Rabu, 09 Juli 2014

Sebuah Refleksi Atas Problematika Kebangsaan Kita Dewasa Ini

Oleh: Rahman Yasin



A.  Pengantar
Sungguh menjadi suatu keprihatinan kita semua, dari berbagai hasil survei terkini memperlihatkan Indonesia menempati urutan dalam kategori negara terkorup di dunia. Tidak tanggung-tanggung negara demokrasi ketiga di dunia dengan jumlah penduduk terbesar keempat dan sekaligus dengan jumlah penduduk bermayoritas muslim terbesar di dunia ini ditempatkan sebagai negara terkorup pada peringkat pertama di kawasan Asia Tenggara-Pasifk. Salah satu survei yang dilakukan adalah Transparence.org, sebuah badan independen ini mengemukakan, dari 146 negara terdapat 10 besar negara dikatakan terkorup. Ke 10 negara tersebut, 1) Azerbaijan, 2) Bangladesh, 3) Bolivia, 4) Kamerun, 5) Indonesia, 6) Irak, 7) Kenya, 8) Nigeria, 9) Pakistan, dan 10) Rusia.
Sedangkan dalam konteks Asia Tenggara-Pasifik, Indonesia masuk kategori negara paling terkorup. Lima negara masuk kategori terkorup di kawasan Asia Tenggara-Pasifi yaitu, Indonesia, Kamboja, Vietnam, Filipina, dan India. Kejahatan korupsi hampir melanda di setiap instansi pemerintahan dan swasta. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) seakan-akan telah menjadi budaya dalam aji mumpung bagi setiap pejabat negara yang diberi kepercayaan oleh masyarakat.
Tanggal 9 Desember yang ditetapkan sebagai Hari Anti Korupsi sedunia yang kemudian diperingati oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia seperti jadi selebrasi dalam gerakan kemanusiaan dan tidak memberikan dampak perubahan yang signifikan. Faktanya praktik KKN makin menggurita dan kejahatan korupsi telah memiskinkan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi telah merusak sendi-sendi kehormatan bangsa dan mengacaukan tata nilai bernegara. Korupsi memicu meningkatnya angka kemiskinan secara drastis karena praktik korupsi telah mengurangi hak-hak ekonomi, sosial politik, dan pendidikan warga negara.
Perilaku korup yang dipertontonkan pejabat negara kita membuat sebagian warga negara merasa tidak puas pada gaya kepemimpinan elit kita, bahkan perilaku korup pejabat mulai dari tingkat pusat maupun daerah suka tidak suka, iya atau tidak secara sosio-psikologis mengganggu kebersamaan dalam bernegara bahkan praktik korupsi yang semakin kejam ini dalam suasana tertentu dapat menimbulkan ancaman disintegrasi bangsa. Perilaku korup menyebabkan ketidakadilan terjadi di mana-mana terutama di lingkungan institusi-institusi pemerintahan. Korupsi di Indonesia terjadi di hampir semua instansi pemerintahan hingga ke tingkat kepemimpinan politik, pamong praja, dan institusi-institusi utama. Kenyataan ini membuat kita jadi sinis pada pemerintahan reformasi yang dalam kampanye politik mengatakan perang melawan korupsi.

B.  Krisis Etika Berbangsa
Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi ketiga setelah Amerika Serikat dan India, Indonesia sudah seharusnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa, budaya korupsi dalam kehidupan berbangsa sejatinya tidak hanya ditindak dengan penegakan hukum dengan memberikan sanksi hukum yang setimpal bagi para koruptor tetapi bagaimana membangun infrastruktur ethics sebagai sarana untuk mengembangkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, keadilan, dan kebaikan bersama guna mewujudkan kehidupan bernegara yang kuat.
Krisis etika kehidupan dalam berbangsa dan bernegara pada zaman modern sekarang ini tidak saja memasuki wilayah politik pragmatis yang membentuk pola pikir dan perilaku bernegara penuh penyimpangan nilai tetapi telah merasuki hingga ke ranah kehidupan anak-anak remaja yang notabene modal kekuatan pembangunan masa depan bangsa. Krisis nilai dan kehampaaan spiritualitas sosial semakin mengancam potensi sumber daya manusia (human capital) bangsa kita.
Tidak bisa bisa dihindari bahwa, problematika penanganan pengedaran dan penggunaan narkoba di Indonesia masih menjadi masalah serius. Kompleksitas permasalahan narkotika di tingkat remaja dan anak-anak Indonesia semakin memprihatinkan kita semua karena kejahatan narkoba semakin dicarikan solusinya tetapi pada waktu yang bersamaan semakin memunculkan bentuk-bentuk kejahatan baru yang beragam.
Pola hidup remaja yang hedonis akibat globalisasi dan pesatnya arus informasi menyebabkan remaja cenderung dipengaruhi oleh arus budaya luar lewat westernisasi karena secara psikologis, dengan perkembangan zaman dan teknologi canggih dapat membentuk remaja menjadi apa yang disebut sebagai the nations without state. Kekuatan westernisasi yang secara negatif mengaburkan filter remaja dalam proses pergaulan bebas.  Padahal kita tahu, narkotika, psikotropika dan zat adiktif (nakoba) adalah bentuk kejahatan dalam kategori extra ordinary crime yakni kejahatan luar biasa. Dan dampak negatif dari penggunaan narkoba ialah perilaku imoral seperti merampok, mencuri, berbohong, hingga pemaksaan kehendak dengan menggunakan kekerasan sebagai cara meraih keinginan. Implikasi penggunaan narkoba yakni menimbulkan pengguna menjadi depresan, stimulan, dan halusinogen.
Laporan terakhir dari Badan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk urusan narkoba dan kejahatan, UNODC (United Nations Office On Drugs Crime) mengatakan, upaya negara-negara di dunia dalam melakukan pengetatan pengawasan terhadap kejahatan narkoba melalui sistem negara masing-masing ternyata semakin memicu praktik kejahatan narkoba yang terus meningkat di beberapa kasawan bedua seperti Amerika, Eropa, dan Asia. Para pelaku pengedar narkoba (organized crime) dan berbagai sindikat narkoba internasional bahkan makin meningkat dengan segala bentuk operandinya. Penyalahgunaan narkoba menduduki rangking ke 20 dunia sebagai salah satu faktor penyebab meningkatnya angka kematian di dunia dan menempati rangking ke 10 di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Efek buruk dari penggunaan narkoba selain sebagaimana disebut di atas juga sangat rentan dan mudah menjangkit penyakit HIV, Hepaptitis dan Tubercolis yang berpotensi mengancam menimbulkan penyakit masyarakat yang tidak sehat. Trend kejahatan narkoba pada zaman sekarang ternyata tidak warga negara kita yang selalu menjadi korban kejahatan narkotika dari proses akulturasi dan westernisasi antar budaya bangsa lewat globalisasi tetapi warga asing pun bisa jadi korban kejahatan penggunaan obat terlarang ini.
Kasus Indonesia, penyalahgunaan narkotika dan kejahatan narkoba (lect specialist) tidak saja di tingkat remaja tetapi telah merasuki hingga ke semua level usia ini memberikan dampak buruk yang sangat signifikan. Data BNN dikatakan, tingkat pembiayaan urusan penanganan narkoba, negara mengeluarkan anggaran sebesar 45 triliun, dengan perincian membiayai rehabilitasi, pengobatan dan proses hukum. Sebuah angka kejahatan yang cukup fantastis.
Kekacauan etika di kalangan remaja memang banyak sekali yang menjadi penyebab sehingga dalam melakukan gerakan perbaikan kualitas moralitas bangsa terutama di tingkat remaja membutuhkan suatu kajian ilmiah yang secara mendalam agar bisa diketahui variabel mana saja yang menjadi penyebab kerusakan etika anak bangsa kita dewasa ini.
Ada banyak fakta yang dapat menjadi penyebab menurunnya etika dan moral para remaja kita. fakta menunjukan antara 15 sampai 20% remaja di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah, dan terdapat sekitar 15 juta remaja perempuan usia 15 sampai 19 tahun melahirkan setiap tahunnya. Selain itu, sebuah penelitian yang cukup terpercaya, pada pertengahan 2009 mencatat sekitar 6332 kasus IDS dan 4527 terkena HIV dengan 78,8% kasus tersebut yang dilaporkan umumnya dari usia 15 hingga 29 tahun, dan diperkirakan sekitar 270.000 perempuan menjadi pekerja seks yang menurut data lebih dari 60% berusia 24 tahun dan 30% berusia 15 tahun. Hal yang menjadi masalah kronis adalah kasus aborsi yang diperkirakan sekitar 2,3 juta kasus 20% diantaranya dilakukan remaja.
Dari data Kepolisian, tingkat kejahatan narkoba di kalangan anak muda setiap tahunnya selalu naik.  Jumlah kriminalitas pun meningkat bahkan kejahatan di kalangan remaja pun semakin canggih seiring kemajuan ilmu dan teknologi. Kriminalitas dilakukan kalangan remaja berusia antara 13 hingga 17 tahun bermuara dari penggunaan narkoba yang kemudian bergeser pada pencurian, perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan.

C.  Etika Sebagai Sistem Nilai
Ilmu pengetahuan dalam watak dan perkembangannya menjadikan dirinya otonomi dan bebas dari segala ikatan baik dari konteks agama maupun moral. Kemajuan ilmu dan pengetahuan dalam dimensi yang bersamaan dan selalu menimbulkan pemahaman-pemahaman baru bersifat kontekstual seringkali memotivasi para ilmuan untuk melakukan kajian-kajian intelektual dengan tujuan mendapatkan penemuan-penemuan teori-teori baru yang menurut para ilmuan modern tetap dalam batasan-batasan perkembangan dunia. Faktanya banyak penemuan-penemuan dalam penelitian yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan modern selalu bertabrakan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Hal ini karena kemajuan ilmu pengetahuan yang disertai dengan pengembangan teknologi-teknologi modern lebih banyak terkonsentrasi di kawasan dunia Barat. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hampir menjangkau ke semua aspek kehidupan umat manusia telah diperlakukan dengan tidak realistis alias tidak disejajarkan dengan dasar-dasar keagamaan yang kuat sehingga lebih cenderung menyebabkan kekacauan moralitas masyarakat.
Tradisi budaya Barat yang dualistik, hedonistik, kapitalistik yang sebenarnya meminjam terminologi Francis Fukuyama, demokrasi sebagai konsep sosial politik modern yang efektif menjadi pintu masuk budaya lintas negara sebenarnya bisa dipahami sebagai suatu jalan terjadinya kontradiktif dalam pemahaman maupun praktik pengembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi di satu aspek dan pada sisi lain dipandang menjadi sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Padahal, dalam perpestif Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dua konsep yang memiliki kesamaan misi bagi pengembangan peradaban kemanusiaan di dunia.
Dalam pada ini, seringkali muncul ketidakseragaman pemikiran dan sudut pandang dalam melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia modern sekarang. Muncul gejala-gejalan sikap tidak saling pengertian antara semua komunitas umat manusia di dunia. Hal ini bisa dilihat bagaimana seruan-seruan kekuatan sosial tertentu terhadap pentingnya dialog antarperadaban termasuk tulisan Samuel P. Huntington tentang Class of sicilizatian yang sempat menimbulkan perdebatan. Gagasan mengenai pentingnya atau mengutamakan dialog antarbangsa dan antar peradaban yang berbeda satu sama lain merupakan wujud nyata di mana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapannya selalu memunculkan ketidakseragaman sehingga mengancam perpecahan bahkan diskriminasi.
Pertentangan nilai-nilai etika modern seringkali terjadi dalam praktik kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang serba modern dan masing-masing dilandasari dengan paham-paham ideologi. Kapitalisme, hedonisme, sekularisme dan sosialisme-demokrat, dan demokrasi yang berkembang di negara-negara di dunia telah memicu persoalan kemanusiaan tersendiri khususnya dalam memahami kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan keserasiannya pada agama. Hal ini tidak saja terjadi pada agama tertentu seperti Islam dan Kristen yang dalam praktik perpolitikan sengaja direkayasa oleh segelintir elit untuk menimbulkan pertentangan tetapi pada kenyataannya di masing-masing internal memperlihatkan adanya gejala di mana selalu muncul pertentangan.
Pada akhir abad ke XX di Barat akibat menguatnya paham ideologi sekular dan kapitalisme modern yang dipandang sebagai ancaman terhadap nilai-nilai etika sosial kemanusiaan dengan menjadikan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi sebagai instrumen untuk membandingkan antara nilai-nilai agama dan ilmu pengetahuan mengalami kelunturan. Di penghujung abad XX dari sebuah hasil Konsili di Vatikan dan kongres Dewan Gereja se Dunia misalnya, telah memperlihatkan ada kecenderungan baru baik dari Katolik maupun Protestan sama-sama membuka jalur komunikasi kultural yang konstruktif dalam rangka mencari interpretasi dan pengertian baru mengenai sekularisme modern yang dianggap mereka sebagai ajaran yang rasional.

·  Memperkuat Basis Pendidikan Karakter
Berdasarkan realitas dari berbagai problematika sosial-kemanusiaan yang ada yang dari pembahasan diatas kita tarik suatu kesimpulan sementara bahwa ada gejala atau kecenderungan yang kuat dari ancaman global terhadap tatanan nilai-nilai etika dalam berbangsa dan bernegara, dan hal ini harus diakui sebagai konsekuensi dari komunitas masyarakat dunia sehingga dalam menghadapi tantangan-tantangan global tersebut, tugas kita sebagai anak bangsa adalah terutama melalui bidang pendidikan (Perguruan Tinggi), diperlukan gerakan pemikiran baik secara konsepsional maupun secara implementatif mendorong pemerintah agar secara konsisten dan tertib menerapkan kurikulum pendidikan nasional yang mengedepankan pendidikan karakter. Pendidikan karakter sebagai dasar utama dalam mewujudkan kualitas pribadi setiap anak bangsa dan dengan format pendidikan karakter yang kuat maka kualitas etika sosial dan moralitas bangsa sering berjalannya waktu akan dengan mudah tertanam kesadaran etik yang tinggi dalam berbangsa dan bernegara. Pendidikan karakter yang menjadikan Pancasila sebagai landasan filosofis karena dengan Pancasila sebenarnya kita mampu tampil menjadi identitas negara yang beradab sebagaimana yang termanifestasikan dalam Sila-sila Pancasila.
Di mana Pancasila menjadi pandangan nilai yang mengandung sistem nilai dan norma kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila harus menjadi filter dalam mengelola kehidupan bernegera karena dengan sistem nilai yang terkandung di dalam Pancasila tersebut yang juga menjadi dasar filosofis untuk membangun peradaban bangsa yang lebih maju dan modern sehingga dalam pergaulan internasional, bangsa Indonesia bisa sederajat dengan bangsa-bangsa lain. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sejatinya menjadi suatu pemahaman kebersamaan karena ia merupakan warisan sosial-budaya nasional.
Bila suatu bangsa dan kebudayaan Yunani yang relatif kecil di Eropa memiliki warisan sistem nilai seperti filsafat dan kebudayaan) yang dalam perkembangannya banyak menjadi minat kajian para ilmuan dan kaum intelektual maka bangsa Indonesia sebenarnya pada titik ini, Pancasila harus dipahami sebagai puncak dari sari kebudayaan nasional dan sekaligus menjadi warisan filsafat yang memadai.
Berdasarkan catatan sejarah, banyak para ilmuan sejarah dari Barat yang kagum dengan Pancasila bahkan mereka melakukan penelitian-penelitian di bidang sosial-politik, budaya dan pendidikan selalu dikaitkan dengan perilaku masyarakat bangsa Indonesia yang merupakan cermin dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Oleh sebab itu, sebagai bangsa yang besar dan memiliki keaneragaman budaya patut berbangga pada warisan budaya nasional berupa Pancasila ini dan dengan begitu maka secara otomatis akan meningkatkan harkat dan martabat bangsa dalam pergaulan dunia internasional.
Jika bangsa Barat saja merasa begitu tertarik dengan kebudayaan Nusantara Indonesia dengan latarbelakang apapun ketika mereka masuk melalui penjajahan, namun paling tidak hal ini menjadi suatu kesadaran kita terutama generasi penerus bangsa. Jika kita tidak segera menumbuhkembangkan kesadaran akan penghargaan dan kebanggaan pada Pancasila sebagai warisan budaya bangsa maka kita akan terus menerus dikepung oleh kekuatan-kekuatan ideologi lain yang bertujuan merusak nilai-nilai budaya dalam Pancasila, dan jika yang terjadi demikian maka dengan berdasarkan pada kondisi sosial-psikologis yang ada maka para kaum imperialis modern untuk kepentingan kolonialisme-imperialisme akan secara aktif mengkampanyekan kejahatan modern atas nama kemajuan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi.
Oleh karena itu, Perguruan Tinggi memiliki peran strategis dan aktualitatif dalam membangun dan mengembangkan sistem pendidikan nasional dalam wujud pembentukan karakter bangsa Indonesia yang senantiasa berbasiskan pada Pancasila. Sebab Pancasila selain sebagai suatu sistem nilai yang secara sosio-kultural dan psikologis-praktis, serta yuridis dan potensialitas diyakini sebagai suatu kebenaran, kebaikan dengan beserta semua potensi keunggulannya. Pendidikan yang dikelola dengan sistematis atau apa yang disebut Glbraith, “The concepts of community-based education and lifelong learning, when marged, utilizes formal, nonformal, and informal educational processes”, yakni pendidikan yang diselenggarakan secara komprehensif dengan memadukan sistem formal, informal, dan nonformal. Hal ini senada dengan amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 ayat (1).
Pendidikan seperti ini bisa kita lihat dari konsepnya John Dewey (1916) dalam bukunya Democracy and Education, ia menawar suatu konsep pendidikan yang bersifat adaptif dan progresif bagi perkembangan masa depan, “Dewey elaborated upon his teory that school reflect the community and be patterned after it so that when children graduate from school they will be properly adjusted to asumse their place in sociaty”.
Gagasan lain juga dikemukakan oleh Faucault dalam bukunya: Use of Pleasure (1984) dan Care of The Self (1984), ia dengan pendekatan konsep “The Order of Things: An Archaeology of The Human Sciences (1966) yang menekankan substansi cara berpikir yang sistematis dalam pendidikan sekaligus menjadi metode untuk menjelaskan hakikat manusia sebagai bagian dari pengetahuan. Hakikat manusia sebagai dimensi pengetahuan dalam perspektif yang lebih filosofis yakni di mana peranan pendidikan dimungkinkan untuk menjelaskan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Pendidikan yang menitikberatkan pada aspek sosial demokrasi karena sistem sosial terutama demokrasi di era modern sekarang sudah dianggap paling memungkinkan untuk mempertemukan semua perbedaan dalam sebuah konsep musyawarah mufakat.

·  Menjadikan Pancasila Sebagai Sistem Etika Politik
Sebenarnya sudah menjadi kesepakatan yang final dalam bernegara, bahwa Pancasila sesungguhnya menjadi bagian yang substansial dalam membangun sistem etika politik bangsa kita. setiap sistem manapun yang dibuat oleh rezim siapapun sejatinya sistem politik itu selalu mencerminkan sistem etika politik dalam pengertian nilai-nilai Pancasila. Etika politik sebagai cabang dari etika sosial yang secara substansi mengandung pengertian-pengertian norma dalam konteks kehidupan praktis dalam berbangsa. Dengan sistem politik yang beretika Pancasila maka setiap warga negara dan warga bangsa yang melakukan kegiatan-kegiatan politik harus mematuhi norma-norma politik yang sudah diatur dalam sistem politik. Pancasila sebenarnya memiliki peranan penting sebagai perwujudan dari sistem etika dalam bernegara. Sebagai bentuk nyata bahwa Pancasila sebagai perwujudan dari membangun sistem etika politik bangsa, hal ini bisa dilihat bagaimana sila ke-2 (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab) memiliki memuatan nilai etika dalam berbangsa. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa setiap sila merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa dilihat beridir sendiri-sendiri tetapi ke-5 sila dalam Pancasila ini merupakan kesatuan nilai yang saling menopang dan tidak ada yang bertentangan satu sama lain.
Perilaku politik zaman sekarang yang selalu mengabaikan etika politik adalah wujud dari penyimpangan makna politik dalam kaitannya dengan membangun sistem etika politik yang sejalan dengan nilai-nilai budaya bangsa yakni Pancasila. Padahal, hakikat manusia sebagai makhluk politik sebenarnya memahami politik sebagai upaya memerdekakan manusia dari segala bentuk ketidakadilan, melawan semua bentuk kezaliman, kediktatoran, dan semua sistem otoriterian dan menentang setiap kebijakan negara yang menindas, membuat orang lain miskin, pembodohan, dan lain-lain. Politik sebenarnya tidak kejam seperti yang dipahami sebagian masyarakat karena tidak semua konsep politik memuat berupa perilaku anarkhis, diskriminatif, dualistik, hegemonikpenghancuran dan tindakan destruktif terhadap sesama manusia dalam kompetisi tetapi politik sebenarnya memiliki landasan etika sosial yang tinggi yakni di mana ia menempatkan kepentingan kolektif kebangsaan dengan jujur, adil, dan dilakukan dengan penuh kesungguhan.
Pancasila dilihat dari perspektif sosio-kultural dan psikologis adalah bagaimana bangsa ini memahami Pancasila sebagai sumber inspirasi bagi proses tata kelola bernegara yang dilandasi dengan nilai-nilai sosial-budaya bangsa. Pancasila memiliki nilai esensial dalam praktik bernegara sepanjang sejarah budaya kita. pancasila juga harus dijadikan sebagai nilai pandangan hidup bangsa yang secara transedental turut menjiwai tata kehidupan kemasyarakatan. Artinya, nilai Pancasila harus menjadi filsafat hidup yang secara praktikal membentuk sifat dan perilaku serta menjadi watak dari kepribadian setiap anak bangsa. Sedangkan Pancasila dalam perspektif material, praktis fungsional, ia harus dipahami sebagai nilai-nilai filosofis. Dalam kerangka ini pemahaman mengenai Pancasila sebagai substansi yang menumbuhkembangkan nilai-nilai sosio-budaya terutama membentuk kesadaran akan Ketuhanan-keagamaan, dan kesadaran dalam konteks kekeluargaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus menjadi filter.
Dengan landasan berpikir dan pemahaman yang substansial tersebut, maka hakikat dari fungsional nilai dasar Pancasila sesungguhnya adalah nilai-nilai yang lahir dan berkembang dalam interaksi sosial antar budaya bangsa dan menjadi pedoman kehidupan berbangsa (natural social philosophy) yang secara esensial merefleksikan ajaran filosofis dan sekaligus menjadi karakter bangsa. Sedangkan Pancasila yang dilihat dari perspektif formal-yuridis-konstitusional baik secara tersurat maupun tersirat dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan dasar negara atau boleh dikatakan sebagai filsafat negara. pancasila secara nilai dipandang menjadi intrinsik yang secara resmi mengandung filsafat negara sehingga ia dapat dipandang sebagai sistem kenegaraan RI. Dan UUD 1945 adalah wujud dari perwujudan sistem ketatanegaraan kita. dengan demikian, tidak ada alasan bagi siapapun warga negara dengan status sosial manapunpejabat tinggi negara hingga rakyat jelata termasuk dalam proses pembentukan peraturan dan perundang-undangan hendaknya harus selalu berpedoman pada norma-norma dasar yang merupakan sumber hukum tertinggi.
Sedangkan Pancasila dalam perspektif normatif ideal sejatinya dipahami sebagai sistem nilai atau filsafat negara yang memiliki keunggulan melebihi sistem-sistem lain yang dipraktikan negara-negara di dunia. Artinya, filsafat Pancasila memiliki keunggulan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ajaran filsafat lain seperti kapitalisme, komunisme, sosialisme, sekularisme, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam rangka membangun peradaban bangsa Indonesia yang lebih modern dan maju serta memiliki kapasitas tertentu yang unggul di mata dunia internasional, kita perlu membuat formula baru berupa interpretasi, mencari pengertian mengenai etika sosial yang lebih transedental, merangkai moralitas kebangsaan, serta bagaimana memadukannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bersamaan. Kita perlu memikirkan bagaimana membangun dan membina keseimbangan konsepsional dan pemahaman budaya yang bersifat historis-filosofis, dan empirik secara esensial antara agama dan ilmu pengetahuan serta dalam penerapannya dengan teknologi. Kita harus memikirkan betapa pentingnya membangun keseimbangan interpretasi terhadap teks-teks ilmu pengetahuan dan teknologi dengan agama yang serasi. Kita perlu membangun dan membina kesatuan nilai dalam bentuk kebenaran, kesusilaan, dan keindahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa kesatuan nilai yang terdiri dari semua nilai-nilai budaya nasional (baca negara pluralisme) pada zaman sekarang sudah pudar hingga ke berbagai dimensi kehidupan.*

______________________________________________________
Penulis adalah, Pemerhati Masalah Ilmu Sosial dan Politik, tinggal di Jakarta.