Senin, 08 Agustus 2016

Ideologi Negara Hukum

IDEOLOGI HUKUM DALAM NEGARA MODERN
Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli Di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)


A.  Ideologi Hukum Di Era Modern

Di era modern ini hukum mengalami pergeseran nilai yang tajam sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Banyak nilai-nilai keadilan dalam hukum direkayasa oleh kelompok kekuatan yang memaksakan kehendak dengan tujuan politik termasuk kepentingan ideologi. Bila ditelaah asal mula munculnya ide negara hukum sebenarnya telah ada sejak zaman para filsuf Yunani Kuno. Gagasan pembentukan negara berdasarkan hukum digagas para filsuf seperti Plato dan Aristoteles. Konsep negara hukum seiring berkembangnya perdaban umat manusia terus mengalami pergerakan evolusi pemikiran. Dalam perkembangan kesejarahan konsep negara hukum mulai berkembang menjadi beberapa ide penting yang mewarnai gagasan para filsuf.
Diantara ide yang muncul mengenai negara hukum adalah yang mengarah pada negara hukum menurut agama atau disebut nomokrasi Islam. Selanjutnya dikenal negara hukum yang menekankan pada spirit konsep Eropa Kontinental dan konsep Anglo Saxon, dan konsep sociality legality, serta dalam konteks Indonesia disebut sebagai konsep Pancasila. Pancasila menjadi sumber utama dalam hukum negara.
Pancasila adalah ideologi bangsa yang sifatnya terbuka tentu menjadi bagian dari paradigma politik hukum dalam kehidupan bernegara. Dalam kaitannya dengan konsep ideologi kehidupan bernegara, Indonesia memilih Pancasila sebagai landasan filosofis hukum sehingga dalam beberapa kajian ilmiah selain disebut sebagai ideologi bangsa juga menjadi paradigma dalam bernegara.
Reymond William dalam Eriyanto mengemukakan, dengan mengambil tradisi pemikiran Marxis dengan menulis bahwa ideologi memiliki tiga pengertian umum. Pengertian ideologi ditulisnya antara lain: ideologi mengandung faham semacam keyakinan dan menjadi khas dari suatu kelompok kelas tertentu. Pengertian ideologi juga memuat berupa sistem keyakinan eksklusifgagasan-gagasan atau kesadaran semu yang dikontraskan dengan pengetahuan ilmiah, proses umum produksi makna dan gagasan, atau dalam bahasa Volosinov, dimensi pengalaman sosial di mana makna dan nilai diproduksi, hal ideologis mengacu pada proses produksi makna melalui tanda. Sedangkan Gregory Bossman mengatakan, ideologi merupakan kumpulan ide yang merupakan suatu refleksi atas kondisi sosial tertentu serta adanya suatu cita-cita sosial yang hendak diperjuangkan atau dipertahankan.[1]
Ideologi negara mulai banyak digunakan bersamaan pada perkembangan pemikiran Karl Marx pada abad ke-18. Pemikiran Karl Marx dikembangkan oleh Engels dan Lenin kemudian disebut sebagai ideologi sosialisme-komunisme. Sosialisme lebih pada sistem ekonomi yang mengutamakan kolektivitas dengan titik ekstrem menghapuskan hak milik pribadi, sedangkan komunisme menunjuk pada sistem politik yang juga mengutamakan hak-hak komunal, bahkan hak-hak sipil dan politik individu. Ideologi tersebut berhadapan dengan ideologi liberalisme-kapitalis yang menekankan pada individualisme baik dari sisi politik maupun ekonomi.[2]
Pemahaman ini menghantarkan pada pertanyaan what is a constitution yng secara sederhana dikemukakan oleh Brian Thompson dan dapat dijawab bahwa “... a constitution is a document which contains the rules for the operation of an organization”. Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya termasuk organisasi sosial politik.[3] Maka disinilah pentingnya Pancasila menjadi asas ideologi politik organisasi sosial politik yang resmi diakui negara. Pancasila menjadi falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platform atau kalimatun sawah di antara sesama warga masyarakat yang dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka.[4]
Dalam pengertian yang kontekstual dan implementatif, Jorge Larrain menulis, ideologi memiliki arti positif dan negatif. Ideologi dalam pengertian positif berkaitan dengan sistem ide, nilai, pengetahuan yang berhubungan dengan kepentingan golongan tertentu, dengan variasi kognisi tertentu. Gramsci mendefenisikan ideologi sebagai ekspresi suprastruktur realitas yang kontradiktif, sedangkan suprastruktur menurutnya merupakan realitas objektif tempat manusia menemukan kesadaran, posisi, dan tujuan hidup, sebab merupakan refleksi keseluruhan hubungan produksi sosial. Dalam arti negatif ideologi merupakan pengetahuan yang diputar balik. Sebagai ciri khas dari pengertian ideologi ini ialah apa yang disebut Marx sebagai kemampuannya menyembunyikan kontradiksi objektif dan memuat kepentingan golongan (dominan).[5]
Perbincangan seputar ideologi umumnya dikaitkan dengan persoalan-persoalan politik. Politik menempati posisi strategis dalam diskurus ilmiah mengenai ideologi hukum itu sendiri. Hal ini dapat dipahami mengingat hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses politik atau sederhananya hukum merupakan produk politik. Maka dalam membangun paradigma politik hukum seharusnya ditautkan dengan nilai-nilai Pancasila yang notabene ditafsirkan sebagai dasar dan falsafah kehidupan bernegara.
Karl Max menggunakan tipe ideologi untuk merujuk pada sistem-sistem aturan ide-ide untuk menghindari kontradiksi-kontradiksi yang berada di pusat sistem kapitalis. Pada kebanyakan kasus, mereka melakukan hal ini dengan salah satu dari tiga cara berikut: (1) mereka menghadirkan suatu sistem ide-sistem agama, filsafat, literatur, hukum yang menjadikan kontradiksi-kontradiksi tampak koheren; (2) mereka menjelaskan pengalaman-pengalaman yang mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi, biasanya sebagai problem-problem personal atau keanehan-keanehan individual; atau (3) mereka menghadirkan kontradiksi kapitalis sebagai yang benar-benar menjadi suatu kontradiksi pada hakikat manusia dan oleh karena itu satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh perubahan sosial.[6]
Ideologi-ideologi yang berkembang selalu berakar dalam kondisi-kondisi kehidupan materiil, akan tetapi hal ini tidak membawa serta adanya perhatian universal atau pertalian unilateral antara ‘landasan sebenarnya’ dari masyarakatatau hubungan produksidan struktur-struktur super politik dan hukum.[7]
Ideologi hukum muncul dalam perkembangan masyarakat modern salah satunya melalui politik negara. Semua kekuatan politik masyarakat terkonsentrasi pada peran dan dominasi paradigma politik hukum negara dengan memasukan ideologi yang dipercaya menjadi legitimasi sistem formal. Maka dalam kerangka ini negara selalu menjadi ajang kompetisi politik ideologi dalam rangka transformasi nilai-nilai yang menjadi konsep perjuangan lapisan masyarakat tertentu.
Secara umum, terdapat dua tipe ideologi yang selalu dijadikan sebagai landasan ideologi suatu negara. Kedua tipe ideologi yang selalu menjadi dasar sebuah ideologi setiap negara yakni terdiri dari tipe pertama berupa ideologi yang sifatnya tertutup. Dalam ideologi tertutup diketahui ajaran atau perspektif dalam dunia filsafat yakni menentukan tujuan dan norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya selalu bersifat dogmatis dan mengesankan apriori sehingga tidak dapat diubah atau dalam istilah modern ideologi klasik tersebut sangat sulit dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial.[8]
Maka dalam praktik politik hukum, ideologi tertutup kerapkali tidak mengenal istilah tolerir. Ideologi tertutup bersifat statis dan tidak bergerak dinamis sehingga dalam praktik nyata selalu menghasilkan perilaku dan tindakan pemerintahan yang cenderung absolut dan tidak mau mentolerir pandangan-pandangan moral dan nilai-nilai lain yang dianggap relevan yang perkembangan zaman.
Untuk mengetahui karakter dari suatu ideologi yang sifatnya tertutup bisa dilihat dari bagaimana suatu negara yang menganut sistem ajaran ideologi hukum yang tertutup itu dalam mempraktekkan sistem kerja hukum. Ideologi hukum tertutup ini dalam implementasi sistem penegakan hukum tidak hanya mendeterminasi kebenaran nilai-nilai dan hal-hal yang bersifat prinsip-prinsip dasarnya semata namun ia sangat menentukan hal-hal yang bersifat kongret operasional. Penganut sistem ideologi tertutup umumnya tidak mengakui hak-hak setiap orang untuk memiliki keyakinan dan pertimbangan-pertimbangan sendiri terhadap suatu kebenaran. Ideologi ini lebih menuntut ketaataan formal-legalistik dan tanpa reserve.
Yang menjadi ciri khas dari ideologi tertutup ialah tidak bersumber dari masyarakat, melainkan lahir dari pikiran-pikiran elit yang kemudian dengan menggunakan mekanisme kerja negara secara formal memaksakan bahkan mempropagandakannya kepada masyarakat untuk mematuhinya. Ideologi ini dipaksakan oleh segelintir elit yang memegang dan mengendalikan sistem kekuasaan dengan tujuan masyarakat taat dan ikut mendukung langgengnya kekuasaan mereka. Dengan demikian, secara prinsip nilai-nilai kemanusiaan, sesungguhnya tidak ada demokrasi dan keadilan hukum dalam negara apabila sistem ideologi hukum tertutup itu dijalankan. Yang ada adalah pemerintahan otoriter dan dijalankan secara totaliter.
Sedangkan tipe ideologi kedua adalah ideologi terbuka. Dalam sistem ideologi terbuka dikenal istilah adanya suatu orientasi dasar yakni berupa nilai-nilai keadilan. Dalam perspektif ideologi terbuka dimaknai sebagai suatu pemikiran yang memuat tujuan-tujuan dan norma-norma sosial politik yang selalu bersifat dinamis-konstruktif. Dalam konsep ideologi  terbuka ini mengandung ajaran yang mengutamakan dialektika pemikiran sehingga selalu memberikan ruang perdebatan yang terus dinamis dalam rangka mencari argumentasi ilmiah guna diadaptasikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan dengan sikap curiga atau apriori namun gagasan cita-cita pembangunan selalu dimulai dari adanya suatu konsensus politik yang itu dilakukan secara demokratis. Dari perspektif ini maka dapat dipahami bahwa ideologi terbuka adalah suatu ajaran nilai dan prinsip moral politik yang bersifat inklusif.[9]
Ideologi terbuka memuat ajaran-ajaran nilai yang otentik sehingga  selalu bersifat rasional karena tidak membuat ruang yang serba terbatas tetapi selalu menyediakan ruang perdebatan ilmiah yang wajar. Artinya ideologi terbuka lebih bersifat demokratis, dan dengan demikian, untuk membedakan ideologi tertutup dan ideologi terbuka sangat gampang yakni ideologi tertutup bersifat otoriter dan totaliter, sementara ideologi terbuka bersifat inklusif. Ideologi terbuka sifatnya dinamis sehingga dalam masyarakat modern dan serba terbuka sangat sulit digunakan oleh sekelompok orang atau sekumpulan elit politik untuk menjadikannya sebagai instrumen legitimasi kekuasaan. Ideologi terbuka umumnya hanya bisa berkembang dengan baik di negara-negara demokrasi modern. Sedangkan ideologi tertutup umumnya berkembang di negara-negara terbelakang dan masih menggunakan sistem pemerintahan aristokrasi, otokrasi, oligarki, meritokrasi, plutokrasi, kleptokrasi, feodalisme, bahkan termasuk di negara-negara yang masih menganut sistem pemerintahan timokrasi.

B.  Ideologi Fungsional dan Struktural

Dari konteks kajian politik, bila kita singgung mengenai ideologi maka setidaknya ideologi itu dipahami dari dua sudut pandang. Pertama, ideologi dipahami dari sisi fungsional. Memiliki semacam seperangkat norma dan aturan nilai yang terformulasi melalui konsep kebaikan yang dianggap paling baik menurut suatu entitas, golongan, kelompok, dan organisasi. Ideologi fungsional ini dalam praktik sehari-hari aktif bekerja dengan memunculkan dua paradigma fungsional yakni paradigma berbasis pada doktrin dan teknis pragmatis. Konsep ideologi fungsional yang berprototipe baik bersifat doktriner maupun pragmatis ini selalu memunculkan gerakan-gerakan radikal.
Gerakan radikal selalu mengedepankan prinsip-prinsip transedental dan eksklusif sehingga dalam perkembangan masyarakat modern dan dihadapkan dengan demokratisasi selalu menimbulkan ketidakseimbangan bahkan berpotensi melahirkan konflik ideologi lain. Karena gerakan pragmatis yang disokong oleh pemikiran doktriner senantiasa melahirkan kekisruhan sosial dalam tatanan masyarakat. Sementara pemahaman mengenai ideologi dari sudut pandang yang kedua, ideologi struktural. Ideologi struktural yakni mengandung pengertian bahwa adanya sekumpulan masyarakat, kelompok, golongan, organisasi, dan individu memiliki tradisi pemikiran yang bersifat teknis dan menjadikan sistem pembenaran sebagai suatu mekanisme pemahaman atas suatu peristiwa. Dalam konsep kehidupan bernegara ideologi sejenis ini selalu muncul apabila timbul kebijakan-kebijakan negara yang menyimpang dari nilai-nilai kebaikan kemudian memunculkan aksi dan gerakan lewat struktur sosial dan mobilisasi massa dan konsolidasi struktur gagasan lewat konsep kehidupan sosial yang dianggap paling benar.
Pemahaman sebagaimana dikemukakan diatas  merefleksikan bahwa perspektif seperti ini merupakan paradigma tentang ideologi hukum yang bersifat formalistik sehingga dalam implementasinya cenderung bias, karena melihat hukum sebagai sesuatu yang bersifat universal. Oleh karena hukum dianggap sebagai sesuatu yang universal maka dalam praktik selalu dijadikan sebagai sumber legitimasi moral negara dalam mengatasi berbagai problema kebangsaan dan kemasyarakatan yang ada. Karl Renner, seorang pemikir Austria yang pernah menjadi presiden, berpendapat bahwa norma-norma hukum dan proses ekonomi sebagai dua hal yang saling mengandaikan dan menundukkan satu sama lain.[10]
Maka apa yang dikatakan Marx bahwa ideologi memiliki peran aktif untuk membentuk struktur sosial tetapi pemikiran ini tidak lepas dari peran ideologi dalam upaya manusia memahami situasi di sekitarnya. Ideologi memberikan struktur pemahaman terhadap manusia mengenai dunia dan eksistensi manusia sebagai bagian dari dunia. Dengan demikian, ideologi dapat diperumpamakan sebagai peta yang memandu pemikiran dan pemahaman manusia tentang sesuatu dalam memahami perkembangan dunia berdasarkan dimensi sosio-historis yang ada.[11]
Dengan demikian, secara kontekstual diskursus ideologi hukum sebenarnya menjadi bagian dari kajian kritis normatif atas efek dari kepentingan-kepentingan masyarakat dalam struktur kelas yang ada. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa ideologi hukum yang menjadi pedoman formal suatu negara selalu dihasilkan dari sebuah proses yang sifatnya hegemonik. Hegemoni kekuatan dan kekuasaan sosial politik yang ada. Dalam proses pembentukan hukum tersebut baik langsung maupun tidak langsung melibatkan kekuasaan sosial yang tentu selalu lebih dominan atau hegemonik.
Sebuah praktik ideologi hukum yang memancarkan cahaya keadilan dan sekaligus mencerminkan keberadaban, nilai-nilai persatuan dan kesatuan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kebijaksanaan, permusyawaratan, dan keadilan sosial. Ideologi hukum yang memancarkan nilai-nilai teological justice, legal justice, social justice, dan moral justice.[12]
Keadilan hukum yang mengutamakan kepentingan rakyat kecil namun bukan berarti mengenyampingkan perlakuan adil pada warga masyarakat dalam level tertentu. Artinya, perspektif hukum di mata semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama dimuka hukum merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan negara. Hukum yang merefleksikan kebenaran, kejujuran, dan menempatkan nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana dalam falsafah Pancasila yang juga merupakan landasan ideologi politik dalam bernegara.
Dalam pengertian praktis William Green mengatakan bahwa:

Labor is of the opinion the appointment and confirmation of Jugde Parker means that another injuction judge will become a member of the Supreme Court of the United States. As a result, the power of reaction will be strengthened, and the board-minded, human, progressive influence so courargeously and patriotically exercised by the minority members of the highest judicial tribunal of the land will be weakened. There is the kernel in the nut.[13]

Dalam konteks tersebut, hukum hendaknya ditegakan oleh negara untuk memenuhi rasa keadilan para pencari keadilan. Supremasi keadilan yang senantiasa memihak pada nilai-nilai kebenaran dan kejujuran serta menjadikannya sebagai kekuatan politik hukum dalam bernegara.
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat merupakan negara modern yang mampu menjadikan konstitusi negaranya sebagai basis memperkuat persatuan dan kesatuan internal dalam bernegara. Konstitusi Amerika Serikat secara filosofis mengandung doktrin politik ideologis yang mana semua warga negara Amerika Serikat tunduk dan patuh pada konstitusi dan aktif pula memberikan dukungan pada setiap rezim yang mengendalikan kekuasaan pemerintahan.
Peradilan di Amerika Serikat betul-betul independen. Netralitas peradilan di Amerika Serikat menjadi jaminan bagi kebersamaan warga negara melihat sikap dan perilaku para hakim, dan integritas elit mengelola mandat rakyat. Demokrasi berjalan diaras pemahaman konstitusional Amerika Serikat sehingga sulit tercipta ruang intervensi, intimidasi sekalipun terhadap para hakim. Kalau pun ada intervensi dan intimidasi elit maupun politisi di senat Amerika Serikat misalnya, namun tidak seperti di Indonesia.
Hukum dan demokrasi berjalan sesuai kapasitas dan heterogenitas warga Amerika Serikat. Sebagai negara adidaya dan demokratis di dunia, negara Paman Sam ini mengelola urusan politik dan hukum dalam koridor konstitusional dengan tanpa membenturkannya dengan demokratisasi.

The logic of the Court was simple: Decisions of the Supreme Court of the United States cannot be thwarted by the actions of state officials. Yet, as clear as the issue was to the Court, it was just as clear how thin might be the political ice on which it was skating. The Court could not risk a divided opinion, nor could it chance going so far that it would further fuel the political confragtion that could engulf the rest of the Southern states, where massive resistance to Brown was continuing to grow.

Dalam konstitusi Amerika Serikat pada Article VI digambarkan, bahwa konstitusional ditegakkan hendaknya diarahkan pada supremasi hukum dengan mengutamakan keadilan. Dalam Artikel VI ini sebagaimana dikutip oleh Edwar dalam bukunya dikatakan sebagai berikut :

Article V of the Constitution makes the Constitution the “supreme Law of the Land.” In 1803, Cheif justice John Marshall, speaking for a unanimous Court, refrring to the Constitution as “the fundamental and paramount law of the nation,” declared in the notable case of Marbury v. Madison ... that “It is emphatically the province and duty of the judicial departement to say what the law is.” This decision declared the basic principle that the federal judiciary is supreme in the exposition of the Constitution, and that principle has ever since been respected by this Court and the Country as a permanent and indispensable feature of our constitutional system. It follows that the interpretation of the Fourteenth Amendment enunciated by this Court in the Brown case is the supreme law of the land, and article VI of the Constitution makes it of binding effect on the States “any Thing in the Constitution or Laws of any State to the Contrary notwithstanding.[14]

Agenda mendesak dilakukan pemerintah Indonesia sekarang adalah penerapan sistem hukum dengan nilai norma yang bersifat mengatur, memaksa, dan mengikat yang menjelma dalam berbagai bentuk penampakan antara lain: dalam bentuk peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, hukum adat, hukum agama, dan lain-lain. Indonesia sebagai negara hukum, kekuasaan kehakiman ditandai sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hukum dan keadilan sebagai produksi peradilan mesti merefleksikan nilai-nilai luhur ideologi negara dalam Pancasila dan konstitusi UUD 1945.[15]

C.  Modernisme Sistem Hukum

Hukum pada dasarnya dibentuk untuk menciptakan keadilan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Hukum dibuat dengan tujuan melindungi hak-hak asasi manusia serta menjamin terwujudnya masyarakat bangsa yang berkeadilan. Itulah sebabnya mengapa pembangunan di bidang hukum selalu menjadi perhatian negara-negara modern. Karena hukum sampai abad sekarang masih tetap dianggap sebagai suatu aspek penting yang dijadikan sebagai landasan baik teoritik maupun praktik bernegara.
Perspektif perkembangan pemikiran hukum sebagaimana terjadi dalam tradisi Jerman. Melalui mahkamah yang mampu mengidentifikasi prinsip-prinsip hukum umum, yakni salah satu dari prinsip yang begitu khas mengenai asas proporsionalitas yang diambil dari hukum administratif Jerman, yang mana tindakan-tindakan administratif harus dilakukan secara proporsional terhadap tujuan akhir yang berusaha dicapainya (Verhaltnismassigkeit). Karakter ini telah dibangun secara menyeluruh di dalam hukum Jerman, tetapi kini telah menjadi bagian yang tidak dapat dipungkiri di dalam hukum ME seperti yang tertuang dalam (Pasal 30 dari Perjanjian MEE).[16]
Pemikiran ilmiah dari seseorang mengenai hukum bisa berangkat dari cara berpikir yang abstraksi yang diambil dari pengalaman-pengalaman empiris masyarakat dan dapat juga berasal dari pengalaman dan pendapat ilmiah dari luar kesadaran masyarakat bersangkutan. Pendapat ilmiah dari seseorang tentang hukum ini kemudian dalam perjalanannya dikembangkan atau dimasyarakatkan dan diikuti oleh orang lain, lalu pendpat tersebut menjadi pendapat umum dan selanjutnya pendapat umum ini menjadi bagian dari kesadaran hukum masyarakat bersangkutan maka pendapat ini bisa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian masyarakat mengenai hukum yang harus ditaati sebagai pedoman perilaku bersama. Dalam perspektif ini, kita bisa mengambil suatu contoh kasus seperti dalam perkembangan pemikiran yang melahirkan hukum fiqih dalam mazhab Imam Syafi’i yang sebenarnya adalah bermula dari pendapat hukum seorang ulama, yakni seorang tokoh ilmuan hukum.[17]
Proses pembentukan hukum dan institusi-institusi pembuat hukum yang dikenal dalam ilmu hukum, dengan demikian, proses pembuatan hukum tidak boleh dipahami dalam pengertian yang sempit yakni seakan-akan hanya terkonsentrasi pada proses politik di lingkungan parlemen semata. Hal inilah yang selalu berkembang selama ini. Padahal, pemahaman yang sempit ini tidak menghasilkan suatu pemikiran kritis dan rasional, karena suatu pemikiran politik hukum bisa dibangun melalui suatu metode  ilmiah yakni adanya ide atau gagasan intelektual tentang hukum dari seorang ilmuan tentang hukum yang mampu mempengaruhi pemikiran masyarakat untuk mengembangkannya sebagai landasan politik hukum dalam masyarakat.
Proses pembentukan hukum sangat ditentukan oleh bentuk hukum yang dibuat. Dengan demikian, hukum dapat dilihat sebagai norma aturan yang bersifat tertulis, tetapi juga bersifat tidak tertulis sebagaimana yang dipahami dalam perspektif hukum adat. Bentuk hukum tertulis juga beragam mulai dari tingkatannya yang paling tinggi, yaitu hukum dasar atau biasa disebut dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar), sampai ke tingkatannya yang paling rendah, misalnya, Peraturan Desa. Namun yang perlu menjadi pemahaman ilmiah ialah bahwa semua proses pembentukan hukum tersebut mempunyai mekanisme pembentukannya yang tersendiri dengan melibatkan peran institusi-institusi yang berbeda-beda menurut derajat tingkatannya.[18]
Dalam praktik sehari-hari, struktur hukum modern yang dibentuk oleh negara-negara modern khususnya dalam melakukan perubahan Undang-Undang (Amandemen) yang harus diutamakan adalah bagaimana agar struktur hukum yang dibuat tidak memiliki suatu ketergantungan pada peraturan perundang-undangan modern dengan tujuan agar setiap bidang hukum di departemen-departemen yang ditugasfungsikan untuk menangani persoalan-persoalan hukum tidak saja bisa berjalan secara efisien dan efektif tetapi melainkan bagaimana menekankan sistem peradilan baru yang lebih modern dan terbuka. Karena di era modern sekarang sangat dibutuhkan sistem kerja peradilan hukum yang akuntabel dan ini merupakan bagian dari agenda pembangunan pemerintahan good governance. 
Suatu sistem hukum peradilan modern yang ditujukan untuk bagaimana memberikan pelayanan dan sekaligus sebagai jaminan bahwa pengadilan seyogyanya mampu memfasilitasi berbagai proses penyelesaian perkara yang diharapkan bisa dilakukan dengan cepat[19], dan profesional sehingga bagi para pihak-pihak yang berperkara bisa merasa hak-haknya terakomodasi oleh negara.
Modernisasi struktur hukum di Indonesia sangat tergantung antara lain pada profesional yang menggunakan sistem dan kemauan politik pemerintahan untuk menetapkan prioritas pembangunan hukum. Dengan demikian, upaya untuk pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) di bidang hukum termasuk bagaimana memikirkan kualitas pemahaman dan pengetahuan sistem kerja hukum yang akuntabel, profesional, dan betul-betul proporsional maka perbaikan kualitas profesi hukum merupakan tuntutan yang harus dilaksanakan pemerintah.[20]
Modernisasi struktur hukum hendaknya menyentuh substansi pembentukan sistem hukum yang memuat keseluruhan aspek dan elemen sistem hukum baik bersifat substansi, struktur, sarana dan prasarana hukum untuk membangun kesadaran arif guna menegakkan mekanisme hukum yang betul-betul demokratis. Karena hukum merupakan kesatuan penting dari pranata kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Politik hukum nasional dalam konteks Indonesia dapat dipahami sebagai  kebijakan dasar yang menjadi pedoman menentukan arah maupun bentuk dari substansi hukum nasional sehingga mekanisme pembentukan hukum nasional pun diformulasi berdasarkan dasar-dasar filosofi hukum.
Dalam pembentukan hukum nasional diperlukan pemahaman pentingnya menempatkan tingkatan suatu organisasi karena dalam pemahaman struktur ini merupakan keniscayaan. Maka yang paling utama dalam pertingkatan tata hukum nasional ini yang tidak kalah penting adalah bagaimana usaha untuk mengetahui sumber dasar hukum nasional itu sendiri. Dengan mengetahui sumber dasar hukum nasional, maka cita-cita hukum nasional, politik hukum nasional dan pertingkatan tata hukum nasional, maka hukum dalam kerangka menurut Undang-Undang Dasar 1945 harus dilengkapi dengan mekanisme pengembangan hukum nasional, terutama yang secara spesifik berkaitan langsung dengan dasar-dasar pengembangan hukum nasional.
Dalam pandangan normatif, menurut Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana pendapat Padmo Wahjono, dalam bukunya Indonesia Negara Berdasarkan Hukum, dikatakan, kegiatan pengembangan hukum nasional dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai dasar pengembangan hukum nasional adalah Pancasila. UUD 1945 serta dinamika aspirasi rakyat yang berkembang. Selanjutnya Wahjono membagi beberapa bentuk kegiatan yang dapat dianggap sebagai penunjang kegiatan dalam pengembangan hukum nasional yakni antara lain:
a.   Merumuskan dan mengembangkan politik hukum nasional dan pembidangan tata hukum nasional dalam kegiatan perencanaan hukum;
b.   Menentukan pola-pola mengenai bidang yang harus diatur sesuai dengan suatu skala prioritas; kegiatan ini lazimnya disebut dengan istilah program legislatif;
c.   Merumuskan tata cara pembentukan, pembaharuan maupun pengembangan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan ketatanegaraan yang berlaku, kegiatan ini lazimnya disebut dengan istilah proses legislatif;
d.   Penggunaan yurisprudensi untuk pengembangan hukum;
e.   Menggunakan pranata pengujian peraturan perundangan (toesting);
f.    Menentukan pemilihan bentuk yang serasi dan memadai untuk mewadahi suatu materi pengaturan ke dalam bentuk dan jenis hukum; kegiatan ini disebut dengan istilah teknik perundang-undangan;
g.   Mempertahankan dan menghormati perkembangan serta pertumbuhan hukum adat, sejauh tidak bertentangan dengan cita-cita hukum;
h.   Mengkaji asas dalam ilmu hukum dan pranata-pranata hukum dari bidang ilmu hukum, dengan prinsip-prinsip dasar bernegara yang dianut oleh UUD 1945;
i.    Menggunakan berbagai bentuk kegiatan ilmiah dalam menunjang pengembangan hukum, seperti pertemuan ilmiah, penelitian ilmiah, dan penulisan ilmiah;
j.    Menangani permasalahan dokumentasi, informasi dan penyuluhan hukum;

Keseluruhan dasar pengembangan ini harus dijelaskan kepada “rakyat” agar dapat dimanfaatkan untuk menyalurkan aspirasi hukumnya. Informasi kepada masyarakat luas dapat dilakukan dengan memberikan bentuk formal kepada kegiatan-kegiatan tersebut atau secara nonformal dengan melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan.[21]
Dalam perspektif pengembangan dasar-dasar hukum nasional tersebut maka secara teoritik, kegiatan-kegiatan politik hukum secara formal memerlukan peran aktif aktor politik baik secara legal kelembagaan maupun diluar organisasi formal yang memiliki legitimasi negara dalam mengembangkan ide-ide politik hukum di tengah kehidupan masyarakat, guna membangun kesamaan pemahaman mengenai konsep dasar pembentukan hukum. Berdasarkan pengalaman-pengalaman kehidupan sosial politik serta pendekatan-pendekatan historis empirik dari kelompok masyarakat bersangkutan kemudian melahirkan suatu kesepakatan untuk menjadikan konsep dasar hukum sesuai dengan tradisi masyarakat tersebut.
Meski demikian, faktor intelektualitas tetap menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan dari proses pembentukan hukum nasional. Terbangunnya suatu sistem hukum nasional dalam tradisi masyarakat pun tidak lepas dari dimensi kekuatan pemikiran ilmiah tentang hukum dari kalangan cendikiawan dan akademisi. Tidak bisa dianggap sepele bahwa faktor intelektual keilmuan memiliki peran yang signifikan dalam membangun kesadaran masyarakat, untuk menjadi pemikiran mereka sebagai bagian dari proses pembentukan hukum nasional.
Modernisme sistem hukum pada era modern sekarang merupakan salah satu ide yang mencerminkan adanya gejala sosial yang menuntut perubahan paradigma dalam berbagai sistem kehidupan, bernegara. Indonesia sebagai negara modern dalam menghadapi tantangan & hambatan, serta menguatnya kekacauan sistem hukum dalam praktik bernegara hendaknya menjadikan paradigma pembaruan dalam sistem hukum agar modernisasi politik sebagai konsep dan strategi pembangunan yang lebih responsif.
Sebagai masyarakat yang hidup dan berkembang bahkan terus dihadapkan dengan tumbuhnya industrialisasi yang modern serta kompleksitas kehidupan sosial dengan diferensiasi yang kuat, maka pembaruan sistem hukum sangat perlu untuk dilakukan guna menjawab tantangan-tangan global. Tantangan dan hambatan global dalam era modern jelas tidak hanya menuntut negara-negara maju dan berkembang ikut menyesuaikan kebutuhan negara-negara modern tetapi gerakan masyarakat industrial dalam upaya melakukan pembaruan sistem hukum yang lebih modern adalah bagian dari konsekuensi politik hukum global. Jika bangsa Indonesia yang merupakan salah satu penduduk terbesar di dunia masuk dalam kategori negara-negara di dunia dan sekaligus sebagai negara yang dianggap memiliki kemampuan mengembangkan demokrasi modern hendaknya harus bisa menyesuaikan diri dengan negara-negara maju dan negara-negara yang tengah berkembang lainnya.
Sebagai salah satu ciri masyarakat modern dan menjadi negara modern hendaknya mencerminkan diri sebagai negara yang memiliki  sistem hukum yang  bagus, dan  menjadi bagian dari perhatian negara-negara lain di dunia. Masyarakat industri, modernisme sebagai wujud artikulasi diferensiasi. Diferensiasi dalam perspektif organisasi seperti negara. Hal ini penting menjadi pemahaman bersama karena negara sebagai infrastruktur sosial telah berkembang menjadi sebuah organisasi yang modern. Maka tugas penting negara adalah bagaimana memastikan profesionalisme kerja dalam organisasi secara komprehensif termasuk membuat regulasi mengenai birokrasi.
Sistem kerja birokrasi yang modern dengan sistem hukum dalam prosedur dan mekanisme kerja struktur semua institusi penegak hukum pun bisa dipastikan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Dalam kaitan ini, birokrasi sebagai bagian esensial dalam praktik hukum harus bena-benar diarahkan untuk memberikan pelayanan masyarakat yang responsif. Hal ini karena hampir di semua sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara birokrasi pemerintahan telah menjadi kesatuan organisasi.

D.  Menata Administrasi Negara Modern

Dalam sejarah perkembangan kehidupan sosial, negara-negara modern penganut demokrasi menjadikan birokrasi sebagai ciri khas membentuk sistem bernegara yang kuat. Max Weber mempunyai perhatian besar terhadap konsep birokrasi. Weber mendefenisikan birokrasi sebagai bentuk pengambilan keputusan secara rasional, hubungan-hubungan sosial yang tidak berdasarkan perorangan, tugas-tugas yang dijadikan rutin dan sentralisasi kekuasaan. Dalam bentuk ini tipe tersebut dapat di implementasikan untuk segala macam organisasi. Dari kerangka paradigma ini jelaslah bahwa Weber bermaksud membicarakan organisasi negara dan dalam defenisinya dikemukakannya ciri-ciri birokrasi sebagai berikut:
  1. Dalam birokrasi itu hubungan antara penguasa yang diangkat menurut peraturan hukum dan pegawai bawahannya diatur, dengan ketentuan-ketentuan tertulis mengenai tugas dan kewajiban, dan bidang-bidang kekuasaan resmi dari jabatan yang bersangkutan;
  2. Selanjutnya ada sentralisasi jabatan-jabatan yang disusun secara hirarkhi;
  3. Pengangkatan dan kenaikan tingkat didasarkan atas persetujuan kontraktual;
  4. Pengangkatan didasarkan atas kecakapan-kecakapan teknik tertentu yang diperoleh karena pendidikan atau pengalaman;
  5. Gaji diberikan atas dasar peraturan umum yang telah ditetapkan;
  6. Ada pemisah yang tegas antara jabatan dan kepentingan pribadi: jabatan tidak boleh membawa penghasilan lain kecuali yang ditetapkan oleh peraturan gaji;
  7. Jabatan itu merupakan lapangan kerja penuh;
  8. Tugas dijalankan sesuai dengan peraturan-peraturan hukum tanpa pandang bulu.

Weber beranggapan, birokrasi pemerintahan atau administrasi dengan ciri-ciri yang demikian itu merupakan bagian daripada suatu susunan hukum yang didukung oleh keyakinan bersama itu adalah sah. Pengesahan umum itu hanya mungkin, kalau birokrasi itu fleksibel dalam menerapkan peraturan-peraturan tanpa menjadikannya suatu tindakan pihak tertentu. Tipe ideal itu sekaligus juga sedikit banyak suatu cita-cita yang juga dalam praktik di negara-negara maju tidak selalu terlaksana.[22]
Pada tahun 1990 Alvin Toffler (Powershift) menyodorkan suatu gagasan reformasi pemikiran dalam konteks manajemen pemerintahan modern dengan mengangkat tema pentingnya redefenisi terhadap konsep birokrasi. Toffler beranggapan  globalisasi dan modernisasi kehidupan modern menuntut pentingnya merekonstruksi pemikiran masyarakat melalui negara tentang konsep birokrasi yang benar-benar memberikan pelayanan bagi rakyat tanpa pandang bulu. Menurutnya, birokrasi merupakan cermin dari sebuah organisasi pengelolaan urusan-urusan kenegaraan yang didalamnya menyangkut pelayanan-pelayanan pada masyarakat, yang secara sosio-historis lahir sejak awal kebangkitan revolusi industri atau pada fase yang menentukan kebangkitan dunia industrial secara massal.
Toffler dengan meminjam perspektif Weber mengenai birokrasi, ia mendefenisikan konsep birokrasi sebagai machine-like organization, yakni The fully developed bureucratic mechanism compares with other organization exactly as does the machine with nonmechanical modes of production. Precission, speed, unambiquity, knowledge of the files, continuity, discretion, unity, strict subordination, reduction of friction and of material and personal cost --- these are raised to the optimum in the strictly bureucratic administration.[23]
Banyak kasus di negara-negara maju dan berkembang yang mengklaim diri sebagai negara modern dalam manajemen pemerintahan namun dalam praktik organisasi negara yang diatur dalam hukum termasuk menggunakan birokrasi sebagai instrumen pelayanan masyarakat tersebut tidak dijalankan berdasarkan konsepsi birokrasi yang sebenarnya. Birokrasi pemerintahan  dikelola dengan  primitif yakni pelayanan yang lebih mengutamakan elit dan kelas sosial tertentu.
Banyak negara-negara di dunia yang dalam pembangunan ekonomi, pendidikan, hukum, sosial, dan budaya mengalami hambatan yang kuat karena lemahnya sistem kerja birokrasi. Lemahnya manajemen pemerintahan melalui mekanisme kerja birokrasi tidak hanya terjadi di negara-negara yang notabene dianggap terbelakang tetapi lemahnya negara-negara dalam mengimplementasikan konsep birokrasi ini juga terjadi di negara yang paling pertama kali secara kolosal menjalankan birokrasinya Weber, yakni Amerika Serikat.
Dalam perspektif tersebut, David Osborne dan Ted Gaebler meriview peran birokrasi di Amerika Serikat dengan menututnya melakukan “reinventing”. Dalam pengertian konsepsinya adalah bentuk pemerintahan yang berkembang selama era industri, dengan birokrasi yang lamban dan berpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan serta rantai hirarkhi kamando, tidak lagi berjalan dengan baik,[24] bahkan menurutnya, birokrasi cenderung dikelola secara politis sehingga yang selalu muncul politisasi birokrasi.
Selain itu budaya pemahaman politik akomodasi sebagai konsekuensi dari pasca kompetisis politik dalam Pemilihan Umum mengharuskan para elit pejabat negara terutama pejabat fungsional yang menjadi pengendali birokrasi pemerintahan. Maka dengan pemahaman yang eksklusif tersebut seringkali menimbulkan pengelolaan birokrasi menjadi tidak terstruktur secara baik. Birokrasi diorientasikan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan politik elit.
Birokrasi dikelola dengan cara-cara primitif, bahkan birokrasi  digunakan untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan politik elit sehingga banyak di negara-negara modern termasuk Indonesia yang terlalu birokratif. Akibatnya, praktik KKN berkembang hingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Meski cita-cita negara modern untuk menjadikan birokrasi sebagai alat negara dalam mengelola pemerintahan yang baik dengan memfungsikannya sebagai alat untuk memberikan pelayanan pada masyarakat, namun kenyataan selalu menunjukkan di mana birokrasi dijalankan selalu tidak tepat sasaran, sehingga tujuan birokrasi yang efisien dan efektif pun tidak terlaksana dengan baik. Potret birokrasi yang tidak efisien dan tidak efektif tidak hanya terjadi di negara-negara yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi, tetapi juga terjadi pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia.[25]
Dalam implementasinya, birokrasi tidak saja dimaknai sebagai perlengkapan negara yang sifatnya bebas, mandiri, serta terlepas dari segala jeratan politik namun fenomena yang kerapkali muncul yakni tidak adanya kesadaran etis dan rasa tanggungjawab moral yang tinggi dari pejabat negara lalu menimbulkan disfungsi dan disorientasi birokrasi. Birokrasi bahkan seringkali diseret ke ranah politik sehingga yang terjadi adalah politisasi bahkan birokrasi dimanfaatkan untuk mengejar kekuasaan.
Selain kurang adanya kesadaran etis tentang tanggunjawab moral dalam menjalankan birokrasi juga lemahnya pemahaman mengenai konsep birokrasi yang semestinya ditegakan menyebabkan birokrasi dijadikan alat untuk mengejar kekuasaan. Birokrasi juga selalu menimbulkan iklim persaingan politik yang tidak sehat. Hal ini umumnya karena pejabat pengendali birokrasi mementingkan kepentingan dominan politik struktural, daripada mengedepankan dimensi kepentingan umum sebagaimana yang dimuat dalam konsep birokrasi.
Kualitas birokrasi zaman sekarang sangat memprihatinkan, walaupun kualitas manajemen birokrasi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kurangnya penghargaan negara terhadap pebirokrat namun salah satu faktor yang menjadi penyebab penyakit birokrasi yang patrionalistik dan primordialistik yakni gaji yang tidak sesuai dengan beban tanggungjawab. Akibatnya birokrasi menjadi lamban (lamban dalam menerjemahkan kebijakan pemerintah dan lamban dalam melakukan fungsi pelayanan masyarakat. Birokrasi menjadi tidak efisien dan tidak efektif. Dalam perspektif ini, Richard Lowenthal mengatakan, dalam pemerintahan negara-negara berkembang: fungsi serta bentuk birokrasi menurutnya cenderung sebagaimana yang digambarkan sebagai berikut:

“.....dengan memperhatikan keadaan-keadaan yang terdapat di negara-negara sedang berkembang yaitu dengan mengatur semua perincian produksi secara sentral yang dilakukan oleh aparat birokrasi yang sangat besar, dan dengan demikian memperbesar ongkos produksi, menimbulkan korupsi, tidak teraturnya penyediaan bahan, kualitas produksi yang buruk, ketidakseimbangan yang terus menerus antara jenis benda yang diproduksikan dan yang diminta.....”.[26]

Dalam konteks ini maka peran pemerintah menentukan terciptanya kondisi birokrasi pemerintahan yang tidak saja memberikan pelayanan maksimal sesuai cita-cita birokrasi itu sendiri yakni pelayanan yang bebas dan independen tetapi sekaligus memberikan solusi bagi kesejahteraan masyarakat. Negara memiliki tanggungjawab menjadikan birokrasi sebagai instrumen dalam mewujudkan cita-cita hukum yang adil dan beradab.
Pada titik inilah esensi negara dibentuk bersama oleh komunitas tertentu yang menghendaki kebersamaan dalam kehidupan yang baik. Negara menjadi alat mencapai tujuan bersama. Hal ini sebagaimana dikonsepsikan para pemikir mengenai tujuan dibentuknya negara. Banyak teori klasik maupun modern memberikan pengertian dan tujuan pembentukan negara. Diantara teori-teori dikemukakan ada sejumlah pemikir seperti Plato dalam bukunya Republik, Aristoteles berjudul Politik, dan John Locke melalui bukunya Two Treatises of Civil Government, yang secara teoritik mendefenisikan negara, Ranadireksa dalam Visi Bernegara: Arsitektur Konstitusi Demokratik mengutip pendapat Plato, Aristoteles, dan John Locke sebagai berikut:

“.....bahwa negara timbul karena adanya kebutuhan umat manusia. Tiada manusia dapat memenuhi kebutuhannya sendiri-sendiri (manusia yang autarkis), sedang masing-masing manusia mempunyai banyak kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang banyak dan tidak dapat dipenuhi sendiri oleh manusia secara individual, maka dibentuklah negara .....”

Sementara negara menurut Aristoteles adalah:

“.....bahwa negara dibentuk dan dipertahankan karena negara bertujuan menyelenggarakan hidup yang baik bagi semua warga negara ..... Every state is community of some kind, and every community is estabilished with a view to some good, for mankind always act order to obtain that which they think good .....”.

John Locke dalam kaitannya tentang tujuan dibentuknya negara, menyatakan “..... The end of Government is the good of mankind.....tujuan negara adalah kebaikan umat manusia.....”.[27] Dalam perkembangan pemikiran pada abad ke-16, pengertian negara mengalami perkembangan pesat. Hal ini karena pemikiran mengenai negara tidak lagi dibahas sebatas pada konsepsi dan tujuan dari suatu negara itu dibentuk tetapi telah mengalami kemajuan yang signifikan dalam peradaban politik yang dinamis. Negara tidak sekadar dipahami secara tekstual normatif seperti gagasan para pemikir di atas tetapi negara menjadi sebuah infrastruktur sosial yang memiliki berbagai perangkat untuk saling menopang satu sama lain dalam rangka mewujudkan cita-cita negara.
Maka negara sebenarnya baik tujuan dan cita-citanya sangat ditentukan oleh siapa mereka yang notabene politisi yang mengendalikan kekuasaan dalam sistem pemerintahan negara. Kekuasaan memiliki peran dan posisi strategis dalam menjalankan fungsi-fungsi negara. Dengan demikian, fungsi negara dalam mewujudkan iklim dan sistem pemerintahan demokratis sangat dipengaruhi oleh paradigma kekuasaan dalam bernegara yang baik.
Perbincangan mengenai kekuasaan negara, banyak sekali kita temukan pandangan-pandangan mengenai fungsi kekuasaan negara dalam menjalankan tugas maupun fungsi-fungsi kenegaraan. C. Van Vollenhoven berpandangan, fungsi-fungsi negara terdiri dari empat cabang yang bila dicermati khususnya di Indonesia diistilah dengan catur praja, yaitu (i) fungsi regeling (pengaturan); (ii) fungsi bestuur (penyelenggaraan pemerintahan); (iii) fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan (iv) fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan. Sedangkan Goodnow mengembangkan apa yang diistilahkan di praja, yakni policy executing function (fungsi pelaksanaan kebijakan), akan tetapi pemikiran yang cukup berpengaruh dalam pemahaman mengenai hal ini ialah Montesquieu, yang mengklasifikasi adanya tiga cabang kekuasaan negara yakni meliputi fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.[28]
Montesquieu berpandangan bahwa, di setiap negara selalu terdapat tiga cabang kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam struktur pemerintahan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif dan eksekutif berhubungan dengan pembentukan hukum atau perundang-undangan dengan pembentukan hukum atau undang-undang negara, dan cabang kekuasaan eksekutif yang berhubungan dengan penerapan hukum sipil (In every government, there are three sorts of powers: the legislative; the executive in respect to things dependent on the law of nations; and the executive in regard to matters that depend on civil law).[29]
Hal senada juga seperti dikemukakan oleh McDonald, “The heart of Montesquieu’s theme was that where these three functions werecombined in the same person or body of magistrates, there would be no the end of liberty”.[30]
Dalam konteks memahami birokrasi sebagai instrumen kekuasaan orang seringkali salah memahaminya. Birokrasi difungsikan semata-mata sebagai struktur administrasi negara yang bersifat sentralistik dan dengan demikian kecenderungan menggunakan birokrasi sebagai alat kepentingan politik penguasa sangat kuat. Hal ini merupakan suatu pemahaman sempit yang bisa menimbulkan politisasi birokrasi. Dan fakta historis selalu menunjukkan sistem birokrasi kerapkali dimanfaatkan untuk kepentingan politik penguasa.
Kenyataan ini pernah dipraktikkan pada masa penjajahan kolonial Belanda. Pemerintahan kolonial menggunakan birokrasi sebagai alat  politik untuk membangun komunikasi termasuk berupaya untuk lebih dekat dengan rakyat. Pemerintahan kolonial menjadikan birokrasi sebagai sarana membangun komunikasi dengan pemerintahan lokal. Padahal, berdasarkan sistem administrasi pemerintahan kolonial hampir semua persoalan negara yang berurusan dengan administrasi terkonsentrasi melalui apa yang ada sekarang yakni semacam Kementerian Dalam Negeri (Binenlandsch Bestuur/BB).
Sebagai perpanjangan tangan birokrasi pemerintahan kolonial, rezim kolonial membentuk semacam apa yang diistilah Pangreh Praja. Pangreh Praja sengaja dibentuk pemerintahan kolonial untuk menjadi bagian dai sistem pemerintahan yang berkolaborasi dalam mekanisme kerja birokrasi pemerintahan. Oleh sebab itu, status dan kedudukan antara Pangreh Praja dan Inlandsch Bestuur sebenarnya lebih rendah tingkatnya Pangreh Praja. Akan tetapi keunggulan dari Pangreh Praja dari Inlandsch Bestuur adalah sistem pengendalian cara kerja di mana Pangreh Praja diberikan otoritas lebih oleh pemerintahan kolonial untuk berkuasa atas rakyat. Meski kekuasaan Pangreh Praja ini dimanfaatkan penguasa untuk mengeruk keuntungan. Dengan demikian, Pangreh Praja sebenarnya dalam praktik pemerintahan kolonial ialah dijadikan sebatas instrumen kekuasaan.
Dalam praktiknya, Pangreh Praja ini ditulis oleh Sutherland sebagaimana dikutip Afan Gaffar dalam bukunya, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, dikatakan sebagai berikut:

“Late colonial Java’s native civil service bore an impressive: Pangreh Praja, The Rulers of the Realm. But this title, with is suggestions of pride and power, is at once justified and sadly inaccurate. For if in the indigenous context the officials were Pangreh Praja, to the Dutch they were inlandsch bestuur,the ‘native administration,” the lower level of lokal government. The native officials were feared and admired rulling class, but they were also the subordinate agents of an alien regime. Depending on context, they were ineffectual or powerful. They bridged the gap betwen the dominant European caste, with its overriding economic and political intersts, and the peasantry; They were the link with the independent kingdoms of Java’s past, with the new demands and possibilities of the late nineteenth and twentieth centuries.” (1990, p.1).[31]

Pemerintahan kolonial menggunakan Pangreh Praja sebagai instrumen politik ekonomi dalam rangka mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam dengan menggunakan rakyat sebagai objek perahan. Sistem kekuasaan di bawah kendali rezim kolonial ini menjadikan rakyat Indonesia dalam kondisi yang buruk bahkan penjajahan meodel ini membuat masyarakat Indonesia benar-benar dalam kesengsaraan karena dipaksa bekerja tanpa mengenal waktu untuk kepentingan pemerintah kolonial termasuk melalui kekuasaan Pangreh Praja.
Gaffar dalam uraian ini menjelaskan bahwa memasuki era pemerintahan Orde Lama, sistem birokrasi sebagai instrumen kekuasaan berubah nama jadi Pamong Praja. Pamong Praja dibentuk dengan tujuan bisa menjadi solusi efektif dan efisien dalam manajemen pemerintahan. Pemerintahan di kekuasaan presiden Soekarno ini meskipun pada awal pemerintahan dianggap sangat akomodatif dan mempunyai visi politik kebangsaan yang prospektif namun dalam perkembangannya presiden Soekarno menerapkan sistem demokrasi terpimpin dan sistem parlementer yang gagal membangun Indonesia sebagai negara demokrasi. Kegagalan yang sama juga terjadi pada pemerintahan Orde Baru. Meski banyak aspek dianggap berhasil terutama dalam aspek pembangunan ekonomi, namun rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun ini mencoba membawah Indonesia ke sebuah format negara demokrasi modern. Pemerintahan Orde Baru di bawah kekuasaan presiden Soeharto mencita-citakan negara Indonesia sebagai negara demokrasi modern dengan memanifestasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Namun pada perkembangan dalam praktik, birokrasi tidak bekerja secara profesional, tidak mengedepankan asas pelayanan yang mandiri dan independen. Sangat sulit kita temukan birokrasi yang bekerja secara netral. Pelayanan birokrasi selalu bermuatan politis, apalagi pemerintahan yang berkuasa adalah merupakan kader politik dari partai politik yang berkuasa.
Persoalan klasik seringkali mengemuka adalah kekuasaan diarahkan ke mana dan tujuannya untuk apa oleh pemerintah? Di negara-negara demokrasi dalam kenyataan praktik kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif kerapkali tidak memberi solusi efektif dalam menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Akibatnya, banyak negara menggunakan sistem demokrasi namun tidak untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dan banyak negara menggunakan demokrasi sebagai alat mempertahankan kekuasaan.
Kekuasaan absolut di bawah tangan para tirani tidak akan menciptakan suatu sistem sosial yang bisa memberikan kesejahteraan bagi semua warganya secara merata. Kekuasaan cenderung dimanipulasi oleh segelintir kelompok elit untuk meraih kepentingan ekonomi, politik, dan hukum karena demokrasi tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan, sehingga demokrasi kerap menjadi alat politik penguasa.

E.  Profesionalisme Birokrasi 
Secara sederhana, sejumlah pihak menerjemahkan governance sebagai tata pemerintahan. Tata pemerintahan disini bukan hanya dalam pengertian struktur dan manajemen lembaga yang disebut eksekutif, karena pemerintah (government) hanyalah salah satu dari tiga aktor besar yang membentuk lembaga yang disebut governance. Dua aktor lain adalah private sektor (sektor swasta) dan civil society (masyarakat madani).
Karenanya memahami  governance adalah memahami bagaimana integrasi peran antara pemerintah (birokrasi), sektor swasta dan civil society dalam suatu aturan main yang disepakati bersama. Lembaga pemerintah harus mampu menciptakan lingkungan ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan keamanan yang kondusif. Sektor swasta berperan aktif dalam menumbuhkan kegiatan perekonomian yang akan memperluas lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan, sedangkan civil society harus mampu berinteraksi secara aktif dengan berbagai macam aktifitas perekonomian, sosial dan politik termasuk bagaimana melakukan kontrol terhadap jalannya aktifitas-aktifitas tersebut.
United National Development Programme (UNDP,1997) mendefinisikan governance sebagai “penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, mematuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka”. Secara rinci World Bank memberikan 19 indikator good governance, namun para akademisi biasanya tidak menggunakan kesemua indikator tersebut untuk mengukur good governance.
Dengan adanya tuntutan perkembangan yang demikian itu, negara modern dewasa ini seakan dituntut untuk berpaling kembali ke doktrin lama seperti dalam paham nachwachtersstaat abad ke-18 dengan mengidealkan prinsip the best government is the least government.[32] Tentu saja, negara modern sekarang tidak mungkin kembali ke masa lalu begitu saja. Dunia terus berkembang. Namun demikian, meskipun negara modern sekarang tidak mungkin lagi kembali ke doktrin abad ke-18, keadaan obyektif yang harus dihadapi dewasa ini memang mengharuskan semua pemerintahan negara-negara di dunia melaku­kan perubahan besar-besaran terhadap format kelem­ba­gaan yang diwarisi dari masa lalu. Perubahan dimaksud harus dilakukan untuk merespon kebutuhan nyata secara tepat. Semua negara modern sekarang ini tidak dapat lagi mempertahankan format lama kelem­bagaan negara dan birokrasi pemerintahannya yang ma­kin dirasakan tidak efisien dalam memenuhi tun­tutan aspirasi rakyat yang terus meningkat.
   Semua negara dituntut untuk mengadakan pem­baruan di sektor birokrasi dan administrasi publik. Sebagai gambaran, setelah masing-masing melakukan pembaruan tersebut secara besar-besaran sejak dasawarsa 1970-an dan 1980-an, hampir semua negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD),[33] mengembangkan kebijakan yang sama. Alice Rivlin,[34] dalam laporannya pada tahun 1996 ketika menjabat Director of the U.S. Office of Management and Budget menyatakan, bahwa sebagian terbesar dari 24 negara[35] anggota OECD sama-sama menghadapi tekanan fundamental untuk melakukan perubahan, yaitu karena faktor ekonomi global, ketidakpuasan warganegara, dan krisis fiskal. Dalam laporan itu, Alice Rivlin menyatakan bahwa respons yang diberikan oleh hampir semua negara relatif sama, yaitu dengan melakukan tujuh agenda sebagai berikut:

1)      Decentralisation of authority within governmental units and devolution of responsibilities to lower levels of government;
2)      A re-examination of what government should both do and pay for, what it should pay for but not do, and what it should neither do nor pay for;
3)      Downsizing the public service and the privati­sation and corporatisation of activities;
4)      Consideration of more cost-effective ways of delivering services, such as contracting out, market mechanisms, and users charges;
5)      “Customer orientation, including explicit quality standards for public services”;
6)      Benchmarking and measuring performance; and
7)      Reforms designed to simplify regulation and reduce its costs.

Menurut Laporan OECD yang dikemukakan oleh Alice Rivlin tersebut, untuk menghadapi tantangan ekonomi global dan ketidakpuasan warganegara yang tuntutan kepentingannya terus meningkat, semua negara OECD dipaksa oleh keadaan untuk melakukan serangkaian agenda pembaruan yang bersifat sangat mendasar. Pertama, unit-unit pemerintahan harus mendesentralisasikan kewenangan dan devolusi per­tang­gung-jawaban ke lapisan pemerintahan yang lebih rendah; Kedua, semua pemerintahan perlu meng­adakan penilaian kembali mengenai (i) apa yang peme­rintah harus dibiayai dan lakukan oleh pemerintah, (ii) apa yang harus dibiayai tetapi tidak perlu dilakukan sendiri, dan (iii) apa yang tidak perlu dibiayai sendiri dan sekaligus tidak perlu dilakukan sendiri; Ketiga, semua pemerintah perlu memperkecil unit-unit organisasi pelayanan umum, dan memprivatisasikan serta mengkorporatisasikan kegiatan-kegiatan yang sebelumnya ditangani pemerintah. Keempat, semua pemerintahan dianjurkan untuk mengembangkan kebijakan yang pelayanan yang lebih cost-effective, seperti kontrak out-sourcing, mekanisme percaya, dan biaya konsumen (users charges); Kelima, semua pemerintahan berorientasi kepada konsumen, ter­ma­suk dalam mengembangkan pelayanan umum dengan kualitas yang pasti; Keenam, melakukan bench­marking dan penilaian kinerja yang terukur; dan Ketujuh, mengadakan reformasi atau pembaruan yang didesain untuk menyederhanakan regulasi dan mengu­rangi biaya-biaya yang tidak efisien[36].
Dalam perspektif tersebut, penataan birokrasi dengan tujuan menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, akuntabel dan responsif maka diperlukan perubahan paradigma pengelolaan pemerintahan yang bertanggungjawab. Reformasi birokrasi dalam tataran implementasi hendaknya diarahkan kepada target maupun sasaran-sasaran strategis pada jabatan publik. Reformasi birokrasi juga sudah saatnya dipraktikkan secara kongkrit dan tidak memberikan kesan pada rakyat sebagaimana yang terjadi selama ini, yakni isu reformasi birokrasi sebatas wacana politik rezim terutama menjelang pemilihan umum.
Selama ini persepsi masyarakat terhadap pemerintah kurang baik lantaran pemerintahan hanya lebih cerdas dalam memberikan janji-janji perubahan dan  isu reformasi birokrasi ditunggangi dengan sedemikian rupa dalam aktivitas kampanye, sehingga apa yang dicita-citakan dalam agenda reformasi birokrasi itu tidak berjalan sesuai target pembangunan. Oleh sebab itu, agenda reformasi birokrasi hendaknya memantapkan logika berpikir dan mendeterminasi mindset para penyelenggara negara untuk senantiasa memiliki kesadaran keimanan dan ketaqwaan pada Tuhan yang dalam dan sekaligus menanamkan rasa kesadaran ethics sosial terhadap tanggungjawab posisi dan jabatan yang diberikan padanya. Paradigma pengelolaan negara yang efektif dan efisien menjadi wujud keseimbangan antara posisi dan jabatan dalam negara untuk memberikan pelayanan pada masyarakat yangprofesional.
Perubahan Tata Pemerintahan hendaknya mengacu pada konsep sebagaimana yang sering ditekankan oleh World Bank selama dua dekade belakangan ini. Untuk mencapai tata pemerintahan lokal yang baik, terdapat beberapa prinsip utama yang harus diperhatikan antara lain:
·    Penciptaan demokrasi lokal yang utama di mana dalam hal ini mencakup lembaga Perwakilan lokal yang dipilih oleh masyarakat lokal, hak pilih bagi masyarakat lokal, partisipasi publik, dan lainnya.
·    Efisiensi dan efektifitas dari pemerintah daerah.
·    Prinsip rule of law termasuk di dalamnya due process of law dan prinsip keadilan.
·    Pemberantasan korupsi.

Penyelenggara negara hendaknya ditanamkan kesadaran dengan suatu sistem yang tegas bahwa dalam mengelola negara sejatinya mendahulukan nilai-nilai kebaikan universal serta senantiasa konsisten pada nilai prinsip dan selalu ada kesadaran pentingnya membangun iklim kerja organisasi birokrasi yang sehat. Paradigma pengelolaan negara yang menyadari adanya perbedaan pendapat serta selalu menempatkan diri di tengah perbedaan sebagai pribadi yang responsif, solutif, dan memberikan peran negara yang positif. Mengelola birokrasi dengan penuh keterbukaan dan selalu menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga dalam praktik memberikan pelayanan publik tidak ada hak warga masyarakat yang terabaikan.
Dalam rangka melakukan transformasi sistem etika dalam budaya lokal dan menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif maka diperlukan penetapan agenda pembangunan yang tepat dengan melakukan reformulasi konsep pelayanan publik yang baik, termasuk menyiapkan kualitas sumber daya manusia yang handal serta memastikan pembagian tugas kelembagaan dengan baik dan pentingnya menyusun organisasi pemerintahan yang jelas. Selain memastikan adanya agenda transformasi nilai budaya dalam birokrasi juga yang tak kalah penting adalah memetakan wewenang dalam jabatan tertentu yang balances, personalia yang profesional serta memiliki suatu konsep mengenai tata cara serta prosedur pelayanan publik yang baik.
Penyelenggara negara  harus memiliki visi, misi dan konsep mengenai tata kelola pemerintahan yang baik, sehingga diharapkan dari mereka baik pebirokrat dan political appointees benar-benar membumi paradigma mereka tentang pentingnya memberikan peran positif bagi pengembangan misi perjuangan bangsa dan betul-betul memberikan dampak yang baik bagi proses pelayanan dalam birokrasi sebagai abdi masyarakat. Artinya, seorang pebirokrat maupun political appointees dalam menjalankan sistem pemerintahan betul-betul memahami dan menerapkan misi abdi masyarakat dan abdi negara yang bertanggungjawab, memiliki sifat bijak, efektif, efisien, adil, dan santun dalam memberikan pelayanan publik apakah itu dilakukan secara langsung maupun tidak langsung agar masyarakat merasa ada kebersamaan dalam bernegara.
Salah satu kelemahan dalam bernegara dewasa ini yang selalu muncul adalah menipisnya kesadaran masyarakat termasuk pengelola negara tentang hak dan kewajiban. Banyak pejabat yang lupa  bahwa mendahulukan kewajiban merupakan hal mendasar dalam hakikat kehidupan sosial. Banyak pejabat negara yang dikarenakan asyik dan lupa diri akan tanggungjawab amanah yang diembannya kemudian lebih mengutamakan haknya daripada menunaikan kewajiban dalam pengabdian pada masyarakat dan negara. Akibatnya perilaku negatif dan tidak baik ini diikuti masyarakat sehingga reformasi birokrasi yang sebaik apapun sistem yang digunakan tidak akan efektif karena tidak adanya keteladanan dari elit pemimpin.
Masyarakat lebih menuntut ditegakan hak-hak mereka daripada mereka mendahulukan kewajiban. Hal ini sebagai implikasi negatif dari tidak adanya keteladanan yang baik dari pihak penyelenggara negara. Masyarakat cenderung bertindak dan menghakimi pejabat tertentu tanpa melihat lebih jauh mengenai pentingnya keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam kehidupan bernegara. Ketidaktaatan masyarakat pada hukum boleh jadi karena sikap dan perilaku elit yang selalu mendahulukan kepentingan mereka daripada kepentingan umum. Kepentingan umum dinomorduakan sementara kepentingan pribadi, kelompok, golongan, partai, dan organisasi, termasuk menggunakan jabatan untuk bekerjasama dengan pihak-pihak diluar dengan maksud meraup keuntungan juga merupakan sikap negatif yang selama ini terjadi.
Oleh sebab itu, reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih hendaknya harus menyentuh ke semua aspek pembangunan. Reformasi birokrasi yang dengan menekankan paradigma pembangunan negara berbasis spiritualitas sosial yang di dalamnya memuat upaya-upaya menciptakan keseimbangan sistem dan mekanisme kerja organisasi. Reformasi birokrasi yang tidak sekadar menyentuh aspek strutural semata, tetapi harus menyentuh dimensi substansial yang didalamnya meliputi berbagai unsur seperti penataan organisasi, manajemen, sumber daya manusia yang berkualitas dan terarah, sehingga dengan demikian tekad dan upaya bersama dalam rangka memahami dan mengartikulasikan nilai-nilai perjuangan dan pengabdian pada bangsa, dalam konteks kebersamaan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan manifestasi dari spirit nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 bisa teraktualisasikan dalam kehidupan nyata.
Konsep reformasi birokrasi secara substansial adalah menjadikan nilai-nilai dasar dalam Pancasila dan UUD 1945 sebagai manifestasi dari transformasi prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa. Reformasi birokrasi yang secara fundamental menetapkan konsep pemantapan komitmen bernegara yang harus bisa melekat pada setiap individu dan institusi berdasarkan posisi serta masing-masing peran dalam proses pengelolaan negara. Fungsi-fungsi nilai ini menjadi pedoman perilaku baik dalam bersikap, bertindak, maupun dalam berpikir bagi semua individu dan secara kelembagaan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kepemerintahan. Hal ini penting guna mewujudkan visi pengelolaan pelayanan publik dari suatu kebijakan yang prima (excellent management of public services and policies). Dengan visi tersebut maka semua peraturan mengenai tata kelola pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab secara bertahap akan terimplementasikan. Setiap individu dan secara kelembagaan hendaknya memiliki kesadaran untuk mengutamakan karya dan kinerja sebagai prasayarat utama dalam mengembangkan kualitas diri di tingkat pengabdian sosial.




[1] Muhammad Mustafied, Merancang Ideologi Gerakan Islam Progresif-Transformatif; Mempertimbangkan Islam Kiri Hassan Hanafi, dalam (ed.), Muhidin M. Dahlan, Sosialisme Religius: Suatu Jalan Keempat, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, hal, 169.
[2] Terminologi ideologi dalam konsep dan praktik selalu dihadapkan dengan pertentangan politik, dan substansi ideologi dalam pengertian politik selalu bias interpretasi, sehingga secara teoritis boleh dikatakan tidak memiliki batasan istilah mengenai ideologi tersebut. Dalam literatur klasik maupun kontemporer misalnya, dengan merujuk pada pemikiran Karl Marx tentang istilah ideologi ini, Marx membaginya dalam tiga tipe perkembangan pengertian ideologi yakni (i), sistem keyakinan yang berkembang dalam sebuah komunitas atau kelompok masyarakat tertentu atau disebutnya sebagai kelas tertentu; (ii) ideologi yang memuat gagasan-gagasan yang menimbulkan kesadaran palsu yang dikontradiksikan dengan pengetahuan ilmiah; dan (iii) ideologi yang muncul dikarenakan proses umum, yakni melalui suatu proses produksi makna gagasan tertentu terhadap fakta dan realitas yang ada, dan kemudian diyakini sebagai suatu kebenaran yang dipertahankan. (Lihat juga dalam Sargent, Lyman, Tower: 1987).
[3] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Edisi Pertama, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal, 284.
[4]  Ibid, hal, 289.
[5]  Ibid, hal, 170.
[6]  George Ritzer, Douglas J. Goodman, Sociological Theory: Karl Marx and Varieties of Neo-Marxian Theory, dalam (terj.), Nurhadi, Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2011, hal, 72.
[7]  Anthony Giddens, Capitalism and Modern Social Theory: An Analisys of Writing of Marx, Durkheim and Marx Weber, dalam (terj.), Soeheba Kramadibrata, Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta, 2007, hal, 257.
[8]  Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Penerbit, Konstitusi Press, Edisi Revisi, Jakarta, 2006, hal, 281.
[9] Dalam buku saya, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi ini dapat dilihat klasifikasi tipe ideologi dimaksud. Tipe ideologi dalam pembahasan buku ini, penulis dengan merujuk berdasarkan tahap perkembangan ideologi-ideologi yang diterapkan di beberapa negara di dunia. Tipe ideologi yang digunakan oleh negara-negara maju maupun berkembang masing-masing memiliki latar belakang yang berbeda. Namun penggunaan kata ideologi dari suatu negara menunjukkan basis identitas politik kenegaraan. Ideologi terbuka dan ideologi tertutup tumbuh dan berkembang di negara-negara modern. Ideologi tertutup umumnya cenderung eksklusif dan menggunakan sistem demokrasi setengah-setengah atau tidak seutuhnya menerapkan sistem demokrasi modern, bahkan negara yang menerapkan ideologi tertutup cenderung otoriter. Sedangkan ideologi terbuka umumnya lebih bersifat fungsional, dan dalam praktik negara dengan ideologi terbuka ini lebih moderat dan lebih komunikatif dalam pergaulan internasional.
[10] The Institutions of Private Law (Routledge and Kegan Paul, 1976), hal, 58. Tentang pemikiran Renner didasarkan uraian Colin Summer, Reading Ideologies, hal, 248-249.
[11]  Ibid, hal, 54.
[12]  http://filsafatdanhukum.blogspot.com/2011/05/ideologi-hukum-indonesia.html.
[13]  J. P. Harris, The Advice and Consent of the Senate (Los Angeles: University of California Press, 1953), hal, 128.
[14]  Warren was apparently outraged that Frankfurter would weaken the united front he himself had suggested by adding a concurring opinion. See G. Edwar White, Earl Warren: A Public Life, New York: Oxford University Press, 1982, hal, 358.
[15] http://fixguy.wordpress.com/makalah-pancasila-sebagai-ideologi-terbuka-dan-kaitannya-dengan-penegakan-supremasi-hukum.
[16]  Peter de Cruz, 2010, Comparative Law in a Changing World, dalam (terj.), Narulita Yusron,  Perbandingan Sistem Hukum; Common Law dan Socialist Law, Nusa Media-Diadit Media, Bandung, hal, 230.
[17]  Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, hal, 14.
[18]Ibid, hal, 15.
[19]  Firoz Gaffar, Diagnostic Assessment of Legal Development in Indonesia (World Bank Project – (IDF Grant No. 28557), dalam Niar Reksodiputro, Reformasi Hukum di Indonesia, CYBERconsuLt, Jakarta, 1999, hal, 4.
[20] Selanjutnya dalam studi perkembangan hukum – proyek Bank Dunia, disusun Ali Budiardjo dkk, tahun 1999. Pada awal reformasi memang persepsi publik terhadap reformasi sistem hukum dianggap tidak berjalan efektif. Pembangunan di bidang hukum tidak jalan sesuai cita-cita reformasi. Hasil studi perkembangan hukum yang dilakukan Bank Dunia yang mengambil tema Diagnostic Assessment of Legal Development in Indonesia tersebut mengkritisi berbagai ketimpangan penegakan hukum di Indonesia. Hukum selama masa pemerintahan Orde Lama dan terlebih pada era kekuasaan Orde Baru dianggap lebih mementingkan kepentingan aktor politik yang notabene memiliki akses kekuasaan dengan penguasa. Reformasi tidak akan pernah terwujudkan apabila proses perubahan yang ddengung-dengungkan tersebut tanpa terlebih dahulu melakukan reformasi sistem. Reformasi sistem merupakan suatu keharusan yang tidak bisa dikesampingkan pemerintah termasuk memikirkan bagaimana melakukan perubahan sistem hukum yang modern dan relevan sesuai tuntutan zaman. Penegakan hukum yang bersifat proseduralistik dan mengutamakan aspek legalistik semata jelas berdasarkan dari banyak hasil survei menemukan bahwa pola tersebut tidak akan efektif dalam membangun sistem kerja hukum yang benar-benar terpercaya. Reformasi sistem hukum yang bersifat modern dengan mengedepankan aspek keterbukaan tidak bisa dihalangi apalagi dihambat karena dengan melakukan perubahan sistem proses dan mekanisme kerja hukum terutama dalam peradilan yang bersifat terbuka harus menjadi agenda prioritas pemerintahan yang ada jika ingin tingkat kepercayaan masyarakat pada pembangunan di bidang hukum bisa pulih.
[21]  Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal, 163.
[22]  J.W. Scoorl, Sociologie Der Modernisering dalam (terj.), Modernisme; Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang, Gramedia, Jakarta, 1981, hal, 167.
[23]  Defenisi birokrasi menurut Weber dalam perspektif manajemen pemerintahan bernegara banyak dikemukakannya dan menjadi tema kajian-kajian akademis di kalangan intelektual dan profesional. Perkembangan pengelolaan negara di dunia modern yang cenderung tidak sesuai konsep dasar demokrasi menjadi perhatian kalangan intelektual untuk mengangkat kembali tema-tema mengenai perubahan atau lazim dikenal reformasi birokrasi. Pengertian birokrasi secara normatif maupun secara kontekstual sebenarnya tidak memberikan suatu pemahaman praktikal yang kaku dan statis tetapi melainkan pemahaman birokrasi yang dibangun tersebut lebih merupakan suatu upaya untuk mengembalikan konsep dasar birokrasi dalam praktik kehidupan sosial di era modern. Pengertian birokrasi sebagaimana dikemukakan Weber ini banyak sekali ilmuan modern yang mengutipnya termasuk Grifford dan Elizabeth Pinchot dalam The End of Bureucracy & The Rise of the Intelligent Organization, (1995: 29).
[24]  Riant Nugroho Dwidjowijoto, Indonesia 2020, Sebuah Sketsa tentang Visi & Strategi dalam Kepemimpinan Manajemen Politik & Ekonomi, RBI Research, Jakarta, 1998, hal, 42.
[25]  Pelayanan birokrasi tidak optimal dan terkesan berbelit-belit ini yang membuat masyarakat tidak percaya pada pemerintahan reformasi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Pemerintah bahkan dinilai gagal dalam melakukan reformasi birokrasi karena birokrasi masih memperlihatkan pelayanan yang tidak prima. Hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal November 2010 menemukan fakta bahwa sektor pelayanan publik di birokrasi pemerintahan masih dianggap buruk. Indeks pelayanan publik mengalami penurunan secara tajam. Dari 353 uni layanan pemerintah mengalami penurunan kualitas pelayanan dari tahun sebelum (2009) yang indeks integritas nasional sebesar 6,5 dan pada tahun 2010 menurun jadi 5,42. 12.616 responden dan terdiri dari 23 instansi pemerintah pusat 6 instansi vertikal di daerah dan 22 pemerintahan kota, survei KPK memperlihatkan buruknya pelayanan publik mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap tekad pemerintahan reformasi dalam melakukan reformasi birokrasi. Survei KPK awal November 2010 ini menempatkan Kepolisian, Mahkamah Agung, dan BNP2TKI mendapat indeks rata-rata 5,21 karena masih terdapat praktik pungutan liar dalam pelayanan pembuatan dokumen, surat izin mengemudi, dan surat keterangan catatan sipil di Kepolisian. Ironisnya, survei ini mengungkapkan Mahkamah Agung yang sebenarnya jadi benteng terakhir harapan keadilan masyarakat menjadi instansi yang memiliki integritas paling rendah yakni di bawah rata-rata 6,82.
[26]  Miriam, Budiardjo, 1975, Masalah Kenegaraan, Penerbit P.T. Gramedia, Jakarta, hal, 121.
[27] Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara; Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, 2009, hal, 97.
[28]  Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Pasca Reformasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal, 34.
[29] Ibid, hal, 35.
[30] Ibid.
[31]  Afan Gaffar, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hal, 231.
[32] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Pustaka Utama, Gramedia, Jakarta, 1992, hal, 58.
[33] Organization for Economic Cooperation and Development. Semula organisasi ini berasal dari “The Organization for European Economic Cooperation” yang. dibentuk setelah Perang Dunia Kedua dengan maksud utamanya “to administer the Marshall Plan for the Reconstruction of Europe”. Setelah penandatangan konvensi di antara 20 negara anggotanya pada 14 Desember 1960, OEEC tersebut berubah menjadi OECD.  Lihat http://www.oecd.org/
[34] David Osborne and Peter Plastrik, Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, (A Plume Book, 1997), hal. 8.
[35] Sekarang, jumlah negara anggota OECD ini sudah bertambah menjadi 30 negara, yaitu: (i) Austria (1961, (ii) Belgium (1961), (iii) Greece (1961), (iv) Denmark (1961), (v) Canada (1961), (vi) Finland (1961), (vii) France (1961), (viii) Germany (1961), (ix) Normway (1961), (x) Netherlands (1961), (xi) Hungary (1996), (xii) Ireland (1961), (xiii) Iceland (1961), (xiv) Luxembourg (1961), (xv) Sweden (1961, (xvi) Switzerland (1961), (xvii) United Kingdom (1961), (xviii) United States of America (1961), (xix) Italy (1962), (xx) Japan (1962), (xxi) Australia (1971), (xxii) Mexico (1994), (xxiii) Czech Republic (1995), (xxiv) South Korea (1996), (xxv) New Zealand (1973), (xxvi) Poland (1996), (xxvii) Portugal (1961), (xxviii) Slovak Republic (2000), (xxix) Norway, dan(xxx) Turkey. Lihat http://www.oecd.org, dan /www.minagric.gr/en/agro_pol/OECD-EN-310804.htm

[36] Ibid.