Secara normatif, Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana
yang paling efektif untuk melaksanakan transformasi hak-hak politik masyarakat
dalam konteks memilih pemimpin yang akan menjalankan kebijakan pembangunan
negara. Melalui sarana Pemilu inilah kemudian terjadi proses apa yang
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu—sebagai suatu
cara efektif menjalankan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang tentu tetap dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945.
Pemilu memiliki prinsip nilai politik
filosofis yang tinggi, karena lewat pemilu pula warga bangsa akan diberikan
kebebasan penuh menggunakan prefrensi politik tanpa adanya intervensi yang
berarti dari rezim atau kelompok politik manapun yang mengatasnamakan
demokrasi. Tesis ini diperkuat dengan basis penerapan sistem penyelenggaraan
pemilu yang berasaskan langsung, umum bebas, rahasia (luber), jujur, dan adil (jurdil).
Titik tekan dari substansi penyelenggaraan pemilu yang Luber dan
Jurdil diatur dalam UU No. 32/2004, UU No. 22/2007, dan UU No. 10/2008 tentang
sistem dan mekanisme menggunakan hak pilih masyarakat dalam pemilu.
Secara teoritik, pemerintahan Orde Lama menerapkan sistem
demokrasi terpimpin yang hingga pada puncaknya memicu tersumbatnya kran
demokrasi. Kegaduhan sistem politik pada masa transisi demokrasi ini menjadi
faktor kegagalan negara dalam menyusun dan menerapkan sistem demokrasi yang kuat.
Pola kepemimpinan Soekarno yang cenderung apa yang disebut Herbert
Feit (1962) dalam karya monumentalnya, The Decline of Constittutional
Democracy in Indonesia, sebagai solidarity makers, dan administrator
atau lebih dipahami sebagai problem solver ini kurang mencerminkan
kultur politik bangsa.
Yang lebih disayangkan lagi, etape kekuasaan
rezim Orde Baru, perhelatan demokrasi melalui pemilu, tidak lagi mencerminkan
semangat kebebasan untuk menggunakan hak-hak politik masyarakat dalam memilih
pemimpin hampir tidak ada. Pemilu sarat praktek manipulasi,
distorsi kekuasaan, jabatan politik formal dijadikan sebagai alat legitimasi
kekuasaan rezim yang sedang dan akan berkuasa. Pendek kata, pemilu era rezim
Orde Baru sama sekali kehilangan pesan keadilan demokrasi.
Demokrasi hanya sebatas pemanis perhelatan kekuasaan. Maka sangat
wajar, apabila kondisi ini kemudian memicu krisis kepemimpinan demokrasi bangsa
di mata dunia Internasional negara dianggap tidak sanggup menjalankan demokrasi
dengan baik.
Reformasi yang menyertai transisi demokrasi pun disusupi oligarki
dan pragmatisme kekuasaan sehingga hampir memiliki persamaan bentuk dan pola
gerakan. Demokrasi menjadi sangat liberal akibat kekuatan-kekuatan ideologi
global yang begitu mendominasi. Volume tuntutan pembaruan sistem demokrasi
termasuk sistem hukum dan politik terus meningkat di satu sisi, tetapi pada
sisi lain, implementasi demokrasi yang ambigu dari pemerintah pun terlihat
terus menguat khususnya dalam proses penerapan UU pemilu.
Untuk
Siapa Revisi UU Pemilu?
Reformasi
sistem pemilu dan sistem politik
terus dilakukan dan pada tiap pergantian “rezim kekuasaan politik legislasi” di
parlemen, hampir perubahan terhadap UU pemilu, UU Kepartaian, dan UU Politik
tidak pernah luput dari sikap politik partai-partai politik yang
kontraproduktif. Akan tetapi perubahan demi perubahan sampai saat ini belum
mampu mewujudkan sebuah sistem yang relevan, dan bersahabat dengan tuntutan
zaman. Apa yang disebut Plato dalam karya Republik-nya terbukti adanya
sebuah realitas bernegara dalam situasi modern saat ini.
Oligarki merupakan sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan
konsep politik yang mengedepankan kekuasaan di tangan segelintir orang. Dalam
catatan literatur modern, Robert Michels (1959), menyebutkan, konsep oligarki
kekuasaan, setidaknya telah diperlihatkan oleh beberapa negara yang pernah
menerapkan sistem kekuasaan oligarki, antara lain, Jerman yang dipimpin Hitler,
Uni Sovyet dibawah kendali Stalin, Perancis dibawah kekuasaan Louis XIX, bahkan
Soeharto pun dikategorikan sebagai bagian dari rezim yang menjalankan sistem
oligarki.
Dalam kaitan dengan gonjang-ganjing proses revisi UU No. 22/2007
tentang Penyelenggara Pemilu, terlihat dengan jelas bagaimana politik kekuasaan
gaya oligarki ini bekerja aktif. Politisi parlemen seakan-akan memanfaatkan
setiap periode “kekuasaan politik legislasi” di parlemen selama menjabat,
sebagai lahan basah untuk menghidupkan sumber pemasukan finansial partai
politik sehingga ketika revisi UU Pemilu itu dilakukan, anggota Dewan yang
merupakan mesin politik ini lebih mengedepankan kepentingan individu maupun
partai di mana mereka bernaung. Fraksi partai besar seperti FD, FG, FPDIP, dan
FKS, akan berbeda visi atau bisa jadi sama kepentingan, namun dari politik kalkulatif,
sama-sama memiliki kepentingan organisasi.
Akibatnya, proses pembahasan revisi UU Pemilu
tidak lagi memikirkan substansi, sejauhmana kepentingan masyarakat dalam pemilu
termasuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu serta transformasi
pendidikan politik bagi rakyat itu bisa teragregasi dengan baik, tetapi
sebaliknya para wakil rakyat justru lebih mengutamakan bagaimana memperjuangkan
kepentingan partai politik masing-masing.
Perbedaan semakin memuncak ketika sikap
pemerintah menolak keinginan segelintir anggota DPR yang menghendaki agar
anggota DK KPU terdiri dari satu orang perwakilan Bawaslu, dan empat orang
lainnya perwakilan tokoh masyarakat, serta delegasi partai politik di parlemen.
Pada sisi lain, tekanan masyarakat semakin kuat agar DPR tetap mempertahankan
keanggotaan KPU dari kalangan profesional yang tidak memiliki ikatan struktur
maupun keanggotaan dari partai politik tertentu. Cara
apapun akan terus ditempuh anggota Dewan untuk meloloskan kepentingan politik
mereka.
Oleh karena itu, suara kritis apapun dan kekuatan manapun diluar
partai politik yang mencoba mengganggu atau mengotak-atik bahkan menghalangi
keinginan menggolkan kepentingan mereka dalam UU Pemilu, maka dengan berbagai
cara politisi senayan tersebut membangun argumentasi dan retorika untuk
pembenaran politik mereka.
Pergeseran
Substansi Pemilu
Berdasarkan
perdebatan panjang yang sampai memakan waktu begitu lama, serta ketajaman
perbedaan politik dari masing-masing Fraksi di DPR ini menunjukkan, wakil
rakyat kita semakin tidak memiliki kepekaan politik untuk melihat, merasakan,
dan tahu akan asas maslahah maupun mudharat dari apa yang mereka
perjuangkan untuk pembangunan iklim politik bangsa yang demokratis ke depan.
Alih-alih para anggota Dewan ini lebih dari sekadar mengalihkan isu dan
membangun wacana baru. Dari kerangka ini juga akan terlihat betapa terjadi
pergeseran substansi revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu ini ke
arah yang lebih baik atau justru sebaliknya.
Kecil sekali nuansa kepentingan masyarakat dalam hajat demokrasi
melalui pemilu. Ini tentu tidak saja terjadinya pergeseran substansi nilai
pemilu tetapi juga mengancam prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Banyak persoalan substansi yang diabaikan bahkan sengaja dihilangkan
demi kepentingan politik golongan. Padahal, persoalan-persoalan substansial
yang semestinya jadi fokus pembenahan sistem dalam revisi UU No. 22/2007
tentang Penyelenggara Pemilu yakni antara lain persoalan DPS, DPT, Pemilih
ganda, pengaturan mekanisme keterbukaan, dan kiat mudah mengakses data-data
tahapan pemilu dari KPU kepada masyarakat, penanganan pelanggaran kode etik beserta sanksi,
hingga pada tingkat penanganan pelanggaran yang bersifat sistematis,
terstruktur, dan massif, masih belum tersentuh sama sekali.
Pergeseran substansi UU Pemilu akan sangat berpotensi besar
terjadi di sini menyusul semakin tajamnya pertarungan antar Fraksi DPR untuk
memenangkan kepentingan partai masing-masing. Implikasinya, pertarungan tidak
lagi diorientasikan pada kebutuhan masyarakat atau sekurang-kurangnya
kontstituen masing-masing partai perwakilan di DPR lagi, melainkan hanya
memenuhi kebutuhan para elit.
Dan ini artinya, publik bisa membayangkan seperti apa nantinya
kualitas pemilu tahun 2014 mendatang dengan bercermin pada kualitas pemilu 2009
yang begitu memilukan. Kita berharap, elit politik mempunyai kesadaran penuh
dan mau bijak untuk tidak memaksakan kehendak politik pragmatis tetapi kembali
mengedepankan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian,
hasil revisi UU No. 22/2007 tentang penyelenggara Pemilu nanti mampu membawa
perubahan iklim demokrasi yang lebih sehat.
Jakarta, Awal Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar