Oleh Rahman Yasin
Masyarakat Indonesia tidak saja terus dibuat resah oleh
perilaku korup elit politik sehubungan proses pelaksanaan revisi Undang-Undang
No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang tidak kunjung selesai,
tetapi juga dikejutkan dengan kasus pemalsuan surat putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) yang diduga dilakukan mantan anggota KPU, Andi Nurpati yang saat ini
menjadi salah satu fungsionaris Partai Demokrat. Isu skandal politik ini cukup
seksi dan menyedot perhatian publik karena mengungkapkan dugaan pemalsuan surat
putusan MK No. 112/PAN.MK/VIII/2009, tertanggal 17 Agustus 2009 terkait kursi
DPR dari Dapil I Sulawesi Selatan ini setidaknya turut memperkuat asumsi publik
terhadap manajemen pemilu dari waktu ke waktu tidak mengalami perubahan
signifikan.
Apabila kasus dugaan pemalsuan surat ini
tidak diselesaikan dengan adil, maka rakyat tidak saja semakin kehilangan
percaya pada kinerja partai politik lagi tetapi justru semakin memperparah
kualitas demokrasi kita di mata dunia Internasional. Bahkan
sangat berpotensi membawah preseden buruk bagi masa depan pelaksanaan pemilu
kita.
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan sarana yang
paling efektif untuk melaksanakan kedaulatan politik rakyat dalam konteks
kebebasan memilih pemimpin yang kelak menjalankan kebijakan pembangunan negara.
Melalui pemilu, terjadi proses apa yang disebut dalam Undang-Undang
Nomor. 3 Tahun 1999 tentang pemilu—sebagai suatu cara efektif menjalankan
kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tentu
tetap dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945.
Arah kebijakan negara akan sangat ditentukan oleh calon-calon
pemimpin yang turut ambil bagian dalam pelaksanaan pemilu. Pemilu juga
merupakan sebuah konsep demokrasi yang menempatkan nilai-nilai egaliterianisme
politik masyarakat secara berperadaban.
Pemilu punya arti penting tentang bagaimana
pembaruan sistem kehidupan masyarakat itu di mulai, karena lewat pemilu, warga
bangsa akan diberikan kebebasan penuh untuk menggunakan prefrensi politik tanpa
adanya intervensi yang berarti dari rezim atau kelompok politik manapun yang
mengatasnamakan demokrasi. Tesis ini diperkuat
dengan basis penerapan sistem penyelenggaraan pemilu yang berasaskan langsung, umum
bebas, rahasia (luber), jujur, dan adil (jurdil).
Huntington dalam bukunya tiada pilihan mudah
mengatakan, dikembangkannya lembaga-lembaga electoral
dan parlementer menjadi bagian integral yang memberikan saluran-saluran
bagi partisipasi politik masyarakat luas atau secara sederhana disebutkannya
sebagai kelomlok-kelompok kelas yang secara politik turut memberikan andil bagi
terciptanya stabilitas politik jangka pendek.
Penekanan substansi
penyelenggaraan pemilu yang luber dan jurdil diatur dalam UU No. 32/2004, UU
No. 22/2007, dan UU No. 10/2008 terkait mekanisme menggunakan hak pilih
masyarakat dalam pemilu sebenarnya sudah diatur secara tegas dan jelas. Jika demikian,
mengapa institusi penyelenggara pemilu (KPU) cendrung inkonsisten menerapkan
tugas maupun fungsi konstitusionalnya, dan bagaimana upaya semua pemangku
kepentingan terhadap kualitas pemilu 2014?
Sejak pemilu tahun 1955, kita tahu betapa transformasi demokrasi
mendapat legitimasi yang cukup kuat dari dunia Internasional. Sistem
multipartai baru pertama kali diterapkan dalam sebuah kondisi geo-sosio politik
yang kurang stabil, tapi fakta menunjukkan, elit politik ketika itu mampu
menghadirkan suasana demokrasi politik yang berperadaban. Protes akibat
pelanggaran pemilu pun relatif kurang meskipun ada namun dari cara men-disegn
tradisi politik yang santun paling kurang siap kalah dan mengakui kemenangan
lawan terasa begitu kuat. Ini sangat berbeda dengan kondisi politik baik pada
pemilu 1971 yang merupakan fase pertama kehadiran rezim Orde Baru dalam pentas
politik nasional maupun pemilu-pemilu berikut di era Orde Baru, bahkan hingga
memasuki fase reformasi.
Secara teoritik, pemerintahan Orde Lama menerapkan sistem
demokrasi terpimpin yang hingga memicu tersumbatnya kran demokrasi. Kegaduhan
sistem politik masa transisi demokrasi menjadi faktor kegagalan negara dalam
menyusun dan menerapkan sistem pemilu yang demokratis. Kepemimpinan Soekarno,
apa yang disebut Herbert Feit (1962) dalam karya monumentalnya, The Decline
of Constittutional Democracy in Indonesia, sebagai solidarity makers,
dan administrator atau lebih dipahami sebagai problem solver ini
kurang bersahabat dengan kultur politik bangsa. Kegagalan demokrasi
parlementer era kekuasaan rezim Orde Lama tampak jelas akibat diterapkannya
sistem constitutional democracy. Sebuah kegagalan membangun tradisi
demokrasi kekuasaan yang elegan untuk membawa bangsa ke arah peradaban politik
modern.
Yang lebih disayangkan lagi, etape kekuasaan
rezim Orde Baru, perhelatan demokrasi melalui pemilu, tidak lagi mencerminkan
semangat kebebasan untuk menggunakan hak-hak politek masyarakat dalam memilih
pemimpin, hampir tidak ada. Pemilu sarat dengan
praktik manipulasi, distorsi kekuasaan, jabatan politik formal dijadikan
sebagai alat legitimasi kekuasaan rezim yang sedang dan akan berkuasa. Pendek
kata, pemilu pada era rezim Orde Baru sama sekali kehilangan pesan keadilan
demokrasi. Demokrasi jadi pemanis perhelatan kekuasaan. Maka sangat wajar,
apabila kondisi ini kemudian memicu krisis kepemimpinan demokrasi bangsa di
mata dunia Internasional karena negara dianggap tidak sanggup menjalankan
demokrasi dengan baik.
Reformasi yang menyertai transisi demokrasi pun disusupi oleh
oligarki dan pragmatisme kekuasaan sehingga hampir setiap proses dan tahapan
pemilu selalu muncul kecurangan. Demokrasi menjadi liberal akibat
kekuatan-kekuatan ideologi global yang begitu mendominasi. Volume tuntutan
pembaruan sistem demokrasi termasuk sistem hukum dan politik terus meningkat di
satu sisi, tetapi sisi lain, implementasi demokrasi yang ambigu pun terlihat
terus menguat khususnya dalam proses penerapan UU pemilu.
Demokrasi
Versus Oligarki
Reformasi
sistem pemilu dan sistem politik terus dilakukan dan pada tiap pergantian
“rezim kekuasaan politik legislasi” di parlemen, hampir perubahan UU Pemilu, UU
Kepartaian, dan UU Politik tidak pernah luput dari sikap politik partai-partai
politik yang kontraproduktif. Akan tetapi perubahan demi perubahan sampai saat
ini belum mampu mewujudkan sebuah sistem yang relevan, dan bersahabat dengan
tuntutan zaman. Apa yang disebut Plato dalam karya Republik-nya,
terbukti adanya sebuah realitas bernegara dalam situsasi modern saat ini.
Oligarki merupakan sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan
konsep politik yang mengedepankaan kekuasaan di tangan segelintir orang. Dalam
catatan literatur modern, Robert Michels (1959), menyebutkan, bahwa konsep
oligarki kekuasaan, setidaknya telah diperlihatkan oleh beberapa negara yang
pernah menerapkan sistem kekuasaan oligarki, antara lain, Jerman yang dipimpin
Hitler, Uni Sovyet dibawah kendali Stalin, Perancis dibawah kekuasaan Louis
XIX, bahkan Soeharto pun dikategorikan sebagai bagian dari rezim yang menjalankan
sistem oligarki.
Ketidakpastian revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu,
menunjukkan, mesin politik kekuasaan oligarki bekerja aktif. Politisi parlemen
seakan-akan memanfaatkan setiap periode “kekuasaan politik legislasi” di
parlemen selama menjabat, sebagai lahan basah untuk menghidupkan sumber
pemasukan finansial partai politik sehingga ketika revisi UU Pemilu itu
dilakukan, anggota Dewan yang merupakan mesin politik Parpol ini lebih
mengedepankan kepentingan individu maupun partai di mana mereka bernaung.
Fraksi partai besar seperti FD, FG, FPDIP, dan FKS, akan
berbeda visi atau bisa jadi sama kepentingan, namun secara politik kalkulatif,
sama-sama memiliki kepentingan organisasi. Akibatnya, proses revisi UU Pemilu
tidak lagi menempatkan aspek substansi, sejauhmana kepentingan masyarakat dalam
pemilu termasuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu serta
transformasi pendidikan politik bagi rakyat itu bisa teragregasi, tetapi
sebaliknya para wakil rakyat justru lebih mengutamakan, memperjuangkan
kepentingan partai politik masing-masing.
Revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara
Pemilu yang digulirkan sejak awal tahun 2010 dan berdasarkan potret dinamika
yang terjadi, agaknya semakin memperkuat pesimistis rakyat terhadap kinerja
buruk anggota Dewan yang terhormat ini. Perjalanan
penuh intrik dibalik pembahasan revisi terbatas UU No. 22/2007 tentang
Penyelenggara Pemilu. Perdebatan klasik hingga pragmatis mewarnai pembahasan
revisi UU Pemilu. Dari persoalan calon keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dan keanggotaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ketidaksepahaman, dan
ketidaktemuan masalah ambang batas, jumlah keanggotaan Dewan Kehormatan KPU,
terkait komposisi perwakilan kalangan masyarakat dari kalangan profesional,
soal kemandirian KPU dan Bawaslu, serta boleh tidak kader parpol menjadi
anggota KPU dan Bawaslu.
Perbedaan memuncak ketika sikap pemerintah
menolak keinginan segelintir anggota DPR yang menghendaki agar anggota DK KPU
terdiri dari satu orang perwakilan Bawaslu, dan empat orang lain perwakilan
tokoh masyarakat, serta delegasi partai politik di parlemen. Pada sisi lain,
tekanan masyarakat makin kuat agar DPR tetap mempertahankan keanggotaan KPU
dari kalangan profesional yang tidak memiliki ikatan struktur maupun keanggotaan
partai politik tertentu. DPR memang memiliki
wewenang yang kuat untuk menghadirkan uu pemilu sesuai kompromi politik yang
dilakukan. Oleh karena itu, dalam konteks ini apapun hasil pembahasan uu pemilu
adalah bagian dari kompromi politik, dan dalam nalar polittik merupakan sesuatu
yang wajar.
Oleh karena itu, suara kritis apapun dan kekuatan manapun diluar
Parpol yang mencoba mengganggu atau mengotak-atik bahkan menghalangi keinginan
menggolkan kepentingan mereka dalam UU Pemilu, maka dengan berbagai cara
politisi senayan tersebut membangun argumentasi dan retorika untuk pembenaran
politik mereka.
Kehilangan
Substansi
Berdasarkan
perdebatan panjang yang sampai memakan waktu begitu lama, serta ketajaman
perbedaan politik dari masing-masing Fraksi di DPR ini menunjukkan, wakil
rakyat kita semakin tidak memiliki kepekaan politik untuk melihat, merasakan,
dan tahu akan asas maslahah maupun mudharat dari apa yang mereka
perjuangkan untuk pembangunan iklim politik bangsa yang demokratis ke depan.
Alih-alih para anggota Dewan ini lebih dari sekadar mengalihkan isu dan
membangun wacana baru.
Dari kerangka ini juga akan terlihat betapa terjadi pergeseran
substansi revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu ini ke arah yang
lebih baik atau justru sebaliknya. Kecil sekali nuansa kepentingan masyarakat
dalam hajat demokrasi melalui pemilu. Ini tentu tidak saja terjadinya
pergeseran substansi nilai pemilu tetapi juga mengancam prinsip-prinsip
demokrasi itu sendiri.
Banyak persoalan substansi yang diabaikan bahkan sengaja dilalui
demi kepentingan politik golongan. Padahal, persoalan-persoalan substansial
yang semestinya jadi fokus pembenahan sistem dalam revisi UU No. 22/2007
tentang Penyelenggara Pemilu yakni antara lain persoalan DPS, DPT, Pemilih ganda,
pengaturan mekanisme keterbukaan, dan kiat mudah mengakses data-data tahapan
pemilu dari KPU kepada masyarakat, penanganan pelanggaran Kode Etik beserta
sangsi, hingga pada tingkat penanganan pelanggaran yang bersifat sistematis,
terstruktur, dan massif, masih belum tersentuh sama sekali.
Perdebatan masih pada permasalahan sistem keanggotaan apakah boleh
tidak kader partai politik menjadi anggota KPU dan Bawaslu. Jelas, hal ini jelas
berimbas pada tahapan pemilu yang akhirnya kurang efektif dari sisi alokasi
waktu kerja. Kegaduhan masalah DPS, DPT, kekacauan Nomor Induk Kependudukan
(NIK), meningkatnya praktek ijasah palsu, rendahnya partisipasi pemilih, dan
golput, mekanisme penyontrengan, penyelesaian kasus PHPU khususnya pemilu kada
yang sebetulnya memerlukan perhatian serius semua pihak. Bisa dibayangkan dari
244 Pilkada selama 2010, kasus sengketa PHPU sebagian besar dipaksakan masuk ke
Mahkamah Konstitusi.
Agaknya masyarakat pesimis terhadap apa yang
dilakukan para wakil rakyat di parlemen, karena proses revisi UU No. 22/2007
tentang Penyelenggara Pemilu, tidak banyak menghasilkan perbaikan sistem yang
memihak kepentingan masyarakat umum, melainkan semakin mempertajam praktek
perilaku oligarki kekuasaan para elit yang sedang berkuasa. Konsolidasi
demokrasi akan mengalami kemacetan total apabilaa sistem pemilu yang
sesungguhnya merupakan instrumen pokok demokrasi ini secara sistematis,
terstruktur, dan massif, diorientasikan untuk kepentingan para elit politik
semata. Jika kecenderungan ini terus dipaksakan oleh para perumus regulasi
sistem pemilu khususnya dalam perbaikan ke depan, maka akan dengan mudah, bisa
diprediksi seperti apa kualitas Pemilu 2014.
Pergeseran substansi UU Pemilu akan sangat berpotensi besar
terjadi di sini menyusul semakin tajamnya pertarungan antar Fraksi di DPR untuk
memenangkan kepentingan partai masing-masing. Implikasinya, pertarungan tidak
lagi diorientasikan pada kebutuhan masyarakat atau sekurang-kurangnya
kontstituen masing-masing partai perwakilan di DPR lagi, melainkan sekadar
memenuhi hasrat segelintir.
UU Pemilu yang dihasilkan harus betul-betul legitimic
sehingga pelaksanaan pemilu pun benar-benar menghasilkan pemimpin yang legitimic
juga. Meminjam istilah A.M. Lipset, “legitimasi
harus mencakup kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan kepercayaan,
lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk politik yang ideal buat rakyat” (legitimacy includes the capacity to produce
and maintain a belief, that the exiting political institutions or form are the
most appropiate for the society.
Dan ini artinya, publik bisa membayangkan seperti apa kualitas
Pemilu 2014 dengan bercermin pada kualitas pemilu 2009 yang masih
memprihatinkan . Publik tentu tidak sekadar harap agar para elit politik muncul
kesadaran nurani dan mau bijak, tidak memaksakan kehendak pendekatan politik
pragmatis semata tapi dengan dibentuknya Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR
dalam rangka menelaah kasus pemalsuan surat MK bisa terungkap hingga tuntas.
Jakarta, 17 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar