Selasa, 11 Maret 2014

Politik Oligarki Partai Politik



Secara normatif, Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana yang paling efektif untuk melaksanakan transformasi hak-hak politik masyarakat dalam konteks memilih pemimpin yang akan menjalankan kebijakan pembangunan negara. Melalui sarana Pemilu inilah kemudian terjadi proses apa yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu—sebagai suatu cara efektif menjalankan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tentu tetap dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945.
Pemilu memiliki prinsip nilai politik filosofis yang tinggi, karena lewat pemilu pula warga bangsa akan diberikan kebebasan penuh menggunakan prefrensi politik tanpa adanya intervensi yang berarti dari rezim atau kelompok politik manapun yang mengatasnamakan demokrasi. Tesis ini diperkuat dengan basis penerapan sistem penyelenggaraan pemilu yang berasaskan langsung, umum bebas, rahasia (luber), jujur, dan adil (jurdil).
Titik tekan dari substansi penyelenggaraan pemilu yang Luber dan Jurdil diatur dalam UU No. 32/2004, UU No. 22/2007, dan UU No. 10/2008 tentang sistem dan mekanisme menggunakan hak pilih masyarakat dalam pemilu.
Secara teoritik, pemerintahan Orde Lama menerapkan sistem demokrasi terpimpin yang hingga pada puncaknya memicu tersumbatnya kran demokrasi. Kegaduhan sistem politik pada masa transisi demokrasi ini menjadi faktor kegagalan negara dalam menyusun dan menerapkan sistem demokrasi yang kuat.
Pola kepemimpinan Soekarno yang cenderung apa yang disebut Herbert Feit (1962) dalam karya monumentalnya, The Decline of Constittutional Democracy in Indonesia, sebagai solidarity makers, dan administrator atau lebih dipahami sebagai problem solver ini kurang mencerminkan kultur politik bangsa.
Yang lebih disayangkan lagi, etape kekuasaan rezim Orde Baru, perhelatan demokrasi melalui pemilu, tidak lagi mencerminkan semangat kebebasan untuk menggunakan hak-hak politik masyarakat dalam memilih pemimpin hampir tidak ada. Pemilu sarat praktek manipulasi, distorsi kekuasaan, jabatan politik formal dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan rezim yang sedang dan akan berkuasa. Pendek kata, pemilu era rezim Orde Baru sama sekali kehilangan pesan keadilan demokrasi.
Demokrasi hanya sebatas pemanis perhelatan kekuasaan. Maka sangat wajar, apabila kondisi ini kemudian memicu krisis kepemimpinan demokrasi bangsa di mata dunia Internasional negara dianggap tidak sanggup menjalankan demokrasi dengan baik.
Reformasi yang menyertai transisi demokrasi pun disusupi oligarki dan pragmatisme kekuasaan sehingga hampir memiliki persamaan bentuk dan pola gerakan. Demokrasi menjadi sangat liberal akibat kekuatan-kekuatan ideologi global yang begitu mendominasi. Volume tuntutan pembaruan sistem demokrasi termasuk sistem hukum dan politik terus meningkat di satu sisi, tetapi pada sisi lain, implementasi demokrasi yang ambigu dari pemerintah pun terlihat terus menguat khususnya dalam proses penerapan UU pemilu.  

Untuk Siapa Revisi UU Pemilu?
Reformasi sistem pemilu dan sistem politik terus dilakukan dan pada tiap pergantian “rezim kekuasaan politik legislasi” di parlemen, hampir perubahan terhadap UU pemilu, UU Kepartaian, dan UU Politik tidak pernah luput dari sikap politik partai-partai politik yang kontraproduktif. Akan tetapi perubahan demi perubahan sampai saat ini belum mampu mewujudkan sebuah sistem yang relevan, dan bersahabat dengan tuntutan zaman. Apa yang disebut Plato dalam karya Republik-nya terbukti adanya sebuah realitas bernegara dalam situasi modern saat ini.
Oligarki merupakan sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan konsep politik yang mengedepankan kekuasaan di tangan segelintir orang. Dalam catatan literatur modern, Robert Michels (1959), menyebutkan, konsep oligarki kekuasaan, setidaknya telah diperlihatkan oleh beberapa negara yang pernah menerapkan sistem kekuasaan oligarki, antara lain, Jerman yang dipimpin Hitler, Uni Sovyet dibawah kendali Stalin, Perancis dibawah kekuasaan Louis XIX, bahkan Soeharto pun dikategorikan sebagai bagian dari rezim yang menjalankan sistem oligarki.
Dalam kaitan dengan gonjang-ganjing proses revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, terlihat dengan jelas bagaimana politik kekuasaan gaya oligarki ini bekerja aktif. Politisi parlemen seakan-akan memanfaatkan setiap periode “kekuasaan politik legislasi” di parlemen selama menjabat, sebagai lahan basah untuk menghidupkan sumber pemasukan finansial partai politik sehingga ketika revisi UU Pemilu itu dilakukan, anggota Dewan yang merupakan mesin politik ini lebih mengedepankan kepentingan individu maupun partai di mana mereka bernaung. Fraksi partai besar seperti FD, FG, FPDIP, dan FKS,  akan berbeda visi atau bisa jadi sama kepentingan, namun dari politik kalkulatif, sama-sama memiliki kepentingan organisasi.
Akibatnya, proses pembahasan revisi UU Pemilu tidak lagi memikirkan substansi, sejauhmana kepentingan masyarakat dalam pemilu termasuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu serta transformasi pendidikan politik bagi rakyat itu bisa teragregasi dengan baik, tetapi sebaliknya para wakil rakyat justru lebih mengutamakan bagaimana memperjuangkan kepentingan partai politik masing-masing.
Perbedaan semakin memuncak ketika sikap pemerintah menolak keinginan segelintir anggota DPR yang menghendaki agar anggota DK KPU terdiri dari satu orang perwakilan Bawaslu, dan empat orang lainnya perwakilan tokoh masyarakat, serta delegasi partai politik di parlemen. Pada sisi lain, tekanan masyarakat semakin kuat agar DPR tetap mempertahankan keanggotaan KPU dari kalangan profesional yang tidak memiliki ikatan struktur maupun keanggotaan dari partai politik tertentu. Cara apapun akan terus ditempuh anggota Dewan untuk meloloskan kepentingan politik mereka.
Oleh karena itu, suara kritis apapun dan kekuatan manapun diluar partai politik yang mencoba mengganggu atau mengotak-atik bahkan menghalangi keinginan menggolkan kepentingan mereka dalam UU Pemilu, maka dengan berbagai cara politisi senayan tersebut membangun argumentasi dan retorika untuk pembenaran politik mereka.

Pergeseran Substansi Pemilu
Berdasarkan perdebatan panjang yang sampai memakan waktu begitu lama, serta ketajaman perbedaan politik dari masing-masing Fraksi di DPR ini menunjukkan, wakil rakyat kita semakin tidak memiliki kepekaan politik untuk melihat, merasakan, dan tahu akan asas maslahah maupun mudharat dari apa yang mereka perjuangkan untuk pembangunan iklim politik bangsa yang demokratis ke depan. Alih-alih para anggota Dewan ini lebih dari sekadar mengalihkan isu dan membangun wacana baru. Dari kerangka ini juga akan terlihat betapa terjadi pergeseran substansi revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu ini ke arah yang lebih baik atau justru sebaliknya.
Kecil sekali nuansa kepentingan masyarakat dalam hajat demokrasi melalui pemilu. Ini tentu tidak saja terjadinya pergeseran substansi nilai pemilu tetapi juga mengancam prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Banyak persoalan substansi yang diabaikan bahkan sengaja dihilangkan demi kepentingan politik golongan. Padahal, persoalan-persoalan substansial yang semestinya jadi fokus pembenahan sistem dalam revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yakni antara lain persoalan DPS, DPT, Pemilih ganda, pengaturan mekanisme keterbukaan, dan kiat mudah mengakses data-data tahapan pemilu dari KPU kepada masyarakat, penanganan pelanggaran kode etik beserta sanksi, hingga pada tingkat penanganan pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan massif, masih belum tersentuh sama sekali.
Pergeseran substansi UU Pemilu akan sangat berpotensi besar terjadi di sini menyusul semakin tajamnya pertarungan antar Fraksi DPR untuk memenangkan kepentingan partai masing-masing. Implikasinya, pertarungan tidak lagi diorientasikan pada kebutuhan masyarakat atau sekurang-kurangnya kontstituen masing-masing partai perwakilan di DPR lagi, melainkan hanya memenuhi kebutuhan para elit.
Dan ini artinya, publik bisa membayangkan seperti apa nantinya kualitas pemilu tahun 2014 mendatang dengan bercermin pada kualitas pemilu 2009 yang begitu memilukan. Kita berharap, elit politik mempunyai kesadaran penuh dan mau bijak untuk tidak memaksakan kehendak politik pragmatis tetapi kembali mengedepankan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, hasil revisi UU No. 22/2007 tentang penyelenggara Pemilu nanti mampu membawa perubahan iklim demokrasi yang lebih sehat.



Jakarta, Awal Januari 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar