Etika Berkonstitusi
Judul: Peradilan Etik
Dan Etika Konstitusi
Penulis:
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Penerbit:
Sinar Grafika
Tahun: I,
Juni 2014
Dalam pandangan Hans
Kelsen yang dikenal dengan teorinya Teori Murni tentang Hukum atau ‘Pure Theory of Law’ (Reine Rechtslehre)
sebagaimana dalam perkembangan masa-masa sebelumnya yakni paham-paham
positivisme Kelsen yang dipengaruhi oleh pemikiran filsafat hukum Auguste Comte
yang dikenal mahzab positivisme hukum (legal
positivism school of thought). Hukum menurut Kelsen harus dimurnikan dari
pengaruh-pengaruh non-hukum, seperti fakta sosial, kaidah moral, dan apalagi
pengaruh agama.
Bagi Pakar Hukum Tata Negara dan mantan
ketua Mahkamah Konstitusi RI yang pertama Jimly Asshiddiqie, semua pemikiran
filsafat hukum aliran positivisme pada umumnya selalu bersumber dari cara
pandang individualisme dan liberalisme yang kuat, yang salah satu karakteristik
kuncinya terlihat pada orientasinya untuk sangat memusatkan perhatian pada ilmu
pengetahuan hukum sebagai produk berupa pernyataan-pernyataan linguistik dan
numerik (focus on science as a product, a
linguistic or numerical set of statements). Di samping itu, ilmu hukum
dalam cara pandang positivisme sangat mementingkan aksioma yang
mendemonstrasikan struktur dan koherensi logis dari pernyataan-pernyataan
linguistik dan numerik itu.
Pada abad ke-20, gelombang pertama sosiologi
mazhab Jerman, termasuk Max Weber dan Georg Simmel menolak doktrin positivisme
Comte dengan membangun tradisi baru, yaitu sikap anti-postivisme dalam
sosiologi. Para pengusung ide ‘antipositivists’
dan ‘critical theorists’
menghubungkan positivisme dengan ‘scientism’
yang menganggap ilmu pengetahuan sebagai ideologi (science as ideology).
Positivisme logis atau 'neopositivists'
menolak spekulasi metafisis dan mencoba untuk mereduksi pernyataan-pernyataan
dan proposisi-proposisi menjadi logika murni (pure logic). Kritik yang sangat keras terhadap pendekatan ini
datang dari para filosof, seperti Karl Popper, Willard Van Orman Quine and
Thomas Kuhn yang sangat berpengaruh dan mendorong munculnya paham yang disebut ‘postpositivism’. Itulah yang tergambar secara garis besar dari permulaan karya buku, Guru
Besar Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie berjudul Peradilan Etik & Etika Konstitusi: Perspektif Baru Tentang ‘Rule of
Law and Rule of Ethics’ & Constitutional Law and Constitutional Ethics’
Perkembangan Peradilan Etik
Peradilan
etik dan etika konstitusi di era kontemporer sekarang ini merupakan hal yang tidak
dapat diabaikan dalam praktik kehidupan berpemerintahan dan bernegara.
Peradilan etik dalam praktik semestinya diorientasikan pada upaya pembentukan
karakter kedisiplinan, tertib aturan, taat norma hukum, norma etika dan norma
agama dalam praktik ketatanegaraan. Tetapi semua itu bisa ditegakkan dengan
efektif apabila peradilan etik itu ditopang oleh infrastruktur dan yang paling
fundamental adalah pembentukan mentalitas hakim yang konsisten pada prinsip
penegakan nilai-nilai kebaikan dalam tatanan kehidupan bernegara. Kemampuan,
cara berpikir genius dan komitmen pada prinsip-prinsip norma hukum, norma etika
dan norma agamalah seorang hakim dapat menjalankan tugas-fungsi peradilan
secara bertanggungjawab. Hakim nakal umumnya cenderung dimanfaatkan atau memanfaatkan
peradilan untuk kepentingan tertentu seperti pencitraan, menduduki jabatan
tertentu baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, bahkan untuk
memperkaya diri sendiri.
Dalam praktik peradilan di Indonesia,
sejarah menorehkan segudang kisah. Praktik penegakan etika dan penegakan hukum
dalam perspektif pelanggaran kode etik profesi di pelbagai institusi
pemerintahan dan swasta praktis tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Praktik
penyimpangan dalam penegakan kode etik profesi tumbuh berkembang seiring KKN.
Peradilan etik dalam pengertian penegakan kode etik profesi banyak menimbulkan
krisis keprcayaan publik (public trus) pada
lembaga-lembaga negara. Praktik dunia peradilan di Indonesia hampir praktis
mengalami kemerosotan norma hukum, norma etika dan norma agama—hukum dimanipulasi sedemikian rupa sehingga
peradilan dikesankan menjadi lumbung bagi praktik makelar kasus (markus).
Di era modern sekarang ini sistem
ketatanegaraan Indonesia sudah cukup berdiri lembaga-lembaga penegak kode etik
dalam jabatan-jabatan publik. Di bidang kehakiman, ada KY, di samping adanya
MKH dalam sistem internal MA. Di MK ada mekanisme MKH. Di dunia pers dan
jurnalistik, terdapat Dewan Pers. Di lingkungan lembaga legislatif, yaitu DPR
dan DPD telah ada Badan Kehormatan DPR dan Badan Kehormatan DPD. Di lingkungan organisasi profesi, seperti
misalnya di dunia kedokteran sudah ada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang
salah satu tugasnya membentuk mengatur keberadaan majelis kehormatan etika
kedokteran. Sedangkan di bidang-bidang profesi lainnya, lembaga penegak etika
itu semua dilembagakan secara internal dalam masing-masing organisasi profesi,
organisasi-organisasi kemasyarakatan atau pun partai-partai politik.
Di Amerika Serikat disebut State Ethics Commissions (Office Government
of Ethics In US) dibentuk dilatarbelakang oleh realitas politik AS yakni
praktik korupsi dilakukan pejabat negara terutama yang punya wewenang dalam
struktur institusi kenegaraan. Bernardo Beiderman pernah membuat pernyataan, “Corruption: Preventive Action and Criminal
Policy”, dalam “Responding to
Corruption”. Institusi penegak hukum dan lembaga-lembaga negara diamanatkan
undang-undang untuk urusan pelayanan publik termasuk lembaga-lembaga peradilan
digunakan oknum pejabat untuk kepentingan politik ekonomi. Dalam mengatasi
krisis hukum di AS tahun 1978 dibentuklah kantor etika pemerintahan OGE—Office of Government Ethics untuk
menopang program kebijakan cabang kekuasaan. Office of Government Ethics ditugaskan menerbitkan Standar Perilaku
Etika untuk Pegawai Cabang Eksekutif dalam bentuk peraturan dan
perundang-undangan di departemen-departemen pemerintahan di semua negara
bagian. Dari 50 negara bagian di AS, sudah ada 42 negara bagian sudah mempunyai
ethics laws dan lembaga
penegakan etika ethics commission, sedangkan 8 negara bagian lagi masih pada ethics
laws dan belum punya ethics commission.
Dewasa ini, banyak lembaga negara dan semua
partai politik, serta kebanyakan organisasi kemasyrakatan (Ormas) telah
mempunyai sistem kode etik yang diberlakukan secara internal dan disertai
dengan pengaturan mengenai lembaga-lembaga penegaknya. Di lingkungan Pengawai
Negeri sudah ada Kode Etik Pegawai Republik Indonesia dan mekanisme
penegakannya. Di lingkungan Komnasham diatur adanya Kode Etika Komisioner dan
mekanisme penegakannya. Di organisasi PERADI diatur adanya Kode Etika dan
Majelis Kehormatan Advokat. Yang dapat dikatakan paling maju adalah di
lingkungan institusi kepolisian dan tantara nasional Indonesia. Di lingkungan
tentara dan kepolisian bahkan dibedakan antara kode etik dan kode perilaku,
etika profesi dan disiplin organisasi. Namun demikian, semua lembaga penegak
kode etika itu, sebagian besar masih bersifat proforma. Bahkan sebagian di
antaranya belum pernah menjalankan tugasnya dengan efektif dalam rangka
menegakkan kode etik yang dimaksud. Salah satu sebabnya ialah bahwa
lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut di atas tidak memiliki kedudukan
yang independen, sehingga kinerjanya tidak efektif. Karena itu, sebagai
solusinya ialah bahwa lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut harus
direkonstruksikan sebagai lembaga peradilan etik yang diharuskan menerapkan
prinsip-prinsip peradilan yang lazim di dunia modern.
Artinya, institusi penegak kode etik di
Indonesia umumnya belum diarahkan untuk mewujudkan kesadaran ethics dalam praktik kehidupan
berpemerintahan dan praktik bernegara baik di tingkat individu maupun struktur
sosial/institusional. Sebuah kajian yang mendalam dengan analitis dibingkai
dalam lima bab bahasan. Pembahasan buku ini menyoroti problem kekacauan sistem
hukum dan sistem etika secara detail dan memadai. Penulis tidak hanya
menampilkan kajian ilmiah dan analitis tetapi juga menyoroti beberapa kasus yang
fenomenal dalam diskursus penegakan etik dan etika dalam berkonstitusi.
Buku ini setidaknya ada empat hal penting
yang digarisbawahi. Pertama,
pentingnya mengembangkan tradisi pemahaman etika terapan dalam praktik
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menjadikan Pancasila dan UUD 1945
sebagai sumber hukum tertinggi dan sumber inspirasi dalam proses pengambilan
keputusan bernegara. Perlunya mengembangkan penegakan sistem norma hukum, norma
etika dan norma agama lebih kongkrit. Kedua,
negara perlu menyediakan mekanisme penyelesaian konflik kepentingan dalam tata
kelola bernegara dengan membangun apa yang penulis disebut sebagai “ethics infra-structure in public offices” dalam rangka memperkuat kualitas demokrasi. Ketiga, penegakan sistem hukum dan sistem
etika secara bersamaan (rule of law and
the rule of ethics). Sistem demokrasi yang kuat hendaknya ditopang oleh
tegak dan dihormatinya hukum dan etika secara bersamaan. Kualitas demokrasi
harus ditopang oleh ‘the rule of law and the rule of ethics’. “the
rule of law” bekerja berdasarkan “code of law”, sedangkan “the
rule of ethics” bekerja berdasarkan “code of ethics”, yang
penegakannya dilakukan melalui proses peradilan independen, imparsial, yaitu
peradilan hukum (court of law) untuk masalah hukum, dan peradilan etika (court
of ethics) dalam urusan etika. Keempat,
menghidupkan dan mengembangkan praktik sistem norma hukum, sistem norma
etika dan sistem norma agama supaya bisa saling melengkapi. Titik tekan
perhatian kajian ini sekurang-kurangnya merefleksikan secara historis empirik
dimana penulis menawarkan ide-ide kemanusiaan universal dengan menempatkan
sudut pandang teologi sosial sebagai upaya mempersatukan kebhinekaan dalam
ke-Indonesiaan. Artinya, tidak ada yang perlu dipertentangkan dalam praktik
berkonstitusi karena secara esensial Pancasila dan UUD 1945 merupakan sumber
inspirasi moral yang patut dijadikan landasan filosofis dalam parktik kehidupan
bernegara.
Bab pertama,
penulis menyoroti beban peradilan dalam praktik hukum di era kontemporer. Di
bagian ini penulis memotret perkembangan lembaga peradilan dalam sejarah,
perkembangan dan efektivitas sistem sanksi hukum. Diulaslah pelbagai ragam
sanksi hukum (punishments) dari
sanksi pidana mati hingga pidana penjara kurungan. Bahasan bab kedua, mengangkat sistem norma etika.
Penulis menyoroti gejala pemisahan dan relasi yang sinergi antar norma, krisis
sistem norma agama, etika, dan hukum. Bagian ini secara khusus membedah
pengertian etika secara luas dari perspektif tahap perkembangan pemikiran.
Bab ketiga,
penulis mengulas perkembangan kontemporer etika materiel dan formil di sektor
publik. Membahas sejarah kode etik profesi, kode etik dan kode perilaku dan
standar profesional dan perilaku berorganisasi. Instrumen internasional tentang
kode etik dan kode perilaku memuat International Code of
Conduct for Public Officials dan International
Codes of Ethics and Codes of Conduct pelbagai profesi. Secara spesifik diurai penegakan
integritas penyelenggara pemilu. Pada bagian keempat, secara khusus diulas tentang perkembangan sejarah
terbentuknya pelbagai kode etik organisasi dan profesi di Indonesia beserta
latar belakang dan tujuannya. Bagian ini menganalisis kode etik dan kode
perilaku yang dipraktikkan di Indonesia. Tema-tema etika privat dan etika kepublikan
dalam penerapan penegakan kode etik profesi menjadi manifestasi pengembangan
moral dalam kelembagaan struktur sosial dikupas secara detail.
Pada bagian kelima merupakan inti kajian
buku ini. Bagian ini tidak hanya memotret perkembangan teori dan praktik berkonstitusi
(constitutional law) etika konstitusi
(constitutional ethics), dan
pengadilan etik (court of ethics) tetapi
mengalanalis secara kritis dan memadai dari perspektif hukum konstitusi dan
wacana etika konstitusi dengan menekankan pentingnya kesadaran pemahaman
konstitusi sebagai hukum tertinggi, tanpa mengabaikan hakikat etika konstitusi (constitutional ethics). Penulis selaku
Guru Besar dan Pakar Hukum Tata Negara serta salah satu pelopor hingga menjadi
ketua pertama Mahkamah Konstitusi (2003-2008) dan kini menjadi ketua Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini terlihat berusaha secara akademik
mengkonstruksi ide peradilan etik yang independen dan dengan secara ilmiah
meyakinkan pembaca bahwa Pancasila dan UUD 1945 merupakan sumber hukum
tertinggi dan sumber norma etika, yang tidak boleh diabaikan oleh pejabat
penyelenggara negara.*
________________________________
Diresensi oleh Rahman Yasin Mhs. S2 Komunikasi Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta.