BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tema budaya politik di Indonesia masih terus
bergulir bahkan semakin aktif menjadi diskursus terutama di tengah-tengah
kuatnya arus globalisasi. Krisis identitas budaya politik Indonesia terus
menggurita di hampir semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Budaya
politik Indonesia seakan-akan mengalami degradasi seiring transformasi budaya asing
kian mengemuka.
Ketidaksiapan bangsa Indonesia merespon arus kuat budaya
politik asing semakin memperlemah sistem politik Indonesia. Budaya politik
Indonesia seakan tidak mampu melakukan penetrasi nilai politik berbasis etika
kebangsaan Indonesia karena kuatnya transformasi budaya asing yang turut
membiaskan praktek budaya politik Indonesia.
Diskursus budaya politik Indonesia sebetulnya masih
dinamis dan belum sampai pada sebuah titik kesimpulan ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Kalangan intelektual, pemerhati masalah budaya politik,
pakar dan ilmuan belum secara konstruktif memformulasi sebuah konsep tentang
budaya politik Indonesia yang sebenarnya. Diskursus mengenai budaya politik
Indonesia pun cenderung mengemuka identifikasi budaya-budaya lokal yang ada di
seluruh Indonesia. Interaksi subs-sub budaya lokal yang memberikan konstribusi
positif bagi keberlangsungan membangun budaya politik. Akibatnya, budaya
politik Indonesia terfragmentasikan ke ranah politik praktis yang sebetulnya
belum menunjukkan sebuah warna yang jelas dan tegas.
Dengan demikian, defenisi budaya politik Indonesia
lebih bersifat artikulatif daripada menekankan sebuah objek budaya apalagi
mengambil sebuah budaya lokal sebagai representasi budaya politik termasuk
daerah Jawa misalnya. Betapapun Jawa begitu mendominasi dari praktek komunikasi
politik di Indonesia. Tetapi kenyataannya, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten
juga memiliki perbedaan-perbedaan tertentu dari sisi komunikasi politik.
Budaya politik memasuki semua ranah penyelenggaraan
pemerintahan termasuk penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan
umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilu kada). Budaya politik dalam
penyelenggaraan pemilu sangat ditentukan oleh sistem dan aturan pemilu yang
dibuat oleh rezim berkuasa. Indonesia pasca reformasi telah melewati tiga kali
penyelenggaraan pemilu. Pemilu tahun 1999, 2004, dan 2009. Masing-masing
memiliki karakter sistem yang berbeda. Maka pokok kajian yang menjadi basis
penelitian ialah mengenai sistem politik dan sistem pemilu dan pemilu kada
khususnya pasca reformasi.
B.
Rumusan
Masalah
Kompleksitas praktek sistem politik berbasis etika
politik masih bias dalam belum mempunyai basis praktikal yang kuat. Budaya
politik Indonesia dalam tataran praktek kekuasaan tingkat elit tidak
memperlihatkan adanya kemajuan berarti khususnya pasca gerakan reformasi.
Budaya politik Indonesia pasca reformasi mengalami
bias dan tidak terkonstruksi secara konsepsional sehingga perubahan sistem
ketatanegaraan kita tidak memberikan dampak pembangunan etika politik yang
berarti. Etika politik tidak berkembang aktif dalam tataran praktek kekuasaan
politik elit.
Pemilu pasca reformasi tahun 1999. 2004, dan 2009
dengan dinamika demokrasi politik tidak menghasilkan sebuah sistem
penyelenggaraan Pemilu yang betul-betul kuat dan mandiri. Pemilu dan Pemilu Kada dimanipulasi dan dipaksakan
untuk memenuhi sahwat elit politik dengan mengabaikan nilai-nilai budaya
politik bangsa. Pemilu menjadi perhelatan atau sekadar menjadi pesta, bahkan
ornamen merebut kekuasaan dan tidak menjadi solusi komprehensif untuk
menghadirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang baik.
Pemimpin-pemimpin hasil penyelenggaraan Pemilu yang
sarat korupsi, penyimpangan dan kriminalisasi demokrasi sama sekali tidak
mencerminkan budaya politik Indonesia yang hidup positif. Melainkan budaya
politik yang apologis, dan bahkan westernis. Rendahnya kualitas proses dan
hasil Pemilu dan Pemilu Kada di Indonesia menunjukan budaya politik pasca
reformasi mengalami ancaman serius.
Salah satu fakto yang bisa menentukan sukses
tidaknya sebuah pemilihan umum ialah adanya ekspektasi masyarakat terhadap
proses maupun hasil pemilihan umum dan pemilu kada. Ekspektasi masyarakat
tersebut tercermin dari kesadaran masyarakat pentingnya menggunakan preferensi
politik. Karena pemilu dan pemilu kada merupakan momentum strategis yang tidak
saja melakukan transformasi sistem demokrasi (pemilu dan pemilu kada) tetapi
sekaligus menjadi kesempatan untuk memperbaiki kualitas kehidupan bangsa dalam
berbagai dimensi karena salah satu aspek penting pemilu dan pemilu kada ialah
pergantian kepemimpinan.
Pemilu luber dan jurdil merupakan faktor utama
dalam menciptakan iklim peratrungan kekuasaan yang fair dari semua kontestan. Dengan demikian, peran serta semua
pemangku kepentingan dalam mewujudkan sistem pemilu dan pemilu kada sangat
diharapkan. Berdasarkan ulasan singkat ini maka rumusan masalah yang
dikemukakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana
dengan penerapan sistem pemilu dan perkembangan budaya politik pada masa
transisi?
2. Apa saja yang
bisa dilihat dari sisi kelebihan dan kekuraangan sistem pemilu dan pemilu kada
pasca reformasi?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian
Sistem
Sistem merupakan sebuh perangkat yang mengikat
suatu organisasi besar yang menhubungkan subjek dan objek dan sekaligus menjadi
perangkat kelembagaan dalam suatu tatanan tertentu. Sistem menjadi bagian
substansial dalam menata relasi antara subjek dan objek, baik individu
masyarakat maupun struktur sosial kelembagaan yang dibuat. Sistem menjadi
penata dan pedoman formal bagi organisasi kelembagaan dalam mewujudkan cita-cita
dan merealisasikan visi yang telah disepekati bersama. Dalam tataran
impelemntasi, sistem yang dibangun dan disepakati bersama melalui organisasi
dalam kondisi tertentu memiliki standar dan kadar kompleksitas tertentu. Semua
kepentingan yang berbeda akan berintegrasi dalam visi organisasi. Semua sistem
yang dibuat organisasi apapun secara sederhana ia akan senantiasa menyesuaikan
dengan sistem yang lain.
2.2.
Pengertian Budaya Politik
Budaya politik ialah sebuah bentuk sikap atau
perilaku suatu masyarakat yang umumnya dipengaruhi oleh sistem politik negara
bersangkutan. Sebuah tatanan politik politik yang memberikan orientasi politik
warga masyarakat berdasarkan kapasitas yang dimiliki. Budaya politik yang
secara formalistik diatur dalam sebuah peraturan dan perundang-undangan.
Konstitusi menjadi bagian inti dari orientasi politik sebuah negara. Meminjam
istilah Almond dan Verba sebagaimana dalam makalah Dr. R. Siti Zuhro,
dikatakan, budaya politik sebagai sebuah sikap orientasi politik warga bangsa
dalam mencapai suatu tujuan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2.3.
Pengertian
Pemilu
Pemilihan umum (pemilu) adalah sebuah sarana
penegakkan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat dalam konteks pengertian
demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat akan bisa dijalankan
secara efektif melalui proses yang namanya pemilu. Pemilu memiliki arti penting
dan strategis. Karena melalui pemilulah terciptalah mekanisme formal untuk melakukan
pergantian pemimpin. Pemilu tidak serta-merta mengandung makna sirkulasi
kepemimpinan tetapi ada sebuah momentum di mana masyarakat melakukan evaluasi,
dan sekaligus menggunakan hak politik secara formal memilih pemimpin yang
dianggap mewakili kepentingannya dalam sistem kekuasaan.
Pemilu selain melibatkan keharusan terciptanya hak
pilih bagi setiap warga yang demokratis tetapi juga mengakomodasi semua hak
warga berdasarkan kriteria dan ketentuan yang dibuat dalam sistem pemilu untuk
dipilih. Paling tidak ada dua hal yang fundamental dalam pemilu, pertama, hak untuk memilih, dan kedua, hak untuk dipilih.
Pemilu tahun 1999 dengan sistem pemilu yang
demokratis menghasilkan pemimpin yang cukup demokratis juga. Iklim kompetisi
kekuasaan dalam pemilu dibuka secara adil. Pemilu pada periode awal reformasi
ini merupakan titik tolak meneruskan iklim demokratisasi dan penegakkan
kedaulatan rakyat.
Suatu hak pilih yang umum merupakan dasar dari
pemerintahan perwakilan dan pengembangannya diberbagai negara merupakan
fenomena yang paling penting dalam kaitannya dengan pemerintahan perwakilan
daerah yang modern. Pada abad 19, banyak negara belum mempunyai proses
pemilihan untuk posisi-posisi pada pemerintahan daerah. Di negara lainnya, hak
untuk memilih seringkali dibatasi pada sejumlah kecil penduduknya. Namun
perkembangan selama satu abad terakhir ini menunjukan adanya kemajuan yang
berarti dalam mengalihkan hak dari beberapa orang saja menjadi hak bagi semua,
atau lebih tepat lagi berupa hak bagi hampir semua, karena pada sistem hak
pilih yang paling luas pun masih ada beberapa diantaranya yang tidak memenuhi
syarat untuk memilih.
2.4. Pengertian
Etika Politik
Konsep etika politik dan etika bernegara menurut
Aristoteles dalam sebuah tulisannya, identitas antara manusia-manusia yang baik
dan warga negara yang baik hanya ada dalam sebuah negara yang baik. Etika
politik merupakan wujud perilaku manusia baik bersifat negatif maupun positif.
Dalam dimensi politik kekuasaan, etika politik senantiasa menampilkan perilaku
yang baik dan buruk. Kadang menghadirkan perilaku kasar, kriminal, kadang
bersifat destruktif, tetapi sebaliknya etika politik juga menghadirkan
kesantunan, keadaban publik, dan kebaikan kolektif. Pada intinya, etika politik
adalah sebuah konsep perilaku politik yang mengarahkan perilaku baik secara
individu maupun kelembagaan (institusi) negara menjadi lebih baik. Menurut
Frans Magnis Suseno berpendapat, etika politik adalah sebuah tanggungjawab
manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga negara terhadap hukum
yang berlaku. Etika memiliki dasar pengetahuan dialektika yang dinamis dan
berdimensi pada aspek berpikir filsafat praktis, epistimologi, ontologi, dan
aksiologi.
Problem
rendahnya integritas pemilu setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor yang
menjadi pemicu, diantaranya, aspek peserta (kontestan) pemilu yang turut andil
menurunkan derjat integritas dengan melakukan segara cara sebagai upaya
pemenangan. Hal ini terlihat bagaimana proses kontestasi yang dibangun tidak
didasari oleh prinsip-prinsip pemilu yang fair
(jujur, demokratis dan adil). Maraknya praktek politik uang sebagai upaya untuk
membangun keterpilihan, serta digunakannya sumber-sumber dana haram sebagai
modal politik untuk pemenangan, secara nyata telah menodai aspek fairness
dalam kontestasi pemilu.
Pada
sisi lain, faktor yang turut menurunkan derajat integritas pemilu adalah faktor
penyelenggara pemilu.Belajar dari proses pemilu sebelumnya, faktor
penyelenggara adalah yang turut andil menurunkan derajat integritas dan
kualitas demokrasi yang dibangun dalam kontestasi pemilu. Misalnya mengacu pada
pemilu tahun 2009 ada sejumlah kasus yang diduga kuat penyelenggara pemilu dengan kewenangan yang dimiliki melakukan
praktek-praktek abuse of power untuk menguntungkan diri sendiri atau para pihak
yang berkontestasi. Selain itu, praktek-praktek ketidaknetralan, imparsiliatas
juga turut mewarnai perilaku
penyelanggara saat proses kontestasi berlangsung.
Berangkat
dari kondisi tersebut, tentunya persolan integritas penyelenggara pemilu
menjadi hal penting yang harus mulai ditata sebagai upaya untuk membangun dan
meningkatkan derajat integritas dan kualitas pemilu. Sebagai upaya melakukan penataan integritas
penyelengara pemilu, maka lahirnya kode etik dan kelembagaan etik sebagai
penyelenggara pemilu mutlak harus ada dalam menjaga kemandirian, integritas dan kredibiltas penyelenggara
pemilu.
Lahirnya
UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu memberikan warna baru dalam
konteks pengaturan penyelenggara pemilu.
Kehadiran dewan kehormatan penyelenggara pemilu (DKPP) sebagai bagian
penyelengara pemilu yang bersifat permanen merupakan langkah progresif dalam
upaya untuk menjawab atas pentingnya menjaga kemandirian, integritas dan kredibilitas penyelenggara
pemilu.Penyelenggaraan pemilihan umum yang
berkualitas diperlukan sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam
pemerintahan negara yang demokratis.
Menjadikan kelembagaan etik dalam
bentuk formal tentu meberikan makna tersendiri dalam proses penegakkan etik
penyelenggara pemilu.Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang
dapat menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat dibutuhkan penyelenggara
pemilihan umum yang profesional serta mempunyai integritas, kapabilitas, dan
akuntabilitas.
2.5. Pengertian
Moral
Moral sangat erat hubungannya dengan etika. Moral
selalu berhadapan dengan dimensi struktur-struktur sosial yang di dalamnya
terdapat konsep tatanan kehidupan masyarakat bangsa seperti menyangkut aspek
sosial, politik, ekonomi, budaya, dan hukum. Artinya, moral selalu berhadapan
dengan instrumen negara sehingga masyarakat dengan basis moralitas kebangsaan
kemudian diberi kebebasan individu untuk menentukan pilihan-pilihan yang ada. Pada
intinya, pengertian moral adalah menekankan pada aspek baik buruk perilaku
penyelenggara pemilu.
Integritas
proses penyelenggaraan pemilihan umum penting diwujudkan karena akan menjamin
perlakuan yang sama terhadap seluruh peserta dan calon, dan terhadap seluruh
pemilih. Peserta Pemilu, calon, dan para pemilih akan dapat menerima legitimasi
penyelenggaraan pemilihan umum, antara lain apabila ketentuan yang mengatur
kompetisi berlaku sama kepada mereka dan ditegakkan secara konsisten pada semua
pihak tanpa kecuali.
Secara
umum prisnsip etika penyelenggara mengacu pada prinsip dasar atau azas sebagai peyelenggara pemilu, diantaranya
:“mandiri, jujur, adil, kepastian hukum,
tertib, kepentingan
umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.”UU No. 15 tahun 2011,
menyebutkan bahwa Kode Etik Penyelenggara Pemilu adalah :“suatu kesatuan filosofis yang
menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara pemilihan umum yang di wajibkan,
dilarang, patut atau tidak patut dalam semua tindakan dan ucapan”.
Prinsip-prinsip
dasar kode etik penyelenggara pemilu: menggunakan kewenangan berdasarkan hukum, bersikap
dan bertindak non partisan dan imparsial, bertindak transparan dan akuntabel,
melayani pemilih menggunakan hak pilihnya, tidak melibatkan diri dalam konflik
kepentingan, dan bertindak profesional.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam berbagai literatur politik, umumnya budaya
politik selalu dibahas dalam konteks menjelaskan perilaku politik elit dalam
struktur kekuasaan tertentu, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif,
termasuk dalam perspektif proses penyusunan peraturan perundang-undangan penyelenggaraan
pemilu. Akan tetapi dalam kerangka budaya politik penyelenggaraan pemilu,
setidaknya dipengaruhi oleh dua hal mendasar yakni antara lain: pertama, budaya politik kepartaian turut
mempengaruhi proses pembentukan sistem pemilu, dan kedua, budaya politik bangsa mempengaruhi individu politisi
termasuk anggota penyelenggara pemilu dalam menerapkan sistem pemilu.
Pemilu merupakan sebuah sarana demokratisasi dalam
rangka membangun kualitas politik dan kualitas kehidupan bangsa dalam segala
dimensi. Budaya lokal menjadi bagian tak terpisahkan namun dengan integrasi
sistem budaya dalam kerangka penerapan sistem pemilu menjadi suatu pendekatan
kolektif kelembagaan dalam menentukan kebijakan yang profesional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar