Selasa, 11 Maret 2014

Tujuan Perubahan UU Pemilu



Oleh Rahman Yasin




Masyarakat Indonesia tidak saja terus dibuat resah oleh perilaku korup elit politik sehubungan proses pelaksanaan revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang tidak kunjung selesai, tetapi juga dikejutkan dengan kasus pemalsuan surat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diduga dilakukan mantan anggota KPU, Andi Nurpati yang saat ini menjadi salah satu fungsionaris Partai Demokrat. Isu skandal politik ini cukup seksi dan menyedot perhatian publik karena mengungkapkan dugaan pemalsuan surat putusan MK No. 112/PAN.MK/VIII/2009, tertanggal 17 Agustus 2009 terkait kursi DPR dari Dapil I Sulawesi Selatan ini setidaknya turut memperkuat asumsi publik terhadap manajemen pemilu dari waktu ke waktu tidak mengalami perubahan signifikan.
Apabila kasus dugaan pemalsuan surat ini tidak diselesaikan dengan adil, maka rakyat tidak saja semakin kehilangan percaya pada kinerja partai politik lagi tetapi justru semakin memperparah kualitas demokrasi kita di mata dunia Internasional. Bahkan sangat berpotensi membawah preseden buruk bagi masa depan pelaksanaan pemilu kita.
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan sarana yang paling efektif untuk melaksanakan kedaulatan politik rakyat dalam konteks kebebasan memilih pemimpin yang kelak menjalankan kebijakan pembangunan negara. Melalui pemilu, terjadi proses apa yang disebut dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1999 tentang pemilu—sebagai suatu cara efektif menjalankan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tentu tetap dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945.
Arah kebijakan negara akan sangat ditentukan oleh calon-calon pemimpin yang turut ambil bagian dalam pelaksanaan pemilu. Pemilu juga merupakan sebuah konsep demokrasi yang menempatkan nilai-nilai egaliterianisme politik masyarakat secara berperadaban.
Pemilu punya arti penting tentang bagaimana pembaruan sistem kehidupan masyarakat itu di mulai, karena lewat pemilu, warga bangsa akan diberikan kebebasan penuh untuk menggunakan prefrensi politik tanpa adanya intervensi yang berarti dari rezim atau kelompok politik manapun yang mengatasnamakan demokrasi. Tesis ini diperkuat dengan basis penerapan sistem penyelenggaraan pemilu yang berasaskan langsung, umum bebas, rahasia (luber), jujur, dan adil (jurdil).
Huntington dalam bukunya tiada pilihan mudah mengatakan, dikembangkannya lembaga-lembaga electoral dan parlementer menjadi bagian integral yang memberikan saluran-saluran bagi partisipasi politik masyarakat luas atau secara sederhana disebutkannya sebagai kelomlok-kelompok kelas yang secara politik turut memberikan andil bagi terciptanya stabilitas politik jangka pendek.
Penekanan substansi penyelenggaraan pemilu yang luber dan jurdil diatur dalam UU No. 32/2004, UU No. 22/2007, dan UU No. 10/2008 terkait mekanisme menggunakan hak pilih masyarakat dalam pemilu sebenarnya sudah diatur secara tegas dan jelas. Jika demikian, mengapa institusi penyelenggara pemilu (KPU) cendrung inkonsisten menerapkan tugas maupun fungsi konstitusionalnya, dan bagaimana upaya semua pemangku kepentingan terhadap kualitas pemilu 2014?
Sejak pemilu tahun 1955, kita tahu betapa transformasi demokrasi mendapat legitimasi yang cukup kuat dari dunia Internasional. Sistem multipartai baru pertama kali diterapkan dalam sebuah kondisi geo-sosio politik yang kurang stabil, tapi fakta menunjukkan, elit politik ketika itu mampu menghadirkan suasana demokrasi politik yang berperadaban. Protes akibat pelanggaran pemilu pun relatif kurang meskipun ada namun dari cara men-disegn tradisi politik yang santun paling kurang siap kalah dan mengakui kemenangan lawan terasa begitu kuat. Ini sangat berbeda dengan kondisi politik baik pada pemilu 1971 yang merupakan fase pertama kehadiran rezim Orde Baru dalam pentas politik nasional maupun pemilu-pemilu berikut di era Orde Baru, bahkan hingga memasuki fase reformasi.
Secara teoritik, pemerintahan Orde Lama menerapkan sistem demokrasi terpimpin yang hingga memicu tersumbatnya kran demokrasi. Kegaduhan sistem politik masa transisi demokrasi menjadi faktor kegagalan negara dalam menyusun dan menerapkan sistem pemilu yang demokratis. Kepemimpinan Soekarno, apa yang disebut Herbert Feit (1962) dalam karya monumentalnya, The Decline of Constittutional Democracy in Indonesia, sebagai solidarity makers, dan administrator atau lebih dipahami sebagai problem solver ini kurang bersahabat dengan kultur politik bangsa. Kegagalan demokrasi parlementer era kekuasaan rezim Orde Lama tampak jelas akibat diterapkannya sistem constitutional democracy. Sebuah kegagalan membangun tradisi demokrasi kekuasaan yang elegan untuk membawa bangsa ke arah peradaban politik modern.
Yang lebih disayangkan lagi, etape kekuasaan rezim Orde Baru, perhelatan demokrasi melalui pemilu, tidak lagi mencerminkan semangat kebebasan untuk menggunakan hak-hak politek masyarakat dalam memilih pemimpin, hampir tidak ada. Pemilu sarat dengan praktik manipulasi, distorsi kekuasaan, jabatan politik formal dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan rezim yang sedang dan akan berkuasa. Pendek kata, pemilu pada era rezim Orde Baru sama sekali kehilangan pesan keadilan demokrasi. Demokrasi jadi pemanis perhelatan kekuasaan. Maka sangat wajar, apabila kondisi ini kemudian memicu krisis kepemimpinan demokrasi bangsa di mata dunia Internasional karena negara dianggap tidak sanggup menjalankan demokrasi dengan baik.
Reformasi yang menyertai transisi demokrasi pun disusupi oleh oligarki dan pragmatisme kekuasaan sehingga hampir setiap proses dan tahapan pemilu selalu muncul kecurangan. Demokrasi menjadi liberal akibat kekuatan-kekuatan ideologi global yang begitu mendominasi. Volume tuntutan pembaruan sistem demokrasi termasuk sistem hukum dan politik terus meningkat di satu sisi, tetapi sisi lain, implementasi demokrasi yang ambigu pun terlihat terus menguat khususnya dalam proses penerapan UU pemilu. 

Demokrasi Versus Oligarki
Reformasi sistem pemilu dan sistem politik terus dilakukan dan pada tiap pergantian “rezim kekuasaan politik legislasi” di parlemen, hampir perubahan UU Pemilu, UU Kepartaian, dan UU Politik tidak pernah luput dari sikap politik partai-partai politik yang kontraproduktif. Akan tetapi perubahan demi perubahan sampai saat ini belum mampu mewujudkan sebuah sistem yang relevan, dan bersahabat dengan tuntutan zaman. Apa yang disebut Plato dalam karya Republik-nya, terbukti adanya sebuah realitas bernegara dalam situsasi modern saat ini.
Oligarki merupakan sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan konsep politik yang mengedepankaan kekuasaan di tangan segelintir orang. Dalam catatan literatur modern, Robert Michels (1959), menyebutkan, bahwa konsep oligarki kekuasaan, setidaknya telah diperlihatkan oleh beberapa negara yang pernah menerapkan sistem kekuasaan oligarki, antara lain, Jerman yang dipimpin Hitler, Uni Sovyet dibawah kendali Stalin, Perancis dibawah kekuasaan Louis XIX, bahkan Soeharto pun dikategorikan sebagai bagian dari rezim yang menjalankan sistem oligarki.
Ketidakpastian revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, menunjukkan, mesin politik kekuasaan oligarki bekerja aktif. Politisi parlemen seakan-akan memanfaatkan setiap periode “kekuasaan politik legislasi” di parlemen selama menjabat, sebagai lahan basah untuk menghidupkan sumber pemasukan finansial partai politik sehingga ketika revisi UU Pemilu itu dilakukan, anggota Dewan yang merupakan mesin politik Parpol ini lebih mengedepankan kepentingan individu maupun partai di mana mereka bernaung.
Fraksi partai besar seperti FD, FG, FPDIP, dan FKS,  akan berbeda visi atau bisa jadi sama kepentingan, namun secara politik kalkulatif, sama-sama memiliki kepentingan organisasi. Akibatnya, proses revisi UU Pemilu tidak lagi menempatkan aspek substansi, sejauhmana kepentingan masyarakat dalam pemilu termasuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu serta transformasi pendidikan politik bagi rakyat itu bisa teragregasi, tetapi sebaliknya para wakil rakyat justru lebih mengutamakan, memperjuangkan kepentingan partai politik masing-masing.
Revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang digulirkan sejak awal tahun 2010 dan berdasarkan potret dinamika yang terjadi, agaknya semakin memperkuat pesimistis rakyat terhadap kinerja buruk anggota Dewan yang terhormat ini. Perjalanan penuh intrik dibalik pembahasan revisi terbatas UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Perdebatan klasik hingga pragmatis mewarnai pembahasan revisi UU Pemilu. Dari persoalan calon keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan keanggotaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ketidaksepahaman, dan ketidaktemuan masalah ambang batas, jumlah keanggotaan Dewan Kehormatan KPU, terkait komposisi perwakilan kalangan masyarakat dari kalangan profesional, soal kemandirian KPU dan Bawaslu, serta boleh tidak kader parpol menjadi anggota KPU dan Bawaslu.
Perbedaan memuncak ketika sikap pemerintah menolak keinginan segelintir anggota DPR yang menghendaki agar anggota DK KPU terdiri dari satu orang perwakilan Bawaslu, dan empat orang lain perwakilan tokoh masyarakat, serta delegasi partai politik di parlemen. Pada sisi lain, tekanan masyarakat makin kuat agar DPR tetap mempertahankan keanggotaan KPU dari kalangan profesional yang tidak memiliki ikatan struktur maupun keanggotaan partai politik tertentu. DPR memang memiliki wewenang yang kuat untuk menghadirkan uu pemilu sesuai kompromi politik yang dilakukan. Oleh karena itu, dalam konteks ini apapun hasil pembahasan uu pemilu adalah bagian dari kompromi politik, dan dalam nalar polittik merupakan sesuatu yang wajar.
Oleh karena itu, suara kritis apapun dan kekuatan manapun diluar Parpol yang mencoba mengganggu atau mengotak-atik bahkan menghalangi keinginan menggolkan kepentingan mereka dalam UU Pemilu, maka dengan berbagai cara politisi senayan tersebut membangun argumentasi dan retorika untuk pembenaran politik mereka.

Kehilangan Substansi
Berdasarkan perdebatan panjang yang sampai memakan waktu begitu lama, serta ketajaman perbedaan politik dari masing-masing Fraksi di DPR ini menunjukkan, wakil rakyat kita semakin tidak memiliki kepekaan politik untuk melihat, merasakan, dan tahu akan asas maslahah maupun mudharat dari apa yang mereka perjuangkan untuk pembangunan iklim politik bangsa yang demokratis ke depan. Alih-alih para anggota Dewan ini lebih dari sekadar mengalihkan isu dan membangun wacana baru.
Dari kerangka ini juga akan terlihat betapa terjadi pergeseran substansi revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu ini ke arah yang lebih baik atau justru sebaliknya. Kecil sekali nuansa kepentingan masyarakat dalam hajat demokrasi melalui pemilu. Ini tentu tidak saja terjadinya pergeseran substansi nilai pemilu tetapi juga mengancam prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Banyak persoalan substansi yang diabaikan bahkan sengaja dilalui demi kepentingan politik golongan. Padahal, persoalan-persoalan substansial yang semestinya jadi fokus pembenahan sistem dalam revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yakni antara lain persoalan DPS, DPT, Pemilih ganda, pengaturan mekanisme keterbukaan, dan kiat mudah mengakses data-data tahapan pemilu dari KPU kepada masyarakat, penanganan pelanggaran Kode Etik beserta sangsi, hingga pada tingkat penanganan pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan massif, masih belum tersentuh sama sekali.
Perdebatan masih pada permasalahan sistem keanggotaan apakah boleh tidak kader partai politik menjadi anggota KPU dan Bawaslu. Jelas, hal ini jelas berimbas pada tahapan pemilu yang akhirnya kurang efektif dari sisi alokasi waktu kerja. Kegaduhan masalah DPS, DPT, kekacauan Nomor Induk Kependudukan (NIK), meningkatnya praktek ijasah palsu, rendahnya partisipasi pemilih, dan golput, mekanisme penyontrengan, penyelesaian kasus PHPU khususnya pemilu kada yang sebetulnya memerlukan perhatian serius semua pihak. Bisa dibayangkan dari 244 Pilkada selama 2010, kasus sengketa PHPU sebagian besar dipaksakan masuk ke Mahkamah Konstitusi.
Agaknya masyarakat pesimis terhadap apa yang dilakukan para wakil rakyat di parlemen, karena proses revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, tidak banyak menghasilkan perbaikan sistem yang memihak kepentingan masyarakat umum, melainkan semakin mempertajam praktek perilaku oligarki kekuasaan para elit yang sedang berkuasa. Konsolidasi demokrasi akan mengalami kemacetan total apabilaa sistem pemilu yang sesungguhnya merupakan instrumen pokok demokrasi ini secara sistematis, terstruktur, dan massif, diorientasikan untuk kepentingan para elit politik semata. Jika kecenderungan ini terus dipaksakan oleh para perumus regulasi sistem pemilu khususnya dalam perbaikan ke depan, maka akan dengan mudah, bisa diprediksi seperti apa kualitas Pemilu 2014.
Pergeseran substansi UU Pemilu akan sangat berpotensi besar terjadi di sini menyusul semakin tajamnya pertarungan antar Fraksi di DPR untuk memenangkan kepentingan partai masing-masing. Implikasinya, pertarungan tidak lagi diorientasikan pada kebutuhan masyarakat atau sekurang-kurangnya kontstituen masing-masing partai perwakilan di DPR lagi, melainkan sekadar memenuhi hasrat segelintir.
UU Pemilu yang dihasilkan harus betul-betul legitimic sehingga pelaksanaan pemilu pun benar-benar menghasilkan pemimpin yang legitimic juga. Meminjam istilah A.M. Lipset, “legitimasi harus mencakup kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan kepercayaan, lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk politik yang ideal buat rakyat” (legitimacy includes the capacity to produce and maintain a belief, that the exiting political institutions or form are the most appropiate for the society.
Dan ini artinya, publik bisa membayangkan seperti apa kualitas Pemilu 2014 dengan bercermin pada kualitas pemilu 2009 yang masih memprihatinkan . Publik tentu tidak sekadar harap agar para elit politik muncul kesadaran nurani dan mau bijak, tidak memaksakan kehendak pendekatan politik pragmatis semata tapi dengan dibentuknya Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR dalam rangka menelaah kasus pemalsuan surat MK bisa terungkap hingga tuntas.


Jakarta,  17 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar