Rabu, 19 Maret 2014

Demokrasi Transaksional



Oleh : Rahman Yasin



Pergantian rezim selalu membawa konsekuensi politik baru. Sistem politik yang dibentuk pun acapkali lebih mengedepankan kepentingan rezim yang berkuasa. Berbagai implikasi politik pun tak terelakan akibat kebijakan baru yang dibuat rezim berdasarkan kemauan termasuk memenuhi kemauan mengakomodasi kepentingan kelompok, organisasi, dan partai politik. Politik seringkali mengabaikan naluri kemanusiaan yang hakiki sekalipun.
Sangat sulit menemukan suatu keputusan yang adil dan berpihak pada masyarakat umum. Keputusan seringkali muncul dari manifestasi kompromi politik antar masing-masing kelompok partai politik. Perdebatan politik pun tidak pernah bergeser dari topik klasik, yakni mengubah dan membentuk UU pemilu yang benar-benar mengakomodasi kepentingan masing-masing. Terlepas apakah keputusan yang dihasilkan dalam pembahasan RUU Pemilu memenuhi standar kualitas penyelenggaraan pemilu atau tidak, titik tekan yang selalu menjadi persepsi masyarakat adalah apa yang terjadi di DPR hanya kepentingan komunal. Fraksi-fraksi yang ada di Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR tetap bersihkukuh menolak setiap argumentasi yang berusaha menggunting target politik mereka dalam pembahasan RUU Pemilu. Perdebatan dalam pembahasan RUU Pemilu sarat dengan tendensius kepentingan organisasi. Sesuatu yang sangat mengecewakan rakyat karena perdebatan alot semata-mata hendak menggolkan RUU Pemilu berdasarkan hasrat politik partai.
Politik cenderung mengabaikan nurani kebaikan terutama ketika dihadapkan dengan sesuatu yang dianggap melawan atau bertentangan dengan kepentingannya. Maka jangan heran, jika pertarungan dan perdebatan sekeras apapun di senayan, ujungnya adalah mencapai kesepakatan kepentingan sehingga elit tidak akan mengindahkan kebenaran menurut akal sehat. Potensi kebaikan cenderung dikalahkan oleh tindakan destruktif manakalah dihadapkan dengan kegemerlapan politik yang menjanjikan singgasana. Maka tidak heran jika teori Hobbes tentang animal political mendasari perilaku politik lapisan masyarakat elit yang notabene adalah pemain politik.
Pertarungan politik praktis atas nama perjuangan ideologi pun umumnya tidak lain ialah kumpulan elit dalam mereartikulasikan seni politik untuk memenangkan kepentingan sehingga dalam konteks politik praktis kecenderungan elit pengambil kebijakan tanpa ragu mengabaikan nilai-nilai doktrinal demi kepentingan sesaat. “Komunilisasi ideologi” dalam praktik politik bernegara selalu jadi pilihan karena senantiasa merasa aman untuk berlindung dibalik demokrasi.

Politik Paradok
Anggota DPR seringkali memperlihatkan perilaku politik yang paradok, baik secara kelembagaan maupun secara individual. Elit lebih seringkali menampilkan praktik politik bernegara yang paradok. Selalu memaksakan kehendak. Menuntut sesuatu yang berlebihan dari lembaga lain terhadap tanggungjawab sedangkan secara kelembagaan yang berfungsi menyusun legislasi seringkali memicu kekecewaan rakyat karena kebijakan yang dihasilkan selalu paradok. Keputusan politik selalu mengedepankan kepentingan kelompok dan organisasi daripada kepentingan rakyat. 
Dalam konteks pemberlakuan sistem multi-partai, proses penetapan ambas batas suara (parliamentary threshold/PT) tidaklah mudah dilakukan dalam proses pembahasan RUU Pemilu. Ambang batas masih jadi perdebatan sengit di Panja Komisi II. Padahal, pemilu tahun 1955 menggunakan sistem multi-partai namun resistensi politik tingkat elit tidak sekeras sekarang. Pemilu tahun 1999 merupakan pemilu pertama kali di era reformasi pun menggunakan sistem multi-partai. Pemilu 1999 ada 48 kontestan ikut bertarung. Pemilu 2004 sebanyak 24 partai politik dengan sistem electoral threshold dan pemilu tahun ini merupakan era kebangkitan demokrasi substansial. Pergeseran demokrasi dari prosedural ke substansial. Sebuah proses politik yang langsung melibatkan rakyat dan tidak lagi rakyat mendelegasikan aspirasinya kepada lembaga legislatif. Pemilu 2009 menggunakan sistem electoral threshold/ET dan sekaligus parliamentary threshold/PT.
Proses penjang mencapai kesepakatan politik antar fraksi di DPR terkait ambang batas dalam pembahasan RUU Pemilu yang hingga ditetapkan jadi UU No. 10/2008. Masing-masing fraksi memperjuangkan kepentingan partai politik sehingga untuk mencapai kemufakatan pun menguras energi termasuk waktu. Fenomena pembahasan RUU Pemilu yang sarat kepentingan ini kembali terjadi pada masa keanggotaan DPR sekarang. Sebagaimana yang kita ketahui kisaran ambang batas yang memicu perdebatan hingga belum ada tanda-tanda titik temu kendatipun pimpinan fraksi telah bersepakat merampung pembahasan RUU Pemilu akhir Maret 2012. Fraksi Golkar dan F-PDIP mengusulkan ambang batas sebanyak 5 persen, FD, F-PAN, dan FKS 4 persen, FPPP dan FKB 3 persen, dan F Hanura dan F Gerindra masih mempertahankan 2,5 persen.
Apa yang terjadi di DPR hari ini khususnya pembahasan RUU Pemilu adalah kolaborasi interpretasi kepentingan. Para pakar politik menangkap kesan politisasi ambang batas dalam pembahasan RUU Pemilu sangat kuat. Para pengamat dan analis juga sinis terhadap proses dan hasil yang akan dicapai nanti pada pembahasan RUU Pemilu. Apa yang terjadi di DPR tidak lain memberikan pemahaman praktik pragmatisme kekuasaan yang puncaknya praktek pembajakan demokrasi.
Dominasi kekuatan partai besar dalam proses pembahasan RUU Pemilu sangat kuat. Politik paradok berlaku pada ranah ini sehingga kekuatan politik lebih dikuasai partai besar yang memiliki modal financial politik yang cukup fantastis. Kondisi ini bukan lagi logika rasional politik yang jalan tetapi yang muncul adalah praktik transaksional demokrasi. Dan dengan demikian, demokrasi akan dikelola oleh kekuatan modal financial yang juga merupakan tangan-tangan politisi. Jika demikian, maka apa yang diistilahkan para pakar dan analis sebagai pembajakan demokrasi, defisit demokrasi, oligarki politik, penyandraan demokrasi secara politik oleh elit pun akan terjadi.
Di tengah alotnya perdebatan untuk mencapai kesepakatan ambang batas menjadi ketentuan UU Pemilu baru sebagai pengganti UU Pemilu Nomor 10/2008, pimpinan lembaga negara pada tanggal 20/2/2012 lalu melakukan pertemuan di senayan dalam rangka mendorong pimpinan partai politik di senayan untuk secepatnya merampungkan pembahasan RUU Pemilu. Sebuah pertemuan yang dikemas dalam tema konsolidasi demokrasi untuk mendorong percepatan kesepakatan antar pimpinan partai tentang ambang batas suara yang diberlakukan pada Pemilu 2014.

Urgentisitas Penyederhanaan Parpol
Reformasi politik dengan kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan preferensi yang ideal dalam rangka menjawab tantangan pembangunan demokrasi. Sikap berani dan tegas sangat diperlukan dari elit pimpinan partai-partai besar di senayan. Keputusan ini bukan secara sepihak mengabaikan hak-hak politik partai-partai kecil menengah tetapi pilihan ini didasarkan dengan semangat menciptakan iklim kompetisi yang berkualitas. Dengan demikian, Pemilu 2014, partai politik yang tidak lolos dalam parliamentary threshold tidak memiliki perwakilan di DPR. Fraksi-fraksi partai kecil dan menengah diberikan ruang se-demokratis mungkin untuk melakukan kolaborasi politik, aliansi, atau pun koalisi politik untuk membangun kekuatan politik menghadapi kekuatan partai-partai besar, dan tidak kemudian terus-menerus memaksakan kehendak tetapi sesungguhnya memiliki kepentingan untuk memenuhi ambisi politik.
Demokrasi membutuhkan sikap berani dan pentingnya ketegasan elit politik menentukan kebijakan. Tanpa sikap tegas dan berani dari pimpinan partai politik, maka demokrasi tidak mempunyai harapan yang baik khususnya dalam konteks penataan sistem politik yang kredibel, dan kuat. Keberadaan partai politik yang semakin mudah mengakses instrumen-instrumen politik rakyat justru semakin menyulitkan upaya-upaya memajukan demokrasi modern.
Kenyataan menunjukan semakin banyak politisi muda yang aktif di partai memiliki motif yang bervariasi termasuk memenuhi hasrat akan kebutuhan hidup dan bukan dimanifestasikan oleh semangat menegakan amanah sehingga secara otomatis menghambat upaya-upaya untuk memajukan demokrasi.
Langkah ini harus dilakukan pimpinan partai yang punya perwakilan fraksi di senayan guna mewujudkan pembangunan demokrasi yang efektif, sekaligus sebagai strategi menghindari upaya-upaya pembajakan demokrasi, praktek oligarki kekuasaan, dan menutup ruang praktik politik demokrasi yang selama ini dikenal transaksional. Jika kondisi ini terjadi, maka, akan dengan mudah tercipta sistem multi-partai sederhana yang pada gilirannya memperkuat sistem pemerintahan presidensial.

                                                _________________________________________________
Penulis adalah Mhs. S2 Komunikasi Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan Direktur eksekutif LP2-AB, Jakarta.



Jakarta,  10 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar