Rabu, 26 Februari 2014

Modus Pelanggaran Kode Etik Pemilu



Bagian ke-2

Oleh Rahman Yasin


Dalam kenyataan, pemilu 2009 mengakumulasi segenap praktek manipulasi, politik uang, penyalahgunaan wewenang bagian dari perdebatan yang menghiasi hiruk-pikuk perjuangan sebagian elit politik baik yang belum dapat kesempatan maupun yang terlempar dari arena pertarungan merebut kekuasaan akibat kelalaian oknum penyelenggara. Pemilu 2009 banyak menyimpan aib politik. Kekacauan penyelenggaraan pemilu tidak hanya terletak lemahnya prosedur aturan formal tetapi sistem pemilu memungkinkan peserta dan penyelenggara menyimpang dari aturan main (rule of the gime). Electoral integrity tidak sejalan dengan kesadaran untuk menghindari praktek election fraud sampai pada tahap proses dan hasil pemilu (electoral result and process). Pemilu 2009 gagal memperkuat basis kapasitas demokratisasi kita. Buntut kekacauan pemilu dan pemilukada akibat ketidaknetralan anggota penyelenggara berdampak pada pemberhentian secara tidak terhormat anggota KPU Andi Nurpati tahun 2010 karena terbukti melanggar asas dan kode etik pemilu. Praktek kecurangan hampir terjadi pada setiap tahapan. Bahkan banyak survei menyebutkan pemilukada menjadi salah satu faktor tumbuhnya praktek KKN. Pemilukada melahirkan perilaku politik sebagian elit masyarakat baik peserta maupun penyelenggara menjadi semakin korup. Persekongkolan politik antara penyelenggara dengan aktor dalam kontestasi kian menggurita. Penyelenggara tidak saja berfungsi sebagai penengah atau sekurang-kurangnya menjadi “wasit” tetapi di beberapa daerah dengan diam-diam merangkap jadi pemain.
Trand pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu umumnya sikap tidak netral dan kecenderungan berpihak hampir terjadi pada setiap tahapan, baik pemilu legislatif, Pilpres, dan pemilukada. Pelanggaran kode etik mulanya bermuara dari tahapan penanganan daftar pemilih (DPT), pendiskualifikasian karena persyaratan seperti ketercukupan jumlah dukungan atau persyaratan yang lewat waktu, penyalahgunaan jabatan, wewenang, dugaan suap dalam pembentukan badan penyelenggara pemilu, netralitas, imparsialitas, dan penetapan yang tidak cermat. Pengelolaan tahapan pemilu yang kerap disusupi kepentingan oknum penyelenggara dengan bertindak tidak netral dalam pengambilan kebijakan. Pengalaman menunjukkan pada tahap krusial seperti penetapan persyaratan calon pemilukada, penghitungan suara, penetapan pasangan calon misalnya, di beberapa daerah dilakukan tidak netral sehingga dalam keterbatasan waktu timbul ketidakseragaman persepsi dan memicu perdebatan hingga tanpa keputusan. Dan proses pemilukada kadang tidak jelas akibat tidak ada keputusan rapat pleno.
Salah satu terobosan yang patut jadi perhatian kita yakni dengan adanya keberadaan lembaga penegak kode etik pemilu dalam mengawal komitmen pemerintah, DPR, KPU, dan Bawaslu pada pemilukada provinsi DKI Jakarta 2012 yang menjadikannya sebagai barometer pemilu 2014. DKPP juga memberhentikan ketua Panwaslukada Provinsi karena terbukti melanggar kode etik dengan bertindak tidak independen. Artinya sukses tidaknya penyelenggaraan pemilukada Provinsi DKI Jakarta jadi persepsi baik buruknya penyelenggaraan pemilu 2014.
Apa dampak dari ini semua? Sidang perdana lembaga penegak kode etik pemilu ini dilaksanakan pada hari Rabu (27/6/2012) atau 15 hari setelah dilantik Presiden (12/6/2012). Alhasil, Putusan DKPP dijalankan selain merapikan DPT dengan melibatkan peserta parpol dalam pemilukada tetapi juga mengumpulkan pimpinan parpol membuat kesepakatan bersama menciptakan pemilukada damai. Pendek kata modus pelanggaran kode etik meliputi sikap keberpihakan dan tidak mengedepankan asas netralitas, profesionalisme, kelalaian yang membuat tidak cermat pada tahap penetapan pasangan calon, penetapan pasangan calon terpilih, penetapan DPT, penyalahgunaan wewenang, melalaikan tugas, menerima suap baik pada tahap penyeleksian anggota penyelenggara, hingga pada konflik internal yang melibatkan fungsional dan sekretariat serta pengabaian pada putusan lembaga pengadilan  yang ditangani DKPP selama tahun 2013 memperlihatkan bahwa pemilu berintegritas memerlukan kesadaran etika yang mendalam dari penyelenggara. Maka pertanyaan yang mengemuka ialah apakah KPU, Bawaslu, DPR, dan Pemerintah dapat menjaga komitmen pemilu 2014 berjalan dengan baik sesuai komitmen mereka pada Pemilukada Provinsi DKI Jakarta?
Berdasarkan data-data pengaduan/laporan yang diterima DKPP selama enam bulan terakhir (Juni hingga Desember 2013) menunjukan pelanggaran kode etik pemilu dengan modus-modusnya lebih banyak pada KPU di semua jenjang. Modus pelanggaran kode etik yang menyebabkan pemberhentian tetap umumnya karena keberpihakan anggota penyelenggara pada calon tertentu. Modus-modus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tersebut terungkap melalui persidangan DKPP yang diselenggarakan dengan terbuka. Modus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu ini seperti diungkapkan sebelumnya, yakni selalu bermuara dari ketidaknetralan atau keberpihakan anggota penyelenggara pada calon peserta pemilu. Selain keberpihakan, melalaikan tugas dan fungsi yang semestinya, penyelenggara juga kerap menggunakan jabatan/wewenang untuk kepentingan tertentu. Penyelenggara pemilu juga kerap didapatkan menerima suap dalam penetapan pasangan calon, proses seleksi anggota penyelenggara, dan tahap penetapan paslon yang cenderung tidak netral.
Sepanjang Januari sampai dengan Desember 2013 tercatat secara keseluruhan pengaduan pelanggaran kode etik yang diterima DKPP sebanyak 569 dan 442 didismis, 135 perkara disidangkan terdapat 368 anggota penyelenggara pemilu yang direhabilitasi nama baiknya karena tidak terbukti melanggar kode etik, peringatan tertulis sebanyak 112, peringatan sementara 13 dan pemberhentian tetap sebanyak 86 anggota dari 131 perkara yang diputuskan, 96 putusan dan 5 ketetapan. Sekadar catatan, dipenghujung 2012 dan sepanjang 6 bulan 2013, DKPP menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran kode etik yang tingkat pelanggarannya sangat problematik yang diantaranya sikap anggota KPU Provinsi Jawa Timur   pada tahap penetapan calon pemilukada Jawa Timur pada pertengahan Juli 2013 tidak meloloskan calon Gubernur 2013-2018 Khofifah Indar Parawansa-Herman Sumawiredja hingga pada 31 Juli dikeluarkan amar putusan yang kemudian KPU Jatim mengikutsertakan Khofifah-Sumawiredja. Peristiwa serupa pada kasus pemilukada Kota Tangerang yang menimbulkan 4 anggota diberhentikan dan pengadu H. Arief R Wismansyah-H Sachrudin dan Bakal Pasangan Calon H Ahmad Marju Kodri-Gatot Suprijanto ikut pemilukada. Selain kasus pelanggaran kode etik pemilukada provinsi Jatim dan Kota Tangerang, kasus pengaduan caleg dari DPP PAN dapil Sumbar 1, mengadukan Bawaslu pusat, dan KPU Maluku Uatara, KPU Provinsi Papua, dan bakal cleg DPP PAN Selviana Sofyan Hosen,  dan masih banyak kasus lain yang secara garis besarnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Modus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan anggota penyelenggara pemilu yakni KPU dan Bawaslu di semua jajaran dapat diketahui dan terkonfirmasi dengan jelas pada proses persidangan DKPP. Dengan mekanisme sistem persidangan kode etik yang terbuka dapat membantu majelis persidangan untuk menganalisis dengan lebih cermat lagi berdasarkan data, dokumen laporan/pengaduan yang diberikan pelapor/pengadu. Dengan demikian, dalam pleno pengambilan kebijakan terkait putusan DKPP tetap berpedoman pada hasil proses persidangan kode etik.
Sedangkan jumlah penanganan perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu baik dilakukan KPU dan Bawaslu di semua jajaran sepanjang pertengahan tahun 2012 sampai dengan akhir tahun 2013 yang diterima dan diproses DKPP ini menunjukan ada perubahan signifikan dari relasi antara dampak putusan sidang kode etik DKPP terhadap perubahan sikap dan perilaku anggota penyelenggara pemilu dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilukada di berbagai daerah sepanjang tahun 2013.
Dalam mengatasi praktek pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dengan berdasarkan data-data yang diadukan dan diproses DKPP, maka perlu dilakukan semaksimal untuk pencegahan. Langkah preventif sangat efektif guna mencegah praktek kecurangan pada pelaksanaan pemilu 2014. Selain itu penguatan tugas, fungsi, wewenang dan kapasitas kelembagaan sangat diperlukan, namun penguatan tersebut hendaknya sebanding dengan peningkatan kinerja sehingga performa lembaga peradilan etika modern ini bisa menghasilkan solusi yang konstruktif.
Dengan model persidangan terbuka maka peradilan etika ini diharapkan menyigkap berbagai misteri pelanggaran-pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu baik dilakukan peserta maupun penyelenggara. Prinsipnya, semua proses harus diselenggarakan dengan terbuka. Semua pengaduan/laporan harus melalui tahapan yang teratur. Setiap laporan dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu, tim kampanye, dan pemilih selalu diterima dan diverifikasi untuk dilakukan kajian mendalam untuk dipastikan di pleno apakah diproses atau ditolak karena tidak memenuhi dua unsur berupa keterangan saksi; keterangan ahli; surat/tulisan; petunjuk; keterangan pihak atau data dan informasi yang dapat dibaca atau didengar karena terdapat pelapor/pengadu yang hanya mencari-cari kesalahan—tidak siap kalah dan menjadikan penyelenggara sebagai tempat pelampiasan emosi. Proses verifikasi dan kajian dilakukan dengan penuh ketelitian dan dalam persidangan baik pengadu, teradu, dan pihak terkait diberikan kesempatan yang sama untuk saling beradu argumentasi.  Apabila dalam persidangan Majelis Sidang memastikan bahwa teradu terbukti melanggar kode etik maka DKPP menjatuhkan sanksi yakni dari sanksi teguran tertulis; pemberhentian sementara; atau pemberhentian tetap.
Tugas DKPP menerima pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, melakukan penyelidikan, verifikasi, dan pemeriksaan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, menetapkan putusan dan menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti. DKPP juga memiliki wewenang memanggil terlapor yang diduga  melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan. Memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan termasuk dokumen atau bukti lain. Memberikan sanksi kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik. Kasus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang melibatkan anggota penyelenggara seiring berjalannya waktu semakin terkendali dengan Putusan-putusan DKPP yang baik memberhentikan (pemecatan), peringatan maupun rehabilitasi.

________________________________
Penulis adalah, Staf di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar