IDEOLOGI HUKUM DALAM NEGARA MODERN
Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga
Ahli Di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
A. Ideologi Hukum Di Era Modern
Di era
modern ini hukum mengalami pergeseran nilai yang tajam sebagaimana telah
disinggung sebelumnya. Banyak nilai-nilai keadilan dalam hukum direkayasa oleh
kelompok kekuatan yang memaksakan kehendak dengan tujuan politik termasuk
kepentingan ideologi. Bila ditelaah asal mula munculnya ide negara hukum
sebenarnya telah ada sejak zaman para filsuf Yunani Kuno. Gagasan pembentukan
negara berdasarkan hukum digagas para filsuf seperti Plato dan Aristoteles.
Konsep negara hukum seiring berkembangnya perdaban umat manusia terus mengalami
pergerakan evolusi pemikiran. Dalam perkembangan kesejarahan konsep negara
hukum mulai berkembang menjadi beberapa ide penting yang mewarnai gagasan para
filsuf.
Diantara
ide yang muncul mengenai negara hukum adalah yang mengarah pada negara hukum
menurut agama atau disebut nomokrasi Islam. Selanjutnya dikenal negara hukum
yang menekankan pada spirit konsep Eropa Kontinental dan konsep Anglo Saxon,
dan konsep sociality legality, serta
dalam konteks Indonesia disebut sebagai konsep Pancasila. Pancasila menjadi
sumber utama dalam hukum negara.
Pancasila
adalah ideologi bangsa yang sifatnya terbuka tentu menjadi bagian dari
paradigma politik hukum dalam kehidupan bernegara. Dalam kaitannya dengan
konsep ideologi kehidupan bernegara, Indonesia memilih Pancasila sebagai
landasan filosofis hukum sehingga dalam beberapa kajian ilmiah selain disebut
sebagai ideologi bangsa juga menjadi paradigma dalam bernegara.
Reymond
William dalam Eriyanto mengemukakan, dengan mengambil tradisi pemikiran Marxis
dengan menulis bahwa ideologi memiliki tiga pengertian umum. Pengertian
ideologi ditulisnya antara lain: ideologi mengandung faham semacam keyakinan
dan menjadi khas dari suatu kelompok kelas tertentu. Pengertian ideologi juga
memuat berupa sistem keyakinan eksklusif—gagasan-gagasan
atau kesadaran semu yang dikontraskan dengan pengetahuan ilmiah, proses umum
produksi makna dan gagasan, atau dalam bahasa Volosinov, dimensi pengalaman
sosial di mana makna dan nilai diproduksi, hal ideologis mengacu pada proses
produksi makna melalui tanda. Sedangkan Gregory Bossman mengatakan, ideologi
merupakan kumpulan ide yang merupakan suatu refleksi atas kondisi sosial
tertentu serta adanya suatu cita-cita sosial yang hendak diperjuangkan atau
dipertahankan.[1]
Ideologi
negara mulai banyak digunakan bersamaan pada perkembangan pemikiran Karl Marx
pada abad ke-18. Pemikiran Karl Marx dikembangkan oleh Engels dan Lenin
kemudian disebut sebagai ideologi sosialisme-komunisme. Sosialisme lebih pada
sistem ekonomi yang mengutamakan kolektivitas dengan titik ekstrem menghapuskan
hak milik pribadi, sedangkan komunisme menunjuk pada sistem politik yang juga
mengutamakan hak-hak komunal, bahkan hak-hak sipil dan politik individu.
Ideologi tersebut berhadapan dengan ideologi liberalisme-kapitalis yang
menekankan pada individualisme baik dari sisi politik maupun ekonomi.[2]
Pemahaman ini menghantarkan pada
pertanyaan what is a constitution yng
secara sederhana dikemukakan oleh Brian Thompson dan dapat dijawab bahwa “... a constitution is a document which
contains the rules for the operation of an organization”. Organisasi
dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya termasuk organisasi sosial
politik.[3]
Maka disinilah pentingnya Pancasila menjadi asas ideologi politik organisasi
sosial politik yang resmi diakui negara. Pancasila menjadi falsafah kenegaraan
atau staatsidee (cita negara) yang
berfungsi sebagai filosofische grondslag dan
common platform atau kalimatun sawah di antara sesama warga
masyarakat yang dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme
menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka.[4]
Dalam
pengertian yang kontekstual dan implementatif, Jorge Larrain menulis, ideologi
memiliki arti positif dan negatif. Ideologi dalam pengertian positif berkaitan
dengan sistem ide, nilai, pengetahuan yang berhubungan dengan kepentingan
golongan tertentu, dengan variasi kognisi tertentu. Gramsci mendefenisikan
ideologi sebagai ekspresi suprastruktur realitas yang kontradiktif, sedangkan
suprastruktur menurutnya merupakan realitas objektif tempat manusia menemukan
kesadaran, posisi, dan tujuan hidup, sebab merupakan refleksi keseluruhan
hubungan produksi sosial. Dalam arti negatif ideologi merupakan pengetahuan
yang diputar balik. Sebagai ciri khas dari pengertian ideologi ini ialah apa
yang disebut Marx sebagai kemampuannya menyembunyikan kontradiksi objektif dan
memuat kepentingan golongan (dominan).[5]
Perbincangan
seputar ideologi umumnya dikaitkan dengan persoalan-persoalan politik. Politik
menempati posisi strategis dalam diskurus ilmiah mengenai ideologi hukum itu
sendiri. Hal ini dapat dipahami mengingat hukum merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari proses politik atau sederhananya hukum merupakan produk
politik. Maka dalam membangun paradigma politik hukum seharusnya ditautkan
dengan nilai-nilai Pancasila yang notabene ditafsirkan sebagai dasar dan
falsafah kehidupan bernegara.
Karl Max
menggunakan tipe ideologi untuk
merujuk pada sistem-sistem aturan ide-ide untuk menghindari
kontradiksi-kontradiksi yang berada di pusat sistem kapitalis. Pada kebanyakan
kasus, mereka melakukan hal ini dengan salah satu dari tiga cara berikut: (1)
mereka menghadirkan suatu sistem ide-sistem agama, filsafat, literatur, hukum
yang menjadikan kontradiksi-kontradiksi tampak koheren; (2) mereka menjelaskan
pengalaman-pengalaman yang mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi, biasanya
sebagai problem-problem personal atau keanehan-keanehan individual; atau (3)
mereka menghadirkan kontradiksi kapitalis sebagai yang benar-benar menjadi
suatu kontradiksi pada hakikat manusia dan oleh karena itu satu hal yang tidak
bisa dipenuhi oleh perubahan sosial.[6]
Ideologi-ideologi
yang berkembang selalu berakar dalam kondisi-kondisi kehidupan materiil, akan
tetapi hal ini tidak membawa serta adanya perhatian universal atau pertalian
unilateral antara ‘landasan sebenarnya’ dari masyarakat—atau
hubungan produksi—dan struktur-struktur super
politik dan hukum.[7]
Ideologi
hukum muncul dalam perkembangan masyarakat modern salah satunya melalui politik
negara. Semua kekuatan politik masyarakat terkonsentrasi pada peran dan
dominasi paradigma politik hukum negara dengan memasukan ideologi yang
dipercaya menjadi legitimasi sistem formal. Maka dalam kerangka ini negara
selalu menjadi ajang kompetisi politik ideologi dalam rangka transformasi
nilai-nilai yang menjadi konsep perjuangan lapisan masyarakat tertentu.
Secara umum, terdapat dua tipe ideologi yang selalu
dijadikan sebagai landasan ideologi suatu negara. Kedua tipe ideologi yang
selalu menjadi dasar sebuah ideologi setiap negara yakni terdiri dari tipe
pertama berupa ideologi yang sifatnya tertutup. Dalam ideologi tertutup
diketahui ajaran atau perspektif dalam dunia filsafat yakni menentukan tujuan
dan norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak
boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah
jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh
dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain.
Isinya selalu bersifat dogmatis dan mengesankan apriori sehingga tidak dapat
diubah atau dalam istilah modern ideologi klasik tersebut sangat sulit
dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial.[8]
Maka dalam praktik politik hukum, ideologi tertutup
kerapkali tidak mengenal istilah tolerir. Ideologi tertutup bersifat statis dan
tidak bergerak dinamis sehingga dalam praktik nyata selalu menghasilkan
perilaku dan tindakan pemerintahan yang cenderung absolut dan tidak mau
mentolerir pandangan-pandangan moral dan nilai-nilai lain yang dianggap relevan
yang perkembangan zaman.
Untuk mengetahui karakter dari suatu ideologi yang
sifatnya tertutup bisa dilihat dari bagaimana suatu negara yang menganut sistem
ajaran ideologi hukum yang tertutup itu dalam mempraktekkan sistem kerja hukum.
Ideologi hukum tertutup ini dalam implementasi sistem penegakan hukum tidak
hanya mendeterminasi kebenaran nilai-nilai dan hal-hal yang bersifat prinsip-prinsip
dasarnya semata namun ia sangat menentukan hal-hal yang bersifat kongret
operasional. Penganut sistem ideologi tertutup umumnya tidak mengakui hak-hak
setiap orang untuk memiliki keyakinan dan pertimbangan-pertimbangan sendiri
terhadap suatu kebenaran. Ideologi ini lebih menuntut ketaataan
formal-legalistik dan tanpa reserve.
Yang menjadi ciri khas dari ideologi tertutup ialah
tidak bersumber dari masyarakat, melainkan lahir dari pikiran-pikiran elit yang
kemudian dengan menggunakan mekanisme kerja negara secara formal memaksakan
bahkan mempropagandakannya kepada masyarakat untuk mematuhinya. Ideologi ini
dipaksakan oleh segelintir elit yang memegang dan mengendalikan sistem
kekuasaan dengan tujuan masyarakat taat dan ikut mendukung langgengnya kekuasaan
mereka. Dengan demikian, secara prinsip nilai-nilai kemanusiaan, sesungguhnya
tidak ada demokrasi dan keadilan hukum dalam negara apabila sistem ideologi
hukum tertutup itu dijalankan. Yang ada adalah pemerintahan otoriter dan
dijalankan secara totaliter.
Sedangkan tipe ideologi kedua adalah ideologi terbuka.
Dalam sistem ideologi terbuka dikenal istilah adanya suatu orientasi dasar
yakni berupa nilai-nilai keadilan. Dalam perspektif ideologi terbuka dimaknai
sebagai suatu pemikiran yang memuat tujuan-tujuan dan norma-norma sosial
politik yang selalu bersifat dinamis-konstruktif. Dalam konsep ideologi terbuka ini mengandung ajaran yang
mengutamakan dialektika pemikiran sehingga selalu memberikan ruang perdebatan yang
terus dinamis dalam rangka mencari argumentasi ilmiah guna diadaptasikan dengan
nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita
yang akan dicapai tidak dapat ditentukan dengan sikap curiga atau apriori namun
gagasan cita-cita pembangunan selalu dimulai dari adanya suatu konsensus
politik yang itu dilakukan secara demokratis. Dari perspektif ini maka dapat
dipahami bahwa ideologi terbuka adalah suatu ajaran nilai dan prinsip moral
politik yang bersifat inklusif.[9]
Ideologi terbuka memuat ajaran-ajaran nilai yang otentik
sehingga selalu bersifat rasional karena
tidak membuat ruang yang serba terbatas tetapi selalu menyediakan ruang
perdebatan ilmiah yang wajar. Artinya ideologi terbuka lebih bersifat
demokratis, dan dengan demikian, untuk membedakan ideologi tertutup dan
ideologi terbuka sangat gampang yakni ideologi tertutup bersifat otoriter dan
totaliter, sementara ideologi terbuka bersifat inklusif. Ideologi terbuka
sifatnya dinamis sehingga dalam masyarakat modern dan serba terbuka sangat
sulit digunakan oleh sekelompok orang atau sekumpulan elit politik untuk
menjadikannya sebagai instrumen legitimasi kekuasaan. Ideologi terbuka umumnya
hanya bisa berkembang dengan baik di negara-negara demokrasi modern. Sedangkan
ideologi tertutup umumnya berkembang di negara-negara terbelakang dan masih
menggunakan sistem pemerintahan aristokrasi, otokrasi, oligarki, meritokrasi,
plutokrasi, kleptokrasi, feodalisme, bahkan termasuk di negara-negara yang
masih menganut sistem pemerintahan timokrasi.
B. Ideologi Fungsional dan Struktural
Dari
konteks kajian politik, bila kita singgung mengenai ideologi maka setidaknya
ideologi itu dipahami dari dua sudut pandang. Pertama, ideologi dipahami dari sisi fungsional. Memiliki semacam
seperangkat norma dan aturan nilai yang terformulasi melalui konsep kebaikan
yang dianggap paling baik menurut suatu entitas, golongan, kelompok, dan
organisasi. Ideologi fungsional ini dalam praktik sehari-hari aktif bekerja
dengan memunculkan dua paradigma fungsional yakni paradigma berbasis pada doktrin
dan teknis pragmatis. Konsep ideologi fungsional yang berprototipe baik
bersifat doktriner maupun pragmatis ini selalu memunculkan gerakan-gerakan
radikal.
Gerakan
radikal selalu mengedepankan prinsip-prinsip transedental dan eksklusif
sehingga dalam perkembangan masyarakat modern dan dihadapkan dengan
demokratisasi selalu menimbulkan ketidakseimbangan bahkan berpotensi melahirkan
konflik ideologi lain. Karena gerakan pragmatis yang disokong oleh pemikiran
doktriner senantiasa melahirkan kekisruhan sosial dalam tatanan masyarakat.
Sementara pemahaman mengenai ideologi dari sudut pandang yang kedua, ideologi struktural. Ideologi
struktural yakni mengandung pengertian bahwa adanya sekumpulan masyarakat,
kelompok, golongan, organisasi, dan individu memiliki tradisi pemikiran yang
bersifat teknis dan menjadikan sistem pembenaran sebagai suatu mekanisme
pemahaman atas suatu peristiwa. Dalam konsep kehidupan bernegara ideologi
sejenis ini selalu muncul apabila timbul kebijakan-kebijakan negara yang
menyimpang dari nilai-nilai kebaikan kemudian memunculkan aksi dan gerakan
lewat struktur sosial dan mobilisasi massa dan konsolidasi struktur gagasan
lewat konsep kehidupan sosial yang dianggap paling benar.
Pemahaman
sebagaimana dikemukakan diatas
merefleksikan bahwa perspektif seperti ini merupakan paradigma tentang
ideologi hukum yang bersifat formalistik sehingga dalam implementasinya
cenderung bias, karena melihat hukum sebagai sesuatu yang bersifat universal.
Oleh karena hukum dianggap sebagai sesuatu yang universal maka dalam praktik
selalu dijadikan sebagai sumber legitimasi moral negara dalam mengatasi
berbagai problema kebangsaan dan kemasyarakatan yang ada. Karl Renner, seorang
pemikir Austria yang pernah menjadi presiden, berpendapat bahwa norma-norma hukum
dan proses ekonomi sebagai dua hal yang saling mengandaikan dan menundukkan
satu sama lain.[10]
Maka apa
yang dikatakan Marx bahwa ideologi memiliki peran aktif untuk membentuk
struktur sosial tetapi pemikiran ini tidak lepas dari peran ideologi dalam
upaya manusia memahami situasi di sekitarnya. Ideologi memberikan struktur
pemahaman terhadap manusia mengenai dunia dan eksistensi manusia sebagai bagian
dari dunia. Dengan demikian, ideologi dapat diperumpamakan sebagai peta yang
memandu pemikiran dan pemahaman manusia tentang sesuatu dalam memahami
perkembangan dunia berdasarkan dimensi sosio-historis yang ada.[11]
Dengan
demikian, secara kontekstual diskursus ideologi hukum sebenarnya menjadi bagian
dari kajian kritis normatif atas efek dari kepentingan-kepentingan masyarakat
dalam struktur kelas yang ada. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa
ideologi hukum yang menjadi pedoman formal suatu negara selalu dihasilkan dari
sebuah proses yang sifatnya hegemonik. Hegemoni kekuatan dan kekuasaan sosial
politik yang ada. Dalam proses pembentukan hukum tersebut baik langsung maupun
tidak langsung melibatkan kekuasaan sosial yang tentu selalu lebih dominan atau
hegemonik.
Sebuah
praktik ideologi hukum yang memancarkan cahaya keadilan dan sekaligus
mencerminkan keberadaban, nilai-nilai persatuan dan kesatuan dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kebijaksanaan, permusyawaratan, dan
keadilan sosial. Ideologi hukum yang memancarkan nilai-nilai teological justice, legal justice, social
justice, dan moral justice.[12]
Keadilan
hukum yang mengutamakan kepentingan rakyat kecil namun bukan berarti
mengenyampingkan perlakuan adil pada warga masyarakat dalam level tertentu.
Artinya, perspektif hukum di mata semua warga negara mempunyai kedudukan yang
sama dimuka hukum merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan negara. Hukum
yang merefleksikan kebenaran, kejujuran, dan menempatkan nilai-nilai keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana dalam falsafah Pancasila yang
juga merupakan landasan ideologi politik dalam bernegara.
Dalam
pengertian praktis William Green mengatakan bahwa:
Labor is of the opinion the appointment and
confirmation of Jugde Parker means that another injuction judge will become a
member of the Supreme Court of the United States. As a result, the power of
reaction will be strengthened, and the board-minded, human, progressive
influence so courargeously and patriotically exercised by the minority members
of the highest judicial tribunal of the land will be weakened. There is the kernel
in the nut.[13]
Dalam
konteks tersebut, hukum hendaknya ditegakan oleh negara untuk memenuhi rasa
keadilan para pencari keadilan. Supremasi keadilan yang senantiasa memihak pada
nilai-nilai kebenaran dan kejujuran serta menjadikannya sebagai kekuatan
politik hukum dalam bernegara.
Sebagai
perbandingan, Amerika Serikat merupakan negara modern yang mampu menjadikan
konstitusi negaranya sebagai basis memperkuat persatuan dan kesatuan internal
dalam bernegara. Konstitusi Amerika Serikat secara filosofis mengandung doktrin
politik ideologis yang mana semua warga negara Amerika Serikat tunduk dan patuh
pada konstitusi dan aktif pula memberikan dukungan pada setiap rezim yang
mengendalikan kekuasaan pemerintahan.
Peradilan
di Amerika Serikat betul-betul independen. Netralitas peradilan di Amerika
Serikat menjadi jaminan bagi kebersamaan warga negara melihat sikap dan
perilaku para hakim, dan integritas elit mengelola mandat rakyat. Demokrasi
berjalan diaras pemahaman konstitusional Amerika Serikat sehingga sulit
tercipta ruang intervensi, intimidasi sekalipun terhadap para hakim. Kalau pun
ada intervensi dan intimidasi elit maupun politisi di senat Amerika Serikat
misalnya, namun tidak seperti di Indonesia.
Hukum
dan demokrasi berjalan sesuai kapasitas dan heterogenitas warga Amerika
Serikat. Sebagai negara adidaya dan demokratis di dunia, negara Paman Sam ini
mengelola urusan politik dan hukum dalam koridor konstitusional dengan tanpa membenturkannya
dengan demokratisasi.
The logic of the Court was simple: Decisions of
the Supreme Court of the United States cannot be thwarted by the actions of
state officials. Yet, as clear as the issue was to the Court, it was just as
clear how thin might be the political ice on which it was skating. The Court
could not risk a divided opinion, nor could it chance going so far that it
would further fuel the political confragtion that could engulf the rest of the
Southern states, where massive resistance to Brown was continuing to grow.
Dalam
konstitusi Amerika Serikat pada Article VI digambarkan, bahwa konstitusional
ditegakkan hendaknya diarahkan pada supremasi hukum dengan mengutamakan
keadilan. Dalam Artikel VI ini sebagaimana dikutip oleh Edwar dalam bukunya
dikatakan sebagai berikut :
Article V of the Constitution makes the
Constitution the “supreme Law of the Land.” In 1803, Cheif justice John
Marshall, speaking for a unanimous Court, refrring to the Constitution as “the
fundamental and paramount law of the nation,” declared in the notable case of
Marbury v. Madison ... that “It is emphatically the province and duty of the
judicial departement to say what the law is.” This decision declared the basic
principle that the federal judiciary is supreme in the exposition of the
Constitution, and that principle has ever since been respected by this Court
and the Country as a permanent and indispensable feature of our constitutional
system. It follows that the interpretation of the Fourteenth Amendment enunciated
by this Court in the Brown case is the supreme law of the land, and article VI
of the Constitution makes it of binding effect on the States “any Thing in the
Constitution or Laws of any State to the Contrary notwithstanding.[14]
Agenda
mendesak dilakukan pemerintah Indonesia sekarang adalah penerapan sistem hukum
dengan nilai norma yang bersifat mengatur, memaksa, dan
mengikat yang menjelma dalam berbagai bentuk penampakan antara lain: dalam
bentuk peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, hukum adat, hukum
agama, dan lain-lain. Indonesia sebagai negara hukum, kekuasaan kehakiman
ditandai sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Hukum dan keadilan sebagai produksi peradilan mesti merefleksikan
nilai-nilai luhur ideologi negara dalam Pancasila dan konstitusi UUD 1945.[15]
C. Modernisme Sistem Hukum
Hukum
pada dasarnya dibentuk untuk menciptakan keadilan dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa. Hukum dibuat dengan tujuan melindungi hak-hak asasi manusia serta
menjamin terwujudnya masyarakat bangsa yang berkeadilan. Itulah sebabnya
mengapa pembangunan di bidang hukum selalu menjadi perhatian negara-negara
modern. Karena hukum sampai abad sekarang masih tetap dianggap sebagai suatu
aspek penting yang dijadikan sebagai landasan baik teoritik maupun praktik
bernegara.
Perspektif
perkembangan pemikiran hukum sebagaimana terjadi dalam tradisi Jerman. Melalui
mahkamah yang mampu mengidentifikasi prinsip-prinsip hukum umum, yakni salah
satu dari prinsip yang begitu khas mengenai asas proporsionalitas yang diambil
dari hukum administratif Jerman, yang mana tindakan-tindakan administratif
harus dilakukan secara proporsional terhadap tujuan akhir yang berusaha
dicapainya (Verhaltnismassigkeit).
Karakter ini telah dibangun secara menyeluruh di dalam hukum Jerman, tetapi
kini telah menjadi bagian yang tidak dapat dipungkiri di dalam hukum ME seperti
yang tertuang dalam (Pasal 30 dari Perjanjian MEE).[16]
Pemikiran
ilmiah dari seseorang mengenai hukum bisa berangkat dari cara berpikir yang
abstraksi yang diambil dari pengalaman-pengalaman empiris masyarakat dan dapat
juga berasal dari pengalaman dan pendapat ilmiah dari luar kesadaran masyarakat
bersangkutan. Pendapat ilmiah dari seseorang tentang hukum ini kemudian dalam
perjalanannya dikembangkan atau dimasyarakatkan dan diikuti oleh orang lain,
lalu pendpat tersebut menjadi pendapat umum dan selanjutnya pendapat umum ini
menjadi bagian dari kesadaran hukum masyarakat bersangkutan maka pendapat ini
bisa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian masyarakat mengenai
hukum yang harus ditaati sebagai pedoman perilaku bersama. Dalam perspektif
ini, kita bisa mengambil suatu contoh kasus seperti dalam perkembangan
pemikiran yang melahirkan hukum fiqih dalam mazhab Imam Syafi’i yang sebenarnya
adalah bermula dari pendapat hukum seorang ulama, yakni seorang tokoh ilmuan
hukum.[17]
Proses
pembentukan hukum dan institusi-institusi pembuat hukum yang dikenal dalam ilmu
hukum, dengan demikian, proses pembuatan hukum tidak boleh dipahami dalam
pengertian yang sempit yakni seakan-akan hanya terkonsentrasi pada proses
politik di lingkungan parlemen semata. Hal inilah yang selalu berkembang selama
ini. Padahal, pemahaman yang sempit ini tidak menghasilkan suatu pemikiran
kritis dan rasional, karena suatu pemikiran politik hukum bisa dibangun melalui
suatu metode ilmiah yakni adanya ide
atau gagasan intelektual tentang hukum dari seorang ilmuan tentang hukum yang
mampu mempengaruhi pemikiran masyarakat untuk mengembangkannya sebagai landasan
politik hukum dalam masyarakat.
Proses
pembentukan hukum sangat ditentukan oleh bentuk hukum yang dibuat. Dengan
demikian, hukum dapat dilihat sebagai norma aturan yang bersifat tertulis,
tetapi juga bersifat tidak tertulis sebagaimana yang dipahami dalam perspektif
hukum adat. Bentuk hukum tertulis juga beragam mulai dari tingkatannya yang
paling tinggi, yaitu hukum dasar atau biasa disebut dengan konstitusi
(Undang-Undang Dasar), sampai ke tingkatannya yang paling rendah, misalnya,
Peraturan Desa. Namun yang perlu menjadi pemahaman ilmiah ialah bahwa semua proses
pembentukan hukum tersebut mempunyai mekanisme pembentukannya yang tersendiri
dengan melibatkan peran institusi-institusi yang berbeda-beda menurut derajat
tingkatannya.[18]
Dalam
praktik sehari-hari, struktur hukum modern yang dibentuk oleh negara-negara
modern khususnya dalam melakukan perubahan Undang-Undang (Amandemen) yang harus
diutamakan adalah bagaimana agar struktur hukum yang dibuat tidak memiliki
suatu ketergantungan pada peraturan perundang-undangan modern dengan tujuan
agar setiap bidang hukum di departemen-departemen yang ditugasfungsikan untuk
menangani persoalan-persoalan hukum tidak saja bisa berjalan secara efisien dan
efektif tetapi melainkan bagaimana menekankan sistem peradilan baru yang lebih
modern dan terbuka. Karena di era modern sekarang sangat dibutuhkan sistem
kerja peradilan hukum yang akuntabel dan ini merupakan bagian dari agenda
pembangunan pemerintahan good
governance.
Suatu
sistem hukum peradilan modern yang ditujukan untuk bagaimana memberikan
pelayanan dan sekaligus sebagai jaminan bahwa pengadilan seyogyanya mampu
memfasilitasi berbagai proses penyelesaian perkara yang diharapkan bisa
dilakukan dengan cepat[19], dan
profesional sehingga bagi para pihak-pihak yang berperkara bisa merasa
hak-haknya terakomodasi oleh negara.
Modernisasi
struktur hukum di Indonesia sangat tergantung antara lain pada profesional yang
menggunakan sistem dan kemauan politik pemerintahan untuk menetapkan prioritas
pembangunan hukum. Dengan demikian, upaya untuk pengembangan kualitas sumber
daya manusia (SDM) di bidang hukum termasuk bagaimana memikirkan kualitas
pemahaman dan pengetahuan sistem kerja hukum yang akuntabel, profesional, dan
betul-betul proporsional maka perbaikan kualitas profesi hukum merupakan
tuntutan yang harus dilaksanakan pemerintah.[20]
Modernisasi
struktur hukum hendaknya menyentuh substansi pembentukan sistem hukum yang
memuat keseluruhan aspek dan elemen sistem hukum baik bersifat substansi,
struktur, sarana dan prasarana hukum untuk membangun kesadaran arif guna
menegakkan mekanisme hukum yang betul-betul demokratis. Karena hukum merupakan
kesatuan penting dari pranata kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Politik
hukum nasional dalam konteks Indonesia dapat dipahami sebagai kebijakan dasar yang menjadi pedoman
menentukan arah maupun bentuk dari substansi hukum nasional sehingga mekanisme
pembentukan hukum nasional pun diformulasi berdasarkan dasar-dasar filosofi
hukum.
Dalam
pembentukan hukum nasional diperlukan pemahaman pentingnya menempatkan
tingkatan suatu organisasi karena dalam pemahaman struktur ini merupakan
keniscayaan. Maka yang paling utama dalam pertingkatan tata hukum nasional ini
yang tidak kalah penting adalah bagaimana usaha untuk mengetahui sumber dasar
hukum nasional itu sendiri. Dengan mengetahui sumber dasar hukum nasional, maka
cita-cita hukum nasional, politik hukum nasional dan pertingkatan tata hukum
nasional, maka hukum dalam kerangka menurut Undang-Undang Dasar 1945 harus
dilengkapi dengan mekanisme pengembangan hukum nasional, terutama yang secara spesifik
berkaitan langsung dengan dasar-dasar pengembangan hukum nasional.
Dalam
pandangan normatif, menurut Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana pendapat
Padmo Wahjono, dalam bukunya Indonesia
Negara Berdasarkan Hukum, dikatakan, kegiatan pengembangan hukum nasional
dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai
dasar pengembangan hukum nasional adalah Pancasila. UUD 1945 serta dinamika
aspirasi rakyat yang berkembang. Selanjutnya Wahjono membagi beberapa bentuk
kegiatan yang dapat dianggap sebagai penunjang kegiatan dalam pengembangan
hukum nasional yakni antara lain:
a. Merumuskan dan mengembangkan politik hukum nasional
dan pembidangan tata hukum nasional dalam kegiatan perencanaan hukum;
b. Menentukan pola-pola mengenai bidang yang harus diatur
sesuai dengan suatu skala prioritas; kegiatan ini lazimnya disebut dengan
istilah program legislatif;
c. Merumuskan tata cara pembentukan, pembaharuan maupun
pengembangan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan
ketatanegaraan yang berlaku, kegiatan ini lazimnya disebut dengan istilah
proses legislatif;
d. Penggunaan yurisprudensi untuk pengembangan hukum;
e. Menggunakan pranata pengujian peraturan perundangan (toesting);
f. Menentukan pemilihan bentuk yang serasi dan memadai
untuk mewadahi suatu materi pengaturan ke dalam bentuk dan jenis hukum;
kegiatan ini disebut dengan istilah teknik perundang-undangan;
g. Mempertahankan dan menghormati perkembangan serta
pertumbuhan hukum adat, sejauh tidak bertentangan dengan cita-cita hukum;
h. Mengkaji asas dalam ilmu hukum dan pranata-pranata
hukum dari bidang ilmu hukum, dengan prinsip-prinsip dasar bernegara yang
dianut oleh UUD 1945;
i. Menggunakan berbagai bentuk kegiatan ilmiah dalam
menunjang pengembangan hukum, seperti pertemuan ilmiah, penelitian ilmiah, dan
penulisan ilmiah;
j. Menangani permasalahan dokumentasi, informasi dan
penyuluhan hukum;
Keseluruhan dasar pengembangan ini harus dijelaskan
kepada “rakyat” agar dapat dimanfaatkan untuk menyalurkan aspirasi hukumnya. Informasi
kepada masyarakat luas dapat dilakukan dengan memberikan bentuk formal kepada
kegiatan-kegiatan tersebut atau secara nonformal dengan melibatkan masyarakat
dalam kegiatan-kegiatan.[21]
Dalam perspektif pengembangan dasar-dasar hukum
nasional tersebut maka secara teoritik, kegiatan-kegiatan politik hukum secara
formal memerlukan peran aktif aktor politik baik secara legal kelembagaan
maupun diluar organisasi formal yang memiliki legitimasi negara dalam
mengembangkan ide-ide politik hukum di tengah kehidupan masyarakat, guna
membangun kesamaan pemahaman mengenai konsep dasar pembentukan hukum.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman kehidupan sosial politik serta
pendekatan-pendekatan historis empirik dari kelompok masyarakat bersangkutan
kemudian melahirkan suatu kesepakatan untuk menjadikan konsep dasar hukum
sesuai dengan tradisi masyarakat tersebut.
Meski demikian, faktor intelektualitas tetap menjadi
bagian penting yang tidak terpisahkan dari proses pembentukan hukum nasional.
Terbangunnya suatu sistem hukum nasional dalam tradisi masyarakat pun tidak
lepas dari dimensi kekuatan pemikiran ilmiah tentang hukum dari kalangan
cendikiawan dan akademisi. Tidak bisa dianggap sepele bahwa faktor intelektual
keilmuan memiliki peran yang signifikan dalam membangun kesadaran masyarakat,
untuk menjadi pemikiran mereka sebagai bagian dari proses pembentukan hukum
nasional.
Modernisme sistem hukum pada era modern sekarang
merupakan salah satu ide yang mencerminkan adanya gejala sosial yang menuntut
perubahan paradigma dalam berbagai sistem kehidupan, bernegara. Indonesia
sebagai negara modern dalam menghadapi tantangan & hambatan, serta
menguatnya kekacauan sistem hukum dalam praktik bernegara hendaknya menjadikan
paradigma pembaruan dalam sistem hukum agar modernisasi politik sebagai konsep
dan strategi pembangunan yang lebih responsif.
Sebagai masyarakat yang hidup dan berkembang bahkan
terus dihadapkan dengan tumbuhnya industrialisasi yang modern serta
kompleksitas kehidupan sosial dengan diferensiasi yang kuat, maka pembaruan
sistem hukum sangat perlu untuk dilakukan guna menjawab tantangan-tangan
global. Tantangan dan hambatan global dalam era modern jelas tidak hanya
menuntut negara-negara maju dan berkembang ikut menyesuaikan kebutuhan
negara-negara modern tetapi gerakan masyarakat industrial dalam upaya melakukan
pembaruan sistem hukum yang lebih modern adalah bagian dari konsekuensi politik
hukum global. Jika bangsa Indonesia yang merupakan salah satu penduduk terbesar
di dunia masuk dalam kategori negara-negara di dunia dan sekaligus sebagai
negara yang dianggap memiliki kemampuan mengembangkan demokrasi modern
hendaknya harus bisa menyesuaikan diri dengan negara-negara maju dan
negara-negara yang tengah berkembang lainnya.
Sebagai salah satu ciri masyarakat modern dan menjadi
negara modern hendaknya mencerminkan diri sebagai negara yang memiliki sistem hukum yang bagus, dan
menjadi bagian dari perhatian negara-negara lain di dunia. Masyarakat
industri, modernisme sebagai wujud artikulasi diferensiasi. Diferensiasi dalam
perspektif organisasi seperti negara. Hal ini penting menjadi pemahaman bersama
karena negara sebagai infrastruktur sosial telah berkembang menjadi sebuah
organisasi yang modern. Maka tugas penting negara adalah bagaimana memastikan
profesionalisme kerja dalam organisasi secara komprehensif termasuk membuat
regulasi mengenai birokrasi.
Sistem kerja birokrasi yang modern dengan sistem hukum
dalam prosedur dan mekanisme kerja struktur semua institusi penegak hukum pun
bisa dipastikan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Dalam kaitan
ini, birokrasi sebagai bagian esensial dalam praktik hukum harus bena-benar
diarahkan untuk memberikan pelayanan masyarakat yang responsif. Hal ini karena
hampir di semua sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara birokrasi
pemerintahan telah menjadi kesatuan organisasi.
D. Menata Administrasi
Negara Modern
Dalam sejarah perkembangan kehidupan sosial,
negara-negara modern penganut demokrasi menjadikan birokrasi sebagai ciri khas
membentuk sistem bernegara yang kuat. Max Weber mempunyai perhatian besar
terhadap konsep birokrasi. Weber mendefenisikan birokrasi sebagai bentuk
pengambilan keputusan secara rasional, hubungan-hubungan sosial yang tidak
berdasarkan perorangan, tugas-tugas yang dijadikan rutin dan sentralisasi
kekuasaan. Dalam bentuk ini tipe tersebut dapat di implementasikan untuk segala
macam organisasi. Dari kerangka paradigma ini jelaslah bahwa Weber bermaksud
membicarakan organisasi negara dan dalam defenisinya dikemukakannya ciri-ciri
birokrasi sebagai berikut:
- Dalam birokrasi itu hubungan antara penguasa yang
diangkat menurut peraturan hukum dan pegawai bawahannya diatur, dengan
ketentuan-ketentuan tertulis mengenai tugas dan kewajiban, dan
bidang-bidang kekuasaan resmi dari jabatan yang bersangkutan;
- Selanjutnya ada sentralisasi jabatan-jabatan yang
disusun secara hirarkhi;
- Pengangkatan dan kenaikan tingkat didasarkan atas
persetujuan kontraktual;
- Pengangkatan didasarkan atas kecakapan-kecakapan
teknik tertentu yang diperoleh karena pendidikan atau pengalaman;
- Gaji diberikan atas dasar peraturan umum yang
telah ditetapkan;
- Ada pemisah yang tegas antara jabatan dan
kepentingan pribadi: jabatan tidak boleh membawa penghasilan lain kecuali
yang ditetapkan oleh peraturan gaji;
- Jabatan itu merupakan lapangan kerja penuh;
- Tugas dijalankan sesuai dengan
peraturan-peraturan hukum tanpa pandang bulu.
Weber beranggapan, birokrasi pemerintahan atau
administrasi dengan ciri-ciri yang demikian itu merupakan bagian daripada suatu
susunan hukum yang didukung oleh keyakinan bersama itu adalah sah. Pengesahan
umum itu hanya mungkin, kalau birokrasi itu fleksibel dalam menerapkan
peraturan-peraturan tanpa menjadikannya suatu tindakan pihak tertentu. Tipe
ideal itu sekaligus juga sedikit banyak suatu cita-cita yang juga dalam praktik
di negara-negara maju tidak selalu terlaksana.[22]
Pada tahun 1990 Alvin Toffler (Powershift) menyodorkan suatu gagasan reformasi pemikiran dalam
konteks manajemen pemerintahan modern dengan mengangkat tema pentingnya
redefenisi terhadap konsep birokrasi. Toffler beranggapan globalisasi dan modernisasi kehidupan modern
menuntut pentingnya merekonstruksi pemikiran masyarakat melalui negara tentang
konsep birokrasi yang benar-benar memberikan pelayanan bagi rakyat tanpa
pandang bulu. Menurutnya, birokrasi merupakan cermin dari sebuah organisasi
pengelolaan urusan-urusan kenegaraan yang didalamnya menyangkut
pelayanan-pelayanan pada masyarakat, yang secara sosio-historis lahir sejak
awal kebangkitan revolusi industri atau pada fase yang menentukan kebangkitan
dunia industrial secara massal.
Toffler dengan meminjam perspektif Weber mengenai birokrasi,
ia mendefenisikan konsep birokrasi sebagai machine-like
organization, yakni The fully
developed bureucratic mechanism compares with other organization exactly as
does the machine with nonmechanical modes of production. Precission, speed,
unambiquity, knowledge of the files, continuity, discretion, unity, strict
subordination, reduction of friction and of material and personal cost ---
these are raised to the optimum in the strictly bureucratic administration.[23]
Banyak kasus di negara-negara maju dan berkembang yang
mengklaim diri sebagai negara modern dalam manajemen pemerintahan namun dalam
praktik organisasi negara yang diatur dalam hukum termasuk menggunakan
birokrasi sebagai instrumen pelayanan masyarakat tersebut tidak dijalankan
berdasarkan konsepsi birokrasi yang sebenarnya. Birokrasi pemerintahan dikelola dengan primitif yakni pelayanan yang lebih
mengutamakan elit dan kelas sosial tertentu.
Banyak negara-negara di dunia yang dalam pembangunan
ekonomi, pendidikan, hukum, sosial, dan budaya mengalami hambatan yang kuat
karena lemahnya sistem kerja birokrasi. Lemahnya manajemen pemerintahan melalui
mekanisme kerja birokrasi tidak hanya terjadi di negara-negara yang notabene
dianggap terbelakang tetapi lemahnya negara-negara dalam mengimplementasikan
konsep birokrasi ini juga terjadi di negara yang paling pertama kali secara
kolosal menjalankan birokrasinya Weber, yakni Amerika Serikat.
Dalam perspektif tersebut, David Osborne dan Ted
Gaebler meriview peran birokrasi di Amerika Serikat dengan menututnya melakukan
“reinventing”. Dalam pengertian
konsepsinya adalah bentuk pemerintahan yang berkembang selama era industri,
dengan birokrasi yang lamban dan berpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan
peraturan serta rantai hirarkhi kamando, tidak lagi berjalan dengan baik,[24] bahkan
menurutnya, birokrasi cenderung dikelola secara politis sehingga yang selalu
muncul politisasi birokrasi.
Selain itu budaya pemahaman politik akomodasi sebagai
konsekuensi dari pasca kompetisis politik dalam Pemilihan Umum mengharuskan
para elit pejabat negara terutama pejabat fungsional yang menjadi pengendali
birokrasi pemerintahan. Maka dengan pemahaman yang eksklusif tersebut
seringkali menimbulkan pengelolaan birokrasi menjadi tidak terstruktur secara
baik. Birokrasi diorientasikan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan politik
elit.
Birokrasi dikelola dengan cara-cara primitif, bahkan
birokrasi digunakan untuk mengakomodasi
kepentingan-kepentingan politik elit sehingga banyak di negara-negara modern
termasuk Indonesia yang terlalu birokratif. Akibatnya, praktik KKN berkembang
hingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Meski cita-cita negara modern untuk menjadikan
birokrasi sebagai alat negara dalam mengelola pemerintahan yang baik dengan
memfungsikannya sebagai alat untuk memberikan pelayanan pada masyarakat, namun
kenyataan selalu menunjukkan di mana birokrasi dijalankan selalu tidak tepat
sasaran, sehingga tujuan birokrasi yang efisien dan efektif pun tidak
terlaksana dengan baik. Potret birokrasi yang tidak efisien dan tidak efektif
tidak hanya terjadi di negara-negara yang mengklaim diri sebagai negara
demokrasi, tetapi juga terjadi pada negara-negara berkembang termasuk
Indonesia.[25]
Dalam implementasinya, birokrasi tidak saja dimaknai
sebagai perlengkapan negara yang sifatnya bebas, mandiri, serta terlepas dari
segala jeratan politik namun fenomena yang kerapkali muncul yakni tidak adanya
kesadaran etis dan rasa tanggungjawab moral yang tinggi dari pejabat negara
lalu menimbulkan disfungsi dan disorientasi birokrasi. Birokrasi bahkan
seringkali diseret ke ranah politik sehingga yang terjadi adalah politisasi
bahkan birokrasi dimanfaatkan untuk mengejar kekuasaan.
Selain kurang adanya kesadaran etis tentang
tanggunjawab moral dalam menjalankan birokrasi juga lemahnya pemahaman mengenai
konsep birokrasi yang semestinya ditegakan menyebabkan birokrasi dijadikan alat
untuk mengejar kekuasaan. Birokrasi juga selalu menimbulkan iklim persaingan
politik yang tidak sehat. Hal ini umumnya karena pejabat pengendali birokrasi
mementingkan kepentingan dominan politik struktural, daripada mengedepankan
dimensi kepentingan umum sebagaimana yang dimuat dalam konsep birokrasi.
Kualitas birokrasi zaman sekarang sangat
memprihatinkan, walaupun kualitas manajemen birokrasi dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti kurangnya penghargaan negara terhadap pebirokrat namun salah
satu faktor yang menjadi penyebab penyakit birokrasi yang patrionalistik dan
primordialistik yakni gaji yang tidak sesuai dengan beban tanggungjawab.
Akibatnya birokrasi menjadi lamban (lamban dalam menerjemahkan kebijakan
pemerintah dan lamban dalam melakukan fungsi pelayanan masyarakat. Birokrasi
menjadi tidak efisien dan tidak efektif. Dalam perspektif ini, Richard
Lowenthal mengatakan, dalam pemerintahan negara-negara berkembang: fungsi serta
bentuk birokrasi menurutnya cenderung sebagaimana yang digambarkan sebagai
berikut:
“.....dengan
memperhatikan keadaan-keadaan yang terdapat di negara-negara sedang berkembang
yaitu dengan mengatur semua perincian produksi secara sentral yang dilakukan
oleh aparat birokrasi yang sangat besar, dan dengan demikian memperbesar ongkos
produksi, menimbulkan korupsi, tidak teraturnya penyediaan bahan, kualitas
produksi yang buruk, ketidakseimbangan yang terus menerus antara jenis benda
yang diproduksikan dan yang diminta.....”.[26]
Dalam konteks ini maka peran pemerintah menentukan
terciptanya kondisi birokrasi pemerintahan yang tidak saja memberikan pelayanan
maksimal sesuai cita-cita birokrasi itu sendiri yakni pelayanan yang bebas dan
independen tetapi sekaligus memberikan solusi bagi kesejahteraan masyarakat.
Negara memiliki tanggungjawab menjadikan birokrasi sebagai instrumen dalam
mewujudkan cita-cita hukum yang adil dan beradab.
Pada titik inilah esensi negara dibentuk bersama oleh
komunitas tertentu yang menghendaki kebersamaan dalam kehidupan yang baik.
Negara menjadi alat mencapai tujuan bersama. Hal ini sebagaimana dikonsepsikan
para pemikir mengenai tujuan dibentuknya negara. Banyak teori klasik maupun modern
memberikan pengertian dan tujuan pembentukan negara. Diantara teori-teori
dikemukakan ada sejumlah pemikir seperti Plato dalam bukunya Republik, Aristoteles berjudul Politik, dan John Locke melalui bukunya Two Treatises of Civil Government, yang
secara teoritik mendefenisikan negara, Ranadireksa dalam Visi Bernegara: Arsitektur Konstitusi Demokratik mengutip pendapat
Plato, Aristoteles, dan John Locke sebagai berikut:
“.....bahwa negara
timbul karena adanya kebutuhan umat manusia. Tiada manusia dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri-sendiri (manusia yang autarkis), sedang masing-masing
manusia mempunyai banyak kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang
banyak dan tidak dapat dipenuhi sendiri oleh manusia secara individual, maka
dibentuklah negara .....”
Sementara negara menurut Aristoteles adalah:
“.....bahwa negara
dibentuk dan dipertahankan karena negara bertujuan menyelenggarakan hidup yang
baik bagi semua warga negara ..... Every state is community of some kind, and
every community is estabilished with a view to some good, for mankind always
act order to obtain that which they think good .....”.
John Locke dalam kaitannya tentang tujuan dibentuknya
negara, menyatakan “..... The end of
Government is the good of mankind.....tujuan negara adalah kebaikan umat
manusia.....”.[27] Dalam
perkembangan pemikiran pada abad ke-16, pengertian negara mengalami
perkembangan pesat. Hal ini karena pemikiran mengenai negara tidak lagi dibahas
sebatas pada konsepsi dan tujuan dari suatu negara itu dibentuk tetapi telah
mengalami kemajuan yang signifikan dalam peradaban politik yang dinamis. Negara
tidak sekadar dipahami secara tekstual normatif seperti gagasan para pemikir di
atas tetapi negara menjadi sebuah infrastruktur sosial yang memiliki berbagai
perangkat untuk saling menopang satu sama lain dalam rangka mewujudkan
cita-cita negara.
Maka negara sebenarnya baik tujuan dan cita-citanya
sangat ditentukan oleh siapa mereka yang notabene politisi yang mengendalikan
kekuasaan dalam sistem pemerintahan negara. Kekuasaan memiliki peran dan posisi
strategis dalam menjalankan fungsi-fungsi negara. Dengan demikian, fungsi
negara dalam mewujudkan iklim dan sistem pemerintahan demokratis sangat
dipengaruhi oleh paradigma kekuasaan dalam bernegara yang baik.
Perbincangan mengenai kekuasaan negara, banyak sekali
kita temukan pandangan-pandangan mengenai fungsi kekuasaan negara dalam
menjalankan tugas maupun fungsi-fungsi kenegaraan. C. Van Vollenhoven
berpandangan, fungsi-fungsi negara terdiri dari empat cabang yang bila
dicermati khususnya di Indonesia diistilah dengan catur praja, yaitu (i) fungsi regeling
(pengaturan); (ii) fungsi bestuur (penyelenggaraan
pemerintahan); (iii) fungsi rechtsspraak atau
peradilan; dan (iv) fungsi politie yaitu
berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan. Sedangkan Goodnow
mengembangkan apa yang diistilahkan di
praja, yakni policy executing
function (fungsi pelaksanaan kebijakan), akan tetapi pemikiran yang cukup
berpengaruh dalam pemahaman mengenai hal ini ialah Montesquieu, yang mengklasifikasi
adanya tiga cabang kekuasaan negara yakni meliputi fungsi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif.[28]
Montesquieu berpandangan bahwa, di setiap negara
selalu terdapat tiga cabang kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam struktur
pemerintahan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan
yudikatif. Kekuasaan legislatif dan eksekutif berhubungan dengan pembentukan
hukum atau perundang-undangan dengan pembentukan hukum atau undang-undang
negara, dan cabang kekuasaan eksekutif yang berhubungan dengan penerapan hukum
sipil (In every government, there are
three sorts of powers: the legislative; the executive in respect to things
dependent on the law of nations; and the executive in regard to matters that
depend on civil law).[29]
Hal senada juga seperti dikemukakan oleh McDonald, “The heart of Montesquieu’s theme was that
where these three functions werecombined in the same person or body of
magistrates, there would be no the end of liberty”.[30]
Dalam konteks memahami birokrasi sebagai instrumen
kekuasaan orang seringkali salah memahaminya. Birokrasi difungsikan semata-mata
sebagai struktur administrasi negara yang bersifat sentralistik dan dengan
demikian kecenderungan menggunakan birokrasi sebagai alat kepentingan politik
penguasa sangat kuat. Hal ini merupakan suatu pemahaman sempit yang bisa
menimbulkan politisasi birokrasi. Dan fakta historis selalu menunjukkan sistem
birokrasi kerapkali dimanfaatkan untuk kepentingan politik penguasa.
Kenyataan ini pernah dipraktikkan pada masa penjajahan
kolonial Belanda. Pemerintahan kolonial menggunakan birokrasi sebagai alat politik untuk membangun komunikasi termasuk
berupaya untuk lebih dekat dengan rakyat. Pemerintahan kolonial menjadikan
birokrasi sebagai sarana membangun komunikasi dengan pemerintahan lokal.
Padahal, berdasarkan sistem administrasi pemerintahan kolonial hampir semua
persoalan negara yang berurusan dengan administrasi terkonsentrasi melalui apa
yang ada sekarang yakni semacam Kementerian Dalam Negeri (Binenlandsch Bestuur/BB).
Sebagai perpanjangan tangan birokrasi pemerintahan
kolonial, rezim kolonial membentuk semacam apa yang diistilah Pangreh Praja. Pangreh Praja sengaja
dibentuk pemerintahan kolonial untuk menjadi bagian dai sistem pemerintahan
yang berkolaborasi dalam mekanisme kerja birokrasi pemerintahan. Oleh sebab
itu, status dan kedudukan antara Pangreh
Praja dan Inlandsch Bestuur sebenarnya
lebih rendah tingkatnya Pangreh Praja. Akan
tetapi keunggulan dari Pangreh Praja dari
Inlandsch Bestuur adalah sistem pengendalian
cara kerja di mana Pangreh Praja diberikan
otoritas lebih oleh pemerintahan kolonial untuk berkuasa atas rakyat. Meski
kekuasaan Pangreh Praja ini
dimanfaatkan penguasa untuk mengeruk keuntungan. Dengan demikian, Pangreh Praja sebenarnya dalam praktik
pemerintahan kolonial ialah dijadikan sebatas instrumen kekuasaan.
Dalam praktiknya, Pangreh
Praja ini ditulis oleh Sutherland sebagaimana dikutip Afan Gaffar dalam
bukunya, Politik Indonesia: Transisi
Menuju Demokrasi, dikatakan sebagai berikut:
“Late colonial Java’s
native civil service bore an impressive: Pangreh Praja, The Rulers of the
Realm. But this title, with is suggestions of pride and power, is at once
justified and sadly inaccurate. For if in the indigenous context the officials
were Pangreh Praja, to the Dutch they were inlandsch bestuur,the ‘native
administration,” the lower level of lokal government. The native officials were
feared and admired rulling class, but they were also the subordinate agents of
an alien regime. Depending on context, they were ineffectual or powerful. They
bridged the gap betwen the dominant European caste, with its overriding
economic and political intersts, and the peasantry; They were the link with the
independent kingdoms of Java’s past, with the new demands and possibilities of
the late nineteenth and twentieth centuries.” (1990, p.1).[31]
Pemerintahan kolonial menggunakan Pangreh Praja
sebagai instrumen politik ekonomi dalam rangka mengeksploitasi kekayaan sumber
daya alam dengan menggunakan rakyat sebagai objek perahan. Sistem kekuasaan di
bawah kendali rezim kolonial ini menjadikan rakyat Indonesia dalam kondisi yang
buruk bahkan penjajahan meodel ini membuat masyarakat Indonesia benar-benar
dalam kesengsaraan karena dipaksa bekerja tanpa mengenal waktu untuk kepentingan
pemerintah kolonial termasuk melalui kekuasaan Pangreh Praja.
Gaffar dalam uraian ini menjelaskan bahwa memasuki era
pemerintahan Orde Lama, sistem birokrasi sebagai instrumen kekuasaan berubah
nama jadi Pamong Praja. Pamong Praja dibentuk dengan tujuan bisa menjadi solusi
efektif dan efisien dalam manajemen pemerintahan. Pemerintahan di kekuasaan
presiden Soekarno ini meskipun pada awal pemerintahan dianggap sangat
akomodatif dan mempunyai visi politik kebangsaan yang prospektif namun dalam perkembangannya
presiden Soekarno menerapkan sistem demokrasi terpimpin dan sistem parlementer
yang gagal membangun Indonesia sebagai negara demokrasi. Kegagalan yang sama
juga terjadi pada pemerintahan Orde Baru. Meski banyak aspek dianggap berhasil
terutama dalam aspek pembangunan ekonomi, namun rezim Orde Baru yang berkuasa
selama 32 tahun ini mencoba membawah Indonesia ke sebuah format negara
demokrasi modern. Pemerintahan Orde Baru di bawah kekuasaan presiden Soeharto
mencita-citakan negara Indonesia sebagai negara demokrasi modern dengan
memanifestasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Namun pada perkembangan dalam praktik, birokrasi tidak
bekerja secara profesional, tidak mengedepankan asas pelayanan yang mandiri dan
independen. Sangat sulit kita temukan birokrasi yang bekerja secara netral.
Pelayanan birokrasi selalu bermuatan politis, apalagi pemerintahan yang
berkuasa adalah merupakan kader politik dari partai politik yang berkuasa.
Persoalan klasik seringkali mengemuka adalah kekuasaan
diarahkan ke mana dan tujuannya untuk apa oleh pemerintah? Di negara-negara
demokrasi dalam kenyataan praktik kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif kerapkali tidak memberi solusi efektif dalam menciptakan masyarakat
yang adil dan makmur. Akibatnya, banyak negara menggunakan sistem demokrasi
namun tidak untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dan banyak negara
menggunakan demokrasi sebagai alat mempertahankan kekuasaan.
Kekuasaan absolut di bawah tangan para tirani tidak
akan menciptakan suatu sistem sosial yang bisa memberikan kesejahteraan bagi
semua warganya secara merata. Kekuasaan cenderung dimanipulasi oleh segelintir
kelompok elit untuk meraih kepentingan ekonomi, politik, dan hukum karena
demokrasi tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan, sehingga demokrasi kerap
menjadi alat politik penguasa.
E. Profesionalisme
Birokrasi
Secara sederhana, sejumlah
pihak menerjemahkan governance
sebagai tata pemerintahan. Tata pemerintahan disini bukan hanya dalam
pengertian struktur dan manajemen lembaga yang disebut eksekutif, karena
pemerintah (government) hanyalah
salah satu dari tiga aktor besar yang membentuk lembaga yang disebut governance. Dua aktor lain adalah private sektor (sektor swasta) dan civil society (masyarakat madani).
Karenanya
memahami governance adalah memahami bagaimana integrasi peran antara
pemerintah (birokrasi), sektor swasta dan civil
society dalam suatu aturan main yang disepakati bersama. Lembaga pemerintah
harus mampu menciptakan lingkungan ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan
keamanan yang kondusif. Sektor swasta berperan aktif dalam menumbuhkan kegiatan
perekonomian yang akan memperluas lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan,
sedangkan civil society harus mampu
berinteraksi secara aktif dengan berbagai macam aktifitas perekonomian, sosial
dan politik termasuk bagaimana melakukan kontrol terhadap jalannya aktifitas-aktifitas
tersebut.
United
National Development Programme (UNDP,1997) mendefinisikan governance sebagai “penggunaan
wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara
pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan
lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan
kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, mematuhi kewajiban dan menjembatani
perbedaan-perbedaan diantara mereka”. Secara rinci World Bank memberikan 19
indikator good governance, namun para
akademisi biasanya tidak menggunakan kesemua indikator tersebut untuk mengukur good governance.
Dengan adanya tuntutan perkembangan yang demikian itu,
negara modern dewasa ini seakan dituntut untuk berpaling kembali ke doktrin lama
seperti dalam paham nachwachtersstaat abad ke-18 dengan
mengidealkan prinsip the best government
is the least government.[32]
Tentu saja, negara modern sekarang tidak mungkin kembali ke masa lalu begitu
saja. Dunia terus berkembang. Namun demikian, meskipun negara modern sekarang
tidak mungkin lagi kembali ke doktrin abad ke-18, keadaan obyektif yang harus
dihadapi dewasa ini memang mengharuskan semua pemerintahan negara-negara di
dunia melakukan perubahan besar-besaran terhadap format kelembagaan yang
diwarisi dari masa lalu. Perubahan dimaksud harus dilakukan untuk merespon
kebutuhan nyata secara tepat. Semua negara modern sekarang ini tidak dapat lagi
mempertahankan format lama kelembagaan negara dan birokrasi pemerintahannya
yang makin dirasakan tidak efisien dalam memenuhi tuntutan aspirasi rakyat
yang terus meningkat.
Semua negara
dituntut untuk mengadakan pembaruan di sektor birokrasi dan administrasi
publik. Sebagai gambaran, setelah masing-masing melakukan pembaruan tersebut
secara besar-besaran sejak dasawarsa 1970-an dan 1980-an, hampir semua negara
anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD),[33]
mengembangkan kebijakan yang sama. Alice Rivlin,[34] dalam laporannya
pada tahun 1996 ketika menjabat Director of the U.S. Office of Management and
Budget menyatakan, bahwa sebagian terbesar dari 24 negara[35] anggota OECD
sama-sama menghadapi tekanan fundamental untuk melakukan perubahan, yaitu
karena faktor ekonomi global, ketidakpuasan warganegara, dan krisis fiskal.
Dalam laporan itu, Alice Rivlin menyatakan bahwa respons yang diberikan oleh
hampir semua negara relatif sama, yaitu dengan melakukan tujuh agenda sebagai
berikut:
1)
Decentralisation of authority within governmental units and
devolution of responsibilities to lower levels of government;
2)
A re-examination of what government should both do and pay
for, what it should pay for but not do, and what it should neither do nor pay
for;
3)
Downsizing the public service and the privatisation and
corporatisation of activities;
4)
Consideration of more cost-effective ways of delivering
services, such as contracting out, market mechanisms, and users charges;
5)
“Customer orientation, including explicit quality standards
for public services”;
6)
Benchmarking and measuring performance; and
7)
Reforms designed to simplify regulation and reduce its costs.
Menurut Laporan OECD yang dikemukakan oleh Alice Rivlin
tersebut, untuk menghadapi tantangan ekonomi global dan ketidakpuasan
warganegara yang tuntutan kepentingannya terus meningkat, semua negara OECD
dipaksa oleh keadaan untuk melakukan serangkaian agenda pembaruan yang bersifat
sangat mendasar. Pertama, unit-unit pemerintahan harus mendesentralisasikan
kewenangan dan devolusi pertanggung-jawaban ke lapisan pemerintahan yang
lebih rendah; Kedua, semua pemerintahan perlu mengadakan penilaian kembali
mengenai (i) apa yang pemerintah harus dibiayai dan lakukan oleh pemerintah,
(ii) apa yang harus dibiayai tetapi tidak perlu dilakukan sendiri, dan (iii)
apa yang tidak perlu dibiayai sendiri dan sekaligus tidak perlu dilakukan
sendiri; Ketiga, semua pemerintah perlu memperkecil unit-unit organisasi pelayanan
umum, dan memprivatisasikan serta mengkorporatisasikan kegiatan-kegiatan yang
sebelumnya ditangani pemerintah. Keempat, semua pemerintahan dianjurkan untuk
mengembangkan kebijakan yang pelayanan yang lebih cost-effective, seperti kontrak out-sourcing,
mekanisme percaya, dan biaya konsumen (users
charges); Kelima, semua pemerintahan berorientasi kepada konsumen, termasuk
dalam mengembangkan pelayanan umum dengan kualitas yang pasti; Keenam,
melakukan benchmarking dan penilaian
kinerja yang terukur; dan Ketujuh, mengadakan reformasi atau pembaruan yang
didesain untuk menyederhanakan regulasi dan mengurangi biaya-biaya yang tidak
efisien[36].
Dalam perspektif tersebut, penataan birokrasi dengan
tujuan menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, akuntabel
dan responsif maka diperlukan perubahan paradigma pengelolaan pemerintahan yang
bertanggungjawab. Reformasi birokrasi dalam tataran implementasi hendaknya
diarahkan kepada target maupun sasaran-sasaran strategis pada jabatan publik.
Reformasi birokrasi juga sudah saatnya dipraktikkan secara kongkrit dan tidak
memberikan kesan pada rakyat sebagaimana yang terjadi selama ini, yakni isu
reformasi birokrasi sebatas wacana politik rezim terutama menjelang pemilihan
umum.
Selama ini persepsi masyarakat terhadap pemerintah
kurang baik lantaran pemerintahan hanya lebih cerdas dalam memberikan
janji-janji perubahan dan isu reformasi
birokrasi ditunggangi dengan sedemikian rupa dalam aktivitas kampanye, sehingga
apa yang dicita-citakan dalam agenda reformasi birokrasi itu tidak berjalan
sesuai target pembangunan. Oleh sebab itu, agenda reformasi birokrasi hendaknya
memantapkan logika berpikir dan mendeterminasi mindset para penyelenggara negara untuk senantiasa memiliki
kesadaran keimanan dan ketaqwaan pada Tuhan yang dalam dan sekaligus menanamkan
rasa kesadaran ethics sosial terhadap
tanggungjawab posisi dan jabatan yang diberikan padanya. Paradigma pengelolaan
negara yang efektif dan efisien menjadi wujud keseimbangan antara posisi dan
jabatan dalam negara untuk memberikan pelayanan pada masyarakat
yangprofesional.
Perubahan Tata Pemerintahan hendaknya mengacu pada konsep sebagaimana
yang sering ditekankan oleh World Bank selama dua dekade belakangan ini. Untuk
mencapai tata pemerintahan lokal yang baik, terdapat beberapa prinsip utama
yang harus diperhatikan antara lain:
·
Penciptaan demokrasi lokal yang utama di mana
dalam hal ini mencakup lembaga Perwakilan lokal yang dipilih oleh masyarakat
lokal, hak pilih bagi masyarakat lokal, partisipasi publik, dan lainnya.
·
Efisiensi dan efektifitas dari pemerintah
daerah.
·
Prinsip rule
of law termasuk di dalamnya due
process of law dan prinsip keadilan.
·
Pemberantasan korupsi.
Penyelenggara negara hendaknya ditanamkan kesadaran
dengan suatu sistem yang tegas bahwa dalam mengelola negara sejatinya
mendahulukan nilai-nilai kebaikan universal serta senantiasa konsisten pada
nilai prinsip dan selalu ada kesadaran pentingnya membangun iklim kerja
organisasi birokrasi yang sehat. Paradigma pengelolaan negara yang menyadari
adanya perbedaan pendapat serta selalu menempatkan diri di tengah perbedaan
sebagai pribadi yang responsif, solutif, dan memberikan peran negara yang
positif. Mengelola birokrasi dengan penuh keterbukaan dan selalu menghormati
Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga dalam praktik memberikan pelayanan publik
tidak ada hak warga masyarakat yang terabaikan.
Dalam rangka melakukan transformasi sistem etika dalam
budaya lokal dan menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif maka diperlukan
penetapan agenda pembangunan yang tepat dengan melakukan reformulasi konsep
pelayanan publik yang baik, termasuk menyiapkan kualitas sumber daya manusia
yang handal serta memastikan pembagian tugas kelembagaan dengan baik dan
pentingnya menyusun organisasi pemerintahan yang jelas. Selain memastikan
adanya agenda transformasi nilai budaya dalam birokrasi juga yang tak kalah
penting adalah memetakan wewenang dalam jabatan tertentu yang balances, personalia yang profesional
serta memiliki suatu konsep mengenai tata cara serta prosedur pelayanan publik
yang baik.
Penyelenggara negara
harus memiliki visi, misi dan konsep mengenai tata kelola pemerintahan
yang baik, sehingga diharapkan dari mereka baik pebirokrat dan political appointees benar-benar membumi
paradigma mereka tentang pentingnya memberikan peran positif bagi pengembangan
misi perjuangan bangsa dan betul-betul memberikan dampak yang baik bagi proses
pelayanan dalam birokrasi sebagai abdi masyarakat. Artinya, seorang pebirokrat
maupun political appointees dalam
menjalankan sistem pemerintahan betul-betul memahami dan menerapkan misi abdi
masyarakat dan abdi negara yang bertanggungjawab, memiliki sifat bijak,
efektif, efisien, adil, dan santun dalam memberikan pelayanan publik apakah itu
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung agar masyarakat merasa ada
kebersamaan dalam bernegara.
Salah satu kelemahan dalam bernegara dewasa ini yang
selalu muncul adalah menipisnya kesadaran masyarakat termasuk pengelola negara
tentang hak dan kewajiban. Banyak pejabat yang lupa bahwa mendahulukan kewajiban merupakan hal
mendasar dalam hakikat kehidupan sosial. Banyak pejabat negara yang dikarenakan
asyik dan lupa diri akan tanggungjawab amanah yang diembannya kemudian lebih
mengutamakan haknya daripada menunaikan kewajiban dalam pengabdian pada
masyarakat dan negara. Akibatnya perilaku negatif dan tidak baik ini diikuti
masyarakat sehingga reformasi birokrasi yang sebaik apapun sistem yang
digunakan tidak akan efektif karena tidak adanya keteladanan dari elit
pemimpin.
Masyarakat lebih menuntut ditegakan hak-hak mereka
daripada mereka mendahulukan kewajiban. Hal ini sebagai implikasi negatif dari
tidak adanya keteladanan yang baik dari pihak penyelenggara negara. Masyarakat
cenderung bertindak dan menghakimi pejabat tertentu tanpa melihat lebih jauh
mengenai pentingnya keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam kehidupan
bernegara. Ketidaktaatan masyarakat pada hukum boleh jadi karena sikap dan
perilaku elit yang selalu mendahulukan kepentingan mereka daripada kepentingan
umum. Kepentingan umum dinomorduakan sementara kepentingan pribadi, kelompok,
golongan, partai, dan organisasi, termasuk menggunakan jabatan untuk
bekerjasama dengan pihak-pihak diluar dengan maksud meraup keuntungan juga merupakan
sikap negatif yang selama ini terjadi.
Oleh sebab itu, reformasi birokrasi dalam rangka
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih hendaknya harus
menyentuh ke semua aspek pembangunan. Reformasi birokrasi yang dengan
menekankan paradigma pembangunan negara berbasis spiritualitas sosial yang di
dalamnya memuat upaya-upaya menciptakan keseimbangan sistem dan mekanisme kerja
organisasi. Reformasi birokrasi yang tidak sekadar menyentuh aspek strutural
semata, tetapi harus menyentuh dimensi substansial yang didalamnya meliputi
berbagai unsur seperti penataan organisasi, manajemen, sumber daya manusia yang
berkualitas dan terarah, sehingga dengan demikian tekad dan upaya bersama dalam
rangka memahami dan mengartikulasikan nilai-nilai perjuangan dan pengabdian
pada bangsa, dalam konteks kebersamaan dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang merupakan manifestasi dari spirit nilai-nilai Pancasila
dan UUD 1945 bisa teraktualisasikan dalam kehidupan nyata.
Konsep reformasi birokrasi secara substansial adalah
menjadikan nilai-nilai dasar dalam Pancasila dan UUD 1945 sebagai manifestasi
dari transformasi prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dan
berwibawa. Reformasi birokrasi yang secara fundamental menetapkan konsep pemantapan
komitmen bernegara yang harus bisa melekat pada setiap individu dan institusi
berdasarkan posisi serta masing-masing peran dalam proses pengelolaan negara.
Fungsi-fungsi nilai ini menjadi pedoman perilaku baik dalam bersikap,
bertindak, maupun dalam berpikir bagi semua individu dan secara kelembagaan
dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kepemerintahan. Hal ini penting guna
mewujudkan visi pengelolaan pelayanan publik dari suatu kebijakan yang prima (excellent management of public services and
policies). Dengan visi tersebut maka semua peraturan mengenai tata kelola
pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab secara bertahap akan
terimplementasikan. Setiap individu dan secara kelembagaan hendaknya memiliki
kesadaran untuk mengutamakan karya dan kinerja sebagai prasayarat utama dalam
mengembangkan kualitas diri di tingkat pengabdian sosial.
[1] Muhammad Mustafied, Merancang
Ideologi Gerakan Islam Progresif-Transformatif; Mempertimbangkan Islam Kiri
Hassan Hanafi, dalam (ed.), Muhidin M. Dahlan, Sosialisme Religius: Suatu Jalan Keempat, Kreasi Wacana,
Yogyakarta, 2002, hal, 169.
[2] Terminologi ideologi
dalam konsep dan praktik selalu dihadapkan dengan pertentangan politik, dan
substansi ideologi dalam pengertian politik selalu bias interpretasi, sehingga
secara teoritis boleh dikatakan tidak memiliki batasan istilah mengenai
ideologi tersebut. Dalam literatur klasik maupun kontemporer misalnya, dengan
merujuk pada pemikiran Karl Marx tentang istilah ideologi ini, Marx membaginya
dalam tiga tipe perkembangan pengertian ideologi yakni (i), sistem keyakinan
yang berkembang dalam sebuah komunitas atau kelompok masyarakat tertentu atau
disebutnya sebagai kelas tertentu; (ii) ideologi yang memuat gagasan-gagasan
yang menimbulkan kesadaran palsu yang dikontradiksikan dengan pengetahuan
ilmiah; dan (iii) ideologi yang muncul dikarenakan proses umum, yakni melalui
suatu proses produksi makna gagasan tertentu terhadap fakta dan realitas yang
ada, dan kemudian diyakini sebagai suatu kebenaran yang dipertahankan. (Lihat
juga dalam Sargent, Lyman, Tower: 1987).
[3] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Edisi Pertama, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal, 284.
[6] George Ritzer, Douglas J. Goodman, Sociological Theory: Karl Marx and Varieties
of Neo-Marxian Theory, dalam (terj.), Nurhadi, Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian, Kreasi Wacana,
Yogyakarta, 2011, hal, 72.
