Bagian
ke-1
Oleh : Rahman Yasin
Oleh : Rahman Yasin
Reformasi politik telah
menjurus pada perubahan sistem penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Seiring
tuntutan perubahan di semua bidang kehidupan, Sidang Istimewa MPR tahun 1998
mempercepat pelaksanaan pemilu dan pemilu 1999 menjadi titik tolak bangsa
Indonesia memodifikasi sistem dari proporsional tertutup ke proporsional semi
daftar terbuka. Bila pemilu Orde Baru, provinsi menjadi titik tekan daerah
pilihan dengan alokasi kursi berdasarkan murni perolehan suara, maka pemilu
1999 daerah provinsi jadi daerah pilihan, namun tetap mempertimbangkan
kabupaten/kota dan alokasi kursi dari perolehan suara partai peserta pemilu di
masing-masing provinsi yang juga dengan mempertimbangkan perolehan suara di
tingkat kabupaten/kota atau sebagai satu kesatuan daerah administratif. Pemilu
2004 menerapkan sistem electoral threshold dan dengan sistem bilangan
pembagian pemilih (BPP) menempatkan oligarki kekuasaan di internal partai politik
lewat nomor urut. Pemilu 2009 sistem proporsional meningkat ke tahap electoral thershold dan parliamentary threshold secara bersamaan
dan dengan syarat 2,5% memaksa beberapa partai politik tidak memenuhi PT mundur
dari panggung politik senayan.
Dalam pandangaan umum, sejenak kita tengok praktek kecurangan
penyelenggaraan pemilihan umum baik pemilu legislatif, pemilu presiden dan
wakil presiden (pilpres) serta pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala
daerah (pemilukada) setelah reformasi (1999, 2004, 2009) terasa sangat menyayat
harapan kita untuk menatap nasib pemilu 2014. Reformasi politik telah menjurus pada
perubahan sistem penyelenggaraan pemilu. Seiring tuntutan perubahan di semua
bidang kehidupan, Sidang Istimewa MPR tahun 1998 mempercepat pelaksanaan pemilu
dan pemilu 1999 menjadi titik tolak bangsa Indonesia memodifikasi sistem dari
proporsional tertutup ke proporsional semi daftar terbuka. Bila pemilu Orde
Baru, provinsi menjadi titik tekan daerah pilihan dengan alokasi kursi
berdasarkan murni perolehan suara, maka pemilu 1999 daerah provinsi jadi daerah
pilihan, namun tetap mempertimbangkan kabupaten/kota dan alokasi kursi dari
perolehan suara partai peserta pemilu di masing-masing provinsi yang juga
dengan mempertimbangkan perolehan suara di tingkat kabupaten/kota atau sebagai
satu kesatuan daerah administratif. Pemilu 2004 menerapkan sistem electoral
threshold dan dengan sistem bilangan pembagian pemilih (BPP) menempatkan
oligarki kekuasaan di internal partai politik lewat nomor urut. Pemilu 2009
sistem proporsional meningkat ke tahap electoral
thershold dan parliamentary threshold
secara bersamaan dan dengan syarat 2,5% memaksa beberapa partai politik tidak
memenuhi PT mundur dari panggung politik senayan.
Pemilu DPR, DPD, DPRD setelah reformasi (1999, 2004, 2009) memiliki UU
yang berbeda. Sistem multipartai mulai kembali diterapkan. Pemilu 1999 dengan
UU No. 3 Tahun 1999 dan diikuti 48 parpol, Pemilu 2004 UU No 12 Tahun 2003
diikuti 24 parpol, dan Pemilu 2009 UU No 22 Tahun 2007 dan diikuti 38 parpol,
dan Pemilu 2014 tahapan pileg tengah berjalan menggunakan UU No. 15 Tahun 2011
yang diikuti 15 parpol. Pemilu 1999 relatif demokratis, mantan
Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter yang menyaksikan sendiri menganggap
pemilu 1999 telah memenuhi syarat prosedur yang jurdil. Namun, pemilu digelar 7
Juni 1999 ini tidak saja diwarnai pelanggaran tetapi disertai sikap saling
tidak percaya antara elit parpol dan penyelenggara pemilu. Ketidaksalingpercaya
ini dapat dipahami karena penyelenggara pemilu merupakan kumpulan dari sekian
representasi kepentingan. Bagaimana mungkin lembaga independen ini bertindak
netral sementara sebagian anggotanya diisi oleh kader parpol dan dalam
kontestasi politik yang bebas memungkinkan mereka untuk bermain. Alhasil,
pemilu 1999 titik awal Indonesia memasuki fase baru dalam berdemokrasi ini tidak
terhindar dari pertengkaran politik di atas meja pleno KPU yang hingga merembet
pada pengaburan penetapan hasil penghitungan suara keseluruhan.
Pemilu 2004 mengalami lompatan sistem cukup signifikan. Pemilu 2004 jadi
momentum transformasi sistem demokrasi prosedur ke demokrasi substansial.
Indonesia secara resmi mempraktekan sistem pemerintahan presidensial. Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung. Rakyat tidak lagi mendelegasikan suaranya pada parlemen.
Preferensi politik tanpa intimidasi dan intervensi. Tahap pertama pemilu 5
April 2004 memilih anggota DPR/DPD/DPRD dan menjadi langkah awal parpol
mendapatkan persyaratan Pilpres. Tahap kedua Pilpres 2004 dalam dua putaran,
putaran pertama 5 Juli 2004 dan tahap ketiga pada putaran kedua dilaksanakan 20
September 2004 berjalan relatif demokratis.
Dari data dan fakta yang muncul kerap memberikan gambaran pemilu 2014
tidak begitu prospek. Praktik kecurangan hampir terjadi pada semua tahapan, dan
apa yang disebut kemandirian, independensi, imparsialitas, pemilu luber-jurdil
sesuai belum efektif dimaknai sebagai pijakan kinerja dalam rangka membangun
kepercayaan publik. Bahkan salah satu perubahan fundamental pada UU No 22/2007 menjadi
UU No. 15/2011 dengan meningkatkan kapasitas tugas, fungsi dan wewenang lembaga
penegakan kode etik dari sebelumnya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU)
menjadi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tetapi kecurangan tetap
saja terjadi. Artinya KPU dan Bawaslu di beberapa daerah yang performanya tidak
meyakinkan publik ini sangat disayangkan, karena semestinya kedua lembaga ini menjadi
tumpuan harapan publik untuk mewujudkan pemilu luber-jurdil tanpa disengaja
dikonstruksi oleh segelintir oknum anggota jadi tidak netral.
Pergantian anggota KPU dan Bawaslu pada tingkat tertentu di tahun 2013 sudah
dilakukan, peningkatan sistem perekrutan, syarat perekrutan calon anggota
diperketat, pendek kata 2013 sudah terlihat ada usaha menuju perbaikan,
kemandirian, integritas, kredebilitas, imparsialitas
menjadi faktor penentu tetapi publik masih saja melihat betapa penyelenggaraan
pemilu, pileg, dan pemilukada 2013 tidak senyap dari praktek pelanggaran kode
etik. Pertanyaan yang muncul adalah,
bukankah dipundak mereka rakyat Indonesia menanti perubahan?
Sorotan tajam dari publik di 2013 begitu kuat sekaligus menandakan
masyarakat prihatin dengan performa sejumlah anggota KPU dan Bawaslu di beberapa
daerah. Masyarakat prihatin pada perilaku politik tidak etis yang menggunakan
kekuasaan dan kekuatan politik untuk mengintimidasi, mengintervensi, termasuk
menggunakan preman untuk mengancam keselamatan fisik dan jiwa anggota
penyelenggara. Rakyat tentu menyayangkan sikap sebagian anggota penyelenggara
yang terlibat dalam politik praktis. Kita menyayangkan atas pelanggaran administrasi,
tindak pidana dan kode etik dengan berbagai modus. Kita juga menyayangkan
perilaku distorsif oknum anggota KPU dan Bawaslu hanya karena dijanjikan oleh
calon peserta tertentu kemudian membuat kebijakan bertentangan dengan peraturan
dan perundang-undangan. Penyelenggara pemilu mau diseret atau bahkan saling
menyeret satu sama lain ke arena politik praktis hanya karena membela calon peserta
dengan menukar integritasnya. Padahal, dipundak mereka rakyat dan bangsa
Indonesia mengharapkan perbaikan kualitas demokrasi kita.
Sesungguhnya para anggota penyelenggara pemilu memikul beban
tanggungjawab moral yang tinggi pada negara karena mereka dipilih, diangkat
dilantik dan di sumpah mengabdi pada bangsa dan negara. Anggota KPU dan Bawaslu
adalah tumpuan harapan segenap warga negara Indonesia diseantero nusantara
karena dari merekalah bangsa ini akan berubah ke arah yang lebih baik melalui pemilu
berintegritas. Dari cara mereka bekerja secara profesionallah diharapkan dapat
terwujud instrumen demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat (government of, by
and for the people). Pemilu berintegritas sudah pasti pemimpin yang
dihasilkan pun berintegritas.
________________________________
Penulis
adalah, Staf di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar