Kamis, 24 September 2015

Artikel Pemilu


Menanti Pemilu yang Berintegritas

Oleh : Rahman Yasin


Pekan kemarin (Selasa 11/6/2013) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan ketua dan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia (DKPP) dipimpin Jimly Asshiddiqie bersama jajarannya di Istana Kepresidenan. Inti pertemuan membahas pentingnya koordinasi antara DKPP dengan Menko Polhukam, Mendagri dan Menpan dalam rangka mendorong penyelenggaraan Pemilu yang berintegritas. Kesempatan ini digunakan DKPP untuk menyampaikan perkembangan kinerja selama satu tahun sejak dibentuk tanggal 12 Juni 2012. Pertemuan ini disambut baik Presiden karena lembaga etika ini merupakan pengawal kehormatan penyelenggaraan Pemilu sehingga diharapkan bisa memainkan peran yang baik untuk Pemilu berintegritas.
Satu tahun menjalankan tugas dan fungsi penegakan kode etik penyelenggara Pemilu menghadapi berbagai tantangan dan hambatan sekaligus harapan. Tantangan, hambatan dan harapan sebagai lembaga baru dalam penegakan ethics tentu memiliki sejumlah alasan tersendiri. Namun alasan mengapa tantangan, hambatan dan harapan mengemuka ke hadapan lembaga pengadilan ethics ini menarik dalam diskursus etika politik demokrasi modern.
Ada sejumlah alasan untuk menjelaskan mengapa lembaga pengadilan ethics ini menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Salah satu tantangan dan hambatan yang dirasakan ialah keberadaannya sebagai lembaga penegakan ethics yang baru dalam struktur ketatanegaraan modern yang bersifat independen dan sangat terbuka serta adanya ketidakpuasan sebagian kalangan pada putusan yang dianggap merugikan diri mereka. Memang beberapa putusan DKPP disambut pro dan kontra sebagai konsekuensi dari perkembangan pemikiran politik ditengah kebebasan demokrasi. Beberapa putusan DKPP sempat menuimbulkan pro kontra seperti putusan memerintahkan KPU melakukan verifikasi faktual ulang terhadap 28 partai politik dan sanksi bagi sekertaris jenderal KPUyang kemudian dinilai sebagian masyarakat kurang populer bahkan dianggap melampaui wewenang yang diberikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Lazimnya dalam negara demokrasi pro kontra bagian dari proses pendewasaan berdemokrasi. Dalam perkembangan demokrasi kita kerapkali memunculkan perilaku politik yang boleh jadi wujud ekspresi kebebasan tanpa melalui pemahaman hakikat demokrasi substantif  sehingga praktik kekuasaan di sebagian institusi cenderung proseduralistik dan legalistik. Padahal, reformasi dengan empat kali amandemen UUD 1945 secara otomatis sistem demokrasi sudah mengarah pada demokrasi substansial.
Kehadiran lembaga ethics ini bukan merupakan hal baru karena sebelumnya sudah ada Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU). UU No 22 Tahun 2007 tentang Pemilu memberikan wewenang pada lembaga ini sebatas memeriksa, melakukan kajian dan putusan bersifat rekomendir pada KPU RI. Dalam hal laporan pun hanya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mempunyai legal standing. Artinya, cakupan wewenang sangat terbatas sekali karena bergantung pada KPU, sedangkan komposisi anggota DK KPU banyak didominasi KPU.
Tugas dan fungsi DK KPU sejak tahun 2008 hingga 2011 bersifat ad hoc punya wewenang melakukan eksekusi secara ethics maupun hukum pada semua anggota KPU dan jajarannya. DK KPU ditugas-fungsikan semata-mata menangani pelanggaran kode etik dilakukan seluruh anggota KPU di tanah air. Dan dalam catatan, DK KPU mampu melakukan gebrakan tugas dan fungsi penegakan ethics Pemilu dengan baik. DK KPU banyak memecat anggota penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik Pemilu termasuk memberhentikan anggota KPU RI Andi Nurpati pada pertengahan 2010. Namun banyak rekomendasi Bawaslu ketika itu yang diabaikan begitu saja oleh KPU.
Kekacauan pengelolaan tahapan Pemilu 2014 harus diantisipasi sehingga tidak memicu munculnya ketidakpercayaan publik pada Pemilu 2014 dan beberapa Pemilukada di daerah yang tengah dilaksanakan. Semua masyarakat harus ambil peran pengawasan agar praktik-praktik kejahatan dalam tahapan Pemilu baik dilakukan peserta maupun penyelenggara bisa dengan efektif dihindari. Kejahatan Pemilu bagian dari kejahatan demokrasi yang hendak dicegah. Melalui penyelenggara Pemilu praktik politik kotor kerapkali terjadi. Korupsi mengalami peningkatan.
Hasil survei terbaru memperlihatkan Indonesia melalui perilaku tidak sehat segelintir politisi bandit menempatkan Indonesia pada urutan pertama di tingkat Asia Tenggara (Lembaga Transparansi International TI red) sebagai negara terkorup. Sungguh sangat memprihatinkan kita semua sebagai bangsa yang “berideologikan Pancasila dan UUD 1945”. Salah satu kejahatan korupsi dilakukan oleh pejabat negara kita termasuk melalui Pemilu dan Pemilukada. Pemilu dan Pemilukada sarat korupsi sudah pasti melahirkan pemimpin-pemimpin yang korup.

Transformasi Nilai Etika
Lembaga ethics ini dibentuk tanggal 12 Juni 2013 berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggara Pemilu. Struktur keanggota cukup representatif karena unsur-unsur pilar demokrasi masuk. Tujuh anggota DKPP masing-masing dari unsur masyarakat/cendikian/intelektual yang terdiri tiga orang dan dipilih DPR, dua dari unsur pemerintah, dan dua lagi dari unsur penyelenggara exs officio KPU dan Bawaslu.
Dalam menjalankan tugas dan fungsi “pengadilan ethics”, lembaga harus mengutamakan manajemen organisasi berbasis sistem keadministrasian organisasi modern atau dalam dalam perspektif filsafat dikenal sebagai: “Philosophy of management “a system of thought helpful in explaining or clarifying the work of management wherever found, and regardless of the specific area of endeavor in which management is present”. Ideologi administrasi harus menyesuaikan dengan perubahan-perubahan zaman. Hal penting dipahami semua penyelenggara negara karena di zaman yang serba maju teknologi ini memerlukan sistem kerja organisasi yang cepat dan profesional. Suatu sistem kerja yang memungkinkan terciptanya suasana saling percaya serta senantiasa menimbulkan kesadaran ethics dan moral setiap orang dalam memahami dan memenuhi tanggungjawabnya pada masyarakat dan negara. 
Undang-Undang No 15 Tahun 2011 tentang Pemilu memberikan kesempatan pada semua peserta, penyelenggara Pemilu dan masyarakat baik secara perorangan, perkumpulan, organisasi yang berprofesi apapun memiliki legal standing jadi pengadu dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dan Pemilukada. Hal ini ditekankan lagi dalam Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No 13, 11, dan 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan Peraturan DKPP No 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
Maka tugas kita bagaimana menjadikan nilai (value) sebagai sistem norma yang bisa dipercayai oleh semua masyarakat. Menjadikan keberadaan DKPP sebagai suatu instrumen sosial politik dalam berbangsa dengan menarik perhatian publik atau setiap orang, atau dalam bahasa semacam “the believed capacity of any object to statistfy a human desire”. Lembaga DKPP sebagai sarana demokrasi yang mencitrakan dirinya dengan nilai kebaikan bersama tanpa ada keberpihakan.

Refleksi Kritis Politik Etik
Sebagai lembaga pengadilan ethics pertama di Indonesia yang melakukan persidangan etika secara terbuka untuk umum tentu patut jadi bahan refleksi kritis dari semua kekuatan elemen bangsa terutama penyelenggara negara. DKPP memiliki suatu metode penyelesaian berbangsa dan bernegara yang mengikuti prinsip tata kelola negara berbasis good governanve dan good public governance dengan tujuan membangun kesadaran etik bagi semua penyelenggara negara dalam menciptakan mekanisme pertanggungjawaban kerja pada masyarakat yang betul-betul transparan dan akuntabel (public accountability).
Sebagai gambaran, hamipr institusi-institusi negara yang memiliki lembaga khusus dalam penegakkan kode etik terkait dengan etika profesi tidak dilakukan secara terbuka seperti yang diterapkan di Komisi Yudisial (KY), Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (BK DPR), dan banyak lagi yang dilakukan dengan tertutup. Padahal, persidangan tertutup menimbulkan potensi ketidakjujuran untuk mengungkapkan suatu pelanggaran bahkan sangat kuat membuka peluang untuk penyelesaian secara adat. Artinya, banyak kasus pelanggaran etika yang jelas-jelas merugikan bangsa dan negara tetapi diselesaikan menurut cara dan selera para pengendali kebijakan. Hal ini tidak mencerminkan sistem demokrasi dan tidak merefleksikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Berdasarkan ketentuan Pasal 111 ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2011, tugas dan wewenang DKPP meliputi menerima pengaduan, penyelidikan, verifikasi, pemeriksaan, menetapkan, menyampaikan Putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti serta memanggil teradu dan pengadu memberikan penjelasan dan pembelaan, memanggil pelapor, saksi atau pihak-pihak terkait untuk memberikan keterangan termasuk meminta dokumen dan bukti-bukti pendukung serta berwenang memberikan sanksi peringatan keras hingga pemberhentian secara tetap bagi anggota penyelenggara yang betul-betul terbukti melanggar kode etik Pemilu.
Sejak pertengahan Juni 2012, lembaga ini dibanjiri pengaduan kode etik Pemilu sebanyak 217 perkara dan sudah 81 perkara yang diputuskan dan sebanyak 77 anggota penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) yang diberhentikan antara lain ketua dan anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, 3 anggota KIP Kabupaten Aceh Tenggara, ketua KPU Kota Depok, ketua Panwaslukada Provinsi DKI, ketua dan anggota KPU Kabupaten Deiyai Papua dan banyak lagi yang dengan kadar pelanggaran yang berbeda-beda serta 46 anggota diberikan sanksi peringatan ringan dan keras dan sebanyak 224 dinyatakan tidak terbukti sehingga direhabilitasi nama baik mereka.
pengaduan disidangkan, dengan menghasilkan putusan sebanyak 53 rehabilitasi, dan 46 pemberhentian tetap termasuk ketua dan anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, anggota KPU, 3 anggota KIP Kabupaten Aceh Tenggara, ketua KPU Depok, Ketua Panwaslukada Provinsi DKI, ketua dan anggota Kabupaten Deiyai Papua, dan masih banyak lagi.
Untuk menyesuaikan sistem kerja yang demokratis, amanat UU No 15 Tahun 2011 memerintahkan lembaga ini menyusun peraturan teknis. Peraturan ini didiskusikan dengan melibatkan tidak hanya kalangan pakar, pegiat, pemantau, akademisi, dan pemerhati Pemilu tetapi unsur pemerintah, DPR, Ormas, Parpol, dan semua stake-holders termasuk KPU dan Bawaslu dengan tujuan menciptakan peraturan yang kredibel. Peraturan teknis tersebut tertuang dalam Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No 13, 11, dan 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, dan Peraturan DKPP No 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Peraturan-peraturan teknis tersebut menjadi acuan dalam proses persidangan.
Sebagai pengadilan ethics lembaga ini harus menempatkan dirinya menjadi institusi perbaikan moral dalam perpolitikan Indonesia. Selain itu dituntut mentransformasikan nilai-nilai politik yang independen dan profesional tanpa ada keberpihakan apalagi bermain-main dengan nilai-nilai kebaikan untuk kepentingan politik tertentu sehingga keberadaannya menjadi harapan baru bagi masyarakat dalam perbaikan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara terlebih ditengah krisis norma dan etika politik serta ketidakberdayaan penegakan hukum.
Keberadaan DKPP sejatinya bisa merespon kegelisahan rakyat akibat penegakan hukum yang mandul dan seringkali tidak berdaya karena berhadapan dengan aktor-aktor politik yang memiliki akses kekuasaan negara. Banyak persoalan bangsa tidak harus diselesaikan melalui aspek penegakan hukum pidana tetapi bisa melalui sistem pengadilan ethics. Dengan demikian, meminjam terminologi ketua DKPP Jimly Asshiddiqie, bagaimana memadukan konsep “rule of law and the rule of ethics” dalam penegakan sistem etika menjadi sangat penting. Dalam konteks ini, kemandirian lembaga ethics ini sangat penting guna mewujudkan penyelenggara Pemilu yang kredibel dan berintegritas.

                                                ____________________________

Penulis adalah Pegiat Masalah Sosial Politik, tinggal di Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar