Rabu, 18 Juni 2014

Pemilukada dan Peran Media Massa

Oleh: Rahman Yasin

Sebuah proses penyelenggaraan pemilihan umum akan terhindar dari intervensi, jauh dari proses kontaminasi elit partai politik manakala peran media massa dalam mengkonstruksi berita dapat dilakukan secara proporsional dan dengan metode penyampaian informasi politik yang seimbang dan bermuatan mendidik inilah kemudian mampu mewujudkan suasana psikologi politik masyarakat yang kondusif. Dengan cara tersebut, maka integritas proses dan hasil penyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis akan hadir dalam benak masyarakat, dan dengan begitu legitimasi kepemimpinan nasional kuat adanya.
Tetapi bila pendekatan komunikasi politik yang terus dilakukan secara berlebihan oleh pemimpin eksekutif terhadap lembaga-lembaga negara seperti legislatif, dan yudikatif, maka sebaliknya peluang terbukanya ruang praktik korupsi dalam penyelenggaraan pemilu tetap terbuka. Masyarakat merasa prihatin terhadap penyelenggaraan pemilu pasca reformasi yang cenderung melahirkan praktik politik uang yang tidak saja melibatkan aktor elit tetapi sampai ke tingkat bawah.
Praktik politik uang dalam penyelenggaraan pemilu selalu jadi biang kekacauan sistem demokrasi, bahkan menghancurkan sendi-sendi moralitas politik bangsa, karena uang hampir menjadi sarat penentu utama kemenangan setiap calon yang menggunakannya. Politik uang sangat berpihak kepada calon yang menggunakannya. Kekuatan finansial masih menjadi faktor kuat pemenangan calon daripada kekuatan ideologi sekalipun. Dengan demikian, praktik pengingkaran politik nurani dalam penyelenggaraan pemilu harus dihentikan dengan menegakan hukum pemilu, baik pelanggaran administrasi maupun tindak pidana pemilu merupakan suatu keniscayaan.
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan sarana yang paling efektif untuk melaksanakan kedaulatan politik rakyat dalam konteks kebebasan memilih pemimpin yang kelak menjalankan kebijakan pembangunan negara. Melalui Pemilu, terjadi proses apa yang disebut dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1999 tentang Pemilusebagai suatu cara efektif menjalankan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tentu tetap dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Arah kebijakan negara akan sangat ditentukan oleh calon-calon pemimpin yang turut ambil bagian dalam pelaksanaan pemilu. Pemilu juga merupakan sebuah konsep demokrasi yang menempatkan nilai-nilai egaliterianisme politik masyarakat secara berperadaban.
Pemilu punya arti penting tentang bagaimana pembaruan sistem kehidupan masyarakat itu di mulai, karena lewat pemilu, warga bangsa akan diberikan kebebasan penuh untuk menggunakan prefrensi politik tanpa adanya intervensi yang berarti dari rezim atau kelompok politik manapun yang mengatasnamakan demokrasi. Tesis ini diperkuat dengan basis penerapan sistem penyelenggaraan pemilu yang berasaskan Langsung, Umum Bebas, Rahasia (Luber), Jujur, dan Adil (Jurdil). Titik tekan dari substansi penyelenggaraan pemilu yang Luber dan Jurdil diatur dalam UU No. 32/2004, UU No. 22/2007, dan UU No. 10/2008 tentang sistem dan mekanisme menggunakan hak pilih masyarakat dalam pemilu.
Sejak pemilu tahun 1955, transformasi demokrasi mendapat legitimasi yang cukup kuat dari dunia Internasional. Sistem multipartai baru pertama kali diterapkan dalam sebuah kondisi geo-sosio politik yang kurang stabil, tapi fakta menunjukkan, elit politik ketika itu mampu menghadirkan suasana demokrasi politik yang berperadaban.
Protes akibat pelanggaran pemilu pun relatif kurang meskipun ada namun dari cara mendisegn tradisi politik yang santun paling kurang siap kalah dan mengakui kemenangan lawan terasa begitu kuat. Ini sangat berbeda dengan kondisi politik baik pada pemilu 1971 yang merupakan fase pertama kehadiran rezim Orde Baru dalam pentas politik nasional maupun pemilu-pemilu berikut di era Orde Baru, bahkan hingga memasuki fase reformasi.
Secara teoritik, pemerintahan Orde Lama menerapkan sistem demokrasi terpimpin yang hingga memicu tersumbatnya kran demokrasi. Kegaduhan sistem politik masa transisi demokrasi menjadi faktor kegagalan negara dalam menyusun dan menerapkan sistem pemilu yang demokratis.
Kepemimpinan Soekarno, apa yang disebut oleh Herbert Feit (1962) dalam karya monumentalnya, The Decline of Constittutional Democracy in Indonesia, sebagai solidarity makers, dan administrator atau lebih dipahami sebagai problem solver ini kurang bersahabat dengan kultur politik bangsa. Kegagalan demokrasi parlementer era kekuasaan rezim Orde Lama tampak jelas akibat diterapkannya sistem constitutional democracy. Sebuah kegagalan membangun tradisi demokrasi kekuasaan yang elegan untuk membawa bangsa ke arah peradaban politik modern.
Reformasi sistem Pemilu dan sistem politik terus dilakukan dan pada setiap pergantian “rezim kekuasaan politik legislasi” di parlemen, hampir perubahan terhadap UU Pemilu, UU Kepartaian, dan UU Politik tidak pernah luput dari sikap politik partai-partai politik yang kontraproduktif.
Akan tetapi perubahan demi perubahan sampai saat ini belum mampu mewujudkan sebuah sistem yang relevan, dan bersahabat dengan tuntutan zaman. Apa yang disebut Plato dalam karya Republik-nya terbukti adanya sebuah realitas bernegara dalam situsasi modern saat ini.
Oligarki merupakan sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan konsep politik yang mengedepankaan kekuasaan di tangan segelintir orang. Dalam catatan literatur modern, Robert Michels (1959), menyebutkan, bahwa konsep oligarki kekuasaan, setidaknya telah diperlihatkan oleh beberapa negara yang pernah menerapkan sistem kekuasaan oligarki, antara lain, Jerman yang dipimpin Hitler, Uni Sovyet dibawah kendali Stalin, Perancis dibawah kekuasaan Louis XIX, bahkan Soeharto pun dikategorikan sebagai bagian dari rezim yang menjalankan sistem oligarki.
Dalam kaitan dengan gonjang-ganjing proses revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, terlihat dengan jelas bagaimana politik kekuasaan gaya oligarki ini bekerja aktif. Politisi parlemen seakan-akan memanfaatkan setiap periode “kekuasaan politik legislasi” di parlemen selama menjabat, sebagai lahan basah untuk menghidupkan sumber pemasukan finansial partai politik sehingga ketika revisi UU Pemilu itu dilakukan, anggota Dewan yang merupakan mesin politik politik ini lebih mengedepankan kepentingan individu maupun partai di mana mereka bernaung.
Fraksi partai besar seperti FD, FG, FPDIP, dan FKS,  akan berbeda visi atau bisa jadi sama kepentingan, namun secara politik kalkulatif, sama-sama memiliki kepentingan organisasi. Akibatnya, proses pembahasan revisi UU Pemilu tidak lagi memikirkan substansi, sejauhmana kepentingan masyarakat dalam pemilu termasuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu serta transformasi pendidikan politik bagi rakyat itu bisa teragregasi dengan baik, tetapi sebaliknya para wakil rakyat justru lebih mengutamakan bagaimana memperjuangkan kepentingan partai politik masing-masing.
Revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang digulirkan sejak awal tahun 2010 dan berdasarkan potret dinamika yang terjadi, agaknya semakin memperkuat pesimistis rakyat terhadap kinerja buruk anggota Dewan yang terhormat ini. Perjalanan penuh intrik dibalik pembahasan revisi terbatas UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Perdebatan klasik hingga pragmatis mewarnai pembahasan revisi UU Pemilu.
Dari persoalan calon keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan keanggotaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pro kontra menaikan ambang batas, persoalan jumlah keanggotaan Dewan Kehormatan KPU, terkait komposisi perwakilan kalangan masyarakat dari kalangan profesional, soal kemandirian KPU dan Bawaslu, serta boleh tidak kader parpol menjadi anggota KPU dan Bawaslu.
Tahun 1999 merupakan sejarah awal perpolitikan nasional dalam membangun tradisi politik yang demokratis dalam kerangka penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sejarah baru demokratisasi ini ditandai dengan diproklamasikannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang pada perjalanannya kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pesan komunikasi politik kebijakan pemerintah yang demokratis dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang otonomi Daerah yang secara implisit menegaskan sikap pemerintah pusat ingin mengubah sistem dan cara penerapan Undang-Undang pemerintahan Daerah yang lebih adil dan demokratis.
Pertentangan ideologi politik antara masing-masing faksi politik lokal, regional, dan nasional yang terjadi dalam dua (2) sampai tiga (3) dekade dapat diredam secara elegan. Setidaknya kehadiran peraturan dan perundang-undangan pemerintah yang baru mampu merespon gejolak politik lokal yang cenderung menjurus pada disintegrasi bangsa.
Salah satu unsur problem yang seringkali memicu konflik politik antara pusat dan daerah ialah sistem penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) yang secara konstitusional menganut sistem demokrasi prosedural umum. Demokratisasi kekuasaan elit lokal hanya dikendalikan oleh sistem yang notabene menjadi dominasi elit pusat sehingga hal tersebut sangat mengganggu keamanan dan ketertiban bangsa.
Reformasi tahun 1998 menghasilkan perubahan kehidupan sistem pemerintahan yang semakin demokratis daripada masa-masa sebelum. Demokrasi prosedural di-tingkatkan menjadi demokrasi substansial yang pada intinya menempatkan kembali kedaulatan rakyat secara proporsional sesuai semangat Undang-Undang Dasar 1945.
 Demokrasi substansial telah menempatkan hak-hak politik masyarakat ke-dalam sistem yang adil. Pada fase ini demokrasi substansial kembali menghidupkan sistem penyelenggaraan Pemilu yang semakin adil dan demokratis pula, yang di-dalamnya termasuk penyelenggaraan Pemilu Kada di semua tingkatan.
Pemilu Kada yang dilaksanakan secara langsung merupakan salah satu unsur fundamental yang mampu menjawab tuntutan rakyat yang selama Pemilu-pemilu sebelumnya dianggap penuh rekayasa dan manipulasi. Pengendalian kekuasaan dan rotasi demokrasi tidak dimainkan langsung oleh rakyat tetapi hanya melibatkan para aktor elit politik pusat sehingga Pemilu dihadapan rakyat sebagai rutinitas kekuasaan yang dikehendaki segelintir elit.

Keberpihakan Politik Media
Media condong memihak pemilik saham dan lebih mengedepankan aspek keuntungan daripada menampilkan netralitas dan idealisme politik. Kekuatan ekonomi menentukan arus kekuatan politik, dan begitu juga sebaliknya. Antara kekuatan ekonomi dan politik saling bergantungan sehingga dalam perspektif pengembangan media sebagai sarana pendidikan budaya bangsa dalam segala dimensi kehidupan tidak berjalan sesuai cita-cita pembangunan nasional.
Tidak bisa dipungkiri, kekuatan modal sangat menentukan kebijakan yang notabene pemilik modal utama sebuah media massa yang mengarah pada diversity media. Kompetisi politik global menyebabkan pertarungan ideologi dengan keras dan tajam. Keberadaan media massa turut melegitimasi perang  politik antar kontestan merebut kekuasaan dan di dalamnya termasuk pergulatan kepentingan ekonomi bisnis. Dalam perebutan kekuasaan, peran media tidak lagi berfungsi sebagai kontrol sosial atau memberikan pelayanan informasi dan memberikan pendidikan bagi masyarakat tetapi pada kenyataannya media lebih berperan menjadi bagian dari pergulatan merebut kekuasaan.
Diversity media massa secara politik terkonstruksi oleh diaspora pergulatan ekonomi politik dalam merebut kekuasaan. Keragaman metode dan pendekatan penyampaian informasi media massa pun sangat ditentukan oleh pengendali media massa itu sendiri. Hegemoni dan monopolistik kepemilikan media antara media yang dikendalikan penguasa dan kaum pemilik modal media seringkali memangkas hak-hak informasi masyarakat yang sesungguhnya. Konstruksi berita lebih ditekankan pada aspek pembentukan opini publik dengan tujuan meyakinkan masyarakat mengikuti keinginan media massa bersangkutan.
Masyarakat tidak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi bahkan dikotomi dan monopolistik produksi informasi ini menjadikan media menjadi tidak independen. Media berperan melakukan kampanye bahkan dalam konstelasi politik yang eskalatif, media cenderung membuat persepsi secara miring dan mengaburkan hakikat kebenaran sebuah peristiwa yang semestinya.
Era modern dan kuatnya globalisasi informasi dan komunikasi, kehadiran media komunitas yang diharapkan menjadi alternatif pengimbang informasi antara kepentingan elit penguasa dan kaum pemodal media pun kenyatannya tidak efektif. Media komunitas dengan keberagaman (diversity of ownership) dengan semangat menggantikan posisi media yang monopolisasi informasi dan pemberitaan dalam kenyataannya tidak bisa tampil sebagaimana mestinya.
Media baik yang dikendalikan penguasa maupun kaum pemodal hampir tidak bisa dihindari bahwa dalam tataran praktek politik keberagaman kepemilikan (diversity of content) kerapkali menyajikan informasi yang cenderung bermuatan kepentingan sehingga substansi, content, visi terkonsentrasi pada bagaimana memaksimalkan kepentingan aktor pengendali.
Diversity of ownership dan diversity content memiliki visi untuk membuat frame informasi untuk membangun image publik atas kepentingan yang dibawah media itu sendiri. Betapapun demikian, fungsi sosial kontrol media massa tidak serta-merta diterjemahkan dalam kerangka normatif dan kontekstual dan hingga akhirnya hanya terjebak pada perspektif media yang etis dan utopis karena selalu mengambang tetapi secara rasional diakui bahwa keberagaman media dalam proses politik tetap diperlukan masyarakat.
Idealisme media menjadi sebuah utopia karena dalam pertempuran ideologi, idealisme menjadi tidak berlaku bagi sebuah media. Segala sesuatu yang ada yang merupakan produk ide atau pikiran tidak lagi digerakkan sesuai misi kemanusiaan tetapi peran budaya dan kekuatan ideologi mengesampingkan budaya idealisme dan tradisi politik positivisme.
Yang muncul dalam pertikaian ideologi, media menempatkan diri menjadi sistem kerja politik berbasis budaya dualisme, dimana proses produksi informasi dengan menggunakan cara berpikir yang bertitik tolak pada materi dan ideologi sekaligus. (Darsono, 2006: 112).

Goffman dalam dramaturgisnya menurut Doyle (1986: 42) mengatakan:

“Masalah utama yang dihadapi individu dalam pelbagai hubungan sosialnya adalah mengontrol kesan-kesan yang diberikannya pada orang lain. Pada akhirnya individu berusaha mengontrol penampilannya, keadaan fisiknya dimana mereka memainkan perannya serta perilaku perannya yang aktual dan gerak isyarat yang menyertainya”. (Lely Arrianie, 2010: 33).

Marx sebagaimana rekannya Friedrich Engels (1820-1895), menunjukkan penerimaannya akan prinsip dialektika, tetapi keduanya mengganti dasar spirit dialektika dengan dasar materi murni. (Ali Abdul Mu’ti Muhammad, 2010: 206). Filsafat Hegel memprioritaskan perkembangan akal dan pemikiran (idea). Filsafat idealisme memang memosisikan perkembangan manusia dan hubungan-hubungan sosialnya sebagai sesuatu yang dihasilkan perkembangan akal. Marx dan Engels sendiri menerima pemikiran Hegel tentang dialektika dan perkembangan terus-menerus, tetapi keduanya mengemas idealismenya.*
                        ___________________________________________

Penulis adalah, pemerhati dan pegiat masalah politik kepemiluan di Indonesia, tinggal di Jakarta.

Selasa, 10 Juni 2014

Manivesto Pemilu Berintegritas

Oleh: Rahman Yasin

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Komisi 2 pada Rapat Kerja Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hari Senin tanggal 4/6/2012 sebagai tindaklanjut dari RDP sebelumnya tanggal 21/5, dimana mereka menyepakati untuk secepatnya membentuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Alhasil, momen RDP hari Senin 4/6 perkembangan yang terjadi Komisi 2 DPR mengumumkan 3 nama calon anggota DKPP.
Sebagai tindaklanjut agenda RDP, KPU dan Bawaslu langsung menggelar rapat pleno masing-masing internal dengan tujuan menetapkan nama calon anggota DKPP. KPU mengutus anggota komisioner Ida Budiarti, dan Bawaslu mengutus anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak. RDP hari Senin 4/6 Komisi 2 menyampaikan perkembangan terkait pengajuan 3 nama calon anggota DKPP dari unsur masyarakat yang merupakan hasil seleksi mereka yakni Jimly Asshiddiqie, Nur Hidayat Sardini, dan Saut Hutamongan Sirait. Jimly sosok cendikiawan yang profesional, Nur Hidayat Sardini merupakan intelektual muda yang energik dan dedikasinya pada persoalan pemilu tidak diragukan, serta mantan anggota KPU pergantian antar waktu (PAW), Saut Hutamongan Sirait yang menggantikan komisioner KPU Andi Nurpati karena dipecat sebagai sosok yang kreatif. Diumumkan 3 nama calon anggota DKPP tersebut paling tidak mampu mereduksi polemik soal ketertutupan DPR selama beberapa pekan terakhir.
Terlepas dari interpretasi dan persepsi politik apapun yang dibangun para aktor politik dan berkembang di masyarakat tentang isu politisasi atau adanya vested inters dalam proses seleksi yang dilakukan Komisi 2, namun, dengan muncul 3 nama tersebut sekurang-kurangnya membuat publik lega. Meski apa yang dilakukan DPR tidak kemudian memuaskan semua pihak. Tetapi paling tidak DPR telah mengambil sebuah keputusan politik yang produktif karena dengan waktu yang diberikan Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu bisa dijalankan secara konsisten.
DPR, KPU, dan Bawaslu sudah secara resmi mengajukan nama-nama calon anggota DKPP, tinggal pemerintah. Pemerintah diharapkan bersikap terbuka dan betul-betul mengedepankan aspek proporsionalitas dan profesionalitas dalam memilih calon anggota DKPP. Pemerintah seharusnya lebih dahulu memberikan contoh yang positif dalam mengambil keputusan yang akuntabel. Jika pemerintah memperlambat proses pembentukan DKPP maka sangat boleh jadi public menaruh curiga pada pemerintah. Semakin di molor proses ini maka semakin tidak percaya masyarakat pada pemerintah. Karena sesuai jadwal tahapan pembentukan DKPP menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 waktu yang diberikan hanya dua bulan yakni setelah komisioner KPU dan Bawaslu mengambil sumpah dan janji.
Keberadaan DKPP sangatlah diperlukan apalagi di beberapa daerah termasuk provinsi DKI Jakarta yang tengah menyelenggarakan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) sehingga kehadirannya menjadi begitu penting guna mengurangi potensi pelanggaran Pemilu Kada. Mengingat eksistensi DKPP menjadi basis kekuatan moral yang menjaga dan mengawal kehormatan Pemilu di Indonesia.
Sebetulnya pemerintah tidak perlu menunda-nunda apabila merujuk pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu, Pasal 109 ayat (3) yang memerintahkan agar DKPP dibentuk paling lama 2 (dua) bulan sejak anggota KPU dan anggota Bawaslu mengucapkan sumpah/janji. KPU dilantik pada hari kamis tanggal 12/4/2012 dengan Keppres No. 34/P/2012, dan Bawaslu dengan Keppres No. 35/P/2012 sehingga dengan demikian, jika DPR dan pemerintah komitmen berpijak pada amanat UU No. 15/2011 tersebut maka tidak ada alasan pemerintah mengulur pembentukan DKPP.
Persiapan penyelenggaraan pemilu dan pemilu Kada bagi setiap tahapan memerlukan pengawasan teknis maupun pengawasan etik yang kuat dari berbagai elemen masyarakat terutama lembaga resmi negara yang dibekali dengan peraturan dan perundang-undangan. DKPP memiliki peran strategis sekaligus jadi tumpuan masyarakat bagi terselenggaranya pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber), dan jujur, dan adil (Jurdil). Artinya, kualitas proses maupun hasil pelaksanaan Pemilu sangat ditentukan seberapa jauh peran pengawasan kode etik dari DKPP.
DKPP berperan kuat melakukan pengawasan kode etik bagi penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, pemerintah harus mempercepat proses pembentukan DKPP KPU-Bawaslu. Komitmen keseriusan pemerintah memperbaiki kualitas dan integritas demokrasi dipertanyakan publik bila presiden tidak secepatnya memutuskan 2 dari 4 nama yang sudah diajukan Kemendagri sebagai perwakilan pemerintah. Keberadaan DKPP merupakan suatu keniscayaan karena tahapan pemilu 2014 sudah di mulai sehingga memerlukan persiapan dan penyesuaian kelembagaan berdasarkan tugas dan fungsi (Tupoksi). Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu, Pasal 109 ayat (2), disebutkan, DKPP memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU pusat hingga daerah bahkan sampai pada tingkat paling bawah yakni KPPS, dan KPPSLN. Hal serupa juga di Bawaslu dari tingkat pusat hingga paling bawah yakni anggota PPL, dan PPLN.
Pengalaman empirik menunjukkan betapa kualitas proses maupun hasil penyelenggaraan pemilu pasca reformasi selalu bermuatan politisasi karena penyelenggara pemilu merupakan instrumen paling strategis. Penataan demokrasi mengalami kemacetan akibat kekurangseriusan pemerintah merespon persoalan ini. Pemilu 2009 seakan-akan menjadi sumber “kebencian politik” bagi banyak partai politik terutama partai politik yang dirugikan akibat ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu.

Integritas Pemilu

Integritas proses maupun hasil penyelenggaraan pemilu tidak lepas dari integritas keanggotaan DKPP. Karena bagaimana pun kualitas dan integritas proses dan hasil pemilu tidak hanya melahirkan legitimasi politik masyarakat luas secara kuat tetapi legitimasi moralitas induvidu dalam struktur keanggotaan DKPP menjadi sangat menentukan bagi proses dan hasil pemilu. Artinya kehormatan penyelenggaraan pemilu secara moralitas dibangun oleh kinerja dan gerakan DKPP.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 Pasal 112 ayat (11), memberikan wewenang bagi DKPP memberikan sanksi teguran tertulis, memberhentikan sementara anggota KPU dan Bawaslu di semua tingkatan, hingga pemberhentian bersifat tetap. Martabat pemilu untuk mewujudkan legitimasi moral masyarakat pada anggota KPU dan anggota Bawaslu dalam menyelenggarakan pemilu tidak bisa dipisahkan dari profesionalisme anggota DKPP baik secara individu maupun kelembagaan. Apalagi status DKPP produk Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 yang merupakan hasil revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 semakin diperkuat keberadaannya yakni dari ad hock menjadi permanen.
Dalam konteks ini, presiden dituntut benar-benar selektif, akurat, dan mengedepankan asas akuntabilitas mengambil 2 duna nama calon sebagai perwakilan pemerintah. Betapapun tuntutan kuat dari publik, dan keinginan semua pihak untuk menghasilkan calon anggota DKPP yang memiliki syarat kualifikatif tetapi tanpa didasari kemauan bijak konsisten secara moral menjalankan peraturan dan perundangan-undangan maka potensi tidak percaya publik terhadap pemerintah suatu waktu pasti akan terjadi.
Proses pemilihan 2 dari 4 nama calon anggota DKPP semestinya dilakukan dengan cara-cara yang etis dan demokratis karena kehormatan lembaga ini pada proses selanjutnya dapat diukur melalui kualitas proses politik yang terjadi pada pemerintahan sekarang. 4 nama calon yang diusulkan Kesbangpol Kemendagri ke presiden pun masih tertutup. Yang paling penting kesadaran politik pemerintah secara bijak untuk mengambil kader-kader bangsa yang memiliki kompetensi soal dunia kepemiluan di Indonesia. Pemerintah sudah saatnya, dan sudah sepatutnya memilih calon anggota yang betul-betul memiliki rekam jejak (track record) kepemiluan yang teruji secara publik.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu pada junto putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai keanggotaan DKPP terdiri dari 1 orang unsur KPU, 1 orang lagi dari unsur KPU, 2 dari unsur pemerintah, dan 3 dari unsur tokoh masyarakat. Perkembangan yang muncul kemudian adalah DPR, KPU, Bawaslu, dan pemerintah masing-masing sudah mengajukan nama sesuai proses dan mekanisme intern.

Pertaruhan DKKP
Tidak bisa dimungkiri bahwa performa kapasitas kinerja DKPP menjadi pertaruhan kredebilitas DPR dan pemerintah periode sakarang karena peran legislatif dan eksekutif begitu penting dalam proses pembentukan DKPP.  Begitu juga kualitas proses maupun hasil penyelenggaraan pemilu 2014 dan pemilu kada di seluruh Indonesia selama lima tahun ke depan. Mengingat pemilu merupakan sebuah ajang yang tidak semata menjalankan demokratisasi tetapi pemilu mengharuskan adanya sirkulasi kepemimpinan bangsa.
Oleh sebab itu, tugas penting yang harus dilakukan pemerintah ialah membuat komitmen moral dengan 2 nama calon sebagai perwakilan pemerintah  bila perlu dituangkan dalam pakta integritas untuk senantiasa mengedepankan asas kesamaan persepsi dengan tetap konsisten menjalankan ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang ada. Calon anggota DKPP perwakilan pemerintah haruslah orang yang betul-betul memiliki track record kepemiluan baik dari konteks penguasaan pemilu secara konsep maupun pengalaman mengelola pemilu secara teknis. Kemampuan menyelesaikan persoalan kepemiluan dan memiliki pengalaman panjang serta yang paling penting adalah bersosok pemimpin yang tegas namun selalu adil dalam pengambilan keputusan. Calon anggota DKPP yang diharapkan masyarakat, siap bekerja secara profesional dan penuh tanggjungwab.
DPR dan pemerintah harus kerja cerdas dan kerja produktif dalam rangka membangun ekspektasi publik mengenai calon anggota DKPP yang tentu tetap mengedepankan aspek kompetensi dan kapabilitas kepemimpinan. Anggota DKPP yang berkepemimpinan transformatif dan autokratis. Dengan gaya kepemimpinan transformatif dan autokratis maka apa yang dikatakan Ralph M. Stogdill sebagai authority (wewenang) akan mampu dijalankan secara tegas dan profesional oleh anggota DKPP. Keanggotaan DKPP hendaknya diisi oleh orang-orang yang tidak dikonstruksi oleh proses politik yang tidak fair tetapi orang-orang yang memang betul-betul dibentuk di dunia kepemiluan. Hal ini sejalan dengan konsep environmental theory yang mengatakan, leader are not born. Calon anggota DKPP siap bekerja secara kolektif kolegial dan tidak memainkan peran ganda. Karena sebagai pengawal moralitas penyelenggara pemilu dituntut senantiasa konsisten pada rambu-rambu kebenaran dan kebaikan universal. Tidak ada intrik politik sektoral karena simbol perwakilan tetapi ketika mereka menyatu dalam sistem maka yang paling penting adalah menjalankan tugas dan tanggungjawab dengan baik.
Masyarakat berharap agar pemerintah mampu melakukan terobosan berarti untuk perubahan kualitas dan integritas penyelenggaraan pemilu. Profesionalisme dan independensi seorang anggota DKPP menjadi taruhan moral DPR dan pemerintah. Karena bagaimanapun, sebagai ekses kualitas dan integritas proses maupun hasil pemilu 2014 dan pemilu kada di masa-masa yang akan datang secara otomatis tidak bisa lepas dari pertaruhan kinerja Komisi II DPR, KPU, Bawaslu, dan pemerintah sekarang. Karena Komisi II DPR dan pemerintahlah melalui Undang-Undang diberikan wewenang membentuk DKPP.

                                    __________________________________________
Penulis adalah Pegiat Masalah Pemilu dan Politik di Indonesia, tinggal di Jakarta



Jakarta, 7 Juli 2012

Rabu, 04 Juni 2014

Membangun Masyarakat Qur’ani

Oleh : Rahman Yasin

Upaya manusia mencari kesempurnaan guna menemukan hakikat keotentikan hidup merupakan suatu keniscayaan. Hakikat kesempurnaa dalam konteks pengetahuan yang tidak bersifat mutlak tapi merupakan sebuah kontinyuitas. Kreativitas dan etos intelektual sebagai pendekatan rasional untuk menelaah kesempurnaan substansial. Konsep kesempurnaan Ilahi yang tertuang dalam teks al-Qur’an secara intelektual tetap dihadapkan dengan fenomena historis berdasarkan fakta otentik yang dihadapi manusia. Al-Qur’an sebagai kitab Ilahi secara sosio-antropologis hendaknya tidak hanya dipahami secara tekstual saja tetapi harus pula dikontekstualisasikan atas nilai-nilai kemanusiaan universal, karena nilai-nilai kebaikan universal dan sifat pengetahuan dalam kitab suci ini sesungguhnya senantiasa hidup dan terus merawat dan memelihara gerak zaman. Dengan dasar pemikiran yang kontekstualitas atas nilai-nilai kebaikan dalam kandungan al-Qur’an seperti inilah kemudian menjadikan manusia intelektual yang berkarakter jujur-adil mampu menghadapi tantangan bahkan rintangan hidup.
Dalam perspektif dialektika peradaban intelektual khususnya ikhtiar umat manusia terlebih kalangan ilmuan dan peneliti mutakhir dalam mentransformasikan ide-ide kemanusiaan agar sebisa mungkin dapat terintegrasi secara komplementer dan simultan dalam pengertian integritas pengetahuan sosio-empiris seringkali yang kita temukan ialah dimana kecenderungan dalam perkembangan praktik kehidupan keberagaman masyarakat modern lebih kepada pola kehidupan hedonis sehingga prinsip-prinsip kemanusiaan unievrsal dalam keberagaman umat manusia pun selalu disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan sektoral. Hal ini terlihat sangat kuat terjadi khususnya pada kalangan intelektual kelas menengah atau yang lebih banyak dipraktikkan adalah kaum politisi kelas menengah yang meminjam logika kaum ilmuan modern.
Banyak karya ilmiah apakah itu buku, kajian-kajian sosiol, dan hasil-hasil penelitian yang telah dengan kuat berusaha menjelaskan hakikat kemanusiaan dalam kerangka membangun kebaikan kolektif sebagai wujud bersama mengembangkan misi kebaikan dari Tuhan yang mereka yakini, akan tetapi pada faktanya banyak karya intelektual yang kemudian ditelaah oleh kalangan elit terutama elit politik yang tidak linier dalam perhatiannya terhadap fenomena-fenomena kekinian dalam pelbagai dimensi kehidupan sehingga kerap menimbulkan perdebatan-perdebatan yang tidak seharusnya dipertentangkan.
Salah satu karya terbaru menarik adalah buku membangun masyarakat qur’ani yang memuat tulisan seorang cendikiawan yakni M. Qurais Shihab dan  Djohan Effendi. Kedua tokoh intelektual ini memang di Indonesia dalam pengertian kajian ilmu-ilmu tafsir dan ilmu sosial tidak diragukan akan kualitas dan integritas keilmuan mereka. Buku ini selain tema kajian mencari kesempurnaan, kajian buku ini juga mengajukan formula-formula pencarian kemapanan baru. Kemapanan baru sebagai refleksi gerak kehidupan yang di dalamnya termaktub pesan kreativitas. Kreativitas sebagai gejala etos intelektual. Sebuah etos yang mencerminkan dimensi perjuangan pengetahuan kontinyuitas.
Banyak karya-karya intelektual terutama buku-buku tafsir al-Qur’an ditulis oleh para pemikir Islam baik klasik maupun kontemporer untuk menjelaskan fenomena-fenomena kehidupan modern dengan berbagai dinamikanya, namun buku “Masyarakat Qur’ani”, karya M. Qurais Shihab dan Djohan Effendi dengan editor Hasan M. Noer ini merupakan salah satu karya yang muatan kajian tafsir terhadap nilai-nilai normatifitas dan historisitas al-Qur’an yang cukup menarik karena setidaknya turut melengkapi dan memberikan kontribusi wawasan ilmiah dalam literatur klasik dan modern. Kajian historisitas dan empirisitas sosiologis melengkapi pendekatan analisis normatif-kontekstual. Dengan pendekatan pemikiran inklusif dan kearifan akademik buku ini mampu meyakinkan pembaca dari berbagai perspektif multidimensi atas pesan-pesan moral al-Qur’an untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.  
Buku ini mengajak kita aktif membangun etos intelektual untuk mencari kesempurnaan dan kemapanan baru dalam kehidupan sosial. Salah satu keunggulan kajian buku ini ialah pelibatan dua tokoh pemikir berpengaruh di Indonesia yakni M. Quraish Shihab, dan Djohan Effendi dalam mengisi ruang buku ini pada masing-masing bagian.
Bagian pertama, artikel M. Quraish Shihab, dengan judul Pertautan Hati. Sebuah pendalaman dengan pencerahan ilmiah tentang bagaimana memahami ajaran Islam secara tekstual dan kontekstual. Bagian ini memuat penjelasan etimologis dan terminologis mengenai Islam sekaligus penjabaran intelektual tentang transformasi nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Bagian kedua, menghadirkan artikel Djohan Effendi. Teologi Al-Qur’an dan Reformasi Sosial ditempatkan sebagai tema kunci. Kita diajak mendalami pesan-pesan keotentikan Islam tentang theologi sosial. Sebuah pengembaraan intelektual dalam rangka pencapaian kesempurnaan dan kemapanan baru. Kita disodorkan konsep theology ala Enshyclopedia of Religions”, dimana dikatakan, theology merupakan ilmu yang secara khusus membicarakan tentang Tuhan. Dasar ide theology al-Qur’an adalah ide tentang tauhid. Sementara bagian ketiga, disajikan artikel Achmad Mubarok dengan judul Keluarga Impian. Keluarga sakinah cermin hidup ishlah al-fard al-muslim, yang secara ilmiah diartikan sebagai upaya membangun perilaku manusia. Sedangkan bagian keempat, sebagai akhir pembahasan buku ini memuat artikel Hasan M. Nur dengan judul Derita Diatas Derita.
Sebagai akhir pembahasan, penulis sedikit mengkritisi krisis keteladanan bangsa di era modernitas sekarang yang dipicu oleh menguatnya kepemimpinan otoriter. Eksklusifitas sebagai kegagalan kepemimpinan akibat demokratisasi yang tidak terkonfirmasi secara komprehensif sehingga dimensi keimanan yang merupakan manifesto kemanusiaan sosial tidak teraktualisasi dengan nyata. Titik tekan persinggungan buku ini sesungguhnya menekankan refleksi keotentikan intelektual dalam membangun etos kecendikiaan manusia mencari kesempurnaan dan kemapanan baru yang lebih bijak. Penyajian cerdas menghadirkan fakta historis yang acapkali dibenturkan oleh realitas praktek kekuasaan dalam kepemimpinan. Semangat mencari kesempurnaan dan kemapanan baru dalam konteks menghidupakan tradisi etos intelektual dan kepemimpinan yang menerapkan nilai ketewadhuan sosial merupakan jalan tengah menyelesaikan problema kekinian.*
           
                        _________________________________________
Penulis adalah Pegiat dan Pemerhati Masalah Sosial-Budaya, tinggal di Jakarta.