Dari Gagasan Konstitusi
Sosial
hingga Ke Quadru
Politica
Judul: Gagasan
Konstitusi Sosial
Penulis:
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Penerbit: LP3ES
Tahun: I,
Juni 2015
Oleh: Rahman Yasin
Dewasa
ini berkembang pemikiran
baru dalam ilmu sosial dan politik yang dinamakan
perspektif ‘historical institutionalism’
atau institusionalisme kesejarahan. ‘Historical
Institutionalism’ dapat dipandang sebagai cara pandang baru dalam ilmu
sosial yang menggunakan institusi sebagai cara untuk memahami sekuen-sekuen (sequences) perilaku politik, perilaku
ekonomi, dan perilaku sosial yang terjadi dalam kurun waktu sejarah tertentu.
Objek kajiannya menyangkut institusi dan semua aspek keorganisasian manusia
secara lintas batas wilayah negara atau bidang kajian ilmiah dengan menitik
beratkan penilaian terhadap pelbagai aneka kasus keorganisasian yang terjadi
dalam sejarah. Institusi itu menurut Sven Steinmo secara sederhana tidak lain
adalah aturan (rules) yang menjadi
dasar bagi semua perilaku politik. Beberapa di antaranya ada yang bersifat
formal seperti dalam ‘constitutional
rules’, tetapi ada pula yang tidak formal seperti dalam adat istiadat dalam
‘cultural norms’. Namun menurutnya, “without institutions there could be no
organized politics. Indeed absent institutions there could be no organizations
at all”.
Bagi
Pakar Hukum Tata Negara dan ketua pertama Mahkamah Konstitusi RI (2003-2008)
Jimly Asshiddiqie, “institusionalisasi
sistem norma dan strukturisasi politik kehidupan bermasyarakat terbentuk dalam
dinamika sejarah dan sekaligus mempengaruhi perilaku politik yang menentukan
jalannya sejalan. Perannya dalam ilmu sosial semakin disadari sehingga memicu
munculnya pendekatan baru yang dinamakan ‘historical
institutionalism’. Perspektif ‘historical
institutionalism’ ini berkembang pesat dan bahkan mempengaruhi semua bidang
ilmu pengetahuan sosial, seperti sejarah, filsafat, sosiologi, ilmu politik,
dan ilmu ekonomi”.
Di bidang ekonomi, misalnya, berkembang pesat cabang ilmu tersendiri yang
disebut ‘institutional economics’. Itulah yang tergambar
secara garis besarnya dalam buku Gagasan
Konstitusi Sosial: Institusionalisasi dan
Konstitusionalisasi Kehidupan Sosial Masyarakat Madani karya pemikir dan
intelektual terkemuka Jimly Asshiddiqie yang juga merupakan Guru Besar
Universitas Indonesia.
Melalui buku ini kita dapat memahami
bagaimana penulis berusaha memperkenalkan pemikiran baru perihal konstitusi
sosial yang dikatakannya sebagai suatu konsep tentang sistem rujukan normatif
tertinggi dalam perikehidupan bersama yang dilihat dari perspektif masyarakat
sipil (civil society) atau masyarakat
madani. Konstitusi Sosial tidak lain merupakan konstitusi masyarakat madani
yang terkait dengan fenomena institusionalisasi dan konstitusionalisasi
kehidupan sosial. Ide konstitusi sosial inilah yang pernah penulis bahas
melalui disertasinya di Universitas Indonesia tahun 1991 dengan judul “Gagasan
Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia: Pergeseran
Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi
Politik dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an”.
Dari perspektif grand theory, istilah konstitusi
sosial atau ‘social constitution’ ini
dibedakan dari pengertian ‘socialistic
constitution’ atau konstitusi yang bersifat sosialistis. Konstitusi
sosialistis tidak lain merupakan konstitusi yang berorientasi keadilan sosial
atau kesejahteraan sosial yang adil. Untuk pengertian yang terakhir ini, kita
dapat memperkenalkan istilah “Konstitusi Keadilan Sosial” atau “Welfare Constitution”yang memuat dimensi
keadilan sosial yang menjiwai ketentuan pasal-pasal dalam Bab XIV tentang
Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial dalam UUD 1945. Hal ini secara
panjang lebar pernah
diuraikan dalam bukunya
“Konstitusi Ekonomi” (2010) yang disebut di atas. Dapat dikatakan, muatan ide yang
terkandung di dalamnya tetap terkait dengan persoalan distribusi sumber daya
ekonomi yang adil dan merata, sehingga dapat dikatakan termasuk ke dalam
pengertian mengenai konstitusi ekonomi. Karena itu, gagasan yang terkandung di
dalam istilah Konstitusi Keadilan Sosial atau “Welfare Constitution” dibedakan dari konsepsi yang hendak
diperkenalkan dalam buku ini, yaitu “konstitusi sosial”.
Buku ini setidaknya merefleksikan realitas
kehidupan kontemporer masyarakat madani (civil
society) yang mencoba memotret tiga hal utama. Pertama, pentingnya memahami, menghayati dan mempraktikkan
konstitusi berkeadilan sosial dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal
itu terlihat dalam pembahasan bab kedua yang memuat mengenai konstitusi
keadilan sosial dalam pengertian konsep tentang konstitusi kesejahteraan sosial,
haluan kebijakan jaminan sosial nasional dan tanggungjawab sosial dan politik perusahaan.
Kedua, pembahasan yang tak kalah
menarik adalah pada Bab keempat. Pada
bab ini, penulis menyoroti pentingnya menegakkan hak asasi manusia dalam sistem
kehidupan masyarakat modern yang memuat kajian tentang sejarah
hak
asasi
manusia, hakikat,
kalsifikasi,
dan kategorisasi, perlindungan
internasional, pelanggaran
HAM dan hubungan
antar subjek
kekuasaan serta instrumen
nasional
HAM dan hak
warga masyarakat
madani.
Ketiga,
gagasan
sentral yang metarbelakangi kajian buku ini terlihat pada bab kedelapan, yakni pentingnya negara
melakukan transformasi sosial dalam pengertian institusionalisasi dan
konstitusionalisasi kehidupan sosial dalam konteks institusionalisasi
kesejarahan
(historical institutionalism), jangkauan
kekuasaan
bernegara, konstitusionalisme
klasik
dan kontemporer, institusionalisasi
dan konstitusionalisasi dalam masyarakat
madani. Dalam
studi ilmu hukum, perspektif ‘historical
institutionalism’ ini sangat berkaitan dengan bidang kajian hukum
tatanegara yang sebagian perhatiannya tertuju kepada persoalan pelembagaan
fungsi-fungsi kekuasaan dan sistem norma yang dijadikan acuan dalam
penyelenggaraan kekuasaan. Karena itu, saya sendiri berusaha memperkenalkan
pendekatan ‘historical institutionalism’
ini ke dalam ruang-ruang studi ilmu hukum di Indonesia, khususnya hukum
tatanegara, yang apabila tidak diperhatikan niscaya akan membuat studi hukum di
fakultas-fakultas hukum di tanah air segera akan ketinggalan zaman dan terus
terkungkung ke dalam logika-logika normatif, kaku, dan bahkan cenderung
terjebak dalam perangkap perdebatan titik koma yang tidak berjiwa. Ilmu hukum
kontemporer harus bersifat aktif dan bahkan proaktif melibatkan diri dalam
pelbagai aneka perkembangan penemuan metode-metode ilmiah yang terus tumbuh dan
berkembang pesat di era globalisasi pasca modern dewasa ini.
Sejak
sebelum dan sesudah abad ke-20, banyak sarjana yang menjadikan institusi
sebagai objek kajiannya, tetapi pengertian institusi dimaksud masih sangat
terbatas pada institusi formal dan aturan formal (formal rules). Pendekatan yang dipakai biasanya juga sangat
normatif dan preskriptif, seperti dalam pandangan Max Weber yang mengidealkan
profesionalisasi birokrasi dalam mengembangkan negara modern. Inilah yang
disebut pendekatan institusionalisme lama. Dapat dikatakan bahwa pendekatan
institutionalisme baru dipicu oleh diskusi-diskusi yang dimulai oleh Samuel
Huntington dalam bukunya “Political Order
in Changing Societies”, Barrington Moore dengan bukunya “Social Origins of Dictatorship and Democracy”,
dan lebih khusus lagi karya Theda Skocpol yang berjudul “States and Social Revolutions: A Comparative Analysis of France, Russia
& China”. Buku-buku inilah yang banyak mempengaruhi sehingga muncul
gagasan baru dalam melihat kedudukan dan peran institusi dalam ilmu sosial dan
politik.
Dengan
pendekatan baru ini, pengertian institusi diperlonggar dan diperluas maknanya,
sehingga mencakup tidak saja struktur birokrasi formal tetapi juga
ideologi atau bahkan aturan kebiasaan yang tidak formal. Hal baru yang paling
penting dari perspektif ‘Historical
Institutionalism’ ini adalah, kekuasaan
tidak hanya memiliki satu sumber sebagaimana dalam pendekatan-pendekatan
sebelumnya, yaitu bersumber pada negara. Dalam pendekatan baru ini, sumber
kekuasaan dapat datang dari mana saja, bahkan dari segala bentuk kelompok
sosial dan perilaku masyarakat. Bahkan, ‘gossip’
pun–seperti diakui oleh James Scott–mempunyai peranan yang penting dalam
kehidupan politik. Yang menentukan jalannya sejarah, bukan saja kelompok elit
atau negara, tetapi semua kelompok masyarakat dapat berperan menentukan. Dapat
dikatakan bahwa ‘historical
institutionalism’ ini menghindari sikap preskriptif, dan menaruh perhatian
besar pada kekayaan dan keragaman cara yang dimainkan oleh institusi-institusi
dalam mendorong dan menggerakkan perubahan, terutama jika hal itu diletakkan
dalam desain politik demokrasi. Bagi para sarjana institutionalist, kelembagaan
di satu pihak adalah produser sejarah tetapi sekaligus juga merupakan produk
sejarah itu sendiri.
Dalam
kajian ilmu sosial, yang
dikenal adanya 3 pendekatan ‘institutionalisme’ yang berkembang dalam praktik, yaitu
pendekatan-pendekatan (i) ‘sociological
institutionalism’, (ii) ‘rational
choice institutionalism’, dan yang terbaru (iii) ‘historical institutionalism’. Bahkan, disimpulkan oleh Peter A.
Hall, ketiganya sebenarnya sama-sama baru, “In
sum, political science today is confronted with not one but three ‘new
institutionslisms’”. Namun,
yang paling baru memang ‘historical
institutionalism’ yang mengembangkan pengertian mengenai institusi itu
secara lebih luas dan longgar. Dengan pendekatan terbaru ini,
institusi-insitusi yang sebelumnya memang sudah menjadi objek penelaahan dalam
ilmu politik, soiologi, dan ekonomi, menjadi seakan ditemukan kembali.
Dikatakan oleh Kathleen Thelen dan Sven Steinmo, “The ‘rediscovery’ of institutions has opened up an exiting research
agenda in comparative politics and comparative political economy”.
Inilah
oleh penulis dinamakannya
sebagai ‘quadru-politica’ atau ‘the four
branches of government’ atau ‘the four estates of democracy’ dalam
pengertian yang baru, yaitu negara, masyarakat, dunia usaha, dan media pers
bebas yang satu sama lain harus dipandang sebagai cabang-cabang kekuasaan yang
terpisah dan tidak boleh dikelola oleh satu tangan untuk mencegah konflik
kepentingan di antara keempatnya. Jika keempat cabang kekuasaan baru atau ‘quadru-politica’ baru tersebut tidak
terpisah, tetapi berada di dalam genggaman satu tangan, maka niscaya masa depan
sistem demokrasi akan mengalami kemacetan dan kembali ke era kekuasaan negara
terpusat di satu tangan penguasa. Karena itu, standar-standar demokrasi di
tiap-tiap kurun zaman haruslah berbeda-beda ukurannya disesuaikan dengan
perkembangan-perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan baru yang muncul dalam
dinamika sejarah. Apa yang dulu sudah dianggap demokratis, dengan menggunakan
ukuran-ukuran yang sama belum tentu mencukupi untuk tetap dianggap demokratis
dengan ukuran-ukuran baru di masa depan.
_______________________________
Diresensi oleh Rahman Yasin,
Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
Catatan: Tulisan ini
telah dimuat
Di Majalah Konstitusi
RI, Edisi Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar