Kamis, 20 Maret 2014

BUDAYA POLITIK: Studi Tentang Sistem Pemilu di Era Reformasi




BAB I
PENDAHULUAN



A.   Latar Belakang
Tema budaya politik di Indonesia masih terus bergulir bahkan semakin aktif menjadi diskursus terutama di tengah-tengah kuatnya arus globalisasi. Krisis identitas budaya politik Indonesia terus menggurita di hampir semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Budaya politik Indonesia seakan-akan mengalami degradasi seiring transformasi budaya asing kian mengemuka.
Ketidaksiapan bangsa Indonesia merespon arus kuat budaya politik asing semakin memperlemah sistem politik Indonesia. Budaya politik Indonesia seakan tidak mampu melakukan penetrasi nilai politik berbasis etika kebangsaan Indonesia karena kuatnya transformasi budaya asing yang turut membiaskan praktek budaya politik Indonesia.
Diskursus budaya politik Indonesia sebetulnya masih dinamis dan belum sampai pada sebuah titik kesimpulan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Kalangan intelektual, pemerhati masalah budaya politik, pakar dan ilmuan belum secara konstruktif memformulasi sebuah konsep tentang budaya politik Indonesia yang sebenarnya. Diskursus mengenai budaya politik Indonesia pun cenderung mengemuka identifikasi budaya-budaya lokal yang ada di seluruh Indonesia. Interaksi subs-sub budaya lokal yang memberikan konstribusi positif bagi keberlangsungan membangun budaya politik. Akibatnya, budaya politik Indonesia terfragmentasikan ke ranah politik praktis yang sebetulnya belum menunjukkan sebuah warna yang jelas dan tegas.
Dengan demikian, defenisi budaya politik Indonesia lebih bersifat artikulatif daripada menekankan sebuah objek budaya apalagi mengambil sebuah budaya lokal sebagai representasi budaya politik termasuk daerah Jawa misalnya. Betapapun Jawa begitu mendominasi dari praktek komunikasi politik di Indonesia. Tetapi kenyataannya, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten juga memiliki perbedaan-perbedaan tertentu dari sisi komunikasi politik.
Budaya politik memasuki semua ranah penyelenggaraan pemerintahan termasuk penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilu kada). Budaya politik dalam penyelenggaraan pemilu sangat ditentukan oleh sistem dan aturan pemilu yang dibuat oleh rezim berkuasa. Indonesia pasca reformasi telah melewati tiga kali penyelenggaraan pemilu. Pemilu tahun 1999, 2004, dan 2009. Masing-masing memiliki karakter sistem yang berbeda. Maka pokok kajian yang menjadi basis penelitian ialah mengenai sistem politik dan sistem pemilu dan pemilu kada khususnya pasca reformasi.

B.       Rumusan Masalah
Kompleksitas praktek sistem politik berbasis etika politik masih bias dalam belum mempunyai basis praktikal yang kuat. Budaya politik Indonesia dalam tataran praktek kekuasaan tingkat elit tidak memperlihatkan adanya kemajuan berarti khususnya pasca gerakan reformasi.
Budaya politik Indonesia pasca reformasi mengalami bias dan tidak terkonstruksi secara konsepsional sehingga perubahan sistem ketatanegaraan kita tidak memberikan dampak pembangunan etika politik yang berarti. Etika politik tidak berkembang aktif dalam tataran praktek kekuasaan politik elit.
Pemilu pasca reformasi tahun 1999. 2004, dan 2009 dengan dinamika demokrasi politik tidak menghasilkan sebuah sistem penyelenggaraan Pemilu yang betul-betul kuat dan mandiri.  Pemilu dan Pemilu Kada dimanipulasi dan dipaksakan untuk memenuhi sahwat elit politik dengan mengabaikan nilai-nilai budaya politik bangsa. Pemilu menjadi perhelatan atau sekadar menjadi pesta, bahkan ornamen merebut kekuasaan dan tidak menjadi solusi komprehensif untuk menghadirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang baik.
Pemimpin-pemimpin hasil penyelenggaraan Pemilu yang sarat korupsi, penyimpangan dan kriminalisasi demokrasi sama sekali tidak mencerminkan budaya politik Indonesia yang hidup positif. Melainkan budaya politik yang apologis, dan bahkan westernis. Rendahnya kualitas proses dan hasil Pemilu dan Pemilu Kada di Indonesia menunjukan budaya politik pasca reformasi mengalami ancaman serius.
Salah satu fakto yang bisa menentukan sukses tidaknya sebuah pemilihan umum ialah adanya ekspektasi masyarakat terhadap proses maupun hasil pemilihan umum dan pemilu kada. Ekspektasi masyarakat tersebut tercermin dari kesadaran masyarakat pentingnya menggunakan preferensi politik. Karena pemilu dan pemilu kada merupakan momentum strategis yang tidak saja melakukan transformasi sistem demokrasi (pemilu dan pemilu kada) tetapi sekaligus menjadi kesempatan untuk memperbaiki kualitas kehidupan bangsa dalam berbagai dimensi karena salah satu aspek penting pemilu dan pemilu kada ialah pergantian kepemimpinan.
Pemilu luber dan jurdil merupakan faktor utama dalam menciptakan iklim peratrungan kekuasaan yang fair dari semua kontestan. Dengan demikian, peran serta semua pemangku kepentingan dalam mewujudkan sistem pemilu dan pemilu kada sangat diharapkan. Berdasarkan ulasan singkat ini maka rumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1.     Bagaimana dengan penerapan sistem pemilu dan perkembangan budaya politik pada masa transisi?
2.     Apa saja yang bisa dilihat dari sisi kelebihan dan kekuraangan sistem pemilu dan pemilu kada pasca reformasi?


BAB II
PEMBAHASAN


2.1.              Pengertian Sistem
Sistem merupakan sebuh perangkat yang mengikat suatu organisasi besar yang menhubungkan subjek dan objek dan sekaligus menjadi perangkat kelembagaan dalam suatu tatanan tertentu. Sistem menjadi bagian substansial dalam menata relasi antara subjek dan objek, baik individu masyarakat maupun struktur sosial kelembagaan yang dibuat. Sistem menjadi penata dan pedoman formal bagi organisasi kelembagaan dalam mewujudkan cita-cita dan merealisasikan visi yang telah disepekati bersama. Dalam tataran impelemntasi, sistem yang dibangun dan disepakati bersama melalui organisasi dalam kondisi tertentu memiliki standar dan kadar kompleksitas tertentu. Semua kepentingan yang berbeda akan berintegrasi dalam visi organisasi. Semua sistem yang dibuat organisasi apapun secara sederhana ia akan senantiasa menyesuaikan dengan sistem yang lain.

2.2. Pengertian Budaya Politik
Budaya politik ialah sebuah bentuk sikap atau perilaku suatu masyarakat yang umumnya dipengaruhi oleh sistem politik negara bersangkutan. Sebuah tatanan politik politik yang memberikan orientasi politik warga masyarakat berdasarkan kapasitas yang dimiliki. Budaya politik yang secara formalistik diatur dalam sebuah peraturan dan perundang-undangan. Konstitusi menjadi bagian inti dari orientasi politik sebuah negara. Meminjam istilah Almond dan Verba sebagaimana dalam makalah Dr. R. Siti Zuhro, dikatakan, budaya politik sebagai sebuah sikap orientasi politik warga bangsa dalam mencapai suatu tujuan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2.3.   Pengertian Pemilu
Pemilihan umum (pemilu) adalah sebuah sarana penegakkan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat dalam konteks pengertian demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat akan bisa dijalankan secara efektif melalui proses yang namanya pemilu. Pemilu memiliki arti penting dan strategis. Karena melalui pemilulah terciptalah mekanisme formal untuk melakukan pergantian pemimpin. Pemilu tidak serta-merta mengandung makna sirkulasi kepemimpinan tetapi ada sebuah momentum di mana masyarakat melakukan evaluasi, dan sekaligus menggunakan hak politik secara formal memilih pemimpin yang dianggap mewakili kepentingannya dalam sistem kekuasaan.
Pemilu selain melibatkan keharusan terciptanya hak pilih bagi setiap warga yang demokratis tetapi juga mengakomodasi semua hak warga berdasarkan kriteria dan ketentuan yang dibuat dalam sistem pemilu untuk dipilih. Paling tidak ada dua hal yang fundamental dalam pemilu, pertama, hak untuk memilih, dan kedua, hak untuk dipilih.
Pemilu tahun 1999 dengan sistem pemilu yang demokratis menghasilkan pemimpin yang cukup demokratis juga. Iklim kompetisi kekuasaan dalam pemilu dibuka secara adil. Pemilu pada periode awal reformasi ini merupakan titik tolak meneruskan iklim demokratisasi dan penegakkan kedaulatan rakyat.
Suatu hak pilih yang umum merupakan dasar dari pemerintahan perwakilan dan pengembangannya diberbagai negara merupakan fenomena yang paling penting dalam kaitannya dengan pemerintahan perwakilan daerah yang modern. Pada abad 19, banyak negara belum mempunyai proses pemilihan untuk posisi-posisi pada pemerintahan daerah. Di negara lainnya, hak untuk memilih seringkali dibatasi pada sejumlah kecil penduduknya. Namun perkembangan selama satu abad terakhir ini menunjukan adanya kemajuan yang berarti dalam mengalihkan hak dari beberapa orang saja menjadi hak bagi semua, atau lebih tepat lagi berupa hak bagi hampir semua, karena pada sistem hak pilih yang paling luas pun masih ada beberapa diantaranya yang tidak memenuhi syarat untuk memilih.

2.4. Pengertian Etika Politik
Konsep etika politik dan etika bernegara menurut Aristoteles dalam sebuah tulisannya, identitas antara manusia-manusia yang baik dan warga negara yang baik hanya ada dalam sebuah negara yang baik. Etika politik merupakan wujud perilaku manusia baik bersifat negatif maupun positif. Dalam dimensi politik kekuasaan, etika politik senantiasa menampilkan perilaku yang baik dan buruk. Kadang menghadirkan perilaku kasar, kriminal, kadang bersifat destruktif, tetapi sebaliknya etika politik juga menghadirkan kesantunan, keadaban publik, dan kebaikan kolektif. Pada intinya, etika politik adalah sebuah konsep perilaku politik yang mengarahkan perilaku baik secara individu maupun kelembagaan (institusi) negara menjadi lebih baik. Menurut Frans Magnis Suseno berpendapat, etika politik adalah sebuah tanggungjawab manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga negara terhadap hukum yang berlaku. Etika memiliki dasar pengetahuan dialektika yang dinamis dan berdimensi pada aspek berpikir filsafat praktis, epistimologi, ontologi, dan aksiologi.
Problem rendahnya integritas pemilu setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadi pemicu, diantaranya, aspek peserta (kontestan) pemilu yang turut andil menurunkan derjat integritas dengan melakukan segara cara sebagai upaya pemenangan. Hal ini terlihat bagaimana proses kontestasi yang dibangun tidak didasari oleh prinsip-prinsip pemilu yang fair (jujur, demokratis dan adil). Maraknya praktek politik uang sebagai upaya untuk membangun keterpilihan, serta digunakannya sumber-sumber dana haram sebagai modal politik untuk pemenangan, secara nyata telah menodai aspek fairness  dalam kontestasi pemilu.
Pada sisi lain, faktor yang turut menurunkan derajat integritas pemilu adalah faktor penyelenggara pemilu.Belajar dari proses pemilu sebelumnya, faktor penyelenggara adalah yang turut andil menurunkan derajat integritas dan kualitas demokrasi yang dibangun dalam kontestasi pemilu. Misalnya mengacu pada pemilu tahun 2009 ada sejumlah kasus yang diduga kuat  penyelenggara pemilu  dengan kewenangan yang dimiliki melakukan praktek-praktek  abuse of power untuk menguntungkan diri sendiri atau para pihak yang berkontestasi. Selain itu, praktek-praktek ketidaknetralan, imparsiliatas juga turut mewarnai  perilaku penyelanggara saat proses kontestasi berlangsung.
Berangkat dari kondisi tersebut, tentunya persolan integritas penyelenggara pemilu menjadi hal penting yang harus mulai ditata sebagai upaya untuk membangun dan meningkatkan derajat integritas dan kualitas pemilu.  Sebagai upaya melakukan penataan integritas penyelengara pemilu, maka lahirnya kode etik dan kelembagaan etik sebagai penyelenggara pemilu mutlak harus ada dalam menjaga kemandirian,  integritas dan kredibiltas penyelenggara pemilu.
Lahirnya UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu memberikan warna baru dalam konteks pengaturan penyelenggara pemilu.  Kehadiran dewan kehormatan penyelenggara pemilu (DKPP) sebagai bagian penyelengara pemilu yang bersifat permanen merupakan langkah progresif dalam upaya untuk menjawab atas pentingnya menjaga kemandirian,  integritas dan kredibilitas penyelenggara pemilu.Penyelenggaraan pemilihan umum yang berkualitas diperlukan sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan negara yang demokratis.
Menjadikan kelembagaan etik  dalam bentuk formal tentu meberikan makna tersendiri dalam proses penegakkan etik penyelenggara pemilu.Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang dapat menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat dibutuhkan penyelenggara pemilihan umum yang profesional serta mempunyai integritas, kapabilitas, dan akuntabilitas.

2.5. Pengertian Moral
Moral sangat erat hubungannya dengan etika. Moral selalu berhadapan dengan dimensi struktur-struktur sosial yang di dalamnya terdapat konsep tatanan kehidupan masyarakat bangsa seperti menyangkut aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, dan hukum. Artinya, moral selalu berhadapan dengan instrumen negara sehingga masyarakat dengan basis moralitas kebangsaan kemudian diberi kebebasan individu untuk menentukan pilihan-pilihan yang ada. Pada intinya, pengertian moral adalah menekankan pada aspek baik buruk perilaku penyelenggara pemilu.
Integritas proses penyelenggaraan pemilihan umum penting diwujudkan karena akan menjamin perlakuan yang sama terhadap seluruh peserta dan calon, dan terhadap seluruh pemilih. Peserta Pemilu, calon, dan para pemilih akan dapat menerima legitimasi penyelenggaraan pemilihan umum, antara lain apabila ketentuan yang mengatur kompetisi berlaku sama kepada mereka dan ditegakkan secara konsisten pada semua pihak tanpa kecuali.
Secara umum prisnsip etika penyelenggara mengacu pada prinsip dasar atau azas  sebagai peyelenggara pemilu, diantaranya :“mandiri, jujur,  adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas,  akuntabilitas, efisiensi dan  efektivitas.”UU No. 15 tahun 2011, menyebutkan bahwa Kode Etik Penyelenggara Pemilu adalah :“suatu kesatuan  filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara pemilihan umum yang di wajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dalam semua tindakan dan ucapan”.
Prinsip-prinsip dasar kode etik penyelenggara pemilu: menggunakan kewenangan berdasarkan hukum, bersikap dan bertindak non partisan dan imparsial, bertindak transparan dan akuntabel, melayani pemilih menggunakan hak pilihnya, tidak melibatkan diri dalam konflik kepentingan, dan bertindak profesional.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam berbagai literatur politik, umumnya budaya politik selalu dibahas dalam konteks menjelaskan perilaku politik elit dalam struktur kekuasaan tertentu, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, termasuk dalam perspektif proses penyusunan peraturan perundang-undangan penyelenggaraan pemilu. Akan tetapi dalam kerangka budaya politik penyelenggaraan pemilu, setidaknya dipengaruhi oleh dua hal mendasar yakni antara lain: pertama, budaya politik kepartaian turut mempengaruhi proses pembentukan sistem pemilu, dan kedua, budaya politik bangsa mempengaruhi individu politisi termasuk anggota penyelenggara pemilu dalam menerapkan sistem pemilu.
Pemilu merupakan sebuah sarana demokratisasi dalam rangka membangun kualitas politik dan kualitas kehidupan bangsa dalam segala dimensi. Budaya lokal menjadi bagian tak terpisahkan namun dengan integrasi sistem budaya dalam kerangka penerapan sistem pemilu menjadi suatu pendekatan kolektif kelembagaan dalam menentukan kebijakan yang profesional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar