Senin, 30 November 2015

Gagasan tentang Etika Bernegara

Gagasan tentang Etika Bernegara
Dari Praktek Peradilan tertutup
Sampai pada Penerapan Sistem Peradilan Terbuka

Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



A.  Pendahuluan

Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum. Sebagai negara demokrasi ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India, Indonesia sesungguhnya dihadapkan dengan berbagai tantangan dan hambatan. Tantangan yang paling mengaga di depan mata kita adalah di tengah bangsa ini secara terus menerus berupaya mewujudkan negara berdasarkan atas hukum. Reformasi hukum merupakan kata kunci untuk membangun kepercayaan publik di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga-lembaga negara khususnya penegak hukum itu sendiri. Tata kelola pemerintahan
Norma hukum, norma etika dan norma agama mengalami goncangan karena dihadapkan dengan berbagai ketidakpastian sehingga yang sering muncul dalam praktik kehidupan bernegara adalah perilaku yang menyimpang dari aturan yang ada. Tulisan ini merupakan suatu usaha dalam rangka mencari penyebab dari kekacauan sistem etika sosial dan menelaah fakta maupun peristiwa-peristiwa kegoncangan moral bernegara dengan melakukan analisis kritis terhadap fenomena sosial politik dari sudut pandang norma hukum dan norma etika. Pendekatan ilmiah untuk menjelaskan permasalahan yang ditelaah tentu tetap menjadi perhatian penulisan buku ini. Kajian ini menggunakan metode pendekatan analisis kritis yang secara ilmiah mengkaji akar penyebab kerusakan tatanan etika politik dan etika pemerintahan di dunia modern sekarang.
Maka pembahasan pada tulisan ini dimaksudkan sebagai pengantar permulaan menuju ke suatu pemahaman baru mengenai pentingnya peradilan etika di era modern. Uraian ini memberikan gambaran umum tentang masalah-masalah kekacauan dalam dimensi etika sosial dan moralitas berbangsa dengan mengedepankan gagasan-gagasan kritis pada aspek perbaikan kualitas demokrasi. Pertanyaan pertama yang patut dimunculkan ialah apa itu etika? Dalam banyak literatur tentang etika, pertanyaan ini selalu menjadi bagian penting yang turut memberikan gambaran umum mengenai pengertian dan perkembangan etika itu sendiri, sebagaimana dalam bukunya H. De Vos, seorang Guru Besar Groningen, yang berjudul: Inteliding tot de Ethiek, dan diterjemhkan dalam bahasa Indonesia oleh Seorjono Soemargono, Pengantar Etika (2002). Untuk menjawab pertanyaan ini, tulisan ini tidak mengawali dengan jawaban secara etimologis dengan membahas etika dari perspektif historis empiriknya dan pengertiannya secara konsepsional tetapi sekadar menetapkan sebagaimana begitu banyak terminologi dalam filsafat ilmiah yang memastikan, bahwa kata etika sesungguhnya berasal dari orang Yunani. Dan yang paling penting bagi bangsa kita dalam menghadapi tantangan kekacauan moral pada zaman sekarang ialah bagaimana kita mengkritisi apakah yang dimaksud dengan etika dalam tahapan perkembangan implementasinya.
Tulisan ini dimaksudkan untuk melakukan suatu kajian teoritis dan fenomena-fenomena yang ada dengan mendalami realitas sosial politik kekinian yang dilandasi dengan ide-ide keadilan restoratif tanpa mengabaikan standar-standar formalitas. Suatu kajian yang menunjukkan bahwa model peradilan umum dan peradilan khusus seperti diterapkan sekarang merupakan bentuk peradilan klasik yang jauh dari prinsip kemajuan ilmu dan teknologi dan bertentangan dengan modernisasi sistem demokrasi sebagaimana di beberapa negara modern. Praktik peradilan yang mengadili pihak-pihak dalam bersilang sengketa dengan cara tertutup menunjukkan bahwa, konfigurasi politik di Indonesia tidak sejalan dengan prinsip keadilan. Praktik penegakan keadilan pada institusi peradilan diselenggarakan dengan tertutup selain melawan arus kebebasan juga bertentangan dengan keadilan.
Sistem peradilan umum di Indonesia dengan sengaja mengangkat beberapa kasus mutakhir tentu dengan maksud untuk melengkapi studi perbandingan reformulasi sistem etika berdasarkan teori-teori keadilan sebagai ide baru dalam rangka penegakan kode etika profesi. Ide kebebasan (liberty) demokrasi, bagaimana mengelola sumber daya politik hukum sebagai usaha membangun kualitas kehidupan etik dalam berbangsa. Buku ini menekankan pembahasan, pentingnya law enforment, equality before the law, supremasi keadilan, netralitas kelembagaan penegakan hukum, dan bagaimana mereduksi intervensi penegakan hukum pada peradilan serta pentingnya mentradisikan praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih baik.
Dari sisi konseptual menyoroti fungsi-fungsi nilai dan norma umum kemasyarakatan dan kebangsaan ditinjau dari perspektif Pancasila. Pancasila sebagai falsafah dan ideologi politik yang terbuka semakin tidak dianggap sebagai pijakan utama, dengan mengajukan kasus kekacauan etika sosial politik dan kerusakan moral dalam kehidupan masyarakat modern. Pancasila mengalami distorsi karena ditafsirkan dengan ideologi impor sehingga dalam titik tertentu kehilangan basis filosofis empiriknya. Pertarungan politik dalam kontestasi kekuasaan kian tidak berbanding lurus dengan harapan rakyat dan kecenderungan mobilisasi isu sebagai metamorfosi ideologi menunjukkan Pancasila tidak lagi dianggap nilai fundamental.
Sistem kehidupan politik dan hukum dalam Pancasila, pergulatan wacana reformasi sistem peradilan di Indonesia, kekacauan norma agama, norma hukum, dan norma etika dalam pergumulan ideologi Pancasila, kapitalisme, liberalisme, sosialisme, komunisme, dan demokrasi kian tak terbendungi. Kemenangan ideologi komunal memaksa Indonesia mengadopsi sistem politik negara lain yang sesungguhnya tidak sesuai dengan budaya bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Pada akhir bab buku ini selain menyoroti realitas kekinian tentang kekacauan dan kerusakan tatanan nilai dalam bernegara juga mengajukan gagasan-gagasan konseptual mengenai model peradilan etika modern dalam penegakan etika penyelenggara negara. Lima tahap perkembangan etika menjadi landasan teoritik untuk mengurai keadilan substansial dan keadilan restoratif dan mencari konvergensi dalam rangka melakukan transformasi nilai etika bernegara berdasarkan Pancasila.
Pertentangan ideologi politik tidak lagi melibatkan unsur-unsur kekuatan bersifat hardwar semata tetapi faktor kekuatan softwar pun sebagai instrumen untuk mendapatkan legitimasi pemikiran politik termasuk gagasan mengenai sistem hukum dan sistem etika modern. Pertentangan ideologi hukum beranjak dari pemikiran klasik modern tentang sistem hukum yang dianggap relevan diterapkan.
Negara-negara modern penganut sistem demokrasi menjadikan hukum sebagai pilar utama menegakkan keadilan. Meski dalam penegakan hukum seringkali tidak sejalan dengan esensi keadilan namun hukum telah menjadi pedoman kehidupan bernegara. Sistem hukum selalu mengalami kerancuan dalam praktik disebabkan dalam proses penyusunan regulasi hukum terjadi pergulatan pemikiran termasuk kepentingan yang melatarbelakangi anggota legislatif. Kebenaran hukum proseduralistik melekat pada konsep birokrasi yang mengutamakan pelayanan formalitas karena tanggungjawab pada suatu pelimpahan tugas. Namun demikian, bukan berarti konsep birokrasi tidak menghendaki pelayanan prima tetapi sebaliknya, esensi birokrasi ialah tanggungjawab. Artinya, birokrasi menuntut adanya sikap jujur, tanggungjawab atau profesionalitas.
Setelah reformasi dengan dibentuknya lembaga-lembaga pengadilan seharusnya dapat memecahkan masalah yang ada. Misalnya Komisi Yudisial (KY) dengan semangat utamanya ialah menegakkan kehormatan dan kewibawaan institusi penegak hukum itu sendiri, namun kenyataan selalu tidak. Komisi Yudisial dalam praktik peradilan tidak secara optimal menjalankan tugas dan fungsi bahkan perilaku sebagian hakim semakin memperburuk kondisi kepercayaan publik pada peradilan.
Komisi Yudisial adalah patner bagi Mahkamah Agung dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Oleh karena itu, setiap hakim berkepentingan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan hakim dan lembaga kehakiman. Oleh sebab itu, hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung bersifat kemitraan, bukan persaingan apalagi perseteruan. Komisi Yudisial berfungsi sebagai penjaga dan penegak kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Inilah pentingnya demokrasi diimbangi oleh ‘rule of law’, dan berkembang efektifnya ‘rule of law’ dan bahkan ‘rule of law’ sangat tergantung pada kepercayaan aparatur penegak hukum, khususnya para hakim. Karena itu, kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan dalam sistem demokrasi konstitusional.[1]
Sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan pengawasan kehakiman, Komisi Yudisial semestinya bisa memainkan peran penegakan hukum secara efektif. Dari perspektif struktural, Komisi Yudisial merupakan suatu lembaga negara yang diatur secara khusus dalam satu bab dalam UUD 1945 yakni bab mengenai kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang tidak dijalankan secara teknis seperti dalam persidangan namun secara substansial lembaga ini mempunyai kekuasaan kehakiman dalam konteks yang paling krusial yaitu memberikan usulan bagi pengangkatan Hakim Agung serta memiliki wewenang menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, dan perilaku hakim sebagaimana tertuang dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 hasil perubahan. Yang bersifat preventif hanya dikaitkan dengan upaya menjaga perilaku hakim, sedangkan yang bersifat korektif hanya dikaitkan dengan upaya menegakan kehormatan, dan keluhuran martabat hakim.
Dengan kewenangan melakukan proses seleksi dan mengusulkan pengangkatan para hakim agung maka lembaga Komisi Yudisial hadir menjadi suatu lembaga baru dengan memiliki mekanisme yang baru karena berbeda dengan proses seleksi dan pengangkatan hakim agung yang sarat dengan intrik politik karena intervensi penguasa. Artinya, dengan prosedur dan mekanisme model Komisi Yudisial maka diharapkan, proses seleksi dan pengangkatan hakim agung akan lebih akuntabel, transparan dan membuka adanya ruang kebebasan bagi semua calon berkompetisi secara terbuka tentu tetap dalam konteks cita-cita menjadikan lembaga penegakan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku para hakim. Keberadaan lembaga baru ini yang mengawasi perilaku hakim supaya menjadi baik (good conduct) diharapkan menjadi simbol mengenai pentingnya infrastruktur sistem etika perilaku (good conduct) dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945. Komisi Yudisial merupakan suatu lembaga bersifat penunjang (auxiliary organ) dan diharapkan infrastruktur sistem etika perilaku di semua sektor dan lapisan suprastruktur dan infrastruktur bernegara dapat ditumbuhkembangkan sebagaimana mestinya dalam rangka mewujudkan gagasan tata kelola pemerintahan yang bersih.
Hal ini penting sekali karena dalam praktiknya, negara hukum sebagaimana didiktumkan dalam UUD 1945, tidak dijalankan dengan baik oleh penyelenggara negara. Hal ini dapat dilihat dari praktik penegakan hukum pada institusi pengadilan. Pengadilan masih diselimuti kabut hitam perilaku korup segelintir orang sehingga hukum tidak dapat memenuhi rasa keadilan. Praktik peradilan, banyak hakim, jaksa, polisi bertindak tidak profesional. Perilaku menyimpang dari aturan hukum menjadi problem penegakan keadilan. Praktik jual beli kasus, makelar kasus tumbuh dan berkembang tanpa penanganan yang baik sehingga masyarakat merasa tersisih karena tidak mendapatkan keadilan yang semestinya.

B.  Efek Peradilan Tertutup
Kepercayaan masyarakat (public trust) pada hukum merupakan modal utama dalam menegakkan keadilan. Sistem hukum bisa dengan efektif diterapkan sangat ditentukan selain dari persediaan infrastruktur dan kualitas sumber daya manusia juga pelayanan peradilan yang bagus. Peradilan pada dasarnya menjadi tumpuan harapan warga negara. Dalam perkembangannya sistem hukum gagal memberikan keadilan sehingga masyarakat kurang percaya pada lembaga-lembaga peradilan. Bahkan lembaga-lembaga peradilan dianggap tidak dapat mewujudkan kepercayaan masyarakat meski peradilan sebagai benteng terakhir untuk mencari keadilan dan mematahkan ketidakadilan. Kasus-kasus korupsi kelas kakap dan menengah tidak ditangani dengan serius sehingga peradilan tidak ada efisiensi prosedur putusan hakim karena dilakukan tidak transparan.
Prosedur putusan hakim tidak transparan dan banyak efek putusan menimbulkan kerugian pihak-pihak yang semestinya tidak bersalah membuat masyarakat apatis pada hakim dan peradilan, sehingga kewibawaan hakim dan institusi peradilan kurang dihormati karena dinilai hanya menghasilkan KKN.
Sistem hukum modern dan kelembagaan peradilan yang korup umumnya karena dijalankan oleh para hakim bermental tidak baik. Proses pelayanan kelembagaan peradilan baik dan buruknya sangat ditentukan oleh hakim, panitera, dan staf admnistrasi. Oleh karenanya para hakim, panitera dan staf administrasi sebaiknya dibekali dengan kualitas kepribadian yang kuat. Karakter hakim, panitera dan staf administrasi yang berintegritas harus menjadi pertimbangan utama dalam rangka perbaikan kualitas lembaga peradilan di masa mendatang. Selain pertimbangan kualitas kepribadian juga dipikirkan ketersediaan infrastruktur dan sistem administrasi penanganan perkara agar bisa berfungsi dengan efektif memberikan pelayanan.
Fungsi sistem hukum dan peradilan hendaknya ditata lagi agar bisa menciptakan suatu mekanisme peradilan yang efektif dan efisien serta dapat dipercaya masyarakat. Sikap proaktif pengacara mengikuti prosedur beracara dan menghargai hasil putusan hakim menjadi suatu kesadaran bersama, karena apapun putusan pengadilan sepanjang sudah memenuhi unsur-unsur yang ada dan telah dibuktikan dengan fakta dan data, maka pengacara harus menerima dan tidak bertindak dengan membuat opini politik dalam penyelesaian suatu perkara.
Amanat UUD 1945 menjamin suatu pengadilan bersifat bebas maka  harus jadi perhatian bersama. Perekrutan hakim, penempatan personalia dalam struktur kelembagaan pengadilan dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial dengan tujuan agar kredebilitas dan integritas seorang hakim, panitera, dan staf administrasi betul-betul terjaga. Selama ini, hakim, panitera dan kelembagaan pengadilan selalu dituduh bersikap tidak independen dan tidak transparan. Dalam praktik banyak hakim yang membuka peluang terjadinya praktik suap, dan sogok diantara para pihak yang berperkara. Kesan hukum dijadikan sebagai komoditas dagangan begitu kuat dan tidak menutup kemungkinan banyak hakim tidak memiliki rekam jejak yang baik, namun karena dipilih melalui proses politik maka selalu tidak independen bahkan ada yang berkepribadian kurang baik karena minimnya pengetahuan dan nafsu politik yang kuat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebaik sistem apapun pengadilan, sebagus mekanisme yang tersedia sekalipun, dan seideal konsep peradilan yang ada, namun bila sistem dan mekanisme tersebut tidak di bawah kendali mereka yang memiliki integritas maka sulit untuk mewujudkan proses peradilan yang semestinya. Karena adanya perilaku hakim yang tidak baik dalam mengadili perkara dengan melibatkan tidak hanya satu kepentingan tetapi pihak-pihak yang bertikai, kelompok-kelompok masyarakat yang berkonflik, atau kelompok masyarakat, organisasi, perorangan dengan negara dan sebaliknya sehingga secara etika membutuhkan hakim, jaksa, dan polisi atau pendek kata aparatur penegak hukum yang benar-benar memiliki karakter yang berkomitmen pada nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Dengan kata lain, para penegak hukum hendaknya orang-orang yang tidak saja diseleksi atau direkrut hanya karena kompetensi tertentu namun yang kemampuan seorang hakim dan jaksa yang mau mengorbankan semua keadaan yang ada pada dirinya termasuk berkorban untuk menegakkan kebenaran. Hakim dan jaksa yang mampu menegakkan keadilan berdasarkan norma hukum, dan norma etika.
Hakim pengadilan umumnya mengadili suatu perkara sampai dengan perumusan kebijakan dan putusan yang selalu berlawanan dengan keadilan meskipun dalam proses persidangan berdasarkan fakta dan bukti yang kuat. Tindakan hakim seperti ini sama sekali bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) karena mengabaikan nuraninya selaku insan yang memiliki potensi kebaikan. Padahal, HAM merupakan hak setiap individu paling mendasar karena bersifat kodrati dan unsur kemanusiaan yang harus dihargai dan dijunjung tinggi. HAM merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Pencipta kepada manusia sejak lahir sehingga tidak boleh ada kekuatan manapun mengambilnya dari setiap warga bangsa. Meski demikian, tidak kemudian HAM bersifat individu digunakan dengan sesuka manusia. Itulah sebabnya mengapa pentingnya negara menggunakan hak konstitusional untuk mengatur dan menjalankan dengan baik agar tujuan hidup bernegara bisa berjalan sesuai cita-cita bersama.
Dalam perspektif negara mengelola, mengatur dan menegakkan HAM agar bisa tercipta kondisi tertib dalam memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum bagi warga negara maka harus sejalan dengan amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Pada dasarnya hak asasi manusia terdapat dua macam yakni hak mengenai persamaan untuk diperlakukan sama juga hak asasi dalam perspektif kebebasan (liberty). Dari bentuk Ham tersebut kemudian melahirkan HAM yang lain. Dalam arti, tanpa kedua HAM dalam pengertian hak persamaan dan kebebasan (liberty) tersebut maka hak-hak yang lain tidak akan bisa ditegakan.
Pengertian konseptual hak asasi manusia dalam sejarah instrumen hukum internasional setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi perkembangan. Ketiga generasi perkembangan konsepsi hak asasi manusia ini meliputi generasi pertama yakni sejak era enlightenment di Eropa yang kemudian meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum internasional secara resmi. Puncak perkembangan generasi pertama ini adalah peristiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human Right. Generasi perkembangan kedua yakni, International Couvenant an Civil and Political Rights, yang pada puncaknya pada tercapainya penandatanganan International Couvenant an Economic, Social and Cultural Rights tahun 1966. Sedangkan generasi ketiga yakni dari tahun 1968 perkembangan konsepsi baru hak asasi manusia yang mulai ditingkatkan pada jaminan berbagai aspek pembangunan, rights to development. Mencakup persamaan hak dan kesempatan dalam pembangunan untuk menikmati hasil-hasil perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja dan lain sebagainya.[2]
Bangsa Indonesia memahami bahwa The Universal Declaration of Human Right yang dicetuskan tahun 1948 merupakan pernyataan umat manusia yang mengandung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga memandang bahwa The Universal Declaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council tahun 1997 juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi untuk melengkapi The Universal Declaration of Human Right tersebut. Kesadaran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikembangkan sendiri oleh bangsa Indonesia.

C.  Keadilan Dalam Hukum
Jika ditelaah lebih dalam tentang keadilan maka selain keadilan berdasarkan ketentuan-ketentuan norma yang terkandung dalam budaya kehidupan umat manusia selaku utusan Tuhan di muka bumi sekaligus mencerminkan tabiat dari setiap manusia yang sesungguhnya sebagai makhluk Tuhan yang diberi kelebihan akal fikiran. Perilaku kehidupan sosial menitikberatkan dasar etika. Setiap pribadi memiliki karakter dan tabiat sebagai corak identitas kepribadian dalam kehidupan antar sesama sebagai makhluk Tuhan. Dengan memiliki potensi akal fikiran, manusia sesungguhnya dikendalikan oleh jiwa yang bersih dan senantiasa diasah dengan nilai-nilai filosofis. Hal ini penting sekali bagi setiap umat manusia terlebih bagi kalangan elit yang diberi kepercayaan menjalankan sistem kehidupan bernegara dalam masyarakat.
Manusia selaku makhluk Tuhan memiliki potensi akal tetapi sekaligus potensi untuk bertindak tidak baik. Suatu kecenderungan berperilaku menyimpang dari norma hukum, norma etika, dan norma agama. Tipe manusia seperti ini umumnya karena suka mengikuti hawa nafsu dan tidak mampu menolak godaan dunia. Maka praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) jadi bagian dari gaya hidup.
Berbeda halnya dengan karakter manusia berkepribadian baik. Karakter ini senantiasa menggunakan potensi kebaikan untuk mereduksi segala bentuk godaan seperti memberikan dukungan pada orang lain untuk tidak berbuat menyimpang atau menggunakan pangkat, jabatan, wewenang untuk memerintahkan orang lain berbuat tidak berdasarkan tabiat kepribadiannya. Oleh sebab itu, konstruksi pemahaman politik yang ideal ialah menekankan dimensi etika sosial sebagai pedoman sehingga lebih mendahulukan instruksi-instruksi tabiat, karena tabiat manusia sebagaimana disinggung sebelumnya, memiliki potensi konstruktif dan destruktif. Selain itu juga instruksi-instruksi tabiat tidak harus dijadikan sebagai kesatuan sistem pemikiran politik yang tersentralisasi pada akal semata.
Dengan demikian, kebijakan hukum bernegara tidak harus menyandarkan pada aspek hukum legalistik dan proseduralistik formal yang pada akhirnya menimbulkan keresahan masyarakat dalam mencari keadilan. Jika penegakan hukum hanya ditafsirkan pada teks-teks normatif maka proses penegakan hukum tidak akan memecahkan masalah karena peradilan yang bebas dan tidak memihak kenyataan dalam praktik tidak pernah luput dari intervensi dan tekanan-tekanan politik rezim berkuasa.
Keadilan hukum dalam peradilan semestinya jauh dari ppraktik distorsi. Intervensi penguasa, dan tekanan-tekanan fisik maupun yang mengancam jiwa para penegak keadilan yakni, hakim, jaksa, dan polisi baik tidak akan memberikan jaminan bagi rakyat mendapatkan keadilan dan peradilan yang diselenggarakan dengan mementingkan kepentingan-kepentingan aktor tertentu, maka sudah pasti akan menciptakan disharmonisasi. Sifat hukum sejatinya lahir dari hakikat-hakikat yang senantiasa melekatkan dirinya pada kultur dan norma-norma kehidupan manusia selaku makhluk yang dibekali akal fikiran. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Montesquieu dalam bukunya berjudul De I’Esprit des Lois, hukum secara substansial adalah menyangkut penjelasan-penjelasan mengenai tabiat yang penting. Maka tugas negara dalam membangun sistem keadilan dalam hukum proseduralistik harus memberikan tempat khusus yang memungkinkan terjadinya intrepretasi dan penjelasan-penjelasan ilmiah dalam rangka menertibkan mekanisme penegakan hukum.
Keadilan hukum dalam sistem bernegara merupakan hal utama untuk memupuk kepercayaan. Itulah sebabnya integritas bernegara sangat diperlukan adanya suatu mekanisme hukum yang adil. Peradilan tanpa keadilan maka akan menciptakan disintegrasi sosial karena memicu konflik antar sesama masyarakat. Peradilan tidak menegakkan keadilan sebagaimana digariskan dalam norma hukum maka akan menciptakan konflik. Masyarakat saling bertengkar, saling memusuhi satu sama lain dan pada gilirannya menimbulkan sikap saling curiga.
Negara demokrasi modern sebenarnya mengutamakan pendekatan distribusi kekuasaan dengan memilih pemimpin-pemimpin bangsa yang berkarakter untuk duduk di posisi strategis pada institusi pemerintahan. Negara memiliki tanggungjawab memainkan peran fungsional untuk menempatkan pemimpin-pemimpin pada struktur kekuasaan negara dengan menggunakan kriteria mengutamakan kepribadian/karakter individu yang betul-betul memiliki integritas moral yang tinggi.

D. Prospek Penegakan Hukum di Indonesia
Reformasi tidak akan mampu menciptakan struktur kehidupan berbangsa dan bernegara secara baik apabila reformasi tidak dimulai dari sistem. Salah satu esensi fundamental dalam sistem kehidupan bernegara ialah konstitusi. Dengan sistem, maka kemana negara ini mau di bawa? Sistem harus menjadi pilihan utama dalam benak pikiran semua pengambil kebijakan, terutama legislatif dan eksekutif, karena tanpa melakukan perubahan sistem ketatanegaraan yang mendasar, maka jangan pernah berharap suasana kehidupan berbangsa bisa mengarah pada tatanan politik hukum yang baik.
Tidak bisa dinafikan bahwa reformasi tanpa perubahan konstitusi merupakan hal mustahil. Perubahan suatu rezim tanpa perubahan sistem, maka sesungguhnya tidak akan menghasilkan sesuatu yang ideal sebagaimana dicita-citakan para pendahulu bangsa (the founding fathers). Maka perdebatan sistem terkadang diwarnai dengan pertentangan ideologi tertentu yang hanya menguras energi positif kita dalam bernegara.
Demokrasi modern dapat dikatakan sebagai cita-cita nasional. Hal ini karena pemahaman konstitusi dipandang sebagai suatu konsep negara yang tidak hanya dasar dari sumber hukum tertinggi dalam negara, tetapi merupakan pedoman yang menentukan kualitas bernegara dalam berbagai aspek kehidupan. Konstitusi memuat spirit masa lalu dan masa depan suatu bangsa yang meliputi dimensi ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, ketertiban, perdamaian, dan lain-lain. Dimyati Hartono, dalam pengantar Restorasi Amandemen UUD 1945 secara normatif mengatakan, keberadaan suatu negara dapat dilihat dari dasar filosofinya karena melalui konstitusi dengan mudah diketahui suatu negara dibentuk. Artinya, lahirnya suatu negara sama halnya dengan lahirnya konstitusi yang memiliki latar belakang historisnya tersendiri atau dalam istilah popular disebut sebagai“Situation Gebundenheit” atau Historical Backgraound dari sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).[3]
Dalam tataran implementasi, konstitusi sejak era reformasi tahun 1998 meski telah terjadi perubahan UUD 1945 dalam empat tahap dalam satu rangkaian dengan hasil berupa, Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan Perubahan Keempat (2002), sampai sekarang kita masih merasakan betapa penataan sistem penegakan hukum masih tertatih-tatih. Supremasi hukum masih ada intervensi pada proses pengadilan. Tindakan campur tangan pihak-pihak dengan menggunakan wewenang kekuasaan masih saja terjadi. Meski di era reformasi penuh dengan suasana kebebasan, namun kenyataan banyak politisi, birokrat, pelaku dunia usaha, kalangan profesional masih menggunakan cara-cara lama untuk menghambat proses penegakan hukum.
Dalam konteks demikian, perbaikan di bidang lembaga hukum/peraturan dan perundang-undangan pemerintahan diperlukan merupakan suatu keharusan. Hal ini sebagai upaya untuk mencegah praktik KKN dalam pelayanan birokrasi dengan mendorong pemahaman kecepatan birokrasi memberikan dukungan pelayanan kerja yang baik. Hal ini akan meminimalisir berbagai potensi transaksi kasus dan jual beli perkara di lembaga-lemabaga peradilan hukum pidana.
Kenyataan tersebut dirasakan pada era reformasi. Dalam banyak kajian politik modern menunjukan, praktik kekuasaan, negara seringkali disalahgunakan bahkan banyak studi politik menghasilkan temuan baik di negara-negara demokrasi atau pun negara yang mengalami rotasi sistem demokrasi dan meninggalkan sistem otoriter sekalipun tidak luput dari praktik peradilan dengan model dan sistem yang tertutup.
Oleh sebab itu, negara harus memberikan jaminan ketertiban pada warganya melalui lembaga-lemabaga dan kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat sekaligus mengatur sistem kontrol, check and balances yang efektif sehingga penyelenggaraan pemerintahan bisa dengan demokratis. Dengan kontrol yang kuat dari masyarakat maka sistem bisa dipastikan berjalan sesuai diinginkan. Masyarakat modern dan tantangan demokrasi di tengah menguatnya globalisasi suka tidak suka, mau tidak mau pelibatan masyarakat merupakan hal penting karena masyarakat pemegang kedaulatan dalam demokrasi tidak bisa dinafikan begitu saja. Demokrasi modern memerlukan sikap politik tegas dari para pengambil kebijakan.
Salah satu pilar penting demokrasi ialah trias politica yang membagi tiga kekuasaan politik dalam negara, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pembaharuan sistem politik dalam masa transisi kekuasaan dari otoriter ke demokrasi masih membutuhkan perbaikan. Pemerintahan demokrasi hanya dapat mewujudkan sistem penyelenggaraan negara yang profesional, efektif, dan berwibawa apabila dikuatkan dengan sistem etika yang kuat.
Akan tetapi yang perlu dipahami ialah, konstitusi itu sendiri tidak serta-merta dimaksudkan untuk mengatur segala-segalanya. Dalam struktur ketatanegaraan kita sudah jelas bahwa selain kedudukan konstitusi dan UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi dalam bernegara dan secara teknis operasional, norma-norma itu diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih rendah seperti undang-undang atau konvensi ketatanegaraan yang tumbuh, diterima dan dipelihara dalam praktik penyelenggaraan negara.
Indonesia semakin gencar melakukan pembenahan-pembenahan di bidang hukum. Penegakan hukum selama rezim Orde Baru dianggap tidak mampu menjamin rasa keadilan rakyat. Reformasi sistem hukum belum sampai pada tahap penyempurnaan sistem penyelenggaraan negara sebagaimana diinginkan. Kekacauan sistem ketatanegaraan terlihat pada ketidakjelasan lembaga mana yang memainkan peran sebagai pelaksana kedaulatan. UUD 1945 mengatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kecenderungan negara menjadikan kekuasaan sebagai alat legitimasi keadilan proseduralis-legalistik berimplikasi tidak baik pada proses penataan sistem hukum. Negara menempatkan rezim sebagai sumber hukum sehingga diperlakukan sesuai kemauan dan keinginan yang berkuasa (i’etat cest moi’), negara adalah aku, kata Raja Perancis, Loius XIV. Institusi-institusi peradilan tidak lain adalah lembaga-lembaga yang sifatnya memiliki sub-ordinasi kekuasaan hukum.
Di negara-negara maju umumnya konsisten menerapkan hukum dan penguasa tidak tanggung-tanggung memberikan teladan atas ketaatan hukum. Negara Republik Rakyat Cina dan Vietnam misalnya, negara yang cukup teratur menjalankan aturan hukum. Kedua negara ini dikenal sebagai negara Komunis, bukan negara demokrasi tetapi sangat kuat menjunjung tinggi hukum. Pemberlakuan hukuman yang keras hingga pada tingkat hukuman mati bagi setiap pelaku kejahatan korupsi.
Sejak era reformasi telah dibatasi masa jabatan eksekutif (Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota) menjadi dua periode. Pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan bertindak sewenang-wenang, seperti dikemukakan Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu kekuasaan harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain.[4] 
Efek perubahan melahirkan komisi-komisi negara yang merebak. Komisi-komisi dibentuk atas perintah konstitusi antara lain, Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Ketiga komisi tersebut mempunyai keberadaan yang kuat dalam sistem ketatanegaraan karena merupakan perintah konstitusi. Lebih dari 50 lembaga-lembaga negara non kementerian yang merupakan produk hukum tertentu dan memiliki wewenang tertentu dalam menjalankan tugas negara pun dibuat. Diantara komisi produk undang-undang seperti ini ialah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), serta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sementara komisi yang dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah seperti Badan Standardisasi Nasional (BSN), dan komisi dibentuk dengan peraturan presiden seperti Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Terdapat pula komisi yang dibentuk dengan keputusan presiden misalnya Komisi Hukum Nasional (KHN) dan lain-lain.
Dalam praktik selanjutnya kita selalu dihadapkan dengan berbagai pola dan perilaku aparatur negara dan juga lembaga-lembaga penegak hukum yang memperlakukan hukum sebagai objek politisasi sehingga banyak fakta yang kita temukan baik itu, Polisi, Jaksa, Hakim dalam menjalankan sistem penegakan hukum begitu mudah diintervensi dan di kendalikan rezim. Aparat penegak hukum cenderung memperlakukan peradilan terutama peradilan tindak pidana dalam kasus-kasus korupsi jauh dari nilai etika dalam profesi.
Peradilan dipakai membela yang bayar dengan motif tertentu termasuk motif karir dan materi. Jual beli perkara, transaksi kasus serta penyusunan peraturan perundang-undangan baik di lembaga legislatif dan eksekutif terasa sangat kuat. Maka perubahan belum mencapai pada tahap kepastian cita-cita dasarnya. Reformasi hukum tidak menghasilkan penegakkan hukum yang ideal tetapi menambah kekacauan dalam struktur ketatanegaraan.
Dalam teori hukum yang dipopulerkan Hans Kelsen (1957) mengenai teori hukum murni, titik tekannya menempatkan hukum sebagai prinsip yang terbebas dari unsur-unsur di luar hukum itu sendiri karena negara sesungguhnya adalah norma dan bagian terpenting dari hukum. Akan tetapi faktanya selalu memperlihatkan sangat sulit dipraktikan. Praktik penegakan hukum menjadi begitu tidak berkeadilan.
Oleh sebab itu, dalam membangun sistem hukum yang kuat dan mandiri berdasarkan prinsip penyelenggaraan negara good and clean government, prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang accountability, transparancy, predictability dan participation, diperlukan perubahan paradigma pengelola kebijakan pemerintah dengan membuat sistem hukum yang kuat dan sehat. Reformasi sistem hukum harus dilakukan di seluruh aspek baik itu pembentuk undang-undangaparatur penegak hukum maupun mewujudkan kesadaran masyarakat berkonstitusi. Pemerintah memberikan keteladanan politik hukum dengan mengedepankan aspek keadilan restoratif. Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang menjadikan nilai-nilai keadilan sebagai pedoman penegakan hukum.
Sistem peradilan menuntut adanya keterbukaan agar proses peradilan bisa berjalan efektif dan efisien. Oleh karena semua lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung seperti Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara sendiri-sendiri memiliki prosedur dan mekanisme atau prosedur beracara dan yurisdiksinya tersendiri, maka penataan sistem peradilan menjadi peradilan modern merupakan hal yang niscayamemerlukan tekad kuat. Artinya, pemahaman membangun tata kelola pemerintahan yang baik good and clean governance maka dasar-dasar dari good government, clean government dan good goverrnance ditegakkan dengan konsisten sehingga kepastian hukum dapat dirasakan para pencari keadilan.

E.  Menyiapkan Infrastruktur Etika
Negara-negara maju di dunia hampir mengalami problem yang sama yakni krisis kepemimpinan. Krisis keteladanan dalam kehidupan bernegara. Krisis keteladanan mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat pada negara. Hukum dipakai oleh kelompok yang kuat untuk menindas kelompok yang lemah. Pembangunan di bidang hukum selalu tidak sesuai misi keadilan. Di sisi lain birokrasi dikelola dan diarahkan penguasa untuk kepentingan politik, hal ini bisa dipahami karena pimpinan lembaga-lembaga negara seperti eksekutif, legislatif dipegang oleh para pimpinan partai politik.
Kekacauan sistem norma hukum pada gilirannya mengabaikan kepentingan umum termasuk kepastian hukum bagi masyarakat. Berdasarkan gambaran ini maka dapat disimpulkan bahwa tradisi penegakan hukum dalam negara demokrasi modern setelah perubahan UUD 1945 tidak terlalu banyak menghasilkan perbaikan berarti. Peradilan hukum dalam praktik selalu mengesankan lebih berpihak pada kelompok tertentu, baik langsung maupun tidak langsung menyebabkan krisis kepercayaan pada institusi penegak hukum. Rakyat masih sulit menemukan keadilan. Law enforcment  tidak sejalan dengan keadilan karena penegakan hukum lebih mengutamakan aspek keadilan legalistik-proseduralistik yang pada umumnya menyimpangkan substansi nilai-nilai keadilan itu sendiri sehingga hukum tidak berfungsi untuk mewujudkan rasa keadilan.
Problem sistem hukum terdiri dari komponen-komponen penegak hukum hampir dapat dikatakan belum menjadi suatu kesatuan sistematis dan teratur dalam rangka mencapai keadilan bagi warga negara. Keadilan proseduralistik-legalistik dalam praktik tidak memberikan solusi. Oleh sebab itu, diperlukan peradilan yang bebas dan tidak memihak. Peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary) mutlak harus ada dalam setiap negara hukum.
Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Hakim tidak boleh memihak kepada siapapun kecuali hanya pada kebenaran dan keadilan. Dalam menjalankan tugas proses pemeriksaan hakim harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Memajukan peradilan modern yang terbuka dan menjadi contoh bagi pengembangan sistem peradilan di masa-masa yang akan datang. Menjadikan peradilan yang dapat dipercaya dan tempat masyarakat mencari keadilan. Dalam banyak catatan, peradilan seringkali tidak memenuhi rasa keadilan rakyat sehingga institusi pengadilan selalu dianggap tidak profesional. Dalam mewujudkan peradilan yang bebas dan mandiri dalam negara hukum, Oemar Seno Adji dalam bukunya Peradilan Bebas & Contempt of Court, mengatakan, “suatu pengadilan yang bebas dan tidak dipengaruhi merupakan syarat yang ‘indispensable’ bagi Negara Hukum. Bebas berarti tidak ada campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menjalankan fungsi judiciari. Ia tidak berarti bahwa ia berhak untuk bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, ia “sub-ordinated”, terikat pada Hukum.[5]
Setelah reformasi berjalan 15 tahun, peradilan di Indonesia boleh dikatakan cukup mengalami kemajuan. Di banyak instansi pemerintahan dan swasta membentuk lembaga penegak kode etik profesi sendiri-sendiri dalam rangka menegakkan kode etika profesi seperti di Mahkamah Konstitusi ada Majelis Kehormatan Hakim (MKH) MK, Dewan Pers untuk etika profesi jurnalistik, di lembaga legislatif ada Badan Kehormatan DPR dan DPD sebagaimana diatur dalam UU tentang MPR, DPR, DPRD, sebagai lembaga penegak kode etik. Hal ini juga dipraktikkan di partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi keagamaan. Namun banyak juga yang masih memperlihatkan praktik peradilan tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan. Institusi peradilan digunakan tidak semestinya bahkan kerap dianggap tidak memihak pada keadilan. Setelah reformasi dapat dirasakan betapa peradilan tidak memberikan harapan tegaknya keadilan.
Institusi peradilan selalu jadi persoalan bagi masyarakat yang mencari keadilan. Peradilan diarahkan untuk kepentingan politik sehingga rakyat kerapkali dihadapkan pada pilihan teknis-pragmatis. Peradilan dijadikan instrumen pembela dan menjaga kepentingan segelintir orang yang memiliki wewenang mengendalikan hukum. Berangkat dari pemahaman ini maka negara manapun di dunia modern sekarang yang menganut sistem demokrasi sangat penting menyiapkan “ethics infra-structure in public offices untuk menjawab tantangan kerusakan etika dalam bernegara. Negara-negara di dunia modern terutama negara-negara maju dan berkembang tidak sekadar mengangkat tema-tema perbaikan kualitas etika dan moral dalam berbangsa dengan hanya wacana tetapi membentuk instrumen-instrumen kelembagaan negara sebagai “ethics infra-structure in public offices”. Bagi sebagian kalangan intelektual dan pemikir-pemikir sosial modern, krisis etika politik yang melanda dunia diperlukan mengambil peran untuk membuat regulasi sistem etika politik dan etika penyelenggara negara.
Yang paling efektif dan efisien bagi terciptanya tata kelola kebijakan pemerintahan modern yakni dengan mempersiapkan infrastruktur etika berupa peradilan etika. Peradilan etika modern menjadi titik tekan perbaikan etika politik dan etika pemerintahan. Karena berdasarkan realitas yang ada, institusi-institusi peradilan termasuk peradilan kode etik profesi hampir tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Pembentukan lembaga peradilan etika di Indonesia tidak lain semata-mata untuk memperketat sistem pengawasan pejabat publik dan usaha-usaha untuk menciptakan kesadaran dalam mengelola kebijakan negara.
Dalam perspektif ini tidak saja para pemimpin di negara-negara maju dan berkembang terdorong membentuk institusi “ethics infra-structure in public offices tetapi gagasan ini telah lama diwacanakan para pemikir modern agar pemimpin-pemimpin bangsa di dunia perlu mengambil peran aktif menjawab kerusakan tatanan sosial dalam kehidupan bernegara. David H. Rosenblom misalnya, dalam sebuah tulisannya yang dihimpun oleh Professionals Educational Foundation of The Visyas, INC, dalam A Master’s Degre In Fiscal Administration,  berjudul The Constitution As A Basis For Public Administrative Ethics, mengatakan, bahwa di setiap negara-negara demokrasi modern dan yang telah mapan dalam berbagai aspek kehidupan bernegara sekalipun tetap ada kemungkinan-kemungkinan untuk membentuk sistem etika berbasis konstitusional. David menulis:

“He argues that since the 1970s various interpretations of the Constitution by the Supreme Court have set some new ethical requirements for governmental administrators. The legal upshot of this constitutionally based set of ethics is to make public officials liable for conduct that violates constitutionally established rights. In other words, many people who can be called stakeholders in the process of government were granted or had extended to them various rights in Supreme Court cases dealing with issues such as equal protection, dua process, and free speech for public employees. Thus there now exists a Constitutional mandate that public administrators uphold these rightsin effect a new moral guide for administrators.[6]

Sejar tahun 1970-an sudah mulai terlihat ada semacam pergeseran paradigma pengelolaan pemerintahan demokratis. Muncul berbagai interpretasi baru terhadap konstitusi di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Austria, dan sebagainya tentang pentingnya memformulasi sistem etika bagi para pejabat negara dan atau para pejabat pemerintah. Artinya, sudah mulai ada kesadaran baru untuk melakukan perubahan pada konstitusi. Konstitusi yang memasukan nilai-nilai etika sekaligus regulasi yang memuat penerapan sanksi bagi para pejabat negara atau pejabat pemerintahdengan tujuan agar setiap pejabat negara dapat memahami dan menjalankan tugas dan tanggungjawab secara baik.
Konsep pelembagaan nilai-nilai etika politik terutama etika penyelenggaraan pemerintahan negara diatur dalam konstitusi setiap negara sehingga dengan sistem etika berbasiskan konstitusi maka akan dengan mudah mengikat setiap pejabat publik tidak hanya memperhatikan pentingnya tertib administrasi pemerintahan tetapi memunculkan kesadaran etika para pejabat negara untuk menegakkan aturan secara bertanggungjawab.
Dengan pendekatan sistem penegakan etika dalam bentuk peradilan etika modern, maka lembaga-lembaga peradilan baik peradilan umum maupun peradilan khusus antara lain Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), Peradilan Umum, dan peradilan kode etik seperti Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (BK DPR RI), dan peradilan-peradilan kode etik profesi  seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), kode etik Advokat, bahkan sampai sekarang sudah hampir semua instansi penting sudah mempunyai mekanisme penegakan kode etik di tingkat internal namun sebagian besar masih sebatas formalitas.
Sekadar menjadi catatan, buku ini menyoroti juga peradilan kode etik profesi yang semakin banyak diterapkan di lembaga-lembaga negara tentu tanpa menafikan satu sama lain, mengajak pembaca melihat performa penegakan kode etik profesi di lembaga-lembaga hampir tidak terdengar penjatuhan sanksi sampai pada tingkat pemberhentian. Berbeda dengan yang diterapkan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. DKK yang merupakan embrio dari Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) yang juga selama beberapa tahun saya sebagai ketua betul-betul melakukan gerakan perubahan etika penyelenggara pemilu secara kongkrit. Prestasi DK KPU inilah yang mendorong DPR dan Pemerintah meningkatkan kapasitas kelembagaan penegakan kode etik ini menjadi DKPP. DKPP sebagai institusi gerakan penegakan etika politik dalam bernegara telah menempatkan diri sebagai model peradilan etika yang modern karena semua proses penyelesaian dugaan pelanggaran kode etik penyelenggaraan Pemilu dilakukan dengan terbuka.
DKPP baru berjalan memasuki dua tahun terhitung sejak dilantik Presiden tanggal 12 Juni 2012. Namun penegakan etika dalam kehidupan bernegara melalui aspek penyelenggaraan pemilu hasilnya cukup prospek sehingga DKPP tidak saja menjadi modal tetapi model baru dalam penegakan etika politik dan etika penyelenggara pemerintahan. Belum ada lembaga negara yang tidak saja memiliki sistem dan mekanisme penegakan etika yang diselenggarakan dengan terbuka. Oleh sebab itu, yang paling mendasar ialah kemauan stakeholders mau bersama-sama menggerakan kesadaran ethics dalam pengelolaan negara dengan mengedepankan tanggungjawab.
Di Amerika Serikat, sejak era 1978 telah mengangkat tema-tema penguatan etika politik untuk urusan publik bagi pejabat negara dalam menjalankan tugas dan fungsi pelayanan publik. Dalam sebuah tulisan Alexander Hamilton seperti dikutip oleh Curtis Ventriss, dalam Reconstructing Government Ethics: A Public Philosophy of Civic Virtue, mengggambarkan mengenai pentingnya pemerintahan demokrasi modern membentuk suatu sistem mekanisme tanggungjawab bagi pejabat negara melalui instrumen hukum dan etika. Alexander menulis:

“political writers ... have established it as a maxim, that, in continuing any system of government, and fixing the several checks and controls of the constitution, every man ought to be supposed a knave; and to have no other end in all his actions but private interest. By this interest we must govem him; and by means of it, make him cooperate to public good notwithstanding his insatiable avarice and ambition. Without this, we shall in vain boast of the advantages of any constitution; and shall find in the end that we have no security for our liberties and possessions except the good will of our rules, that is, we should have not security at all” (1969, pp. 94-95, italics added).[7]

Praktik penyimpangan etika khususnya dalam penyelenggaraan negara berkaitan dengan tanggungjawab publik keadministrasian menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah, karena pemerintah tidak menunjukkan perilaku positif yang setidaknya bisa memberikan harapan ketertiban pada warga negara. Maka sangat penting untuk mendorong partisipasi masyarakat dan adanya kesadaran serta kemauan kuat DPR dan Pemerintah untuk memikirkan dan merumuskannya dalam suatu undang-undang khusus tentang “Mahkamah Etika” atau lembaga penegakan etika penyelenggara negara sebagai model baru dalam perbaikan etika politik dan etika pemerintahan.
Itulah sebabnya mengapa saya melalui berbagai kesempatan, selalu mengajak dan menghimbau agar semua komponen masyarakat terutama pemerintah pusat maupun daerah supaya memikirkan mulai dari sekarang untuk menyusun sistem etika bernegara secara komprehensif. Etika bernegara yang dikonstruksikan melalui sebuah regulasi khusus yang tujuannya tidak lain semata-mata untuk menjaga dan mengawasi perilaku pejabat publik. Karena pejabat publik secara hukum, mereka diberikan tugas oleh undang-undang untuk menegakkan etika dan nilai-nilai moral. Selain untuk mendorong penegakan etika dan nilai-nilai moral juga menjadi jaminan keberlangsungan pemerintahan yang bersih dan kuat termasuk memberikan jaminan pada hak-hak masyarakat mendapatkan pelayanan.
Apabila hal ini tidak dimulai dari sekarang, maka perubahan konstitusi kita pasca reformasi yang melalui empat tahap itu tidak memiliki makna etika politik dalam pengertian konsepsional secara nilai moral yang berarti. Dengan dibentuknya infrastruktur etika yang kuat maka secara otomatis negara melalui pemerintah memiliki kewajiban hukum, dan kewajiban moral untuk mengatur dan menjalankan roda pembangunan berdasarkan nilai-nilai etika kebangsaan kita yakni Pancasila. Tanpa melalui suatu aturan dan mekanisme yang jelas dan tegas mengenai kewajiban moral negara dan pemerintah pada warga negaranya, maka sangat sulit bangsa Indonesia akan mengalami perbaikan sistem demokrasi secara signifikan. Karena demokrasi dan hukum harus dikuatkan oleh sistem etika berbangsa, dan inilah yang selalu saya tekankan, bahwa fondasi negara akan kuat manakalah ditopang oleh sistem hukum dan sistem etika (rule of law dan rule of ethics) yang secara bersamaan diterapkan.

Catatan:
Arsip karya ilmiah ditulis pada akhir Agustus hingga
Awal Oktober 2013.








[1] Dalam buku karya Professor Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, dan Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, mantan ketua pertama MK RI (2003-2008) ini, baik secara teoritik maupun konsepsional dijelaskan secara komprehensif tentang kedudukan Komisi Yudisial yang berdasarkan UUD 1945 ditempatkan secara tersendiri karena keberadaan lembaga ini menjadi begitu penting khususnya dalam mengawal dan menjaga kehormatan, keluhuran, dan martabat perilaku hakim. Integritas setiap hakim menjadi sangat penting. Komisi Yudisial menjadi lembaga yang dikonstruksikan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada hakim. Penjelasan lebih rinci mengenai kedudukan, tugas dan fungsi, wewenang lembaga-lembaga negara pasca reformasi.
[2]  Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara & Pilar-pilar Demokrasi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal, 243-245.
[3]  Dimyati Hartono, Restorasi Amandemen UUD 1945, Era Global Publisher, Jakarta, 2007, hal, 3.
[4]  Jimly Asshiddiqie, 2012, Prinsip-prinsip Negara Hukum Indonesia, dalam Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal, 32.
[5]  Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas & Contempt of Court, Diadit Media, Jakarta, 2007, hal, 13.
[6]  David H. Rosenbloom, 1971, The Constitution As a Basis for Public Administrative Ethics, kumpulan tulisan yang dihimpun dalam “Readings”, Ethics In Public Office, oleh Professionals Educational Foundation of The Visyas, INC, dalam A Master’s Degre In Fiscal Administration, 1994.
[7] Lihat: Curtis Ventriss, Reconstructing Government Ethics: A Public Philosophy of Civic Virtue, yang dihimpun oleh beberapa lembaga pengembangan demokrasi dan sistem etika di negara-negara berkembang yakni Fiscal Administration Foundation, INC, di Mandaluyong City, dan Philippine School of Business Administration, di Manila ini, menulis secara garis besarnya, memberikan gambaran ilmiah tentang kemungkinan-kemungkinan negara maju dan berkembang yang tengah mengalami berbagai gejolak dan kekacauan norma hukum akan membentuk semacam sistem etika sebagai basis penguatan sistem berbangsa dan bernegara. Sistem etika sangat memungkinkan bahkan menurut lembaga pengembangan demokrasi dan sistem etika ini menjadi instrumental dalam proses penataan sistem demokrasi modern. Dengan sistem etika yang kuat maka negara-negara yang mengalami semacam ancaman “kebangkrutan moral” sebagai implikasi negatif praktik penyimpangan etika sosial memikirkan untuk membentuk sistem etika sebagai landasan norma dalam bernegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar