Jumat, 27 Mei 2016

Pemilukada DKI

Pemilukada DKI dan Transformasi Demokrasi Lokal
Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)


Menjelang puncak hari pencoblosan putaran kedua penyelenggaraan pemilihan umum Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah (pemilu kada) Provinsi DKI Jakarta, aroma pertarungan semakin menyengat. Kampanye berselimut sampanye dan black compaign terus dilakukan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Nara) dan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tdjahja Purnama (Ahok) guna meraih simpati warga Jakarta. Kondisi politik yang panas bisa memicu eskalasi yang tegang apabila menghadapi “ronde kedua” ini kedua pasangan calon (paslon) terus lancarkan kampanye hitam.
Aroma pertaruangan tidak sedap mewarnai perang yang puncaknya dijadwalkan tanggal 20/9 mendatang. Kedua paslon dan tim kampanye menebar umpan, budaya silaturahmi dan Halal Hihalal pun dijadikan ajang konsolidasi yang sesungguhnya menjurus kegiatan kampanye. Kendati kampanye secara resmi belum mulai. Mobilisasi dan politisasi isu terhadap suatu peristiwa pun dipersepsikan untuk kepentingan kampanye. Musibah kebakaran rumah, kunjungan ke kawasan kumuh hingga eksploitasi isu SARA dijadikan strategi saling menyudutkan.
Pemasangan iklan di media massa, baliho, poster, spanduk, dan penyebaran stiker termasuk kegiatan debat publik dikemas dalam diskusi publik juga memperlihatkan bagaimana peran serta aktor kekuatan politik menebar aroma perhelatan demokrasi lokal DKI Jakarta. Aktor kekuatan politik nonformal berupa kalangan civil society memainkan peran cukup signifikan. Tokoh masyarakat, ulama, pemuka agama, dan elemen kekuatan politik gencar menebar isu-isu yang intinya menyampaikan pesan politik pada warga agar memilih paslon yang dijagokan.
Artinya kekuatan-kekuatan politik nonformal yang berkembang di masyarakat difungsikan masing-masing paslon untuk berperan aktif. Kekuatan-kekuatan nonformal kelompok dunia usaha, kelompok profesional, kelompok pemimpin agama, kalangan cendikiawan, lembaga-lembaga masyarakat serta yang tak kalah penting kekuatan media massa. Masing-masing kekuatan politik nonformal memainkan peran strategis sesuai kapasitas dan sumber daya politik yang dimiliki. Mereka berfungsi menggerakan simbol-simbol dukungan pada paslon tertentu, sehingga bagaimana pun kekuatan-kekuatan politik nonformal tidak boleh dianggap sepeleh setiap paslon dan tim kampanye.
Dalam konteks lebih umum, rangkaian kegiatan paslon, tim kampanye, elemen masyarakat, dan simpatisan merupakan tindakan yang menjurus kampanye. Potensi pelanggaran kampanye terjadi di sini terutama calon dari incunbent. UU No. 32/2004 Pasal 79 melarang kampanye bagi paslon petahana untuk tidak menggunakan fasilitas negara, jabatan dan wewenang untuk kepentingan politik, dan tidak dibenarkan melibatkan pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI Polri. Kita tahu bahwa mobilisasi PNS menjadi mesin politik merupakan kasus yang lazim dilakukan calon petahana. Padahal, sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi No. 17/PUU-VI/2008 tanggal 17 4 Agustus 2008 terkait tafsir ketidakpastian hukum dalam pengertian masa jabatan kepala daerah lima tahun sebenarnya UU No. 32/2004 mengharuskan pejabat negara yang maju jadi calon kepala daerah agar mengambil cuti diluar tanggungjawab negara sebagai bentuk kemauan untuk berkompetisi secara fair.
Terlepas dari pemahaman normatif tersebut, tetapi bila diamati dengan cermat, dinamika kegiatan kedua paslon dan tim kampanye menjelang digelar “ronde kedua” pemilu kada DKI sebetulnya telah mencuri start kampanye. Pernyataan-pernyataan yang bersinggungan dengan kejadian di kota Jakarta selalu bernuansa kampanye terselubung. Dalam Peraturan KPU No. 14/2010 Pasal 5 ayat (1) dikatakan suatu kegiatan dilakukan pasangan calon dan atau tim kampanye/pelaksana kampanye/petugas kampanye meyakinkan pemilih dalam rangka mendapatkan dukungan sebesar-besarnya, dengan menawarkan visi, misi, dan program pasangan calon secara lisan atau tertulis pada masyarakat. Dan setiap nama-nama dan identitas anggota tim kampanye hendaknya terdaftar di masing-masing tingkatan KPU dengan formulir AB-KWK-KPU. Kenyataan yang terjadi kekuatan politik nonformal lebih aktif kampnye di luar jadwal kampanye.

Implikasi Koalisi
Koalisi dilakukan kontestan pemilu kada dalam rangka menyatukan kekuatan sekaligus mengefektifkan mesin politik internal masing-masing. Tetapi koalisi tidak akan menjamin ke-efektifan mesin politik. Karena koalisi politik yang dibangun seringkali korelasi antara keinginan rakyat dan elit tidak sinkron. Kemauan elit dan rakyat tidak terintegrasi secara psikologis politik dalam penentuan pilihan. Hal ini dapat dipahami, kegagalan partai politik mengagregasi kepentingan masyarakat menjadi masalah tersendiri.
Fakta menunjukkan peran dan fungsi kekuatan politik nonformal jauh lebih dominan, namun tidak kemudian mengabaikan kekuatan politik formal seperti negara (power) dan partai politik. Pengalaman pemilihan umum calon presiden dan calon wakil presiden (pilpres) tahun 2004 merupakan fakta otentik yang bisa menjadi pelajaran. Lompatan demokrasi dari prosedural menjadi substansial membuktikan hasil pilihan rakyat tidak sejalan dengan elit. Koalisi partai Golkar dan PDIP pada pilpres 2004 tidak menghasilkan suatu realitas politik nyata. Tidak ada korelasi berarti dari sebuah koalisi. Hal yang sama pilpres 2009, koalisi partai-partai besar tidak berpengaruh mengubah preferensi masyarakat. Partai Demokrat dengan hasil perolehan kursi legislatif yang signifikan dan dengan mengandalkan gizi pencitraan popularitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memenangkan pilpres 2009 dengan satu putaran. Pertarungan di “ronde kedua” pemilu kada DKI menjadi tidak sehat manakalah segelintir aktor yang berupaya membangunkan spirit politik aliran dan menghidupkan ingatan pemilih berbasis emosionalitas dalam isu SARA. Tetapi romatisme politik aliran ini tidak terdengar merdu dan bahkan berpotensi menimbulkan tindakan destruktif. Isu SARA tidak laku untuk dijual karena pemilu kada provinsi DKI 2007 telah membuktikan di mana pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar yang diusung PKS sebagai partai agama kalah dengan Fauzi Bowo-Prijanto dari gabungan parpol sekuler.
Oleh karena itu, konfigurasi koalisi dan fragmentasi politisasi agama sebagai simbol mesin politik internal akan mengalami ambiguitas karena kenyataan polarisasi parpol agama dan antara kemauan elit dan rakyat tidak seirama dan seritma sehingga dalam tataran implementasi cenderung membuat masyarakat apatis. Perilaku parpol yang arogan, korupsi partai politik, serta ketidakseriusan menciptakan iklim pengkaderan yang sehat masih menjadi catatan rakyat. Pola perekrutan kader parpol yang tidak mengindahkan aspek kompetensi hingga isu-isu ketidakseriusan reformasi kepemimpinan parpol melengkapi degradasi kepercayaan publik.
Dalam konteks itu, pemilu kada provinsi DKI sebagaimana yang kita ketahui, koalisi apapun dilakukan parpol dan elemen masyarakat, tanpa disertai performa komunikasi politik yang santun dan berbasis budaya kebangsaan, maka sangat kecil harapan memenangkan pertarungan. Masyarakat DKI merupakan personifikasi pluralitas budaya Indonesia yang universal karena selalu berinteraksi dengan budaya Internasional sehingga memiliki cara beragam menentukan preferensi. Sebagian warga Jakarta sudah cukup dewasa memahami dinamika dan situasi politik yang berkembang. Calon yang diusung parpol papan atas menengah tidak jadi garansi untuk menang. Karena fakta pemilu 2004 dan 2009 merupakan wujud nyata di mana hasil koalisi bagaikan mimpi di siang hari.
Tidak ada relevansi yang signifikan antara parpol menengah atas dan kumpulan parpol kecil karena ada faktor lain yakni, kekuatan politik nonformal yang bekerja ekstra efektif. Meski ada warga Jakarta yang berpikir promordialis dengan menggunakan isu SARA, namunaspek popularitas, dan moralitas kepemimpinan, serta visi, misi, kompetensi, track record, dan kapabilitas paslon masih menjadi bagian dari  trend masyarakat. Alangkah arifnya, koalisi melibatkan partisipasi warga secara optimal sehingga apa yang jadi agenda pembicaraan elit bisa didengar dan diketahui konstituen parpol. Koalisi dengan membuat pakta integritas bagi para paslon untuk menyatakan sikap konsisten memegang komitmen kepemimpinan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Paslon masing-masing dengan tegas menyatakan siap mundur apabila melanggar pakta integritas yang telah disepakati bersama.
Demi menjaga proses dan integritas hasil pemilu kada provinsi DKI yang lebih bermartabat dan terhormat, serta masa depan pembangunan ibu kota yang lebih kondusif maka alangkah bijaknya semua pihak yang terlibat dalam pertarungan di “ronde kedua” pilkada DKI membangun kesadaran etik untuk bertanding secara fair sehingga integritas proses dan hasil bisa dirasakan semua pihak.

Jakarta, 17 September 2012  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar