Jumat, 02 Januari 2015

Dimuat di Majalah Konstitusi RI, No. 99, Edisi Oktober 2014

Etika Berkonstitusi

Description: D:\YR I\PERADILAN ETIK dan ETIKA KONSTITUSI.jpg                          Judul: Peradilan Etik Dan Etika Konstitusi
 Penulis: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
 Penerbit: Sinar Grafika
 Tahun: I, Juni 2014

Dalam pandangan Hans Kelsen yang dikenal dengan teorinya Teori Murni tentang Hukum atau ‘Pure Theory of Law’ (Reine Rechtslehre) sebagaimana dalam perkembangan masa-masa sebelumnya yakni paham-paham positivisme Kelsen yang dipengaruhi oleh pemikiran filsafat hukum Auguste Comte yang dikenal mahzab positivisme hukum (legal positivism school of thought). Hukum menurut Kelsen harus dimurnikan dari pengaruh-pengaruh non-hukum, seperti fakta sosial, kaidah moral, dan apalagi pengaruh agama.
Bagi Pakar Hukum Tata Negara dan mantan ketua Mahkamah Konstitusi RI yang pertama Jimly Asshiddiqie, semua pemikiran filsafat hukum aliran positivisme pada umumnya selalu bersumber dari cara pandang individualisme dan liberalisme yang kuat, yang salah satu karakteristik kuncinya terlihat pada orientasinya untuk sangat memusatkan perhatian pada ilmu pengetahuan hukum sebagai produk berupa pernyataan-pernyataan linguistik dan numerik (focus on science as a product, a linguistic or numerical set of statements). Di samping itu, ilmu hukum dalam cara pandang positivisme sangat mementingkan aksioma yang mendemonstrasikan struktur dan koherensi logis dari pernyataan-pernyataan linguistik dan numerik itu.
Pada abad ke-20, gelombang pertama sosiologi mazhab Jerman, termasuk Max Weber dan Georg Simmel menolak doktrin positivisme Comte dengan membangun tradisi baru, yaitu sikap anti-postivisme dalam sosiologi. Para pengusung ide ‘antipositivists’ dan ‘critical theorists’ menghubungkan positivisme dengan ‘scientism’ yang menganggap ilmu pengetahuan sebagai ideologi (science as ideology).  Positivisme logis atau 'neopositivists' menolak spekulasi metafisis dan mencoba untuk mereduksi pernyataan-pernyataan dan proposisi-proposisi menjadi logika murni (pure logic). Kritik yang sangat keras terhadap pendekatan ini datang dari para filosof, seperti Karl Popper, Willard Van Orman Quine and Thomas Kuhn yang sangat berpengaruh dan mendorong munculnya paham yang disebut ‘postpositivism’. Itulah yang tergambar secara garis besar dari permulaan karya buku, Guru Besar Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie berjudul Peradilan Etik & Etika Konstitusi: Perspektif Baru Tentang ‘Rule of Law and Rule of Ethics’ & Constitutional Law and Constitutional Ethics’

Perkembangan Peradilan Etik 
Peradilan etik dan etika konstitusi di era kontemporer sekarang ini merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam praktik kehidupan berpemerintahan dan bernegara. Peradilan etik dalam praktik semestinya diorientasikan pada upaya pembentukan karakter kedisiplinan, tertib aturan, taat norma hukum, norma etika dan norma agama dalam praktik ketatanegaraan. Tetapi semua itu bisa ditegakkan dengan efektif apabila peradilan etik itu ditopang oleh infrastruktur dan yang paling fundamental adalah pembentukan mentalitas hakim yang konsisten pada prinsip penegakan nilai-nilai kebaikan dalam tatanan kehidupan bernegara. Kemampuan, cara berpikir genius dan komitmen pada prinsip-prinsip norma hukum, norma etika dan norma agamalah seorang hakim dapat menjalankan tugas-fungsi peradilan secara bertanggungjawab. Hakim nakal umumnya cenderung dimanfaatkan atau memanfaatkan peradilan untuk kepentingan tertentu seperti pencitraan, menduduki jabatan tertentu baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, bahkan untuk memperkaya diri sendiri.
Dalam praktik peradilan di Indonesia, sejarah menorehkan segudang kisah. Praktik penegakan etika dan penegakan hukum dalam perspektif pelanggaran kode etik profesi di pelbagai institusi pemerintahan dan swasta praktis tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Praktik penyimpangan dalam penegakan kode etik profesi tumbuh berkembang seiring KKN. Peradilan etik dalam pengertian penegakan kode etik profesi banyak menimbulkan krisis keprcayaan publik (public trus) pada lembaga-lembaga negara. Praktik dunia peradilan di Indonesia hampir praktis mengalami kemerosotan norma hukum, norma etika dan norma agamahukum dimanipulasi sedemikian rupa sehingga peradilan dikesankan menjadi lumbung bagi praktik makelar kasus (markus).
Di era modern sekarang ini sistem ketatanegaraan Indonesia sudah cukup berdiri lembaga-lembaga penegak kode etik dalam jabatan-jabatan publik. Di bidang kehakiman, ada KY, di samping adanya MKH dalam sistem internal MA. Di MK ada mekanisme MKH. Di dunia pers dan jurnalistik, terdapat Dewan Pers. Di lingkungan lembaga legislatif, yaitu DPR dan DPD telah ada Badan Kehormatan DPR dan Badan Kehormatan DPD.  Di lingkungan organisasi profesi, seperti misalnya di dunia kedokteran sudah ada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang salah satu tugasnya membentuk mengatur keberadaan majelis kehormatan etika kedokteran. Sedangkan di bidang-bidang profesi lainnya, lembaga penegak etika itu semua dilembagakan secara internal dalam masing-masing organisasi profesi, organisasi-organisasi kemasyarakatan atau pun partai-partai politik.
Di Amerika Serikat disebut State Ethics Commissions (Office Government of Ethics In US) dibentuk dilatarbelakang oleh realitas politik AS yakni praktik korupsi dilakukan pejabat negara terutama yang punya wewenang dalam struktur institusi kenegaraan. Bernardo Beiderman pernah membuat pernyataan, “Corruption: Preventive Action and Criminal Policy”, dalam “Responding to Corruption”. Institusi penegak hukum dan lembaga-lembaga negara diamanatkan undang-undang untuk urusan pelayanan publik termasuk lembaga-lembaga peradilan digunakan oknum pejabat untuk kepentingan politik ekonomi. Dalam mengatasi krisis hukum di AS tahun 1978 dibentuklah kantor etika pemerintahan OGE—Office of Government Ethics untuk menopang program kebijakan cabang kekuasaan. Office of Government Ethics ditugaskan menerbitkan Standar Perilaku Etika untuk Pegawai Cabang Eksekutif dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan di departemen-departemen pemerintahan di semua negara bagian. Dari 50 negara bagian di AS, sudah ada 42 negara bagian sudah mempunyai ethics laws dan lembaga penegakan etika ethics commission, sedangkan 8 negara bagian lagi masih pada ethics laws dan belum punya ethics commission.
Dewasa ini, banyak lembaga negara dan semua partai politik, serta kebanyakan organisasi kemasyrakatan (Ormas) telah mempunyai sistem kode etik yang diberlakukan secara internal dan disertai dengan pengaturan mengenai lembaga-lembaga penegaknya. Di lingkungan Pengawai Negeri sudah ada Kode Etik Pegawai Republik Indonesia dan mekanisme penegakannya. Di lingkungan Komnasham diatur adanya Kode Etika Komisioner dan mekanisme penegakannya. Di organisasi PERADI diatur adanya Kode Etika dan Majelis Kehormatan Advokat. Yang dapat dikatakan paling maju adalah di lingkungan institusi kepolisian dan tantara nasional Indonesia. Di lingkungan tentara dan kepolisian bahkan dibedakan antara kode etik dan kode perilaku, etika profesi dan disiplin organisasi. Namun demikian, semua lembaga penegak kode etika itu, sebagian besar masih bersifat proforma. Bahkan sebagian di antaranya belum pernah menjalankan tugasnya dengan efektif dalam rangka menegakkan kode etik yang dimaksud. Salah satu sebabnya ialah bahwa lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut di atas tidak memiliki kedudukan yang independen, sehingga kinerjanya tidak efektif. Karena itu, sebagai solusinya ialah bahwa lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut harus direkonstruksikan sebagai lembaga peradilan etik yang diharuskan menerapkan prinsip-prinsip peradilan yang lazim di dunia modern.
Artinya, institusi penegak kode etik di Indonesia umumnya belum diarahkan untuk mewujudkan kesadaran ethics dalam praktik kehidupan berpemerintahan dan praktik bernegara baik di tingkat individu maupun struktur sosial/institusional. Sebuah kajian yang mendalam dengan analitis dibingkai dalam lima bab bahasan. Pembahasan buku ini menyoroti problem kekacauan sistem hukum dan sistem etika secara detail dan memadai. Penulis tidak hanya menampilkan kajian ilmiah dan analitis tetapi juga menyoroti beberapa kasus yang fenomenal dalam diskursus penegakan etik dan etika dalam berkonstitusi.
Buku ini setidaknya ada empat hal penting yang digarisbawahi. Pertama, pentingnya mengembangkan tradisi pemahaman etika terapan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi dan sumber inspirasi dalam proses pengambilan keputusan bernegara. Perlunya mengembangkan penegakan sistem norma hukum, norma etika dan norma agama lebih kongkrit. Kedua, negara perlu menyediakan mekanisme penyelesaian konflik kepentingan dalam tata kelola bernegara dengan membangun apa yang penulis disebut sebagai “ethics infra-structure in public offices” dalam rangka memperkuat kualitas demokrasi. Ketiga, penegakan sistem hukum dan sistem etika secara bersamaan (rule of law and the rule of ethics). Sistem demokrasi yang kuat hendaknya ditopang oleh tegak dan dihormatinya hukum dan etika secara bersamaan. Kualitas demokrasi harus ditopang oleh ‘the rule of law and the rule of ethics’. “the rule of law” bekerja berdasarkan “code of law”, sedangkan “the rule of ethics” bekerja berdasarkan “code of ethics”, yang penegakannya dilakukan melalui proses peradilan independen, imparsial, yaitu peradilan hukum (court of law) untuk masalah hukum, dan peradilan etika (court of ethics) dalam urusan etika. Keempat, menghidupkan dan mengembangkan praktik sistem norma hukum, sistem norma etika dan sistem norma agama supaya bisa saling melengkapi. Titik tekan perhatian kajian ini sekurang-kurangnya merefleksikan secara historis empirik dimana penulis menawarkan ide-ide kemanusiaan universal dengan menempatkan sudut pandang teologi sosial sebagai upaya mempersatukan kebhinekaan dalam ke-Indonesiaan. Artinya, tidak ada yang perlu dipertentangkan dalam praktik berkonstitusi karena secara esensial Pancasila dan UUD 1945 merupakan sumber inspirasi moral yang patut dijadikan landasan filosofis dalam parktik kehidupan bernegara.
Bab pertama, penulis menyoroti beban peradilan dalam praktik hukum di era kontemporer. Di bagian ini penulis memotret perkembangan lembaga peradilan dalam sejarah, perkembangan dan efektivitas sistem sanksi hukum. Diulaslah pelbagai ragam sanksi hukum (punishments) dari sanksi pidana mati hingga pidana penjara kurungan. Bahasan bab kedua, mengangkat sistem norma etika. Penulis menyoroti gejala pemisahan dan relasi yang sinergi antar norma, krisis sistem norma agama, etika, dan hukum. Bagian ini secara khusus membedah pengertian etika secara luas dari perspektif tahap perkembangan pemikiran.
Bab ketiga, penulis mengulas perkembangan kontemporer etika materiel dan formil di sektor publik. Membahas sejarah kode etik profesi, kode etik dan kode perilaku dan standar profesional dan perilaku berorganisasi. Instrumen internasional tentang kode etik dan kode perilaku memuat International Code of Conduct for Public Officials dan International Codes of Ethics and Codes of Conduct pelbagai profesi. Secara spesifik diurai penegakan integritas penyelenggara pemilu. Pada bagian keempat, secara khusus diulas tentang perkembangan sejarah terbentuknya pelbagai kode etik organisasi dan profesi di Indonesia beserta latar belakang dan tujuannya. Bagian ini menganalisis kode etik dan kode perilaku yang dipraktikkan di Indonesia. Tema-tema etika privat dan etika kepublikan dalam penerapan penegakan kode etik profesi menjadi manifestasi pengembangan moral dalam kelembagaan struktur sosial dikupas secara detail.
Pada bagian kelima merupakan inti kajian buku ini. Bagian ini tidak hanya memotret perkembangan teori dan praktik berkonstitusi (constitutional law) etika konstitusi (constitutional ethics), dan pengadilan etik (court of ethics) tetapi mengalanalis secara kritis dan memadai dari perspektif hukum konstitusi dan wacana etika konstitusi dengan menekankan pentingnya kesadaran pemahaman konstitusi sebagai hukum tertinggi, tanpa mengabaikan hakikat etika konstitusi (constitutional ethics). Penulis selaku Guru Besar dan Pakar Hukum Tata Negara serta salah satu pelopor hingga menjadi ketua pertama Mahkamah Konstitusi (2003-2008) dan kini menjadi ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini terlihat berusaha secara akademik mengkonstruksi ide peradilan etik yang independen dan dengan secara ilmiah meyakinkan pembaca bahwa Pancasila dan UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi dan sumber norma etika, yang tidak boleh diabaikan oleh pejabat penyelenggara negara.*
                        ________________________________

Diresensi oleh Rahman Yasin Mhs. S2 Komunikasi Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta.