Oleh: Rahman
Yasin
Sebuah proses penyelenggaraan pemilihan umum akan terhindar dari intervensi, jauh dari proses kontaminasi elit partai politik manakala peran media massa dalam mengkonstruksi berita dapat dilakukan secara proporsional dan dengan metode penyampaian informasi politik yang seimbang dan bermuatan mendidik inilah kemudian mampu mewujudkan suasana psikologi politik masyarakat yang kondusif. Dengan cara tersebut, maka
integritas proses dan
hasil penyelenggaraan pemilu yang adil dan
demokratis akan hadir dalam
benak masyarakat, dan dengan begitu legitimasi kepemimpinan nasional kuat adanya.
Tetapi bila pendekatan komunikasi politik yang
terus dilakukan secara berlebihan oleh pemimpin eksekutif terhadap
lembaga-lembaga negara seperti legislatif, dan yudikatif, maka sebaliknya
peluang terbukanya ruang praktik korupsi dalam penyelenggaraan pemilu tetap
terbuka. Masyarakat merasa prihatin terhadap penyelenggaraan pemilu pasca
reformasi yang cenderung melahirkan praktik politik uang yang tidak saja
melibatkan aktor elit tetapi sampai ke tingkat bawah.
Praktik politik uang dalam penyelenggaraan pemilu selalu jadi biang kekacauan sistem demokrasi, bahkan menghancurkan
sendi-sendi moralitas politik bangsa, karena uang hampir menjadi sarat penentu
utama kemenangan setiap calon yang menggunakannya. Politik uang sangat berpihak
kepada calon yang menggunakannya. Kekuatan finansial masih menjadi faktor kuat
pemenangan calon daripada kekuatan ideologi sekalipun. Dengan demikian, praktik
pengingkaran politik nurani dalam penyelenggaraan pemilu harus dihentikan dengan
menegakan hukum pemilu, baik pelanggaran administrasi maupun tindak pidana
pemilu merupakan suatu keniscayaan.
Pemilihan Umum
(pemilu) merupakan sarana yang paling efektif untuk melaksanakan kedaulatan
politik rakyat dalam konteks kebebasan memilih pemimpin yang kelak menjalankan
kebijakan pembangunan negara. Melalui Pemilu, terjadi proses apa yang disebut
dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu—sebagai suatu cara efektif menjalankan kedaulatan rakyat
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tentu tetap dalam kerangka
Pancasila dan UUD 1945. Arah kebijakan negara akan sangat ditentukan oleh
calon-calon pemimpin yang turut ambil bagian dalam pelaksanaan pemilu. Pemilu
juga merupakan sebuah konsep demokrasi yang menempatkan nilai-nilai
egaliterianisme politik masyarakat secara berperadaban.
Pemilu punya arti
penting tentang bagaimana pembaruan sistem kehidupan masyarakat itu di mulai,
karena lewat pemilu, warga bangsa akan diberikan kebebasan penuh untuk
menggunakan prefrensi politik tanpa adanya intervensi yang berarti dari rezim
atau kelompok politik manapun yang mengatasnamakan demokrasi. Tesis ini
diperkuat dengan basis penerapan sistem penyelenggaraan pemilu yang berasaskan
Langsung, Umum Bebas, Rahasia (Luber), Jujur, dan Adil (Jurdil). Titik tekan
dari substansi penyelenggaraan pemilu yang Luber dan Jurdil diatur dalam UU No.
32/2004, UU No. 22/2007, dan UU No. 10/2008 tentang sistem dan mekanisme
menggunakan hak pilih masyarakat dalam pemilu.
Sejak pemilu tahun
1955, transformasi demokrasi mendapat legitimasi yang cukup kuat dari dunia
Internasional. Sistem multipartai baru pertama kali diterapkan dalam sebuah
kondisi geo-sosio politik yang kurang stabil, tapi fakta menunjukkan, elit
politik ketika itu mampu menghadirkan suasana demokrasi politik yang
berperadaban.
Protes akibat
pelanggaran pemilu pun relatif kurang meskipun ada namun dari cara mendisegn tradisi politik yang santun
paling kurang siap kalah dan mengakui kemenangan lawan terasa begitu kuat. Ini
sangat berbeda dengan kondisi politik baik pada pemilu 1971 yang merupakan fase
pertama kehadiran rezim Orde Baru dalam pentas politik nasional maupun
pemilu-pemilu berikut di era Orde Baru, bahkan hingga memasuki fase reformasi.
Secara teoritik,
pemerintahan Orde Lama menerapkan sistem demokrasi terpimpin yang hingga memicu
tersumbatnya kran demokrasi. Kegaduhan sistem politik masa transisi demokrasi
menjadi faktor kegagalan negara dalam menyusun dan menerapkan sistem pemilu
yang demokratis.
Kepemimpinan
Soekarno, apa yang disebut oleh Herbert Feit (1962) dalam karya monumentalnya, The Decline of Constittutional Democracy in
Indonesia, sebagai solidarity makers,
dan administrator atau lebih dipahami
sebagai problem solver ini kurang
bersahabat dengan kultur politik bangsa.
Kegagalan demokrasi parlementer era kekuasaan rezim Orde Lama tampak jelas
akibat diterapkannya sistem constitutional
democracy. Sebuah kegagalan membangun tradisi demokrasi kekuasaan yang
elegan untuk membawa bangsa ke arah peradaban politik modern.
Reformasi sistem
Pemilu dan sistem politik terus dilakukan dan pada setiap pergantian “rezim
kekuasaan politik legislasi” di parlemen, hampir perubahan terhadap UU Pemilu,
UU Kepartaian, dan UU Politik tidak pernah luput dari sikap politik
partai-partai politik yang kontraproduktif.
Akan tetapi
perubahan demi perubahan sampai saat ini belum mampu mewujudkan sebuah sistem
yang relevan, dan bersahabat dengan tuntutan zaman. Apa yang disebut Plato
dalam karya Republik-nya terbukti
adanya sebuah realitas bernegara dalam situsasi modern saat ini.
Oligarki merupakan
sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan konsep politik yang
mengedepankaan kekuasaan di tangan segelintir orang. Dalam catatan literatur
modern, Robert Michels (1959), menyebutkan, bahwa konsep oligarki kekuasaan,
setidaknya telah diperlihatkan oleh beberapa negara yang pernah menerapkan
sistem kekuasaan oligarki, antara lain, Jerman yang dipimpin Hitler, Uni Sovyet
dibawah kendali Stalin, Perancis dibawah kekuasaan Louis XIX, bahkan Soeharto
pun dikategorikan sebagai bagian dari rezim yang menjalankan sistem oligarki.
Dalam kaitan dengan
gonjang-ganjing proses revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu,
terlihat dengan jelas bagaimana politik kekuasaan gaya oligarki ini bekerja
aktif. Politisi parlemen seakan-akan memanfaatkan setiap periode “kekuasaan
politik legislasi” di parlemen selama menjabat, sebagai lahan basah untuk
menghidupkan sumber pemasukan finansial partai politik sehingga ketika revisi
UU Pemilu itu dilakukan, anggota Dewan yang merupakan mesin politik politik ini
lebih mengedepankan kepentingan individu maupun partai di mana mereka bernaung.
Fraksi partai besar
seperti FD, FG, FPDIP, dan FKS, akan
berbeda visi atau bisa jadi sama kepentingan, namun secara politik kalkulatif,
sama-sama memiliki kepentingan organisasi. Akibatnya, proses pembahasan revisi
UU Pemilu tidak lagi memikirkan substansi, sejauhmana kepentingan masyarakat
dalam pemilu termasuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu serta
transformasi pendidikan politik bagi rakyat itu bisa teragregasi dengan baik,
tetapi sebaliknya para wakil rakyat justru lebih mengutamakan bagaimana
memperjuangkan kepentingan partai politik masing-masing.
Revisi UU No.
22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang digulirkan sejak awal tahun 2010 dan
berdasarkan potret dinamika yang terjadi, agaknya semakin memperkuat pesimistis
rakyat terhadap kinerja buruk anggota Dewan yang terhormat ini. Perjalanan
penuh intrik dibalik pembahasan revisi terbatas UU No. 22/2007 tentang
Penyelenggara Pemilu. Perdebatan klasik hingga pragmatis mewarnai pembahasan revisi
UU Pemilu.
Dari persoalan calon
keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan keanggotaan Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu), pro kontra menaikan ambang batas, persoalan jumlah keanggotaan Dewan
Kehormatan KPU, terkait komposisi perwakilan kalangan masyarakat dari kalangan
profesional, soal kemandirian KPU dan Bawaslu, serta boleh tidak kader parpol
menjadi anggota KPU dan Bawaslu.
Tahun 1999 merupakan
sejarah awal perpolitikan nasional dalam membangun tradisi politik yang
demokratis dalam kerangka penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah. Sejarah baru demokratisasi ini ditandai
dengan diproklamasikannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi
Daerah yang pada perjalanannya kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pesan komunikasi
politik kebijakan pemerintah yang demokratis dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 Tentang otonomi Daerah yang secara implisit menegaskan sikap pemerintah
pusat ingin mengubah sistem dan cara penerapan Undang-Undang pemerintahan
Daerah yang lebih adil dan demokratis.
Pertentangan
ideologi politik antara masing-masing faksi politik lokal, regional, dan
nasional yang terjadi dalam dua (2) sampai tiga (3) dekade dapat diredam secara
elegan. Setidaknya kehadiran peraturan dan perundang-undangan pemerintah yang
baru mampu merespon gejolak politik lokal yang cenderung menjurus pada
disintegrasi bangsa.
Salah satu unsur
problem yang seringkali memicu konflik politik antara pusat dan daerah ialah
sistem penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Pemilu Kada) yang secara konstitusional menganut sistem demokrasi prosedural
umum. Demokratisasi kekuasaan elit lokal hanya dikendalikan oleh sistem yang
notabene menjadi dominasi elit pusat sehingga hal tersebut sangat mengganggu
keamanan dan ketertiban bangsa.
Reformasi tahun 1998
menghasilkan perubahan kehidupan sistem pemerintahan yang semakin demokratis
daripada masa-masa sebelum. Demokrasi prosedural di-tingkatkan menjadi demokrasi
substansial yang pada intinya menempatkan kembali kedaulatan rakyat secara
proporsional sesuai semangat Undang-Undang Dasar 1945.
Demokrasi substansial telah menempatkan
hak-hak politik masyarakat ke-dalam sistem yang adil. Pada fase ini demokrasi
substansial kembali menghidupkan sistem penyelenggaraan Pemilu yang semakin
adil dan demokratis pula, yang di-dalamnya termasuk penyelenggaraan Pemilu Kada
di semua tingkatan.
Pemilu Kada yang
dilaksanakan secara langsung merupakan salah satu unsur fundamental yang mampu
menjawab tuntutan rakyat yang selama Pemilu-pemilu sebelumnya dianggap penuh
rekayasa dan manipulasi. Pengendalian kekuasaan dan rotasi demokrasi tidak
dimainkan langsung oleh rakyat tetapi hanya melibatkan para aktor elit politik
pusat sehingga Pemilu dihadapan rakyat sebagai rutinitas kekuasaan yang
dikehendaki segelintir elit.
Keberpihakan Politik Media
Keberpihakan Politik Media
Media condong memihak pemilik saham dan lebih
mengedepankan aspek keuntungan daripada menampilkan netralitas dan idealisme
politik. Kekuatan ekonomi menentukan arus kekuatan politik, dan begitu juga
sebaliknya. Antara kekuatan ekonomi dan politik saling bergantungan sehingga
dalam perspektif pengembangan media sebagai sarana pendidikan budaya bangsa
dalam segala dimensi kehidupan tidak berjalan sesuai cita-cita pembangunan
nasional.
Tidak bisa
dipungkiri, kekuatan modal sangat menentukan kebijakan yang notabene pemilik
modal utama sebuah media massa yang mengarah pada diversity media. Kompetisi politik global menyebabkan pertarungan
ideologi dengan keras dan tajam. Keberadaan media massa turut melegitimasi
perang politik antar kontestan merebut
kekuasaan dan di dalamnya termasuk pergulatan kepentingan ekonomi bisnis. Dalam
perebutan kekuasaan, peran media tidak lagi berfungsi sebagai kontrol sosial
atau memberikan pelayanan informasi dan memberikan pendidikan bagi masyarakat
tetapi pada kenyataannya media lebih berperan menjadi bagian dari pergulatan
merebut kekuasaan.
Diversity
media massa secara politik terkonstruksi oleh diaspora pergulatan ekonomi
politik dalam merebut kekuasaan. Keragaman metode dan pendekatan penyampaian
informasi media massa pun sangat ditentukan oleh pengendali media massa itu
sendiri. Hegemoni dan monopolistik kepemilikan media antara media yang
dikendalikan penguasa dan kaum pemilik modal media seringkali memangkas hak-hak
informasi masyarakat yang sesungguhnya. Konstruksi berita lebih ditekankan pada
aspek pembentukan opini publik dengan tujuan meyakinkan masyarakat mengikuti
keinginan media massa bersangkutan.
Masyarakat
tidak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi bahkan dikotomi dan
monopolistik produksi informasi ini menjadikan media menjadi tidak independen.
Media berperan melakukan kampanye bahkan dalam konstelasi politik yang
eskalatif, media cenderung membuat persepsi secara miring dan mengaburkan
hakikat kebenaran sebuah peristiwa yang semestinya.
Era modern
dan kuatnya globalisasi informasi dan komunikasi, kehadiran media komunitas
yang diharapkan menjadi alternatif pengimbang informasi antara kepentingan elit
penguasa dan kaum pemodal media pun kenyatannya tidak efektif. Media komunitas
dengan keberagaman (diversity of
ownership) dengan semangat menggantikan posisi media yang monopolisasi informasi
dan pemberitaan dalam kenyataannya tidak bisa tampil sebagaimana mestinya.
Media baik
yang dikendalikan penguasa maupun kaum pemodal hampir tidak bisa dihindari
bahwa dalam tataran praktek politik keberagaman kepemilikan (diversity of content) kerapkali
menyajikan informasi yang cenderung bermuatan kepentingan sehingga substansi, content, visi terkonsentrasi pada
bagaimana memaksimalkan kepentingan aktor pengendali.
Diversity of ownership dan diversity
content memiliki visi untuk membuat frame informasi untuk membangun image
publik atas kepentingan yang dibawah media itu sendiri. Betapapun demikian,
fungsi sosial kontrol media massa tidak serta-merta diterjemahkan dalam
kerangka normatif dan kontekstual dan hingga akhirnya hanya terjebak pada perspektif
media yang etis dan utopis karena selalu mengambang tetapi secara rasional
diakui bahwa keberagaman media dalam proses politik tetap diperlukan
masyarakat.
Idealisme
media menjadi sebuah utopia karena dalam pertempuran ideologi, idealisme
menjadi tidak berlaku bagi sebuah media. Segala sesuatu yang ada yang merupakan
produk ide atau pikiran tidak lagi digerakkan sesuai misi kemanusiaan tetapi
peran budaya dan kekuatan ideologi mengesampingkan budaya idealisme dan tradisi
politik positivisme.
Yang muncul dalam pertikaian ideologi, media
menempatkan diri menjadi sistem kerja politik berbasis budaya dualisme, dimana
proses produksi informasi dengan menggunakan cara berpikir yang bertitik tolak
pada materi dan ideologi sekaligus. (Darsono, 2006: 112).
Goffman
dalam dramaturgisnya menurut Doyle
(1986: 42) mengatakan:
“Masalah utama yang dihadapi individu dalam pelbagai
hubungan sosialnya adalah mengontrol kesan-kesan yang diberikannya pada orang
lain. Pada akhirnya individu berusaha mengontrol penampilannya, keadaan
fisiknya dimana mereka memainkan perannya serta perilaku perannya yang aktual
dan gerak isyarat yang menyertainya”. (Lely
Arrianie, 2010: 33).
Marx
sebagaimana rekannya Friedrich Engels (1820-1895), menunjukkan penerimaannya
akan prinsip dialektika, tetapi keduanya mengganti dasar spirit dialektika
dengan dasar materi murni. (Ali Abdul Mu’ti Muhammad, 2010: 206). Filsafat
Hegel memprioritaskan perkembangan akal dan pemikiran (idea). Filsafat idealisme memang memosisikan perkembangan manusia
dan hubungan-hubungan sosialnya sebagai sesuatu yang dihasilkan perkembangan
akal. Marx dan Engels sendiri menerima pemikiran Hegel tentang dialektika dan
perkembangan terus-menerus, tetapi keduanya mengemas idealismenya.*
___________________________________________
Penulis adalah,
pemerhati dan pegiat masalah politik kepemiluan di Indonesia, tinggal di
Jakarta.