[7] Anthony Giddens, Capitalism and Modern Social Theory: An Analisys of Writing of Marx,
Durkheim and Marx Weber, dalam (terj.), Soeheba Kramadibrata, Universitas
Indonesia (UI Press), Jakarta, 2007, hal, 257.
[8] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Penerbit, Konstitusi Press, Edisi Revisi, Jakarta, 2006, hal, 281.
[9] Dalam buku saya, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi
ini dapat dilihat klasifikasi tipe ideologi dimaksud. Tipe ideologi dalam
pembahasan buku ini, penulis dengan merujuk berdasarkan tahap perkembangan
ideologi-ideologi yang diterapkan di beberapa negara di dunia. Tipe ideologi
yang digunakan oleh negara-negara maju maupun berkembang masing-masing memiliki
latar belakang yang berbeda. Namun penggunaan kata ideologi dari suatu negara
menunjukkan basis identitas politik kenegaraan. Ideologi terbuka dan ideologi
tertutup tumbuh dan berkembang di negara-negara modern. Ideologi tertutup
umumnya cenderung eksklusif dan menggunakan sistem demokrasi setengah-setengah
atau tidak seutuhnya menerapkan sistem demokrasi modern, bahkan negara yang menerapkan
ideologi tertutup cenderung otoriter. Sedangkan ideologi terbuka umumnya lebih
bersifat fungsional, dan dalam praktik negara dengan ideologi terbuka ini lebih
moderat dan lebih komunikatif dalam pergaulan internasional.
[10] The Institutions of
Private Law (Routledge and Kegan Paul, 1976), hal, 58. Tentang pemikiran Renner didasarkan uraian Colin
Summer, Reading Ideologies, hal, 248-249.
[12]
http://filsafatdanhukum.blogspot.com/2011/05/ideologi-hukum-indonesia.html.
[13] J. P. Harris, The Advice and Consent of the Senate (Los
Angeles: University of California Press, 1953), hal, 128.
[14] Warren was apparently outraged
that Frankfurter would weaken the united front he himself had suggested by
adding a concurring opinion. See G. Edwar White, Earl Warren: A Public Life, New York: Oxford
University Press, 1982, hal, 358.
[15]
http://fixguy.wordpress.com/makalah-pancasila-sebagai-ideologi-terbuka-dan-kaitannya-dengan-penegakan-supremasi-hukum.
[16] Peter de Cruz, 2010, Comparative Law in a Changing World,
dalam (terj.), Narulita Yusron, Perbandingan Sistem Hukum; Common Law dan
Socialist Law, Nusa Media-Diadit Media, Bandung, hal, 230.
[17] Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Konstitusi Press, Jakarta, hal, 14.
[19] Firoz Gaffar, Diagnostic Assessment of Legal Development
in Indonesia (World Bank Project – (IDF Grant No. 28557), dalam Niar
Reksodiputro, Reformasi Hukum di
Indonesia, CYBERconsuLt, Jakarta, 1999, hal, 4.
[20] Selanjutnya dalam studi perkembangan hukum – proyek Bank Dunia, disusun
Ali Budiardjo dkk, tahun 1999. Pada awal reformasi memang persepsi publik
terhadap reformasi sistem hukum dianggap tidak berjalan efektif. Pembangunan di
bidang hukum tidak jalan sesuai cita-cita reformasi. Hasil studi perkembangan
hukum yang dilakukan Bank Dunia yang mengambil tema Diagnostic Assessment of Legal Development in Indonesia tersebut
mengkritisi berbagai ketimpangan penegakan hukum di Indonesia. Hukum selama
masa pemerintahan Orde Lama dan terlebih pada era kekuasaan Orde Baru dianggap
lebih mementingkan kepentingan aktor politik yang notabene memiliki akses
kekuasaan dengan penguasa. Reformasi tidak akan pernah terwujudkan apabila
proses perubahan yang ddengung-dengungkan tersebut tanpa terlebih dahulu
melakukan reformasi sistem. Reformasi sistem merupakan suatu keharusan yang
tidak bisa dikesampingkan pemerintah termasuk memikirkan bagaimana melakukan
perubahan sistem hukum yang modern dan relevan sesuai tuntutan zaman. Penegakan
hukum yang bersifat proseduralistik dan mengutamakan aspek legalistik semata
jelas berdasarkan dari banyak hasil survei menemukan bahwa pola tersebut tidak
akan efektif dalam membangun sistem kerja hukum yang benar-benar terpercaya.
Reformasi sistem hukum yang bersifat modern dengan mengedepankan aspek
keterbukaan tidak bisa dihalangi apalagi dihambat karena dengan melakukan
perubahan sistem proses dan mekanisme kerja hukum terutama dalam peradilan yang
bersifat terbuka harus menjadi agenda prioritas pemerintahan yang ada jika
ingin tingkat kepercayaan masyarakat pada pembangunan di bidang hukum bisa
pulih.
[21] Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal, 163.
[22] J.W. Scoorl, Sociologie Der Modernisering dalam
(terj.), Modernisme; Pengantar Sosiologi
Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang, Gramedia, Jakarta, 1981, hal,
167.
[23] Defenisi birokrasi menurut Weber
dalam perspektif manajemen pemerintahan bernegara banyak dikemukakannya dan
menjadi tema kajian-kajian akademis di kalangan intelektual dan profesional.
Perkembangan pengelolaan negara di dunia modern yang cenderung tidak sesuai
konsep dasar demokrasi menjadi perhatian kalangan intelektual untuk mengangkat
kembali tema-tema mengenai perubahan atau lazim dikenal reformasi birokrasi.
Pengertian birokrasi secara normatif maupun secara kontekstual sebenarnya tidak
memberikan suatu pemahaman praktikal yang kaku dan statis tetapi melainkan
pemahaman birokrasi yang dibangun tersebut lebih merupakan suatu upaya untuk
mengembalikan konsep dasar birokrasi dalam praktik kehidupan sosial di era
modern. Pengertian birokrasi sebagaimana dikemukakan Weber ini banyak sekali
ilmuan modern yang mengutipnya termasuk Grifford dan Elizabeth Pinchot dalam The End of Bureucracy & The Rise of the
Intelligent Organization, (1995: 29).
[24] Riant Nugroho Dwidjowijoto, Indonesia 2020, Sebuah Sketsa tentang Visi
& Strategi dalam Kepemimpinan Manajemen Politik & Ekonomi, RBI
Research, Jakarta, 1998, hal, 42.
[25] Pelayanan birokrasi tidak
optimal dan terkesan berbelit-belit ini yang membuat masyarakat tidak percaya
pada pemerintahan reformasi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Pemerintah
bahkan dinilai gagal dalam melakukan reformasi birokrasi karena birokrasi masih
memperlihatkan pelayanan yang tidak prima. Hasil survei Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada awal November 2010 menemukan fakta bahwa sektor pelayanan
publik di birokrasi pemerintahan masih dianggap buruk. Indeks pelayanan publik
mengalami penurunan secara tajam. Dari 353 uni layanan pemerintah mengalami
penurunan kualitas pelayanan dari tahun sebelum (2009) yang indeks integritas
nasional sebesar 6,5 dan pada tahun 2010 menurun jadi 5,42. 12.616 responden
dan terdiri dari 23 instansi pemerintah pusat 6 instansi vertikal di daerah dan
22 pemerintahan kota, survei KPK memperlihatkan buruknya pelayanan publik
mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap tekad pemerintahan
reformasi dalam melakukan reformasi birokrasi. Survei KPK awal November 2010
ini menempatkan Kepolisian, Mahkamah Agung, dan BNP2TKI mendapat indeks
rata-rata 5,21 karena masih terdapat praktik pungutan liar dalam pelayanan
pembuatan dokumen, surat izin mengemudi, dan surat keterangan catatan sipil di
Kepolisian. Ironisnya, survei ini mengungkapkan Mahkamah Agung yang sebenarnya
jadi benteng terakhir harapan keadilan masyarakat menjadi instansi yang
memiliki integritas paling rendah yakni di bawah rata-rata 6,82.
[26] Miriam, Budiardjo, 1975, Masalah Kenegaraan, Penerbit P.T. Gramedia,
Jakarta, hal, 121.
[27] Hendarmin Ranadireksa, Visi
Bernegara; Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, 2009,
hal, 97.
[28] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Pasca
Reformasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal, 34.
[30] Ibid.
[31] Afan Gaffar, Politik Indonesia; Transisi Menuju
Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hal, 231.
[32] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Pustaka Utama, Gramedia, Jakarta, 1992,
hal, 58.
[33] Organization for Economic Cooperation
and Development. Semula organisasi ini berasal dari “The Organization for
European Economic Cooperation” yang. dibentuk setelah Perang Dunia Kedua dengan
maksud utamanya “to administer the
Marshall Plan for the Reconstruction of Europe”. Setelah penandatangan
konvensi di antara 20 negara anggotanya pada 14 Desember 1960, OEEC tersebut
berubah menjadi OECD. Lihat
http://www.oecd.org/
[34] David Osborne and Peter Plastrik, Banishing Bureaucracy: The Five Strategies
for Reinventing Government, (A Plume Book, 1997), hal. 8.
[35] Sekarang, jumlah negara anggota OECD
ini sudah bertambah menjadi 30 negara, yaitu: (i) Austria (1961, (ii) Belgium
(1961), (iii) Greece (1961), (iv) Denmark (1961), (v) Canada (1961), (vi)
Finland (1961), (vii) France (1961), (viii) Germany (1961), (ix) Normway
(1961), (x) Netherlands (1961), (xi) Hungary (1996), (xii) Ireland (1961),
(xiii) Iceland (1961), (xiv) Luxembourg (1961), (xv) Sweden (1961, (xvi)
Switzerland (1961), (xvii) United Kingdom (1961), (xviii) United States of America
(1961), (xix) Italy (1962), (xx) Japan (1962), (xxi) Australia (1971), (xxii)
Mexico (1994), (xxiii) Czech Republic (1995), (xxiv) South Korea (1996), (xxv)
New Zealand (1973), (xxvi) Poland (1996), (xxvii) Portugal (1961), (xxviii)
Slovak Republic (2000), (xxix) Norway, dan(xxx) Turkey. Lihat
http://www.oecd.org, dan /www.minagric.gr/en/agro_pol/OECD-EN-310804.htm