Kinerja Aktor Pilkada DKI 2012
Oleh : Rahman Yasin
(“Tenaga Ahli DKPP RI”)
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Pemilukada) Provinsi DKI Jakarta pada 11 Juli 2012 terus dihantui
ketidakpastian masyarakat. Persoalan yang mendera proses penyelenggaraan
Pemilukada DKI Jakarta pun sesungguhnya sangat klasik, yakni perdebatan seputar
praktik politik uang yang dilakukan pasangan calon tertentu hingga kampanye
hitam.
Masyarakat selalu meneriakkan ketidakterbukaan KPU/KPUD dalam menjalankan
tugas dan fungsi. Pemilukada DKI Jakarta merupakan start awal penataan dan
sekaligus persiapan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2014 mendatang.
Artinya, tingkat persiapan penyelenggaraan pemilu tahun 2014 sangat ditentukan
keberhasilan penyelenggaraan Pemilukada DKI tahun 2012.
Maklum, Jakarta adalah ibu kota negara yang memiliki masalah yang begitu
kompleks karena masyarakat DKI boleh jadi merupakan personifikasi dari
stratifikasi sosial budaya bangsa keseluruhan. Kekacauan data penduduk warga
Jakarta tidak lepas dari keteledoran pengelolaan pemerintah pusat dan daerah
yang tidak menjalankan perundang-undangan kependudukan secara cermat.
Tidak bisa dielakkan bahwa realitas politik kekinian terus menunjukkan
kepanikan. Isu korupsi dalam penyelenggaraan Pemilukada DKI Jakarta terus
menguat sehingga beberapa elemen masyarakat, termasuk partai pengusung kandidat
gubernur dan wakil, mendesak KPUD DKI menunda proses pemilihan. Bahkan, ada
yang lebih ekstrem minta agar Pemilukada dibatalkan. Partai Golkar, PPP, PDS,
sebagai pengusung pasangan Alex Noerdin dan Nono Sampono, mengancam undur dari
perhelatan karena menemukan data pemilih fiktif.
Dalam banyak pemilukada, kerap muncul ketidakberesan KPU/KPUD mengelola
data pemilih. Ini bisa menjadi sebuah pelanggaran pada pemutakhiran data
pemilih, yakni dari daftar pemilih sementara (DPS) menjadi daftar pemilih tetap
(DPT) sebagai data final jumlah pemilih. Pelanggaran Pemilukada di berbagai
daerah umumnya dilakukan pasangan petahana karena memiliki kekuasaan sehingga
memberi peluang "bermain".
Ketidakpastian
Tampaknya, kesemerawutan penyelenggaraan Pemilukada DKI lebih disebabkan ketidakpastian komunikasi politik antar-stakeholders penyelenggara pemilu, yakni KPUD DKI Jakarta dan pemerintah. Kekacauan DPS seharusnya tidak perlu terjadi bila KPUD menegakkan aturan. Kekacauan ini memicu protes publik, terutama kontestan.
Tampaknya, kesemerawutan penyelenggaraan Pemilukada DKI lebih disebabkan ketidakpastian komunikasi politik antar-stakeholders penyelenggara pemilu, yakni KPUD DKI Jakarta dan pemerintah. Kekacauan DPS seharusnya tidak perlu terjadi bila KPUD menegakkan aturan. Kekacauan ini memicu protes publik, terutama kontestan.
KPUD mengajukan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) ke pemerintah
tidak berdasarkan e-KTP. Target e-KTP yang ditentukan pemerintah pusat dan
Dinas Kependudukan pun sedikit berbeda sehingga secara otomatis menimbulkan
polemik. Kementerian Dalam Negeri menargetkan e-KTP 6,7 juta, sedangkan Dinas
Kependudukan menargetkan 6,3 juta. Pada tahap ini jelas berbeda.
Dengan demikian, data pemilih fiktif Pemilukada DKI sangat boleh jadi
muncul karena ketidaksinkronan barometer penentuan jumlah penduduk, termasuk
pemetaan penduduk siluman yang paling mudah menciptakan akses untuk
menggandakan kartu identitas. Pemerintah menggunakan basis data Kartu Keluarga
(KK), sementara Dinas Kependudukan menggunakan e-KTP dan menemukan jumlah
pemilih 5,5 juta.
Dalam konteks ini, pemerintah pusat dan Pemprov DKI melalui Dinas
Kependudukan DKI, KPUD, Panwaslu Kepala Daerah Provinsi, dan para pemangku
kepentingan lain dalam penyelenggaraan pemilu perlu menyatukan visi. Mereka
harus berkomitmen menciptakan komunikasi politik yang lebih konstruktif.
Pemerintah perlu mengubah Undang-Undang Kepegawaian untuk mengurangi
intervensi pemerintah terhadap penyelenggaraan Pemilukada DKI karena di
dalamnya melibatkan birokrasi. Selain itu, perlu koordinasi antarinstitusi guna
mengawal perhelatan demokrasi. Tanpa komunikasi politik yang sinergis pusat dan
daerah, kekacauan data pemilih yang terekam dalam DPS bisa berlanjut ke tahapan
penetapan DPT. Ini tidak boleh terjadi.
Ekses
KPU/KPUD DKI Jakarta, Kemendagri, DPR, Bawaslu dan Panwaslu Kepala Daerah sangat boleh jadi bersepakat menjadikan momentum penyelenggaraan Pemilukada DKI Jakarta sebagai barometer untuk menyosong Pemilu 2014. Tetapi, bila tidak ada komitmen politik yang mengikat, harapan tersebut bisa jadi hanya mimpi. Dengan demikian, penundaan penetapan data pemilih dari DPS jadi DPT yang semula dilakukan tanggal 21 menjadi tanggal 26 Mei 2012 harus dikawal dengan langkah-langkah nyata dan pasti untuk perbaikan sehingga tekad menjadikan Pemilukada DKI Jakarta sebagai barometer bisa tercapai. Pemerintah pusat dan daerah harus tegas dan konsisten memadukan persepsi basis data pemilih, apakah menggunakan KK atau e-KTP?
KPU/KPUD DKI Jakarta, Kemendagri, DPR, Bawaslu dan Panwaslu Kepala Daerah sangat boleh jadi bersepakat menjadikan momentum penyelenggaraan Pemilukada DKI Jakarta sebagai barometer untuk menyosong Pemilu 2014. Tetapi, bila tidak ada komitmen politik yang mengikat, harapan tersebut bisa jadi hanya mimpi. Dengan demikian, penundaan penetapan data pemilih dari DPS jadi DPT yang semula dilakukan tanggal 21 menjadi tanggal 26 Mei 2012 harus dikawal dengan langkah-langkah nyata dan pasti untuk perbaikan sehingga tekad menjadikan Pemilukada DKI Jakarta sebagai barometer bisa tercapai. Pemerintah pusat dan daerah harus tegas dan konsisten memadukan persepsi basis data pemilih, apakah menggunakan KK atau e-KTP?
Masa penundaan tahapan penetapan DPT hendaknya dimanfaatkan oleh KPU pusat
seefektif mungkin dengan menyupervisi KPUD agar lebih akurat dalam mengelola
data pemilih. Verifikasi data pemilih harus disertai validasi yang terukur
sehingga tingkat keakuratan dan keotentikan data pemilih bisa
dipertanggungjawabkan secara yuridis. Proses verifikasi harus sampai ke tingkat
kelurahan sehingga kevalidan data bisa ditemukan.
Verifikasi dan validasi data pemilih harus disertai ketegasan para pemangku
kepentingan agar Pemilukada DKI berjalan sesuai jadwal. Tetapi, apabila
penyelenggaraan ditunda karena eskalasi politik dan pengelolaan pemilukada yang
tidak optimal, bisa muncul krisis kepercayaan pada penyelenggara pemilu. Penundaan
akan berekses luas pada ketidakpercayaan KPU untuk menyelenggarakan Pemilu
2014.
Catatan Arsip:
Dimuat di Koran Jakarta, tanggal, 24 Mei 2012.