Oleh
: Rahman Yasin
Pergantian
rezim selalu membawa konsekuensi politik baru. Sistem politik yang dibentuk pun
acapkali lebih mengedepankan kepentingan rezim yang berkuasa. Berbagai
implikasi politik pun tak terelakan akibat kebijakan baru yang dibuat rezim
berdasarkan kemauan termasuk memenuhi kemauan mengakomodasi kepentingan
kelompok, organisasi, dan partai politik. Politik seringkali mengabaikan naluri
kemanusiaan yang hakiki sekalipun.
Sangat sulit menemukan suatu keputusan yang adil
dan berpihak pada masyarakat umum. Keputusan seringkali muncul dari manifestasi
kompromi politik antar masing-masing kelompok partai politik. Perdebatan
politik pun tidak pernah bergeser dari topik klasik, yakni mengubah dan
membentuk UU pemilu yang benar-benar mengakomodasi kepentingan masing-masing.
Terlepas apakah keputusan yang dihasilkan dalam pembahasan RUU Pemilu memenuhi
standar kualitas penyelenggaraan pemilu atau tidak, titik tekan yang selalu
menjadi persepsi masyarakat adalah apa yang terjadi di DPR hanya kepentingan
komunal. Fraksi-fraksi
yang ada di Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR tetap bersihkukuh menolak
setiap argumentasi yang berusaha menggunting target politik mereka dalam
pembahasan RUU Pemilu. Perdebatan dalam pembahasan RUU Pemilu sarat dengan tendensius
kepentingan organisasi. Sesuatu yang sangat mengecewakan rakyat karena
perdebatan alot semata-mata hendak menggolkan RUU Pemilu berdasarkan hasrat
politik partai.
Politik cenderung mengabaikan nurani kebaikan
terutama ketika dihadapkan dengan sesuatu yang dianggap melawan atau
bertentangan dengan kepentingannya. Maka jangan heran, jika pertarungan dan
perdebatan sekeras apapun di senayan, ujungnya adalah mencapai kesepakatan
kepentingan sehingga elit tidak akan mengindahkan kebenaran menurut akal sehat. Potensi kebaikan cenderung dikalahkan oleh
tindakan destruktif manakalah dihadapkan dengan kegemerlapan politik yang
menjanjikan singgasana. Maka tidak heran jika teori Hobbes tentang animal
political mendasari perilaku politik lapisan masyarakat elit yang notabene
adalah pemain politik.
Pertarungan politik praktis atas nama perjuangan
ideologi pun umumnya tidak lain ialah kumpulan elit dalam mereartikulasikan
seni politik untuk memenangkan kepentingan sehingga dalam konteks politik
praktis kecenderungan elit pengambil kebijakan tanpa ragu mengabaikan
nilai-nilai doktrinal demi kepentingan sesaat. “Komunilisasi ideologi” dalam
praktik politik bernegara selalu jadi pilihan karena senantiasa merasa aman
untuk berlindung dibalik demokrasi.
Politik Paradok
Anggota
DPR seringkali memperlihatkan perilaku politik yang paradok, baik secara
kelembagaan maupun secara individual. Elit lebih seringkali menampilkan praktik
politik bernegara yang paradok. Selalu memaksakan kehendak. Menuntut sesuatu
yang berlebihan dari lembaga lain terhadap tanggungjawab sedangkan secara
kelembagaan yang berfungsi menyusun legislasi seringkali memicu kekecewaan
rakyat karena kebijakan yang dihasilkan selalu paradok. Keputusan politik
selalu mengedepankan kepentingan kelompok dan organisasi daripada kepentingan
rakyat.
Dalam konteks pemberlakuan sistem multi-partai,
proses penetapan ambas batas suara (parliamentary threshold/PT) tidaklah
mudah dilakukan dalam proses pembahasan RUU Pemilu. Ambang batas masih jadi
perdebatan sengit di Panja Komisi II. Padahal, pemilu tahun 1955 menggunakan
sistem multi-partai namun resistensi politik tingkat elit tidak sekeras
sekarang. Pemilu tahun 1999 merupakan pemilu pertama kali di era reformasi pun
menggunakan sistem multi-partai. Pemilu 1999 ada 48 kontestan ikut bertarung.
Pemilu 2004 sebanyak 24 partai politik dengan sistem electoral threshold
dan pemilu tahun ini merupakan era kebangkitan demokrasi substansial.
Pergeseran demokrasi dari prosedural ke substansial. Sebuah proses politik yang
langsung melibatkan rakyat dan tidak lagi rakyat mendelegasikan aspirasinya
kepada lembaga legislatif. Pemilu 2009 menggunakan sistem electoral
threshold/ET dan sekaligus parliamentary threshold/PT.
Proses penjang mencapai kesepakatan politik
antar fraksi di DPR terkait ambang batas dalam pembahasan RUU Pemilu yang
hingga ditetapkan jadi UU No. 10/2008. Masing-masing fraksi memperjuangkan
kepentingan partai politik sehingga untuk mencapai kemufakatan pun menguras
energi termasuk waktu. Fenomena pembahasan RUU Pemilu yang sarat kepentingan
ini kembali terjadi pada masa keanggotaan DPR sekarang. Sebagaimana yang kita
ketahui kisaran ambang batas yang memicu perdebatan hingga belum ada
tanda-tanda titik temu kendatipun pimpinan fraksi telah bersepakat merampung
pembahasan RUU Pemilu akhir Maret 2012. Fraksi Golkar dan F-PDIP mengusulkan
ambang batas sebanyak 5 persen, FD, F-PAN, dan FKS 4 persen, FPPP dan FKB 3
persen, dan F Hanura dan F Gerindra masih mempertahankan 2,5 persen.
Apa yang terjadi di DPR hari ini khususnya
pembahasan RUU Pemilu adalah kolaborasi interpretasi kepentingan. Para pakar
politik menangkap kesan politisasi ambang batas dalam pembahasan RUU Pemilu
sangat kuat. Para pengamat dan analis juga sinis terhadap proses dan hasil yang
akan dicapai nanti pada pembahasan RUU Pemilu. Apa yang terjadi di DPR tidak
lain memberikan pemahaman praktik pragmatisme kekuasaan yang puncaknya praktek
pembajakan demokrasi.
Dominasi kekuatan partai besar dalam proses
pembahasan RUU Pemilu sangat kuat. Politik paradok berlaku pada ranah ini
sehingga kekuatan politik lebih dikuasai partai besar yang memiliki modal financial
politik yang cukup fantastis. Kondisi ini bukan lagi logika rasional politik
yang jalan tetapi yang muncul adalah praktik transaksional demokrasi. Dan
dengan demikian, demokrasi akan dikelola oleh kekuatan modal financial yang
juga merupakan tangan-tangan politisi. Jika demikian, maka apa yang
diistilahkan para pakar dan analis sebagai pembajakan demokrasi, defisit
demokrasi, oligarki politik, penyandraan demokrasi secara politik oleh elit pun
akan terjadi.
Di tengah alotnya perdebatan untuk mencapai
kesepakatan ambang batas menjadi ketentuan UU Pemilu baru sebagai pengganti UU
Pemilu Nomor 10/2008, pimpinan lembaga negara pada tanggal 20/2/2012 lalu
melakukan pertemuan di senayan dalam rangka mendorong pimpinan partai politik
di senayan untuk secepatnya merampungkan pembahasan RUU Pemilu. Sebuah pertemuan yang dikemas dalam tema
konsolidasi demokrasi untuk mendorong percepatan kesepakatan antar pimpinan
partai tentang ambang batas suara yang diberlakukan pada Pemilu 2014.
Urgentisitas Penyederhanaan Parpol
Reformasi
politik dengan kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan preferensi
yang ideal dalam rangka menjawab tantangan pembangunan demokrasi. Sikap berani
dan tegas sangat diperlukan dari elit pimpinan partai-partai besar di senayan.
Keputusan ini bukan secara sepihak mengabaikan hak-hak politik partai-partai
kecil menengah tetapi pilihan ini didasarkan dengan semangat menciptakan iklim
kompetisi yang berkualitas. Dengan demikian, Pemilu 2014, partai politik yang
tidak lolos dalam parliamentary threshold tidak memiliki perwakilan di
DPR. Fraksi-fraksi partai kecil dan menengah diberikan ruang se-demokratis
mungkin untuk melakukan kolaborasi politik, aliansi, atau pun koalisi politik
untuk membangun kekuatan politik menghadapi kekuatan partai-partai besar, dan
tidak kemudian terus-menerus memaksakan kehendak tetapi sesungguhnya memiliki
kepentingan untuk memenuhi ambisi politik.
Demokrasi membutuhkan sikap berani dan
pentingnya ketegasan elit politik menentukan kebijakan. Tanpa sikap tegas dan
berani dari pimpinan partai politik, maka demokrasi tidak mempunyai harapan
yang baik khususnya dalam konteks penataan sistem politik yang kredibel, dan
kuat. Keberadaan partai politik yang semakin mudah mengakses
instrumen-instrumen politik rakyat justru semakin menyulitkan upaya-upaya
memajukan demokrasi modern.
Kenyataan menunjukan semakin banyak politisi
muda yang aktif di partai memiliki motif yang bervariasi termasuk memenuhi
hasrat akan kebutuhan hidup dan bukan dimanifestasikan oleh semangat menegakan
amanah sehingga secara otomatis menghambat upaya-upaya untuk memajukan
demokrasi.
Langkah
ini harus dilakukan pimpinan partai yang punya perwakilan fraksi di senayan
guna mewujudkan pembangunan demokrasi yang efektif, sekaligus sebagai strategi
menghindari upaya-upaya pembajakan demokrasi, praktek oligarki kekuasaan, dan
menutup ruang praktik politik demokrasi yang selama ini dikenal transaksional. Jika kondisi ini terjadi, maka, akan dengan
mudah tercipta sistem multi-partai sederhana yang pada gilirannya memperkuat
sistem pemerintahan presidensial.
_________________________________________________
Penulis adalah Mhs. S2 Komunikasi Politik Universitas
Muhammadiyah Jakarta, dan Direktur eksekutif LP2-AB, Jakarta.
Jakarta, 10 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar