Minggu, 15 November 2015

Artikel Pilkada:

_________________________________
Harian Umum Koran Jakarta
tanggal 24 Mei 2012
_________________________________

Kinerja Aktor Pilkada DKI 2012
Oleh : Rahman Yasin
Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi DKI Jakarta pada 11 Juli 2012 terus dihantui ketidakpastian masyarakat. Persoalan yang mendera proses penyelenggaraan Pemilukada DKI Jakarta pun sesungguhnya sangat klasik, yakni perdebatan seputar praktik politik uang yang dilakukan pasangan calon tertentu hingga kampanye hitam.
Masyarakat selalu meneriakkan ketidakterbukaan KPU/KPUD dalam menjalankan tugas dan fungsi. Pemilukada DKI Jakarta merupakan start awal penataan dan sekaligus persiapan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2014 mendatang. Artinya, tingkat persiapan penyelenggaraan pemilu tahun 2014 sangat ditentukan keberhasilan penyelenggaraan Pemilukada DKI tahun 2012.
Maklum, Jakarta adalah ibu kota negara yang memiliki masalah yang begitu kompleks karena masyarakat DKI boleh jadi merupakan personifikasi dari stratifikasi sosial budaya bangsa keseluruhan. Kekacauan data penduduk warga Jakarta tidak lepas dari keteledoran pengelolaan pemerintah pusat dan daerah yang tidak menjalankan perundang-undangan kependudukan secara cermat. Tidak bisa dielakkan bahwa realitas politik kekinian terus menunjukkan kepanikan. Isu korupsi dalam penyelenggaraan Pemilukada DKI Jakarta terus menguat sehingga beberapa elemen masyarakat, termasuk partai pengusung kandidat gubernur dan wakil, mendesak KPUD DKI menunda proses pemilihan. Bahkan, ada yang lebih ekstrem minta agar Pemilukada dibatalkan. Partai Golkar, PPP, PDS, sebagai pengusung pasangan Alex Noerdin dan Nono Sampono, mengancam undur dari perhelatan karena menemukan data pemilih fiktif.
Dalam banyak pemilukada, kerap muncul ketidakberesan KPU/KPUD mengelola data pemilih. Ini bisa menjadi sebuah pelanggaran pada pemutakhiran data pemilih, yakni dari daftar pemilih sementara (DPS) menjadi daftar pemilih tetap (DPT) sebagai data final jumlah pemilih. Pelanggaran Pemilukada di berbagai daerah umumnya dilakukan pasangan petahana karena memiliki kekuasaan sehingga memberi peluang "bermain".

Ketidakpastian
Tampaknya, kesemerawutan penyelenggaraan Pemilukada DKI lebih disebabkan ketidakpastian komunikasi politik antar-stakeholders penyelenggara pemilu, yakni KPUD DKI Jakarta dan pemerintah. Kekacauan DPS seharusnya tidak perlu terjadi bila KPUD menegakkan aturan. Kekacauan ini memicu protes publik, terutama kontestan. KPUD mengajukan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) ke pemerintah tidak berdasarkan e-KTP. Target e-KTP yang ditentukan pemerintah pusat dan Dinas Kependudukan pun sedikit berbeda sehingga secara otomatis menimbulkan polemik. Kementerian Dalam Negeri menargetkan e-KTP 6,7 juta, sedangkan Dinas Kependudukan menargetkan 6,3 juta. Pada tahap ini jelas berbeda.
Dengan demikian, data pemilih fiktif Pemilukada DKI sangat boleh jadi muncul karena ketidaksinkronan barometer penentuan jumlah penduduk, termasuk pemetaan penduduk siluman yang paling mudah menciptakan akses untuk menggandakan kartu identitas. Pemerintah menggunakan basis data Kartu Keluarga (KK), sementara Dinas Kependudukan menggunakan e-KTP dan menemukan jumlah pemilih 5,5 juta.
Dalam konteks ini, pemerintah pusat dan Pemprov DKI melalui Dinas Kependudukan DKI, KPUD, Panwaslu Kepala Daerah Provinsi, dan para pemangku kepentingan lain dalam penyelenggaraan pemilu perlu menyatukan visi. Mereka harus berkomitmen menciptakan komunikasi politik yang lebih konstruktif. Pemerintah perlu mengubah Undang-Undang Kepegawaian untuk mengurangi intervensi pemerintah terhadap penyelenggaraan Pemilukada DKI karena di dalamnya melibatkan birokrasi. Selain itu, perlu koordinasi antarinstitusi guna mengawal perhelatan demokrasi. Tanpa komunikasi politik yang sinergis pusat dan daerah, kekacauan data pemilih yang terekam dalam DPS bisa berlanjut ke tahapan penetapan DPT. Ini tidak boleh terjadi.

Ekses
KPU/KPUD DKI Jakarta, Kemendagri, DPR, Bawaslu dan Panwaslu Kepala Daerah sangat boleh jadi bersepakat menjadikan momentum penyelenggaraan Pemilukada DKI Jakarta sebagai barometer untuk menyosong Pemilu 2014. Tetapi, bila tidak ada komitmen politik yang mengikat, harapan tersebut bisa jadi hanya mimpi. Dengan demikian, penundaan penetapan data pemilih dari DPS jadi DPT yang semula dilakukan tanggal 21 menjadi tanggal 26 Mei 2012 harus dikawal dengan langkah-langkah nyata dan pasti untuk perbaikan sehingga tekad menjadikan Pemilukada DKI Jakarta sebagai barometer bisa tercapai. Pemerintah pusat dan daerah harus tegas dan konsisten memadukan persepsi basis data pemilih, apakah menggunakan KK atau e-KTP?
Masa penundaan tahapan penetapan DPT hendaknya dimanfaatkan oleh KPU pusat seefektif mungkin dengan menyupervisi KPUD agar lebih akurat dalam mengelola data pemilih. Verifikasi data pemilih harus disertai validasi yang terukur sehingga tingkat keakuratan dan keotentikan data pemilih bisa dipertanggungjawabkan secara yuridis. Proses verifikasi harus sampai ke tingkat kelurahan sehingga kevalidan data bisa ditemukan. Verifikasi dan validasi data pemilih harus disertai ketegasan para pemangku kepentingan agar Pemilukada DKI berjalan sesuai jadwal. Tetapi, apabila penyelenggaraan ditunda karena eskalasi politik dan pengelolaan pemilukada yang tidak optimal, bisa muncul krisis kepercayaan pada penyelenggara pemilu. Penundaan akan berekses luas pada ketidakpercayaan KPU untuk menyelenggarakan Pemilu 2014.


Catatan:

Tulisan ini pernah dimuat di Koran Jakarta, tanggal, 24 Mei 2012, dan hanya sedikit saja yang mengalami editan baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar