Selasa, 31 Mei 2016

Aktor Pilkada

Kinerja Aktor Pilkada DKI 2012

Oleh : Rahman Yasin
(“Tenaga Ahli DKPP RI”)



Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi DKI Jakarta pada 11 Juli 2012 terus dihantui ketidakpastian masyarakat. Persoalan yang mendera proses penyelenggaraan Pemilukada DKI Jakarta pun sesungguhnya sangat klasik, yakni perdebatan seputar praktik politik uang yang dilakukan pasangan calon tertentu hingga kampanye hitam.
Masyarakat selalu meneriakkan ketidakterbukaan KPU/KPUD dalam menjalankan tugas dan fungsi. Pemilukada DKI Jakarta merupakan start awal penataan dan sekaligus persiapan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2014 mendatang. Artinya, tingkat persiapan penyelenggaraan pemilu tahun 2014 sangat ditentukan keberhasilan penyelenggaraan Pemilukada DKI tahun 2012.
Maklum, Jakarta adalah ibu kota negara yang memiliki masalah yang begitu kompleks karena masyarakat DKI boleh jadi merupakan personifikasi dari stratifikasi sosial budaya bangsa keseluruhan. Kekacauan data penduduk warga Jakarta tidak lepas dari keteledoran pengelolaan pemerintah pusat dan daerah yang tidak menjalankan perundang-undangan kependudukan secara cermat.
Tidak bisa dielakkan bahwa realitas politik kekinian terus menunjukkan kepanikan. Isu korupsi dalam penyelenggaraan Pemilukada DKI Jakarta terus menguat sehingga beberapa elemen masyarakat, termasuk partai pengusung kandidat gubernur dan wakil, mendesak KPUD DKI menunda proses pemilihan. Bahkan, ada yang lebih ekstrem minta agar Pemilukada dibatalkan. Partai Golkar, PPP, PDS, sebagai pengusung pasangan Alex Noerdin dan Nono Sampono, mengancam undur dari perhelatan karena menemukan data pemilih fiktif.
Dalam banyak pemilukada, kerap muncul ketidakberesan KPU/KPUD mengelola data pemilih. Ini bisa menjadi sebuah pelanggaran pada pemutakhiran data pemilih, yakni dari daftar pemilih sementara (DPS) menjadi daftar pemilih tetap (DPT) sebagai data final jumlah pemilih. Pelanggaran Pemilukada di berbagai daerah umumnya dilakukan pasangan petahana karena memiliki kekuasaan sehingga memberi peluang "bermain".

Ketidakpastian
Tampaknya, kesemerawutan penyelenggaraan Pemilukada DKI lebih disebabkan ketidakpastian komunikasi politik antar-stakeholders penyelenggara pemilu, yakni KPUD DKI Jakarta dan pemerintah. Kekacauan DPS seharusnya tidak perlu terjadi bila KPUD menegakkan aturan. Kekacauan ini memicu protes publik, terutama kontestan.
KPUD mengajukan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) ke pemerintah tidak berdasarkan e-KTP. Target e-KTP yang ditentukan pemerintah pusat dan Dinas Kependudukan pun sedikit berbeda sehingga secara otomatis menimbulkan polemik. Kementerian Dalam Negeri menargetkan e-KTP 6,7 juta, sedangkan Dinas Kependudukan menargetkan 6,3 juta. Pada tahap ini jelas berbeda.
Dengan demikian, data pemilih fiktif Pemilukada DKI sangat boleh jadi muncul karena ketidaksinkronan barometer penentuan jumlah penduduk, termasuk pemetaan penduduk siluman yang paling mudah menciptakan akses untuk menggandakan kartu identitas. Pemerintah menggunakan basis data Kartu Keluarga (KK), sementara Dinas Kependudukan menggunakan e-KTP dan menemukan jumlah pemilih 5,5 juta.
Dalam konteks ini, pemerintah pusat dan Pemprov DKI melalui Dinas Kependudukan DKI, KPUD, Panwaslu Kepala Daerah Provinsi, dan para pemangku kepentingan lain dalam penyelenggaraan pemilu perlu menyatukan visi. Mereka harus berkomitmen menciptakan komunikasi politik yang lebih konstruktif.
Pemerintah perlu mengubah Undang-Undang Kepegawaian untuk mengurangi intervensi pemerintah terhadap penyelenggaraan Pemilukada DKI karena di dalamnya melibatkan birokrasi. Selain itu, perlu koordinasi antarinstitusi guna mengawal perhelatan demokrasi. Tanpa komunikasi politik yang sinergis pusat dan daerah, kekacauan data pemilih yang terekam dalam DPS bisa berlanjut ke tahapan penetapan DPT. Ini tidak boleh terjadi.

Ekses
KPU/KPUD DKI Jakarta, Kemendagri, DPR, Bawaslu dan Panwaslu Kepala Daerah sangat boleh jadi bersepakat menjadikan momentum penyelenggaraan Pemilukada DKI Jakarta sebagai barometer untuk menyosong Pemilu 2014. Tetapi, bila tidak ada komitmen politik yang mengikat, harapan tersebut bisa jadi hanya mimpi. Dengan demikian, penundaan penetapan data pemilih dari DPS jadi DPT yang semula dilakukan tanggal 21 menjadi tanggal 26 Mei 2012 harus dikawal dengan langkah-langkah nyata dan pasti untuk perbaikan sehingga tekad menjadikan Pemilukada DKI Jakarta sebagai barometer bisa tercapai. Pemerintah pusat dan daerah harus tegas dan konsisten memadukan persepsi basis data pemilih, apakah menggunakan KK atau e-KTP?
Masa penundaan tahapan penetapan DPT hendaknya dimanfaatkan oleh KPU pusat seefektif mungkin dengan menyupervisi KPUD agar lebih akurat dalam mengelola data pemilih. Verifikasi data pemilih harus disertai validasi yang terukur sehingga tingkat keakuratan dan keotentikan data pemilih bisa dipertanggungjawabkan secara yuridis. Proses verifikasi harus sampai ke tingkat kelurahan sehingga kevalidan data bisa ditemukan.
Verifikasi dan validasi data pemilih harus disertai ketegasan para pemangku kepentingan agar Pemilukada DKI berjalan sesuai jadwal. Tetapi, apabila penyelenggaraan ditunda karena eskalasi politik dan pengelolaan pemilukada yang tidak optimal, bisa muncul krisis kepercayaan pada penyelenggara pemilu. Penundaan akan berekses luas pada ketidakpercayaan KPU untuk menyelenggarakan Pemilu 2014.

Catatan Arsip:

Dimuat di Koran Jakarta, tanggal, 24 Mei 2012.

Jumat, 27 Mei 2016

Pemilukada DKI

Pemilukada DKI dan Transformasi Demokrasi Lokal
Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)


Menjelang puncak hari pencoblosan putaran kedua penyelenggaraan pemilihan umum Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah (pemilu kada) Provinsi DKI Jakarta, aroma pertarungan semakin menyengat. Kampanye berselimut sampanye dan black compaign terus dilakukan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Nara) dan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tdjahja Purnama (Ahok) guna meraih simpati warga Jakarta. Kondisi politik yang panas bisa memicu eskalasi yang tegang apabila menghadapi “ronde kedua” ini kedua pasangan calon (paslon) terus lancarkan kampanye hitam.
Aroma pertaruangan tidak sedap mewarnai perang yang puncaknya dijadwalkan tanggal 20/9 mendatang. Kedua paslon dan tim kampanye menebar umpan, budaya silaturahmi dan Halal Hihalal pun dijadikan ajang konsolidasi yang sesungguhnya menjurus kegiatan kampanye. Kendati kampanye secara resmi belum mulai. Mobilisasi dan politisasi isu terhadap suatu peristiwa pun dipersepsikan untuk kepentingan kampanye. Musibah kebakaran rumah, kunjungan ke kawasan kumuh hingga eksploitasi isu SARA dijadikan strategi saling menyudutkan.
Pemasangan iklan di media massa, baliho, poster, spanduk, dan penyebaran stiker termasuk kegiatan debat publik dikemas dalam diskusi publik juga memperlihatkan bagaimana peran serta aktor kekuatan politik menebar aroma perhelatan demokrasi lokal DKI Jakarta. Aktor kekuatan politik nonformal berupa kalangan civil society memainkan peran cukup signifikan. Tokoh masyarakat, ulama, pemuka agama, dan elemen kekuatan politik gencar menebar isu-isu yang intinya menyampaikan pesan politik pada warga agar memilih paslon yang dijagokan.
Artinya kekuatan-kekuatan politik nonformal yang berkembang di masyarakat difungsikan masing-masing paslon untuk berperan aktif. Kekuatan-kekuatan nonformal kelompok dunia usaha, kelompok profesional, kelompok pemimpin agama, kalangan cendikiawan, lembaga-lembaga masyarakat serta yang tak kalah penting kekuatan media massa. Masing-masing kekuatan politik nonformal memainkan peran strategis sesuai kapasitas dan sumber daya politik yang dimiliki. Mereka berfungsi menggerakan simbol-simbol dukungan pada paslon tertentu, sehingga bagaimana pun kekuatan-kekuatan politik nonformal tidak boleh dianggap sepeleh setiap paslon dan tim kampanye.
Dalam konteks lebih umum, rangkaian kegiatan paslon, tim kampanye, elemen masyarakat, dan simpatisan merupakan tindakan yang menjurus kampanye. Potensi pelanggaran kampanye terjadi di sini terutama calon dari incunbent. UU No. 32/2004 Pasal 79 melarang kampanye bagi paslon petahana untuk tidak menggunakan fasilitas negara, jabatan dan wewenang untuk kepentingan politik, dan tidak dibenarkan melibatkan pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI Polri. Kita tahu bahwa mobilisasi PNS menjadi mesin politik merupakan kasus yang lazim dilakukan calon petahana. Padahal, sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi No. 17/PUU-VI/2008 tanggal 17 4 Agustus 2008 terkait tafsir ketidakpastian hukum dalam pengertian masa jabatan kepala daerah lima tahun sebenarnya UU No. 32/2004 mengharuskan pejabat negara yang maju jadi calon kepala daerah agar mengambil cuti diluar tanggungjawab negara sebagai bentuk kemauan untuk berkompetisi secara fair.
Terlepas dari pemahaman normatif tersebut, tetapi bila diamati dengan cermat, dinamika kegiatan kedua paslon dan tim kampanye menjelang digelar “ronde kedua” pemilu kada DKI sebetulnya telah mencuri start kampanye. Pernyataan-pernyataan yang bersinggungan dengan kejadian di kota Jakarta selalu bernuansa kampanye terselubung. Dalam Peraturan KPU No. 14/2010 Pasal 5 ayat (1) dikatakan suatu kegiatan dilakukan pasangan calon dan atau tim kampanye/pelaksana kampanye/petugas kampanye meyakinkan pemilih dalam rangka mendapatkan dukungan sebesar-besarnya, dengan menawarkan visi, misi, dan program pasangan calon secara lisan atau tertulis pada masyarakat. Dan setiap nama-nama dan identitas anggota tim kampanye hendaknya terdaftar di masing-masing tingkatan KPU dengan formulir AB-KWK-KPU. Kenyataan yang terjadi kekuatan politik nonformal lebih aktif kampnye di luar jadwal kampanye.

Implikasi Koalisi
Koalisi dilakukan kontestan pemilu kada dalam rangka menyatukan kekuatan sekaligus mengefektifkan mesin politik internal masing-masing. Tetapi koalisi tidak akan menjamin ke-efektifan mesin politik. Karena koalisi politik yang dibangun seringkali korelasi antara keinginan rakyat dan elit tidak sinkron. Kemauan elit dan rakyat tidak terintegrasi secara psikologis politik dalam penentuan pilihan. Hal ini dapat dipahami, kegagalan partai politik mengagregasi kepentingan masyarakat menjadi masalah tersendiri.
Fakta menunjukkan peran dan fungsi kekuatan politik nonformal jauh lebih dominan, namun tidak kemudian mengabaikan kekuatan politik formal seperti negara (power) dan partai politik. Pengalaman pemilihan umum calon presiden dan calon wakil presiden (pilpres) tahun 2004 merupakan fakta otentik yang bisa menjadi pelajaran. Lompatan demokrasi dari prosedural menjadi substansial membuktikan hasil pilihan rakyat tidak sejalan dengan elit. Koalisi partai Golkar dan PDIP pada pilpres 2004 tidak menghasilkan suatu realitas politik nyata. Tidak ada korelasi berarti dari sebuah koalisi. Hal yang sama pilpres 2009, koalisi partai-partai besar tidak berpengaruh mengubah preferensi masyarakat. Partai Demokrat dengan hasil perolehan kursi legislatif yang signifikan dan dengan mengandalkan gizi pencitraan popularitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memenangkan pilpres 2009 dengan satu putaran. Pertarungan di “ronde kedua” pemilu kada DKI menjadi tidak sehat manakalah segelintir aktor yang berupaya membangunkan spirit politik aliran dan menghidupkan ingatan pemilih berbasis emosionalitas dalam isu SARA. Tetapi romatisme politik aliran ini tidak terdengar merdu dan bahkan berpotensi menimbulkan tindakan destruktif. Isu SARA tidak laku untuk dijual karena pemilu kada provinsi DKI 2007 telah membuktikan di mana pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar yang diusung PKS sebagai partai agama kalah dengan Fauzi Bowo-Prijanto dari gabungan parpol sekuler.
Oleh karena itu, konfigurasi koalisi dan fragmentasi politisasi agama sebagai simbol mesin politik internal akan mengalami ambiguitas karena kenyataan polarisasi parpol agama dan antara kemauan elit dan rakyat tidak seirama dan seritma sehingga dalam tataran implementasi cenderung membuat masyarakat apatis. Perilaku parpol yang arogan, korupsi partai politik, serta ketidakseriusan menciptakan iklim pengkaderan yang sehat masih menjadi catatan rakyat. Pola perekrutan kader parpol yang tidak mengindahkan aspek kompetensi hingga isu-isu ketidakseriusan reformasi kepemimpinan parpol melengkapi degradasi kepercayaan publik.
Dalam konteks itu, pemilu kada provinsi DKI sebagaimana yang kita ketahui, koalisi apapun dilakukan parpol dan elemen masyarakat, tanpa disertai performa komunikasi politik yang santun dan berbasis budaya kebangsaan, maka sangat kecil harapan memenangkan pertarungan. Masyarakat DKI merupakan personifikasi pluralitas budaya Indonesia yang universal karena selalu berinteraksi dengan budaya Internasional sehingga memiliki cara beragam menentukan preferensi. Sebagian warga Jakarta sudah cukup dewasa memahami dinamika dan situasi politik yang berkembang. Calon yang diusung parpol papan atas menengah tidak jadi garansi untuk menang. Karena fakta pemilu 2004 dan 2009 merupakan wujud nyata di mana hasil koalisi bagaikan mimpi di siang hari.
Tidak ada relevansi yang signifikan antara parpol menengah atas dan kumpulan parpol kecil karena ada faktor lain yakni, kekuatan politik nonformal yang bekerja ekstra efektif. Meski ada warga Jakarta yang berpikir promordialis dengan menggunakan isu SARA, namunaspek popularitas, dan moralitas kepemimpinan, serta visi, misi, kompetensi, track record, dan kapabilitas paslon masih menjadi bagian dari  trend masyarakat. Alangkah arifnya, koalisi melibatkan partisipasi warga secara optimal sehingga apa yang jadi agenda pembicaraan elit bisa didengar dan diketahui konstituen parpol. Koalisi dengan membuat pakta integritas bagi para paslon untuk menyatakan sikap konsisten memegang komitmen kepemimpinan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Paslon masing-masing dengan tegas menyatakan siap mundur apabila melanggar pakta integritas yang telah disepakati bersama.
Demi menjaga proses dan integritas hasil pemilu kada provinsi DKI yang lebih bermartabat dan terhormat, serta masa depan pembangunan ibu kota yang lebih kondusif maka alangkah bijaknya semua pihak yang terlibat dalam pertarungan di “ronde kedua” pilkada DKI membangun kesadaran etik untuk bertanding secara fair sehingga integritas proses dan hasil bisa dirasakan semua pihak.

Jakarta, 17 September 2012