Oleh: Rahman Yasin
A. Pengantar
Sungguh menjadi suatu keprihatinan kita semua,
dari berbagai hasil survei terkini memperlihatkan Indonesia menempati urutan
dalam kategori negara terkorup di dunia. Tidak tanggung-tanggung negara demokrasi
ketiga di dunia dengan jumlah penduduk terbesar keempat dan sekaligus dengan
jumlah penduduk bermayoritas muslim terbesar di dunia ini ditempatkan sebagai
negara terkorup pada peringkat pertama di kawasan Asia Tenggara-Pasifk. Salah
satu survei yang dilakukan adalah Transparence.org, sebuah badan independen ini
mengemukakan, dari 146 negara terdapat 10 besar negara dikatakan terkorup. Ke
10 negara tersebut, 1) Azerbaijan, 2) Bangladesh, 3) Bolivia, 4) Kamerun, 5)
Indonesia, 6) Irak, 7) Kenya, 8) Nigeria, 9) Pakistan, dan 10) Rusia.
Sedangkan dalam konteks Asia Tenggara-Pasifik, Indonesia masuk kategori
negara paling terkorup. Lima negara masuk kategori terkorup di kawasan Asia
Tenggara-Pasifi yaitu, Indonesia, Kamboja, Vietnam, Filipina, dan India.
Kejahatan korupsi hampir melanda di setiap instansi pemerintahan dan swasta.
Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) seakan-akan telah menjadi budaya
dalam aji mumpung bagi setiap pejabat negara yang diberi kepercayaan oleh
masyarakat.
Tanggal 9 Desember yang ditetapkan sebagai Hari Anti Korupsi sedunia yang
kemudian diperingati oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia seperti
jadi selebrasi dalam gerakan kemanusiaan dan tidak memberikan dampak perubahan
yang signifikan. Faktanya praktik KKN makin menggurita dan kejahatan korupsi
telah memiskinkan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi
telah merusak sendi-sendi kehormatan bangsa dan mengacaukan tata nilai
bernegara. Korupsi memicu meningkatnya angka kemiskinan secara drastis karena praktik
korupsi telah mengurangi hak-hak ekonomi, sosial politik, dan pendidikan warga
negara.
Perilaku korup yang dipertontonkan pejabat negara kita membuat sebagian
warga negara merasa tidak puas pada gaya kepemimpinan elit kita, bahkan
perilaku korup pejabat mulai dari tingkat pusat maupun daerah suka tidak suka,
iya atau tidak secara sosio-psikologis mengganggu kebersamaan dalam bernegara
bahkan praktik korupsi yang semakin kejam ini dalam suasana tertentu dapat
menimbulkan ancaman disintegrasi bangsa. Perilaku korup menyebabkan
ketidakadilan terjadi di mana-mana terutama di lingkungan institusi-institusi
pemerintahan. Korupsi di Indonesia terjadi di hampir semua instansi
pemerintahan hingga ke tingkat kepemimpinan politik, pamong praja, dan
institusi-institusi utama. Kenyataan ini membuat kita jadi sinis pada
pemerintahan reformasi yang dalam kampanye politik mengatakan perang melawan
korupsi.
B. Krisis
Etika Berbangsa
Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dan negara
demokrasi ketiga setelah Amerika Serikat dan India, Indonesia sudah seharusnya
sampai pada suatu kesimpulan bahwa, budaya korupsi dalam kehidupan berbangsa
sejatinya tidak hanya ditindak dengan penegakan hukum dengan memberikan sanksi
hukum yang setimpal bagi para koruptor tetapi bagaimana membangun infrastruktur
ethics sebagai sarana untuk
mengembangkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, keadilan, dan kebaikan bersama guna
mewujudkan kehidupan bernegara yang kuat.
Krisis etika kehidupan dalam berbangsa dan bernegara pada zaman modern
sekarang ini tidak saja memasuki wilayah politik pragmatis yang membentuk pola
pikir dan perilaku bernegara penuh penyimpangan nilai tetapi telah merasuki hingga
ke ranah kehidupan anak-anak remaja yang notabene modal kekuatan pembangunan
masa depan bangsa. Krisis nilai dan kehampaaan spiritualitas sosial semakin
mengancam potensi sumber daya manusia (human
capital) bangsa kita.
Tidak bisa bisa dihindari bahwa, problematika penanganan pengedaran dan
penggunaan narkoba di Indonesia masih menjadi masalah serius. Kompleksitas
permasalahan narkotika di tingkat remaja dan anak-anak Indonesia semakin
memprihatinkan kita semua karena kejahatan narkoba semakin dicarikan solusinya
tetapi pada waktu yang bersamaan semakin memunculkan bentuk-bentuk kejahatan
baru yang beragam.
Pola hidup remaja yang hedonis akibat globalisasi dan pesatnya arus
informasi menyebabkan remaja cenderung dipengaruhi oleh arus budaya luar lewat
westernisasi karena secara psikologis, dengan perkembangan zaman dan teknologi
canggih dapat membentuk remaja menjadi apa yang disebut sebagai the nations without state. Kekuatan
westernisasi yang secara negatif mengaburkan filter remaja dalam proses
pergaulan bebas. Padahal kita tahu,
narkotika, psikotropika dan zat adiktif (nakoba) adalah bentuk kejahatan dalam
kategori extra ordinary crime yakni
kejahatan luar biasa. Dan dampak negatif dari penggunaan narkoba ialah perilaku
imoral seperti merampok, mencuri, berbohong, hingga pemaksaan kehendak dengan
menggunakan kekerasan sebagai cara meraih keinginan. Implikasi penggunaan
narkoba yakni menimbulkan pengguna menjadi depresan,
stimulan, dan halusinogen.
Laporan terakhir dari Badan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk
urusan narkoba dan kejahatan, UNODC (United
Nations Office On Drugs Crime) mengatakan, upaya negara-negara di dunia
dalam melakukan pengetatan pengawasan terhadap kejahatan narkoba melalui sistem
negara masing-masing ternyata semakin memicu praktik kejahatan narkoba yang
terus meningkat di beberapa kasawan bedua seperti Amerika, Eropa, dan Asia.
Para pelaku pengedar narkoba (organized
crime) dan berbagai sindikat narkoba internasional bahkan makin meningkat
dengan segala bentuk operandinya. Penyalahgunaan narkoba menduduki rangking ke
20 dunia sebagai salah satu faktor penyebab meningkatnya angka kematian di
dunia dan menempati rangking ke 10 di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia.
Efek buruk dari penggunaan narkoba selain sebagaimana disebut di atas juga
sangat rentan dan mudah menjangkit penyakit HIV,
Hepaptitis dan Tubercolis yang
berpotensi mengancam menimbulkan penyakit masyarakat yang tidak sehat. Trend
kejahatan narkoba pada zaman sekarang ternyata tidak warga negara kita yang
selalu menjadi korban kejahatan narkotika dari proses akulturasi dan
westernisasi antar budaya bangsa lewat globalisasi tetapi warga asing pun bisa
jadi korban kejahatan penggunaan obat terlarang ini.
Kasus Indonesia, penyalahgunaan narkotika dan kejahatan narkoba (lect specialist) tidak saja di tingkat
remaja tetapi telah merasuki hingga ke semua level usia ini memberikan dampak
buruk yang sangat signifikan. Data BNN dikatakan, tingkat pembiayaan urusan
penanganan narkoba, negara mengeluarkan anggaran sebesar 45 triliun, dengan
perincian membiayai rehabilitasi, pengobatan dan proses hukum. Sebuah angka
kejahatan yang cukup fantastis.
Kekacauan etika di kalangan remaja memang banyak sekali yang menjadi
penyebab sehingga dalam melakukan gerakan perbaikan kualitas moralitas bangsa
terutama di tingkat remaja membutuhkan suatu kajian ilmiah yang secara mendalam
agar bisa diketahui variabel mana saja yang menjadi penyebab kerusakan etika
anak bangsa kita dewasa ini.
Ada banyak fakta yang dapat menjadi penyebab menurunnya etika dan moral
para remaja kita. fakta menunjukan antara 15 sampai 20% remaja di Indonesia
sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah, dan terdapat sekitar 15 juta
remaja perempuan usia 15 sampai 19 tahun melahirkan setiap tahunnya. Selain
itu, sebuah penelitian yang cukup terpercaya, pada pertengahan 2009 mencatat
sekitar 6332 kasus IDS dan 4527 terkena HIV dengan 78,8% kasus tersebut yang
dilaporkan umumnya dari usia 15 hingga 29 tahun, dan diperkirakan sekitar
270.000 perempuan menjadi pekerja seks yang menurut data lebih dari 60% berusia
24 tahun dan 30% berusia 15 tahun. Hal yang menjadi masalah kronis adalah kasus
aborsi yang diperkirakan sekitar 2,3 juta kasus 20% diantaranya dilakukan
remaja.
Dari data Kepolisian, tingkat kejahatan narkoba di kalangan anak muda
setiap tahunnya selalu naik. Jumlah
kriminalitas pun meningkat bahkan kejahatan di kalangan remaja pun semakin
canggih seiring kemajuan ilmu dan teknologi. Kriminalitas dilakukan kalangan
remaja berusia antara 13 hingga 17 tahun bermuara dari penggunaan narkoba yang
kemudian bergeser pada pencurian, perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan.
C. Etika Sebagai Sistem Nilai
Ilmu
pengetahuan dalam watak dan perkembangannya menjadikan dirinya otonomi dan
bebas dari segala ikatan baik dari konteks agama maupun moral. Kemajuan ilmu
dan pengetahuan dalam dimensi yang bersamaan dan selalu menimbulkan
pemahaman-pemahaman baru bersifat kontekstual seringkali memotivasi para ilmuan
untuk melakukan kajian-kajian intelektual dengan tujuan mendapatkan
penemuan-penemuan teori-teori baru yang menurut para ilmuan modern tetap dalam
batasan-batasan perkembangan dunia. Faktanya banyak penemuan-penemuan dalam
penelitian yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan modern selalu
bertabrakan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Hal ini karena
kemajuan ilmu pengetahuan yang disertai dengan pengembangan teknologi-teknologi
modern lebih banyak terkonsentrasi di kawasan dunia Barat. Ilmu pengetahuan dan
teknologi yang hampir menjangkau ke semua aspek kehidupan umat manusia telah
diperlakukan dengan tidak realistis alias tidak disejajarkan dengan dasar-dasar
keagamaan yang kuat sehingga lebih cenderung menyebabkan kekacauan moralitas
masyarakat.
Tradisi budaya
Barat yang dualistik, hedonistik, kapitalistik yang sebenarnya meminjam
terminologi Francis Fukuyama, demokrasi sebagai konsep sosial politik modern
yang efektif menjadi pintu masuk budaya lintas negara sebenarnya bisa dipahami
sebagai suatu jalan terjadinya kontradiktif dalam pemahaman maupun praktik
pengembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi di satu aspek dan pada
sisi lain dipandang menjadi sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Padahal, dalam perpestif Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dua
konsep yang memiliki kesamaan misi bagi pengembangan peradaban kemanusiaan di
dunia.
Dalam pada
ini, seringkali muncul ketidakseragaman pemikiran dan sudut pandang dalam
melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia modern sekarang.
Muncul gejala-gejalan sikap tidak saling pengertian antara semua komunitas umat
manusia di dunia. Hal ini bisa dilihat bagaimana seruan-seruan kekuatan sosial
tertentu terhadap pentingnya dialog antarperadaban termasuk tulisan Samuel P.
Huntington tentang Class of sicilizatian yang
sempat menimbulkan perdebatan. Gagasan mengenai pentingnya atau mengutamakan
dialog antarbangsa dan antar peradaban yang berbeda satu sama lain merupakan
wujud nyata di mana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapannya
selalu memunculkan ketidakseragaman sehingga mengancam perpecahan bahkan
diskriminasi.
Pertentangan
nilai-nilai etika modern seringkali terjadi dalam praktik kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang serba modern dan masing-masing dilandasari
dengan paham-paham ideologi. Kapitalisme, hedonisme, sekularisme dan
sosialisme-demokrat, dan demokrasi yang berkembang di negara-negara di dunia
telah memicu persoalan kemanusiaan tersendiri khususnya dalam memahami kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan keserasiannya pada agama. Hal ini tidak
saja terjadi pada agama tertentu seperti Islam dan Kristen yang dalam praktik
perpolitikan sengaja direkayasa oleh segelintir elit untuk menimbulkan
pertentangan tetapi pada kenyataannya di masing-masing internal memperlihatkan
adanya gejala di mana selalu muncul pertentangan.
Pada akhir
abad ke XX di Barat akibat menguatnya paham ideologi sekular dan kapitalisme
modern yang dipandang sebagai ancaman terhadap nilai-nilai etika sosial
kemanusiaan dengan menjadikan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi sebagai
instrumen untuk membandingkan antara nilai-nilai agama dan ilmu pengetahuan
mengalami kelunturan. Di penghujung abad XX dari sebuah hasil Konsili di
Vatikan dan kongres Dewan Gereja se Dunia misalnya, telah memperlihatkan ada
kecenderungan baru baik dari Katolik maupun Protestan sama-sama membuka jalur
komunikasi kultural yang konstruktif dalam rangka mencari interpretasi dan
pengertian baru mengenai sekularisme modern yang dianggap mereka sebagai ajaran
yang rasional.
· Memperkuat Basis
Pendidikan Karakter
Berdasarkan
realitas dari berbagai problematika sosial-kemanusiaan yang ada yang dari
pembahasan diatas kita tarik suatu kesimpulan sementara bahwa ada gejala atau
kecenderungan yang kuat dari ancaman global terhadap tatanan nilai-nilai etika
dalam berbangsa dan bernegara, dan hal ini harus diakui sebagai konsekuensi
dari komunitas masyarakat dunia sehingga dalam menghadapi tantangan-tantangan
global tersebut, tugas kita sebagai anak bangsa adalah terutama melalui bidang
pendidikan (Perguruan Tinggi), diperlukan gerakan pemikiran baik secara
konsepsional maupun secara implementatif mendorong pemerintah agar secara konsisten
dan tertib menerapkan kurikulum pendidikan nasional yang mengedepankan
pendidikan karakter. Pendidikan karakter sebagai dasar utama dalam mewujudkan
kualitas pribadi setiap anak bangsa dan dengan format pendidikan karakter yang
kuat maka kualitas etika sosial dan moralitas bangsa sering berjalannya waktu
akan dengan mudah tertanam kesadaran etik yang tinggi dalam berbangsa dan
bernegara. Pendidikan karakter yang menjadikan Pancasila sebagai landasan
filosofis karena dengan Pancasila sebenarnya kita mampu tampil menjadi
identitas negara yang beradab sebagaimana yang termanifestasikan dalam
Sila-sila Pancasila.
Di mana
Pancasila menjadi pandangan nilai yang mengandung sistem nilai dan norma
kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila harus menjadi filter dalam
mengelola kehidupan bernegera karena dengan sistem nilai yang terkandung di
dalam Pancasila tersebut yang juga menjadi dasar filosofis untuk membangun
peradaban bangsa yang lebih maju dan modern sehingga dalam pergaulan
internasional, bangsa Indonesia bisa sederajat dengan bangsa-bangsa lain.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sejatinya menjadi suatu pemahaman
kebersamaan karena ia merupakan warisan sosial-budaya nasional.
Bila suatu
bangsa dan kebudayaan Yunani yang relatif kecil di Eropa memiliki warisan
sistem nilai seperti filsafat dan kebudayaan) yang dalam perkembangannya banyak
menjadi minat kajian para ilmuan dan kaum intelektual maka bangsa Indonesia
sebenarnya pada titik ini, Pancasila harus dipahami sebagai puncak dari sari kebudayaan
nasional dan sekaligus menjadi warisan filsafat yang memadai.
Berdasarkan
catatan sejarah, banyak para ilmuan sejarah dari Barat yang kagum dengan
Pancasila bahkan mereka melakukan penelitian-penelitian di bidang
sosial-politik, budaya dan pendidikan selalu dikaitkan dengan perilaku
masyarakat bangsa Indonesia yang merupakan cermin dari nilai-nilai Pancasila
itu sendiri. Oleh sebab itu, sebagai bangsa yang besar dan memiliki
keaneragaman budaya patut berbangga pada warisan budaya nasional berupa Pancasila
ini dan dengan begitu maka secara otomatis akan meningkatkan harkat dan
martabat bangsa dalam pergaulan dunia internasional.
Jika bangsa
Barat saja merasa begitu tertarik dengan kebudayaan Nusantara Indonesia dengan
latarbelakang apapun ketika mereka masuk melalui penjajahan, namun paling tidak
hal ini menjadi suatu kesadaran kita terutama generasi penerus bangsa. Jika
kita tidak segera menumbuhkembangkan kesadaran akan penghargaan dan kebanggaan
pada Pancasila sebagai warisan budaya bangsa maka kita akan terus menerus
dikepung oleh kekuatan-kekuatan ideologi lain yang bertujuan merusak
nilai-nilai budaya dalam Pancasila, dan jika yang terjadi demikian maka dengan
berdasarkan pada kondisi sosial-psikologis yang ada maka para kaum imperialis
modern untuk kepentingan kolonialisme-imperialisme akan secara aktif
mengkampanyekan kejahatan modern atas nama kemajuan ilmu pengetahuan dan
kemajuan teknologi.
Oleh karena
itu, Perguruan Tinggi memiliki peran strategis dan aktualitatif dalam membangun
dan mengembangkan sistem pendidikan nasional dalam wujud pembentukan karakter
bangsa Indonesia yang senantiasa berbasiskan pada Pancasila. Sebab Pancasila
selain sebagai suatu sistem nilai yang secara sosio-kultural dan
psikologis-praktis, serta yuridis dan potensialitas diyakini sebagai suatu
kebenaran, kebaikan dengan beserta semua potensi keunggulannya. Pendidikan yang
dikelola dengan sistematis atau apa yang disebut Glbraith, “The concepts of community-based education and lifelong learning, when
marged, utilizes formal, nonformal, and informal educational processes”, yakni
pendidikan yang diselenggarakan secara komprehensif dengan memadukan sistem
formal, informal, dan nonformal. Hal ini senada dengan amanat Undang-Undang No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 ayat (1).
Pendidikan
seperti ini bisa kita lihat dari konsepnya John Dewey (1916) dalam bukunya Democracy and Education, ia menawar
suatu konsep pendidikan yang bersifat adaptif dan progresif bagi perkembangan
masa depan, “Dewey elaborated upon his
teory that school reflect the community and be patterned after it so that when
children graduate from school they will be properly adjusted to asumse their
place in sociaty”.
Gagasan lain
juga dikemukakan oleh Faucault dalam bukunya: Use of Pleasure (1984) dan Care
of The Self (1984), ia dengan pendekatan konsep “The Order of Things: An Archaeology of The Human Sciences (1966)
yang menekankan substansi cara berpikir yang sistematis dalam pendidikan
sekaligus menjadi metode untuk menjelaskan hakikat manusia sebagai bagian dari
pengetahuan. Hakikat manusia sebagai dimensi pengetahuan dalam perspektif yang
lebih filosofis yakni di mana peranan pendidikan dimungkinkan untuk menjelaskan
eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Pendidikan yang menitikberatkan pada
aspek sosial demokrasi karena sistem sosial terutama demokrasi di era modern
sekarang sudah dianggap paling memungkinkan untuk mempertemukan semua perbedaan
dalam sebuah konsep musyawarah mufakat.
· Menjadikan Pancasila
Sebagai Sistem Etika Politik
Sebenarnya
sudah menjadi kesepakatan yang final dalam bernegara, bahwa Pancasila
sesungguhnya menjadi bagian yang substansial dalam membangun sistem etika
politik bangsa kita. setiap sistem manapun yang dibuat oleh rezim siapapun
sejatinya sistem politik itu selalu mencerminkan sistem etika politik dalam
pengertian nilai-nilai Pancasila. Etika politik sebagai cabang dari etika
sosial yang secara substansi mengandung pengertian-pengertian norma dalam
konteks kehidupan praktis dalam berbangsa. Dengan sistem politik yang beretika
Pancasila maka setiap warga negara dan warga bangsa yang melakukan
kegiatan-kegiatan politik harus mematuhi norma-norma politik yang sudah diatur
dalam sistem politik. Pancasila sebenarnya memiliki peranan penting sebagai
perwujudan dari sistem etika dalam bernegara. Sebagai bentuk nyata bahwa
Pancasila sebagai perwujudan dari membangun sistem etika politik bangsa, hal
ini bisa dilihat bagaimana sila ke-2 (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab)
memiliki memuatan nilai etika dalam berbangsa. Meski tidak bisa dipungkiri
bahwa setiap sila merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan tidak
bisa dilihat beridir sendiri-sendiri tetapi ke-5 sila dalam Pancasila ini
merupakan kesatuan nilai yang saling menopang dan tidak ada yang bertentangan
satu sama lain.
Perilaku
politik zaman sekarang yang selalu mengabaikan etika politik adalah wujud dari
penyimpangan makna politik dalam kaitannya dengan membangun sistem etika
politik yang sejalan dengan nilai-nilai budaya bangsa yakni Pancasila. Padahal,
hakikat manusia sebagai makhluk politik sebenarnya memahami politik sebagai
upaya memerdekakan manusia dari segala bentuk ketidakadilan, melawan semua
bentuk kezaliman, kediktatoran, dan semua sistem otoriterian dan menentang
setiap kebijakan negara yang menindas, membuat orang lain miskin, pembodohan,
dan lain-lain. Politik sebenarnya tidak kejam seperti yang dipahami sebagian
masyarakat karena tidak semua konsep politik memuat berupa perilaku anarkhis,
diskriminatif, dualistik, hegemonik—penghancuran dan tindakan destruktif terhadap sesama manusia dalam
kompetisi tetapi politik sebenarnya memiliki landasan etika sosial yang tinggi
yakni di mana ia menempatkan kepentingan kolektif kebangsaan dengan jujur,
adil, dan dilakukan dengan penuh kesungguhan.
Pancasila
dilihat dari perspektif sosio-kultural dan psikologis adalah bagaimana bangsa
ini memahami Pancasila sebagai sumber inspirasi bagi proses tata kelola
bernegara yang dilandasi dengan nilai-nilai sosial-budaya bangsa. Pancasila
memiliki nilai esensial dalam praktik bernegara sepanjang sejarah budaya kita.
pancasila juga harus dijadikan sebagai nilai pandangan hidup bangsa yang secara
transedental turut menjiwai tata kehidupan kemasyarakatan. Artinya, nilai
Pancasila harus menjadi filsafat hidup yang secara praktikal membentuk sifat
dan perilaku serta menjadi watak dari kepribadian setiap anak bangsa. Sedangkan
Pancasila dalam perspektif material, praktis fungsional, ia harus dipahami
sebagai nilai-nilai filosofis. Dalam kerangka ini pemahaman mengenai Pancasila
sebagai substansi yang menumbuhkembangkan nilai-nilai sosio-budaya terutama
membentuk kesadaran akan Ketuhanan-keagamaan, dan kesadaran dalam konteks
kekeluargaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus menjadi filter.
Dengan
landasan berpikir dan pemahaman yang substansial tersebut, maka hakikat dari
fungsional nilai dasar Pancasila sesungguhnya adalah nilai-nilai yang lahir dan
berkembang dalam interaksi sosial antar budaya bangsa dan menjadi pedoman
kehidupan berbangsa (natural social philosophy)
yang secara esensial merefleksikan ajaran filosofis dan sekaligus menjadi
karakter bangsa. Sedangkan Pancasila yang dilihat dari perspektif
formal-yuridis-konstitusional baik secara tersurat maupun tersirat dalam
Pembukaan UUD 1945 merupakan dasar negara atau boleh dikatakan sebagai filsafat
negara. pancasila secara nilai dipandang menjadi intrinsik yang secara resmi
mengandung filsafat negara sehingga ia dapat dipandang sebagai sistem
kenegaraan RI. Dan UUD 1945 adalah wujud dari perwujudan sistem ketatanegaraan
kita. dengan demikian, tidak ada alasan bagi siapapun warga negara dengan
status sosial manapun—pejabat tinggi negara hingga rakyat jelata
termasuk dalam proses pembentukan peraturan dan perundang-undangan hendaknya
harus selalu berpedoman pada norma-norma dasar yang merupakan sumber hukum
tertinggi.
Sedangkan
Pancasila dalam perspektif normatif ideal sejatinya dipahami sebagai sistem
nilai atau filsafat negara yang memiliki keunggulan melebihi sistem-sistem lain
yang dipraktikan negara-negara di dunia. Artinya, filsafat Pancasila memiliki
keunggulan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ajaran filsafat lain
seperti kapitalisme, komunisme, sosialisme, sekularisme, dan lain sebagainya.
Dengan
demikian, dalam rangka membangun peradaban bangsa Indonesia yang lebih modern
dan maju serta memiliki kapasitas tertentu yang unggul di mata dunia
internasional, kita perlu membuat formula baru berupa interpretasi, mencari
pengertian mengenai etika sosial yang lebih transedental, merangkai moralitas
kebangsaan, serta bagaimana memadukannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara bersamaan. Kita perlu memikirkan bagaimana membangun dan
membina keseimbangan konsepsional dan pemahaman budaya yang bersifat
historis-filosofis, dan empirik secara esensial antara agama dan ilmu
pengetahuan serta dalam penerapannya dengan teknologi. Kita harus memikirkan
betapa pentingnya membangun keseimbangan interpretasi terhadap teks-teks ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan agama yang serasi. Kita perlu membangun dan
membina kesatuan nilai dalam bentuk kebenaran, kesusilaan, dan keindahan. Tidak
bisa dipungkiri bahwa kesatuan nilai yang terdiri dari semua nilai-nilai budaya
nasional (baca negara pluralisme) pada zaman sekarang sudah pudar hingga ke berbagai
dimensi kehidupan.*
______________________________________________________
Penulis adalah, Pemerhati
Masalah Ilmu Sosial dan Politik, tinggal di Jakarta.