Bagian ke-2
Oleh Rahman Yasin
Dalam kenyataan, pemilu 2009 mengakumulasi segenap praktek manipulasi,
politik uang, penyalahgunaan wewenang bagian dari perdebatan yang menghiasi
hiruk-pikuk perjuangan sebagian elit politik baik yang belum dapat kesempatan
maupun yang terlempar dari arena pertarungan merebut kekuasaan akibat kelalaian
oknum penyelenggara. Pemilu 2009 banyak menyimpan aib politik. Kekacauan
penyelenggaraan pemilu tidak hanya terletak lemahnya prosedur aturan formal
tetapi sistem pemilu memungkinkan peserta dan penyelenggara menyimpang dari
aturan main (rule of the gime). Electoral integrity tidak sejalan dengan
kesadaran untuk menghindari praktek election
fraud sampai pada tahap proses dan hasil pemilu (electoral result and process). Pemilu 2009 gagal memperkuat basis
kapasitas demokratisasi kita. Buntut kekacauan pemilu dan pemilukada akibat
ketidaknetralan anggota penyelenggara berdampak pada pemberhentian secara tidak
terhormat anggota KPU Andi Nurpati tahun 2010 karena terbukti melanggar asas
dan kode etik pemilu. Praktek kecurangan hampir terjadi pada setiap tahapan.
Bahkan banyak survei menyebutkan pemilukada menjadi salah satu faktor tumbuhnya
praktek KKN. Pemilukada melahirkan perilaku politik sebagian elit masyarakat
baik peserta maupun penyelenggara menjadi semakin korup. Persekongkolan politik
antara penyelenggara dengan aktor dalam kontestasi kian menggurita.
Penyelenggara tidak saja berfungsi sebagai penengah atau sekurang-kurangnya
menjadi “wasit” tetapi di beberapa daerah dengan diam-diam merangkap jadi
pemain.
Trand pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu umumnya sikap tidak
netral dan kecenderungan berpihak hampir terjadi pada setiap tahapan, baik
pemilu legislatif, Pilpres, dan pemilukada. Pelanggaran kode etik mulanya
bermuara dari tahapan penanganan daftar pemilih (DPT), pendiskualifikasian
karena persyaratan seperti ketercukupan jumlah dukungan atau persyaratan yang lewat waktu, penyalahgunaan
jabatan, wewenang, dugaan suap dalam pembentukan badan penyelenggara pemilu,
netralitas, imparsialitas, dan penetapan yang tidak cermat. Pengelolaan tahapan pemilu yang kerap
disusupi kepentingan oknum penyelenggara dengan bertindak tidak netral dalam
pengambilan kebijakan. Pengalaman menunjukkan pada tahap krusial seperti
penetapan persyaratan calon pemilukada, penghitungan suara, penetapan pasangan
calon misalnya, di beberapa daerah dilakukan tidak netral sehingga dalam
keterbatasan waktu timbul ketidakseragaman persepsi dan memicu perdebatan
hingga tanpa keputusan. Dan proses pemilukada kadang tidak jelas akibat tidak
ada keputusan rapat pleno.
Salah satu terobosan
yang patut jadi perhatian kita yakni dengan adanya keberadaan lembaga penegak
kode etik pemilu dalam mengawal komitmen pemerintah, DPR, KPU, dan Bawaslu pada
pemilukada provinsi DKI Jakarta 2012 yang menjadikannya sebagai barometer
pemilu 2014. DKPP juga memberhentikan ketua Panwaslukada Provinsi karena
terbukti melanggar kode etik dengan bertindak tidak independen. Artinya sukses
tidaknya penyelenggaraan pemilukada Provinsi DKI Jakarta jadi persepsi baik
buruknya penyelenggaraan pemilu 2014.
Apa dampak dari
ini semua? Sidang perdana lembaga penegak kode etik pemilu ini dilaksanakan pada
hari Rabu (27/6/2012) atau 15 hari setelah dilantik Presiden (12/6/2012). Alhasil,
Putusan DKPP dijalankan selain merapikan DPT dengan melibatkan peserta parpol
dalam pemilukada tetapi juga mengumpulkan pimpinan parpol membuat kesepakatan
bersama menciptakan pemilukada damai. Pendek kata modus pelanggaran kode etik
meliputi sikap keberpihakan dan tidak mengedepankan asas netralitas,
profesionalisme, kelalaian yang membuat tidak cermat pada tahap penetapan
pasangan calon, penetapan pasangan calon terpilih, penetapan DPT,
penyalahgunaan wewenang, melalaikan tugas, menerima suap baik pada tahap
penyeleksian anggota penyelenggara, hingga pada konflik internal yang
melibatkan fungsional dan sekretariat serta pengabaian pada putusan lembaga
pengadilan yang ditangani DKPP selama
tahun 2013 memperlihatkan bahwa pemilu berintegritas memerlukan kesadaran etika
yang mendalam dari penyelenggara. Maka pertanyaan yang mengemuka ialah apakah
KPU, Bawaslu, DPR, dan Pemerintah dapat menjaga komitmen pemilu 2014 berjalan
dengan baik sesuai komitmen mereka pada Pemilukada Provinsi DKI Jakarta?
Berdasarkan
data-data pengaduan/laporan yang diterima DKPP selama enam bulan terakhir (Juni
hingga Desember 2013) menunjukan pelanggaran kode etik pemilu dengan
modus-modusnya lebih banyak pada KPU di semua jenjang. Modus pelanggaran kode
etik yang menyebabkan pemberhentian tetap umumnya karena keberpihakan anggota
penyelenggara pada calon tertentu. Modus-modus pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu tersebut terungkap melalui persidangan DKPP yang
diselenggarakan dengan terbuka. Modus pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilu ini seperti diungkapkan sebelumnya, yakni selalu bermuara dari
ketidaknetralan atau keberpihakan anggota penyelenggara pada calon peserta
pemilu. Selain keberpihakan, melalaikan tugas dan fungsi yang semestinya,
penyelenggara juga kerap menggunakan jabatan/wewenang untuk kepentingan
tertentu. Penyelenggara pemilu juga kerap didapatkan menerima suap dalam
penetapan pasangan calon, proses seleksi anggota penyelenggara, dan tahap
penetapan paslon yang cenderung tidak netral.
Sepanjang Januari
sampai dengan Desember 2013 tercatat secara keseluruhan pengaduan pelanggaran
kode etik yang diterima DKPP sebanyak 569 dan 442 didismis, 135 perkara
disidangkan terdapat 368 anggota penyelenggara pemilu yang direhabilitasi nama
baiknya karena tidak terbukti melanggar kode etik, peringatan tertulis sebanyak
112, peringatan sementara 13 dan pemberhentian tetap sebanyak 86 anggota dari
131 perkara yang diputuskan, 96 putusan dan 5 ketetapan. Sekadar catatan,
dipenghujung 2012 dan sepanjang 6 bulan 2013, DKPP menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran kode etik yang tingkat pelanggarannya sangat problematik yang
diantaranya sikap anggota KPU Provinsi Jawa Timur pada tahap penetapan calon pemilukada Jawa
Timur pada pertengahan Juli 2013
tidak meloloskan calon
Gubernur 2013-2018 Khofifah
Indar Parawansa-Herman Sumawiredja hingga pada 31
Juli dikeluarkan amar putusan yang kemudian KPU Jatim mengikutsertakan
Khofifah-Sumawiredja. Peristiwa serupa
pada kasus pemilukada Kota Tangerang yang menimbulkan 4 anggota diberhentikan
dan pengadu H. Arief
R Wismansyah-H Sachrudin dan Bakal Pasangan Calon H Ahmad Marju Kodri-Gatot
Suprijanto ikut pemilukada. Selain
kasus pelanggaran kode etik pemilukada provinsi Jatim dan Kota
Tangerang, kasus pengaduan
caleg dari DPP PAN dapil Sumbar 1, mengadukan Bawaslu pusat, dan KPU Maluku Uatara, KPU Provinsi Papua, dan bakal cleg DPP PAN
Selviana Sofyan Hosen, dan masih banyak kasus lain yang secara garis besarnya dapat dilihat
pada tabel berikut.
Modus
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan anggota penyelenggara
pemilu yakni KPU dan Bawaslu di semua jajaran dapat diketahui dan terkonfirmasi
dengan jelas pada proses persidangan DKPP. Dengan mekanisme sistem persidangan
kode etik yang terbuka dapat membantu majelis persidangan untuk menganalisis
dengan lebih cermat lagi berdasarkan data, dokumen laporan/pengaduan yang
diberikan pelapor/pengadu. Dengan demikian, dalam pleno pengambilan kebijakan
terkait putusan DKPP tetap berpedoman pada hasil proses persidangan kode etik.
Sedangkan
jumlah penanganan perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu baik
dilakukan KPU dan Bawaslu di semua jajaran sepanjang pertengahan tahun 2012
sampai dengan akhir tahun 2013 yang diterima dan diproses DKPP ini menunjukan
ada perubahan signifikan dari relasi antara dampak putusan sidang kode etik
DKPP terhadap perubahan sikap dan perilaku anggota penyelenggara pemilu dalam
penyelenggaraan pemilu dan pemilukada di berbagai daerah sepanjang tahun 2013.
Dalam
mengatasi praktek pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dengan berdasarkan
data-data yang diadukan dan diproses DKPP, maka perlu dilakukan semaksimal
untuk pencegahan. Langkah preventif sangat efektif guna mencegah praktek
kecurangan pada pelaksanaan pemilu 2014. Selain itu penguatan tugas, fungsi,
wewenang dan kapasitas kelembagaan sangat diperlukan, namun penguatan tersebut
hendaknya sebanding dengan peningkatan kinerja sehingga performa lembaga
peradilan etika modern ini bisa menghasilkan solusi yang konstruktif.
Dengan model persidangan terbuka maka peradilan etika ini diharapkan
menyigkap berbagai misteri pelanggaran-pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilu baik dilakukan peserta maupun penyelenggara. Prinsipnya, semua proses harus
diselenggarakan dengan terbuka. Semua pengaduan/laporan harus melalui tahapan
yang teratur. Setiap laporan dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu, tim
kampanye, dan pemilih selalu diterima dan diverifikasi untuk dilakukan kajian
mendalam untuk dipastikan di pleno apakah diproses atau ditolak karena tidak
memenuhi dua unsur berupa keterangan saksi; keterangan ahli; surat/tulisan;
petunjuk; keterangan pihak atau data dan informasi yang dapat dibaca atau
didengar karena terdapat pelapor/pengadu yang hanya mencari-cari kesalahan—tidak siap kalah dan menjadikan penyelenggara sebagai tempat
pelampiasan emosi. Proses verifikasi dan kajian dilakukan dengan penuh
ketelitian dan dalam persidangan baik pengadu, teradu, dan pihak terkait
diberikan kesempatan yang sama untuk saling beradu argumentasi. Apabila dalam persidangan Majelis Sidang
memastikan bahwa teradu terbukti melanggar kode etik maka DKPP menjatuhkan
sanksi yakni dari sanksi teguran tertulis; pemberhentian sementara; atau pemberhentian tetap.
Tugas DKPP menerima pengaduan/laporan dugaan
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, melakukan penyelidikan, verifikasi,
dan pemeriksaan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilu, menetapkan putusan dan menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait
untuk ditindaklanjuti. DKPP juga memiliki wewenang memanggil terlapor yang diduga
melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan
pembelaan. Memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain
yang terkait untuk dimintai keterangan termasuk dokumen atau bukti lain.
Memberikan sanksi kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik. Kasus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang melibatkan anggota
penyelenggara seiring berjalannya waktu semakin terkendali dengan
Putusan-putusan DKPP yang baik memberhentikan (pemecatan), peringatan maupun
rehabilitasi.
________________________________
Penulis
adalah, Staf di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar