Kamis, 08 Oktober 2015

Artikel Politik Pemilu

Dari Kontestasi hingga Ke Konstitusionalitas Pilkada


Oleh : Rahman Yasin
Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu


Tidak bisa dipungkiri bahwa politik adalah suatu rangkaian aktifitas yang mengarah pada perebutan kekuasaan atau dengan kata lain politik memiliki orientasi semata-mata meraih kekuasaan dengan cara apapun, baik dengan cara-cara konstitusional maupun non-konstitusional. Politik sesungguhnya merupakan alat untuk mencapai tujuan, dan tujuan dalam politik adalah kekuasaan itu sendiri, yang tentu diatur dalam sebuah aturan main (rule of the game). Manusia politik adalah manusia yang menggunakan aturan main untuk mencapai tujuan-tujuan politik yakni untuk mendapatkan kekuasaan berdasarkan aturan main yang sudah menjadi kesepakatan bernegara. Tetapi dalam praktik seringkali kita diperlihatkan, para aktor politik memperlakukan aktifitas politik sebagai bahan yang menimbulkan kesan rakyat menjadi begitu keji. Maka wajar bila rakyat menganggap politik itu kotor. Karena dalam praktik, politisi kerap menunjukkan sikap korup, serakah dan bermental pengecut, paling gampang memanipulasi realitas menjadi suatu aneka produk wacana pembenaran. Itulah sebabnya, seorang pakar komunikasi politik Harrol D Laswel mendefenisikan politik sebagai “who gets what, when and how” (siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana mendapatkannya). Politik dalam pengertian Laswel adalah suatu kegiatan bersifat membantu, mendorong, memprovokasi orang untuk ikut terlibat baik langsung maupun tak langsung mendukung untuk memenangkan (pemilu) dan sebagai konsekuensi diberikan timbal balik atas kerja aktifnya memenangkan seseorang dalam pemilu.
Titik tekan politik berorientasi sentral pada kekuasaan adalah kesepakatan jahat yang bersifat transaksional dengan menggunakan retorika pembenaran sebagai argumentasi. Maka politik melahirkan harapan dan pengharapan baik secara positif maupun negatif. Positif dan negatif dari konsekuensi logis yang diterima oleh seseorang dalam kegiatan politik adalah berupa balas jasa kekuasaan. Dari sinilah kemudian muncul praktik obral jabatan, dan jual beli kedudukan. Karena pada dasarnya manusia politik umumnya memiliki hasrat berkuasa sangatlah tinggi, dan dominasi sifat keserakahan pun teramatlah kuat sehingga dalam praktik tidak heran bila meminjam terminologi Hobbes, yakni saling memakan antar satu sama lain, saling menikam dan membunuh antar satu sama lain, karena rumus umum dalam politik kekuasaan adalah kepentingan yang abadi. Itulah yang lazim dikemukakan orang bahwa politik itu tidak ada kawan maupun lawan abadi tetapi yang ada adalah kepentingan. Politisi seringkali menampilkan perilaku amoral dan bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi, bahkan perilaku jegal-menjegal, aksi tipu-tipu sesama teman, termasuk melanggar kesepakatan/janji/sumpah atau apapun bentuk kerjasama yang telah disepakati bersama. Semua itu dilakukan tidak lain dengan tujuan kekuasaan dan berkuasa, sehingga tak jarang seorang politisi memanfaatkan cara kotor atau menghalalkan segala cara untuk mencapai hasrat, sebagaimana dikemukakan seorang teoritikus dan praktisi politik Nicolo Machievelly dalam bukunya il principel (sang pangeran).
Gambaran praktik politik seperti diatas tidak berarti tidak terjadi dalam praktik politisasi Pilkada langsung tidak langsung di parlemen melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Isu Perppu menjadi seksi sekaligus dijadikan ajang menang-menangan para aktor politik di senayan. Akal waras dikesampingkan, etika dan moral dinomorduakan, konstitusi dijadikan alat tafsir politik pembenaran. Ironinya, umumnya mereka mengaku idealis dan ideologilah yang memotifasi mereka untuk memperjuangkan dan mempertahankan status Perppu. Itulah politik kekuasaan yang intinya adalah berkuasa.

Demokrasi Kontekstual
Dalam prinsip demokrasi, tidak menganut kesetaraan formal melainkan kesetaraan substantif. Kesetaraan substantif memutar ulang konsep keadilan lama dari Aristoteles: “yang sama diperlakukan sama, yang tidak sama diperlakukan lain”. Demos adalah konsep yang berpagar. Kesetaraan hanya berlaku pada demos sebagai yang terbatas. Demos diukur berdasarkan partisipasinya terhadap substansi politik yang sama dalam arti yang tidak berbagi substansi politik yang sama adalah non-demos, sehingga boleh diperlakukan tidak sama. Demokrasi bekerja dengan gagasan homogenitas, bukan heterogenitas. Prinsip homogenitas mengkaitkan dengan gagasan kesetaraan atau kesamaan kedudukan dalam hukum (equality befor the law), sehingga subyek hukum disebut Pihak dan bukan subordinat dengan mengedepankan kepentingan bersama dan kepentingan umum (kolektif).
Oleh karena itu, dalam tataran konsolidasi demokrasi, maka demokrasi  merupakan “the only game in town” (satu-satunya aturan yang berlaku). Keyakinan akan demokrasi tersebut bahkan tetap terpelihara dalam situasi politik dan ekonomi yang sangat buruk sekalipun, sehingga mayoritas rakyat tetap meyakini perubahan politik harus tetap dilakukan berdasarkan parameter-parameter yang terdapat dalam prosedur demokrasi. Dalam tataran teknis penyelenggaraan demokrasi terdapar prinsip majority rule, artinya kedaulatan suara mayoritas, sebagai penentu suara demokrasi. Dalam demokrasi, suara mayoritas adalah merupakan suatu syarat bagi terbentuknya sistem politik yang mencerminkan demokrasi. Prinsip mayoritas (Majority Principle) dalam tataran teoritis  terdiri dari tiga tipe: (1) mayoritas absolute (absollut majority), yaitu setengah jumlah anggota ditambah satu atau 50 plus satu; (2) mayoritas biasa (simple majority), yaitu apabila keputusan di setujui oleh sebanyak-banyaknya suara sehingga tampak perbedaan antara mayoritas dan minoritas; dan (3) mayoritas bersyarat  (qualified majority) yang menetapkan keputusan berdasarkan perhitungan tertentu, sehingga 3/4 atau 2/3 suara. Prinsip-prinsip demokrasi konstitusional yang berlaku secara universal tersebut bersesuaian dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan prinsip-prinsip negara hukum sebagaiamana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Oleh karena itu, dinamika penerapan demokrasi dalam perspektif pemilihan kepala daerah merupakan drama yang memiliki episode-episode konteksual dengan dinamika politik dalam transisi demokrasi di Indonesia. Kita harus bijaksana dalam menilai setiap episode tersebut, karena dalam suatu transisi demokrasi pilihan-pilihan penerapan demokrasi sebagai bagian dari dinamika politik berbanding lurus dengan kondisi dinamis baik di dalam negeri maupun kondisi dinamis global. Perubahan pilihan sepanjang sebagai bagian dari tafsir UUD 1945 harus dipahami sebagai bagian dari penerapan prinsip demokrasi tersebut baik dalam memilih pejabat dalam jabatan publik, maupun dalam menetapkan arah kebijakan public dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan bersama.
Demikian pula dalam memahami perubahan pilihan penerapan demokrasi dalam pemilihan kepala daerah dari pemilihan melalui DPRD sesuai tingkatan perubahan dengan pemilihan secara langsung sejak tahun 2008 melalui UU No.12 Tahun 2008. Jika tahun 2014 dinamika penerapan demokrasi dalam pemilihan kepala daerah berubah yaitu dari “langsung” kepada “tidak langsung” yaitu oleh DPRD sesuai tingkatannya melalui UU No. 22 Tahun 2014 dan selanjutnya dibatalkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014, juga harus dipahami sebagai bagian dari dinamika demokrasi.
Dalam konteks itulah dapat dipahami, UU No. 22 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014, adalah sama-sama produk politik hukum yang dalam konstelasi Pileg dan Pilpres 2014 yang kuat ikut mewarnai secara psikologis didalamnya sehingga perlu dimaknai sebagai bagian dari dinamika penerapan demokrasi yang merupakan drama politik dalam transisi demokrasi.

Konstitusionalitas Pilkada
Kepala Daerah (Chief of executive) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 adalah “Kepala Pemerintah Daerah” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, karena keduanya memiliki unsur, kedudukan, dan fungsi yang sama sebagai “Chief of Executive”. Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota yang dipilih secara demokratis”. Pada dasarnya setiap daerah baik provinsi, kabupaten, maupun kota menurut UUD negara RI tahun 1945 hanya memilki “Kepala Daerah” yaitu ‘Gubernur’ untuk daerah provinsi, ‘Bupati’ untuk daerah kabupaten, dan ‘Walikota’ untuk daerah kota. Dalam perspektif ‘recruitment’ kepala daerah, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa pemilihannya  dilakukan ‘secara demokratis’ dan tidak menggunakan prinsip ‘secara langsung’ sebagaimana pemilihan Presiden dan Wakil presiden yang ditetntukan dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945.
Hal ini dapat dipahami  karena secara historis bahwa Perumusan dan penetapan Pasal 18 secara keseluruhan dilakukan pada perubahan UUD yang kedua, sedangkan perumusan dan penetapan Pasal 6A ayat (1)  tersebut dilakukan pada perubahan UUD yang ketiga. Pada perubahan kedua UUD 1945 (tahun 2000), belum ada kesepakatan MPR tentang tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden apakah secara langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, untuk menetapkan pasal 18 ayat (4) tersebut dipilih kata ‘demokratis’ yang pelaksanaannya dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, apabila UU yang dibentuk berdasarkan perintah Pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 2004 menetapkan pemilihan secara demokratis dengan mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan atau tidak langsung melalui lembaga perwakilan daerah yang bersangkutan maka secara normatif tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak melanggar prinsip ‘hierarki peraturan perundang-undangan
Penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis tercermin dalam ’recruitment’ kepala pemerintahan, dan anggota perwakilan (DPR/DPD/DPRD) serta cara pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik oleh lembaga yang diberikan kewenangan dan tugas untuk kepentingan itu. Persoalannya adalah bagaimana proses politik justeru tidak mencederai demokrasi itu sendiri. Artinya produk politik yang digodok di lembaga perwakilan sebagai representasi rakyat menghasilkan produk kebijakan yang mampu mendorong partisipasi dalam perwujudan kesejahteraan bersama. Agar menghasilkan produk kebijakan yang memiliki kualitas tinggi dan pemihakan yang jelas terhadap kesejahteraan bersama, maka diperlukan pemikiran, konsep yang teknokratis yang dapat diukur dan diuji keberhasilannya. Prinsip demokrasi tercermin dalam aspek  ’legitimasi’ dan prinsip teknokrasi tercermin dalam aspek ’kompetensi’.
Keseimbangan antara prinsip ’legitimasi’ dan prinsip ’kompetensi’ akan mengasilkan kebijakan publik yang diterima oleh masyarakat dan sekaligus mempercepat terhadap perwujudan indikator kesejahteraan bersama. Dalam perspektif ini, maka proses ’recruitment’ harus didasarkan pada prinsip demokrasi yang dipandu oleh prinsip hukum (legal), dan akan menghasilkan pemimpin yang diterima oleh sebagaian besar masyarakat (legitimate) karena kesalehan intelektual, moral dan berkinerja tinggi (competence). Oleh karena itu, Pemilihan Kepala Daerah memiliki posisi strategis dalam membangun demokrasi yang bermartabat, maka penyelenggaraannya harus mengacu pada prinsip kebebasan sejati, kejujuran dan keadilan. Jika proses ’recruitment’ untuk mengisi jabatan publik, dan cara pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik dilakukan melalui proses demokrasi yang bermartabat dan berkeadilan, maka hasilnya bukan saja kepastian, tetapi didalamnya terangkum keadilan dan kemanfaatan dalam kerangka memajukan kesejahteraan bersama.
Untuk memahami masalah konsep demokrasi, secara garis besar terdapat 5 (lima) hal yang merupakan elemen dari demokrasi: (1) masyarakat dapat menikmati apa yang menjadi hak-hak dasar mereka termasuk hak untuk berserikat (freedom of assembly), hak untuk berpendapat (freedom of speech), dan menikmati pers yang bebas (freedom of the press); (2) adanya pemilihan umum yang dilakukan secara teratur dimana si pemilih secara bebas menentukan pilihannya tanpa ada unsur paksaaan; (3) partisipasi politik masyarakat dilakukan secara mandiri tanpa direkayasa; (4) adanya kemungkinan rotasi berkuasa sebagai produk dari pemilihan umum yang bebas; dan (5) adanya rekruitmen politik yang bersifat terbuka untuk mengisi posisi-posisi politik yang penting di dalam proses penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, demokrasi tidak dapat dipahami hanya dari segi pengertian demos dan cratos, melainkan secara komperhensif harus dikaitkan dengan pemahaman mengenai doktrin liberalisme.
Liberalism dipahami sebagai gagasan terdiri atas dua tingkat yang saling berhubungan. Pada tingkat pertama, liberalisme adalah sekumpulan prinsip filosofis yang mengatur soal kesetaraan, kebebasan, individualitas dan rasionalitas. Liberalisme mengatur bahwa seseorang tidak secara kodrati lebih rendah dibanding orang lain. Setiap orang, bagi liberalisme, memiliki peluang yang sama untuk mengaksentuasi bakat dan kecakapannya. Di sini liberalisme tidak menginginkan kesamaan hasil melainkan kesempatan. Dua orang diberi kesempatan sama berdagang di pasar. Kesuksesan keduanya tergantung pada jerih payah dan kerja keras masing-masing, bukan status sosial yang disandang. Liberalisme menegaskan betapa setiap orang adalah otonom dalam artian memiliki kapasitas untuk menimbang dan memutuskan secara independen.
Oleh sebab itu, setiap orang tidak boleh dijadikan alat bagi tujuan orang atau kelompok lain, semulia apa pun tujuan tersebut. Individu mendahului komunitas. Komunitas tak lain adalah agregat individu dengan beraneka kepentingan dan keinginan. Terakhir, liberalisme menetapkan bahwa setiap klaim yang diajukan di ruang publik wajib diperiksa secara kritis dan imparsial. Sikap individu terhadap asuransi sosial harus dapat diperdebatkan secara terbuka apabila sikap tersebut ingin dilegalisir menjadi undang-undang.
.
         _______________________________________________________



Pesimistis Publik pada UU Pemilu
Oleh: Rahman Yasin


Masyarakat Indonesia tidak saja terus dibuat resah oleh perilaku korup elit politik kita sehubungan proses pelaksanaan revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang tidak kunjung selesai, tetapi juga dikejutkan dengan kasus pemalsuan surat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diduga dilakukan mantan anggota KPU, Andi Nurpati yang saat ini menjadi salah satu fungsionaris Partai Demokrat. Isu skandal politik ini cukup seksi dan menyedot perhatian publik karena mengungkapkan dugaan pemalsuan surat putusan MK No. 112/PAN.MK/VIII/2009, tertanggal 17 Agustus 2009 terkait kursi DPR dari Dapil I Sulawesi Selatan ini setidaknya turut memperkuat asumsi publik terhadap manajemen pemilu dari waktu ke waktu tidak mengalami perubahan signifikan. Apabila kasus dugaan pemalsuan surat ini tidak diselesaikan dengan adil, maka rakyat tidak saja semakin kehilangan percaya pada kinerja partai politik lagi tetapi justru semakin memperparah kualitas demokrasi kita di mata dunia Internasional. Bahkan sangat berpotensi membawah preseden buruk bagi masa depan pelaksanaan pemilu kita.
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan sarana yang paling efektif untuk melaksanakan kedaulatan politik rakyat dalam konteks kebebasan memilih pemimpin yang kelak menjalankan kebijakan pembangunan negara. Melalui Pemilu, terjadi proses apa yang disebut dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1999 tentang Pemilusebagai suatu cara efektif menjalankan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tentu tetap dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Arah kebijakan negara akan sangat ditentukan oleh calon-calon pemimpin yang turut ambil bagian dalam pelaksanaan pemilu. Pemilu juga merupakan sebuah konsep demokrasi yang menempatkan nilai-nilai egaliterianisme politik masyarakat secara berperadaban.
Pemilu punya arti penting tentang bagaimana pembaruan sistem kehidupan masyarakat itu di mulai, karena lewat pemilu, warga bangsa akan diberikan kebebasan penuh untuk menggunakan prefrensi politik tanpa adanya intervensi yang berarti dari rezim atau kelompok politik manapun yang mengatasnamakan demokrasi. Tesis ini diperkuat dengan basis penerapan sistem penyelenggaraan pemilu yang berasaskan Langsung, Umum Bebas, Rahasia (Luber), Jujur, dan Adil (Jurdil). Titik tekan substansi penyelenggaraan pemilu yang Luber dan Jurdil diatur dalam UU No. 32/2004, UU No. 22/2007, dan UU No. 10/2008 terkait mekanisme menggunakan hak pilih masyarakat dalam pemilu sebenarnya sudah diatur secara tegas dan jelas. Jika demikian, mengapa institusi penyelenggara pemilu (KPU) cendrung inkonsisten menerapkan tugas maupun fungsi konstitusionalnya, dan bagaimana upaya semua pemangku kepentingan terhadap kualitas pemilu 2014?
Sejak pemilu tahun 1955, kita tahu betapa transformasi demokrasi mendapat legitimasi yang cukup kuat dari dunia Internasional. Sistem multipartai baru pertama kali diterapkan dalam sebuah kondisi geo-sosio politik yang kurang stabil, tapi fakta menunjukkan, elit politik ketika itu mampu menghadirkan suasana demokrasi politik yang berperadaban. Protes akibat pelanggaran pemilu pun relatif kurang meskipun ada namun dari cara men-disegn tradisi politik yang santun paling kurang siap kalah dan mengakui kemenangan lawan terasa begitu kuat. Ini sangat berbeda dengan kondisi politik baik pada pemilu 1971 yang merupakan fase pertama kehadiran rezim Orde Baru dalam pentas politik nasional maupun pemilu-pemilu berikut di era Orde Baru, bahkan hingga memasuki fase reformasi.
Secara teoritik, pemerintahan Orde Lama menerapkan sistem demokrasi terpimpin yang hingga memicu tersumbatnya kran demokrasi. Kegaduhan sistem politik masa transisi demokrasi menjadi faktor kegagalan negara dalam menyusun dan menerapkan sistem pemilu yang demokratis. Kepemimpinan Soekarno, apa yang disebut oleh Herbert Feit (1962) dalam karya monumentalnya, The Decline of Constittutional Democracy in Indonesia, sebagai solidarity makers, dan administrator atau lebih dipahami sebagai problem solver ini kurang bersahabat dengan kultur politik bangsa. Kegagalan demokrasi parlementer era kekuasaan rezim Orde Lama tampak jelas akibat diterapkannya sistem constitutional democracy. Sebuah kegagalan membangun tradisi demokrasi kekuasaan yang elegan untuk membawa bangsa ke arah peradaban politik modern.
Yang lebih disayangkan lagi, etape kekuasaan rezim Orde Baru, perhelatan demokrasi melalui pemilu, tidak lagi mencerminkan semangat kebebasan untuk menggunakan hak-hak politik masyarakat dalam memilih pemimpin, hampir tidak ada. Pemilu sarat dengan praktik manipulasi, distorsi kekuasaan, jabatan politik formal dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan rezim yang sedang dan akan berkuasa. Pendek kata, pemilu pada era rezim Orde Baru sama sekali kehilangan pesan keadilan demokrasi. Demokrasi jadi pemanis perhelatan kekuasaan. Maka sangat wajar, apabila kondisi ini kemudian memicu krisis kepemimpinan demokrasi bangsa di mata dunia Internasional karena negara dianggap tidak sanggup menjalankan demokrasi dengan baik.
Reformasi yang menyertai transisi demokrasi pun disusupi oleh oligarki dan pragmatisme kekuasaan sehingga hampir setiap proses dan tahapan pemilu selalu muncul kecurangan. Demokrasi menjadi liberalis akibat kekuatan-kekuatan ideologi global yang begitu mendominasi. Volume tuntutan pembaruan sistem demokrasi termasuk sistem hukum dan politik terus meningkat di satu sisi, tetapi sisi lain, implementasi demokrasi yang ambigu pun terlihat terus menguat khususnya dalam proses penerapan UU Pemilu. 

Demokrasi Versus Oligarki
Reformasi sistem Pemilu dan sistem politik terus dilakukan dan pada setiap pergantian “rezim kekuasaan politik legislasi” di parlemen, hampir perubahan terhadap UU Pemilu, UU Kepartaian, dan UU Politik tidak pernah luput dari sikap politik partai-partai politik yang kontraproduktif. Akan tetapi perubahan demi perubahan sampai saat ini belum mampu mewujudkan sebuah sistem yang relevan, dan bersahabat dengan tuntutan zaman. Apa yang disebut Plato dalam karya Republik-nya, terbukti adanya sebuah realitas bernegara dalam situsasi modern saat ini. Oligarki merupakan sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan konsep politik yang mengedepankaan kekuasaan di tangan segelintir orang. Dalam catatan literatur modern, Robert Michels (1959), menyebutkan, bahwa konsep oligarki kekuasaan, setidaknya telah diperlihatkan oleh beberapa negara yang pernah menerapkan sistem kekuasaan oligarki, antara lain, Jerman yang dipimpin Hitler, Uni Sovyet dibawah kendali Stalin, Perancis dibawah kekuasaan Louis XIX, bahkan Soeharto pun dikategorikan sebagai bagian dari rezim yang menjalankan sistem oligarki.
Ketidakpastian revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, menunjukkan, mesin politik kekuasaan oligarki bekerja aktif. Politisi parlemen seakan-akan memanfaatkan setiap periode “kekuasaan politik legislasi” di parlemen selama menjabat, sebagai lahan basah untuk menghidupkan sumber pemasukan finansial partai politik sehingga ketika revisi UU Pemilu itu dilakukan, anggota Dewan yang merupakan mesin politik Parpol ini lebih mengedepankan kepentingan individu maupun partai di mana mereka bernaung. Fraksi partai besar seperti FD, FG, FPDIP, dan FKS,  akan berbeda visi atau bisa jadi sama kepentingan, namun secara politik kalkulatif, sama-sama memiliki kepentingan organisasi. Akibatnya, proses revisi UU Pemilu tidak lagi menempatkan aspek substansi, sejauhmana kepentingan masyarakat dalam pemilu termasuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu serta transformasi pendidikan politik bagi rakyat itu bisa teragregasi, tetapi sebaliknya para wakil rakyat justru lebih mengutamakan, memperjuangkan kepentingan partai politik masing-masing.
Revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang digulirkan sejak awal tahun 2010 dan berdasarkan potret dinamika yang terjadi, agaknya semakin memperkuat pesimistis rakyat terhadap kinerja buruk anggota Dewan yang terhormat ini. Perjalanan penuh intrik dibalik pembahasan revisi terbatas UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Perdebatan klasik hingga pragmatis mewarnai pembahasan revisi UU Pemilu. Dari persoalan calon keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan keanggotaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ketidaksepahaman, dan ketidaktemuan masalah ambang batas, jumlah keanggotaan Dewan Kehormatan KPU, terkait komposisi perwakilan kalangan masyarakat dari kalangan profesional, soal kemandirian KPU dan Bawaslu, serta boleh tidak kader parpol menjadi anggota KPU dan Bawaslu.
Perbedaan memuncak ketika sikap pemerintah menolak keinginan segelintir anggota DPR yang menghendaki agar anggota DK KPU terdiri dari satu orang perwakilan Bawaslu, dan empat orang lainnya perwakilan tokoh masyarakat, serta delegasi partai politik di parlemen. Pada sisi lain, tekanan masyarakat semakin kuat agar DPR tetap mempertahankan keanggotaan KPU dari kalangan profesional yang tidak memiliki ikatan struktur maupun keanggotaan dari partai politik tertentu. Cara apapun akan terus ditempuh anggota Dewan untuk meloloskan kepentingan politik mereka. Oleh karena itu, suara kritis apapun dan kekuatan manapun diluar Parpol yang mencoba mengganggu atau mengotak-atik bahkan menghalangi keinginan menggolkan kepentingan mereka dalam UU Pemilu, maka dengan berbagai cara politisi senayan tersebut membangun argumentasi dan retorika untuk pembenaran politik mereka.

Kehilangan Substansi
Berdasarkan perdebatan panjang yang sampai memakan waktu begitu lama, serta ketajaman perbedaan politik dari masing-masing Fraksi di DPR ini menunjukkan, wakil rakyat kita semakin tidak memiliki kepekaan politik untuk melihat, merasakan, dan tahu akan asas maslahah maupun mudharat dari apa yang mereka perjuangkan untuk pembangunan iklim politik bangsa yang demokratis ke depan. Alih-alih para anggota Dewan ini lebih dari sekadar mengalihkan isu dan membangun wacana baru. Dari kerangka ini juga akan terlihat betapa terjadi pergeseran substansi revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu ini ke arah yang lebih baik atau justru sebaliknya. Kecil sekali nuansa kepentingan masyarakat dalam hajat demokrasi melalui pemilu. Ini tentu tidak saja terjadinya pergeseran substansi nilai pemilu tetapi juga mengancam prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Banyak persoalan substansi yang diabaikan bahkan sengaja dilalui demi kepentingan politik golongan. Padahal, persoalan-persoalan substansial yang semestinya jadi fokus pembenahan sistem dalam revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yakni antara lain persoalan DPS, DPT, Pemilih ganda, pengaturan mekanisme keterbukaan, dan kiat mudah mengakses data-data tahapan pemilu dari KPU kepada masyarakat, penanganan pelanggaran Kode Etik beserta sangsi, hingga pada tingkat penanganan pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan massif, masih belum tersentuh sama sekali. Perdebatan masih pada permasalahan sistem keanggotaan apakah boleh tidak kader partai politik menjadi anggota KPU dan Bawaslu. Jelas, hal ini sangat tidak mendidik, dan jauh dari semangat reformasi sistem Pemilu yang seharusnya lebih berpihak pada justis. Kegaduhan masalah DPS, DPT, kekacauan Nomor Induk Kependudukan (NIK), meningkatnya praktik ijasah palsu, rendahnya partisipasi pemilih, dan golput, mekanisme penyontrengan, penyelesaian kasus PHPU khususnya pemilu Kada yang sebetulnya memerlukan perhatian serius semua pihak. Bisa dibayangkan dari 244 Pilkada selama 2010, kasus sengketa PHPU sebagian besar dipaksakan masuk ke Mahkamah Konstitusi.
Agaknya masyarakat pesimis terhadap apa yang dilakukan para wakil rakyat di parlemen, karena proses revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, tidak banyak menghasilkan perbaikan sistem yang memihak kepentingan masyarakat umum, melainkan semakin mempertajam praktik perilaku oligarki kekuasaan para elit yang sedang berkuasa. Konsolidasi demokrasi akan mengalami kemacetan total apabilaa sistem pemilu yang sesungguhnya merupakan instrumen pokok demokrasi ini secara sistematis, terstruktur, dan massif, diorientasikan untuk kepentingan para elit politik semata. Jika kecenderungan ini terus dipaksakan oleh para perumus regulasi sistem pemilu khususnya dalam perbaikan ke depan, maka akan dengan mudah, bisa diprediksi seperti apa kualitas Pemilu 2014 mendatang.
Pergeseran substansi UU Pemilu akan sangat berpotensi besar terjadi di sini menyusul semakin tajamnya pertarungan antar Fraksi di DPR untuk memenangkan kepentingan partai masing-masing. Implikasinya, pertarungan tidak lagi diorientasikan pada kebutuhan masyarakat atau sekurang-kurangnya kontstituen masing-masing partai perwakilan di DPR lagi, melainkan sekadar memenuhi hasrat segelintir. Dan ini artinya, publik bisa membayangkan seperti apa kualitas Pemilu 2014 mendatang dengan bercermin pada kualitas pemilu 2009 yang masih memprihatinkan . Publik tentu tidak sekadar harap agar para elit politik muncul kesadaran nurani dan mau bijak, tidak memaksakan kehendak pendekatan politik pragmatis semata tapi dengan dibentuknya Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR dalam rangka menelaah kasus pemalsuan surat MK bisa terungkap hingga tuntas.
                  


Keterangan:

Arsip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar