Kamis, 17 September 2015

Gagasan Quadru Politica

Dari Gagasan Konstitusi Sosial
hingga Ke Quadru Politica

Judul: Gagasan Konstitusi Sosial
Penulis: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Penerbit: LP3ES
Tahun: I, Juni 2015

Oleh: Rahman Yasin

Dewasa ini berkembang pemikiran baru dalam ilmu sosial dan politik yang dinamakan perspektif ‘historical institutionalism’ atau institusionalisme kesejarahan. ‘Historical Institutionalism’ dapat dipandang sebagai cara pandang baru dalam ilmu sosial yang menggunakan institusi sebagai cara untuk memahami sekuen-sekuen (sequences) perilaku politik, perilaku ekonomi, dan perilaku sosial yang terjadi dalam kurun waktu sejarah tertentu. Objek kajiannya menyangkut institusi dan semua aspek keorganisasian manusia secara lintas batas wilayah negara atau bidang kajian ilmiah dengan menitik beratkan penilaian terhadap pelbagai aneka kasus keorganisasian yang terjadi dalam sejarah. Institusi itu menurut Sven Steinmo secara sederhana tidak lain adalah aturan (rules) yang menjadi dasar bagi semua perilaku politik. Beberapa di antaranya ada yang bersifat formal seperti dalam ‘constitutional rules’, tetapi ada pula yang tidak formal seperti dalam adat istiadat dalam ‘cultural norms’. Namun menurutnya, “without institutions there could be no organized politics. Indeed absent institutions there could be no organizations at all”.
Bagi Pakar Hukum Tata Negara dan ketua pertama Mahkamah Konstitusi RI (2003-2008) Jimly Asshiddiqie, “institusionalisasi sistem norma dan strukturisasi politik kehidupan bermasyarakat terbentuk dalam dinamika sejarah dan sekaligus mempengaruhi perilaku politik yang menentukan jalannya sejalan. Perannya dalam ilmu sosial semakin disadari sehingga memicu munculnya pendekatan baru yang dinamakan ‘historical institutionalism’. Perspektif ‘historical institutionalism’ ini berkembang pesat dan bahkan mempengaruhi semua bidang ilmu pengetahuan sosial, seperti sejarah, filsafat, sosiologi, ilmu politik, dan ilmu ekonomi. Di bidang ekonomi, misalnya, berkembang pesat cabang ilmu tersendiri yang disebut ‘institutional economics’. Itulah yang tergambar secara garis besarnya dalam buku Gagasan Konstitusi Sosial: Institusionalisasi dan Konstitusionalisasi Kehidupan Sosial Masyarakat Madani karya pemikir dan intelektual terkemuka Jimly Asshiddiqie yang juga merupakan Guru Besar Universitas Indonesia.
Melalui buku ini kita dapat memahami bagaimana penulis berusaha memperkenalkan pemikiran baru perihal konstitusi sosial yang dikatakannya sebagai suatu konsep tentang sistem rujukan normatif tertinggi dalam perikehidupan bersama yang dilihat dari perspektif masyarakat sipil (civil society) atau masyarakat madani. Konstitusi Sosial tidak lain merupakan konstitusi masyarakat madani yang terkait dengan fenomena institusionalisasi dan konstitusionalisasi kehidupan sosial. Ide konstitusi sosial inilah yang pernah penulis bahas melalui disertasinya di Universitas Indonesia tahun 1991 dengan judul “Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an”.
Dari perspektif grand theory, istilah konstitusi sosial atau ‘social constitution’ ini dibedakan dari pengertian ‘socialistic constitution’ atau konstitusi yang bersifat sosialistis. Konstitusi sosialistis tidak lain merupakan konstitusi yang berorientasi keadilan sosial atau kesejahteraan sosial yang adil. Untuk pengertian yang terakhir ini, kita dapat memperkenalkan istilah “Konstitusi Keadilan Sosial” atau “Welfare Constitution”yang memuat dimensi keadilan sosial yang menjiwai ketentuan pasal-pasal dalam Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial dalam UUD 1945. Hal ini secara panjang lebar pernah diuraikan dalam bukunya “Konstitusi Ekonomi” (2010) yang disebut di atas. Dapat dikatakan, muatan ide yang terkandung di dalamnya tetap terkait dengan persoalan distribusi sumber daya ekonomi yang adil dan merata, sehingga dapat dikatakan termasuk ke dalam pengertian mengenai konstitusi ekonomi. Karena itu, gagasan yang terkandung di dalam istilah Konstitusi Keadilan Sosial atau “Welfare Constitution” dibedakan dari konsepsi yang hendak diperkenalkan dalam buku ini, yaitu “konstitusi sosial”.
Buku ini setidaknya merefleksikan realitas kehidupan kontemporer masyarakat madani (civil society) yang mencoba memotret tiga hal utama. Pertama, pentingnya memahami, menghayati dan mempraktikkan konstitusi berkeadilan sosial dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu terlihat dalam pembahasan bab kedua yang memuat mengenai konstitusi keadilan sosial dalam pengertian konsep tentang konstitusi kesejahteraan sosial, haluan kebijakan jaminan sosial nasional dan tanggungjawab sosial dan politik perusahaan. Kedua, pembahasan yang tak kalah menarik adalah pada Bab keempat. Pada bab ini, penulis menyoroti pentingnya menegakkan hak asasi manusia dalam sistem kehidupan masyarakat modern yang memuat kajian tentang sejarah hak asasi manusia, hakikat, kalsifikasi, dan kategorisasi, perlindungan internasional, pelanggaran HAM dan hubungan antar subjek kekuasaan serta instrumen nasional HAM dan hak warga masyarakat madani.
Ketiga, gagasan sentral yang metarbelakangi kajian buku ini terlihat pada bab kedelapan, yakni pentingnya negara melakukan transformasi sosial dalam pengertian institusionalisasi dan konstitusionalisasi kehidupan sosial dalam konteks institusionalisasi kesejarahan (historical institutionalism), jangkauan kekuasaan bernegara, konstitusionalisme klasik dan kontemporer, institusionalisasi dan konstitusionalisasi  dalam masyarakat madani. Dalam studi ilmu hukum, perspektif ‘historical institutionalism’ ini sangat berkaitan dengan bidang kajian hukum tatanegara yang sebagian perhatiannya tertuju kepada persoalan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan dan sistem norma yang dijadikan acuan dalam penyelenggaraan kekuasaan. Karena itu, saya sendiri berusaha memperkenalkan pendekatan ‘historical institutionalism’ ini ke dalam ruang-ruang studi ilmu hukum di Indonesia, khususnya hukum tatanegara, yang apabila tidak diperhatikan niscaya akan membuat studi hukum di fakultas-fakultas hukum di tanah air segera akan ketinggalan zaman dan terus terkungkung ke dalam logika-logika normatif, kaku, dan bahkan cenderung terjebak dalam perangkap perdebatan titik koma yang tidak berjiwa. Ilmu hukum kontemporer harus bersifat aktif dan bahkan proaktif melibatkan diri dalam pelbagai aneka perkembangan penemuan metode-metode ilmiah yang terus tumbuh dan berkembang pesat di era globalisasi pasca modern dewasa ini.
Sejak sebelum dan sesudah abad ke-20, banyak sarjana yang menjadikan institusi sebagai objek kajiannya, tetapi pengertian institusi dimaksud masih sangat terbatas pada institusi formal dan aturan formal (formal rules). Pendekatan yang dipakai biasanya juga sangat normatif dan preskriptif, seperti dalam pandangan Max Weber yang mengidealkan profesionalisasi birokrasi dalam mengembangkan negara modern. Inilah yang disebut pendekatan institusionalisme lama. Dapat dikatakan bahwa pendekatan institutionalisme baru dipicu oleh diskusi-diskusi yang dimulai oleh Samuel Huntington dalam bukunya “Political Order in Changing Societies”, Barrington Moore dengan bukunya “Social Origins of Dictatorship and Democracy”, dan lebih khusus lagi karya Theda Skocpol yang berjudul “States and Social Revolutions: A Comparative Analysis of France, Russia & China”. Buku-buku inilah yang banyak mempengaruhi sehingga muncul gagasan baru dalam melihat kedudukan dan peran institusi dalam ilmu sosial dan politik.
Dengan pendekatan baru ini, pengertian institusi diperlonggar dan diperluas maknanya, sehingga mencakup tidak saja struktur birokrasi formal tetapi juga ideologi atau bahkan aturan kebiasaan yang tidak formal. Hal baru yang paling penting dari perspektif ‘Historical Institutionalism’ ini adalah, kekuasaan tidak hanya memiliki satu sumber sebagaimana dalam pendekatan-pendekatan sebelumnya, yaitu bersumber pada negara. Dalam pendekatan baru ini, sumber kekuasaan dapat datang dari mana saja, bahkan dari segala bentuk kelompok sosial dan perilaku masyarakat. Bahkan, ‘gossip’ pun–seperti diakui oleh James Scott–mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan politik. Yang menentukan jalannya sejarah, bukan saja kelompok elit atau negara, tetapi semua kelompok masyarakat dapat berperan menentukan. Dapat dikatakan bahwa ‘historical institutionalism’ ini menghindari sikap preskriptif, dan menaruh perhatian besar pada kekayaan dan keragaman cara yang dimainkan oleh institusi-institusi dalam mendorong dan menggerakkan perubahan, terutama jika hal itu diletakkan dalam desain politik demokrasi. Bagi para sarjana institutionalist, kelembagaan di satu pihak adalah produser sejarah tetapi sekaligus juga merupakan produk sejarah itu sendiri.
Dalam kajian ilmu sosial, yang dikenal adanya 3 pendekatan ‘institutionalisme’ yang berkembang dalam praktik, yaitu pendekatan-pendekatan (i) ‘sociological institutionalism’, (ii) ‘rational choice institutionalism’, dan yang terbaru (iii) ‘historical institutionalism’. Bahkan, disimpulkan oleh Peter A. Hall, ketiganya sebenarnya sama-sama baru, “In sum, political science today is confronted with not one but three ‘new institutionslisms’”. Namun, yang paling baru memang ‘historical institutionalism’ yang mengembangkan pengertian mengenai institusi itu secara lebih luas dan longgar. Dengan pendekatan terbaru ini, institusi-insitusi yang sebelumnya memang sudah menjadi objek penelaahan dalam ilmu politik, soiologi, dan ekonomi, menjadi seakan ditemukan kembali. Dikatakan oleh Kathleen Thelen dan Sven Steinmo, “The ‘rediscovery’ of institutions has opened up an exiting research agenda in comparative politics and comparative political economy”.
Inilah oleh penulis dinamakannya sebagai ‘quadru-politica’ atau ‘the four branches of government’ atau ‘the four estates of democracy’ dalam pengertian yang baru, yaitu negara, masyarakat, dunia usaha, dan media pers bebas yang satu sama lain harus dipandang sebagai cabang-cabang kekuasaan yang terpisah dan tidak boleh dikelola oleh satu tangan untuk mencegah konflik kepentingan di antara keempatnya. Jika keempat cabang kekuasaan baru atau ‘quadru-politica’ baru tersebut tidak terpisah, tetapi berada di dalam genggaman satu tangan, maka niscaya masa depan sistem demokrasi akan mengalami kemacetan dan kembali ke era kekuasaan negara terpusat di satu tangan penguasa. Karena itu, standar-standar demokrasi di tiap-tiap kurun zaman haruslah berbeda-beda ukurannya disesuaikan dengan perkembangan-perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan baru yang muncul dalam dinamika sejarah. Apa yang dulu sudah dianggap demokratis, dengan menggunakan ukuran-ukuran yang sama belum tentu mencukupi untuk tetap dianggap demokratis dengan ukuran-ukuran baru di masa depan.

                                    _______________________________
Diresensi oleh Rahman Yasin,
Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

Catatan: Tulisan ini telah dimuat

Di Majalah Konstitusi RI, Edisi Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar