dari KPU kepada masyarakat, penanganan
pelanggaran Kode Etik beserta sangsi, hingga pada tingkat penanganan
pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan massif, masih belum
tersentuh sama sekali. Perdebatan masih pada permasalahan sistem keanggotaan
apakah boleh tidak kader partai politik menjadi anggota KPU dan Bawaslu. Jelas,
hal ini sangat tidak mendidik, dan jauh dari semangat reformasi sistem Pemilu
yang seharusnya lebih berpihak pada justis.
Kegaduhan masalah DPS, DPT, kekacauan Nomor Induk
Kependudukan (NIK), meningkatnya praktik ijasah palsu, rendahnya partisipasi
pemilih, dan golput, mekanisme penyontrengan, penyelesaian kasus PHPU khususnya
pemilu Kada yang sebetulnya memerlukan perhatian serius semua pihak. Bisa dibayangkan
dari 244 Pilkada selama 2010, kasus sengketa PHPU sebagian besar dipaksakan
masuk ke Mahkamah Konstitusi.
Agaknya masyarakat pesimis terhadap
apa yang dilakukan para wakil rakyat di parlemen, karena proses revisi UU No.
22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, tidak banyak menghasilkan perbaikan
sistem yang memihak kepentingan masyarakat umum, melainkan semakin mempertajam
praktik perilaku oligarki kekuasaan para elit yang sedang berkuasa. Konsolidasi
demokrasi akan mengalami kemacetan total apabilaa sistem pemilu yang
sesungguhnya merupakan instrumen pokok demokrasi ini secara sistematis,
terstruktur, dan massif, diorientasikan untuk kepentingan para elit politik
semata. Jika kecenderungan ini terus dipaksakan oleh para perumus regulasi
sistem pemilu khususnya dalam perbaikan ke depan, maka akan dengan mudah, bisa
diprediksi seperti apa kualitas Pemilu 2014 mendatang.
Pergeseran substansi UU Pemilu akan
sangat berpotensi besar terjadi di sini menyusul semakin tajamnya pertarungan
antar Fraksi di DPR untuk memenangkan kepentingan partai masing-masing.
Implikasinya, pertarungan tidak lagi diorientasikan pada kebutuhan masyarakat
atau sekurang-kurangnya kontstituen masing-masing partai perwakilan di DPR
lagi, melainkan sekadar memenuhi hasrat segelintir. Dan ini artinya, publik
bisa membayangkan seperti apa kualitas Pemilu 2014 mendatang dengan bercermin
pada kualitas pemilu 2009 yang masih memprihatinkan . Publik tentu tidak
sekadar harap agar para elit politik muncul kesadaran nurani dan mau bijak,
tidak memaksakan kehendak pendekatan politik pragmatis semata tapi dengan
dibentuknya Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR dalam rangka menelaah kasus
pemalsuan surat MK bisa terungkap hingga tuntas.
Keterangan:
Arsip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar