Pilkada DKI
dan Demokrasi Lokal
Oleh : Rahman Yasin
Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu
Menjelang puncak hari
pencoblosan putaran kedua penyelenggaraan pemilihan umum Kepala Daerah dan
wakil Kepala Daerah (pemilu kada) Provinsi DKI Jakarta, aroma pertarungan
semakin menyengat. Kampanye
berselimut sampanye dan black compaign
terus dilakukan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Nara) dan pasangan Joko
Widodo (Jokowi)-Basuki Tdjahja Purnama (Ahok) guna meraih simpati warga
Jakarta. Kondisi politik yang panas bisa memicu eskalasi yang tegang apabila
menghadapi “ronde kedua” ini kedua pasangan calon (paslon) terus lancarkan
kampanye hitam.
Aroma pertaruangan tidak sedap mewarnai perang yang
puncaknya dijadwalkan tanggal 20/9
mendatang. Kedua paslon dan tim kampanye menebar umpan, budaya silaturahmi dan Halal
Hihalal pun dijadikan ajang konsolidasi yang sesungguhnya menjurus kegiatan kampanye. Kendati kampanye secara resmi belum mulai. Mobilisasi dan
politisasi isu terhadap suatu peristiwa pun dipersepsikan untuk kepentingan
kampanye. Musibah kebakaran rumah, kunjungan ke kawasan kumuh hingga
eksploitasi isu SARA dijadikan strategi saling menyudutkan.
Pemasangan iklan di media massa, baliho, poster, spanduk, dan penyebaran stiker termasuk
kegiatan debat publik dikemas dalam diskusi publik
juga memperlihatkan bagaimana peran serta aktor kekuatan politik menebar aroma perhelatan
demokrasi lokal DKI Jakarta. Aktor
kekuatan politik nonformal berupa kalangan civil society memainkan peran
cukup signifikan. Tokoh
masyarakat, ulama, pemuka agama, dan elemen
kekuatan politik gencar menebar isu-isu yang intinya menyampaikan pesan politik
pada warga agar memilih paslon yang dijagokan.
Artinya kekuatan-kekuatan politik nonformal yang
berkembang di masyarakat difungsikan masing-masing paslon untuk berperan aktif. Kekuatan-kekuatan nonformal— kelompok dunia usaha, kelompok
profesional, kelompok pemimpin agama, kalangan cendikiawan, lembaga-lembaga
masyarakat serta yang tak kalah penting kekuatan media massa.
Masing-masing kekuatan politik nonformal memainkan
peran strategis sesuai kapasitas dan sumber
daya politik yang dimiliki. Mereka berfungsi menggerakan simbol-simbol dukungan
pada paslon tertentu, sehingga bagaimana pun kekuatan-kekuatan
politik nonformal tidak boleh dianggap sepeleh setiap paslon dan tim kampanye.
Dalam konteks lebih umum,
rangkaian kegiatan paslon, tim kampanye, elemen masyarakat, dan simpatisan
merupakan tindakan yang menjurus kampanye.
Potensi pelanggaran kampanye terjadi di sini terutama calon
dari incunbent. UU No.
32/2004 Pasal 79 melarang kampanye bagi paslon petahana untuk tidak menggunakan
fasilitas negara, jabatan dan wewenang untuk kepentingan politik, dan tidak dibenarkan melibatkan pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI Polri. Kita tahu bahwa mobilisasi PNS menjadi mesin
politik merupakan kasus yang lazim dilakukan calon petahana.
Padahal, sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi No. 17/PUU-VI/2008 tanggal 17 4 Agustus 2008 terkait tafsir ketidakpastian
hukum dalam pengertian masa jabatan kepala daerah lima tahun sebenarnya UU No. 32/2004 mengharuskan pejabat negara yang maju jadi calon kepala daerah agar mengambil cuti diluar
tanggungjawab negara sebagai bentuk kemauan untuk berkompetisi secara fair.
Terlepas dari pemahaman normatif tersebut, tetapi bila diamati dengan
cermat, dinamika kegiatan kedua paslon dan tim kampanye menjelang digelar “ronde kedua” pemilu kada DKI sebetulnya telah mencuri start
kampanye. Pernyataan-pernyataan yang
bersinggungan dengan kejadian di kota Jakarta selalu bernuansa kampanye
terselubung.
Dalam Peraturan KPU No.
14/2010 Pasal 5 ayat (1)
dikatakan suatu kegiatan dilakukan pasangan calon dan atau tim kampanye/pelaksana
kampanye/petugas kampanye meyakinkan pemilih dalam rangka mendapatkan dukungan
sebesar-besarnya, dengan menawarkan visi, misi, dan program pasangan calon
secara lisan atau tertulis pada masyarakat. Dan setiap nama-nama dan identitas
anggota tim kampanye hendaknya terdaftar di masing-masing tingkatan KPU dengan
formulir AB-KWK-KPU. Kenyataan yang terjadi kekuatan politik nonformal lebih
aktif kampnye di luar jadwal kampanye.
Implikasi Koalisi
Koalisi
dilakukan kontestan pemilu kada dalam rangka menyatukan kekuatan sekaligus
mengefektifkan mesin politik internal masing-masing. Tetapi koalisi tidak akan menjamin ke-efektifan mesin politik. Karena koalisi politik yang dibangun seringkali korelasi antara keinginan
rakyat dan elit tidak sinkron. Kemauan elit dan rakyat tidak
terintegrasi secara psikologis politik dalam penentuan pilihan. Hal
ini dapat dipahami, kegagalan partai politik mengagregasi kepentingan masyarakat menjadi masalah
tersendiri.
Fakta menunjukkan peran dan fungsi kekuatan politik
nonformal jauh lebih dominan, namun tidak kemudian mengabaikan kekuatan politik
formal seperti negara (power) dan partai politik. Pengalaman pemilihan umum calon
presiden dan calon wakil presiden (pilpres) tahun 2004 merupakan fakta otentik yang bisa menjadi
pelajaran. Lompatan demokrasi dari
prosedural menjadi substansial membuktikan hasil pilihan rakyat tidak sejalan
dengan elit. Koalisi partai Golkar dan PDIP pada pilpres 2004 tidak
menghasilkan suatu realitas politik nyata. Tidak ada korelasi berarti dari
sebuah koalisi. Hal yang sama pilpres 2009, koalisi partai-partai
besar tidak berpengaruh mengubah preferensi masyarakat.
Partai Demokrat dengan hasil perolehan kursi legislatif
yang signifikan dan dengan mengandalkan gizi pencitraan popularitas Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) memenangkan pilpres 2009 dengan satu putaran.
Pertarungan di “ronde kedua” pemilu kada DKI menjadi tidak sehat manakalah
segelintir aktor yang berupaya membangunkan spirit politik aliran dan
menghidupkan ingatan pemilih berbasis emosionalitas dalam isu SARA. Tetapi
romatisme politik aliran ini tidak terdengar merdu dan bahkan berpotensi
menimbulkan tindakan destruktif. Isu SARA tidak laku untuk dijual karena pemilu
kada provinsi DKI 2007 telah membuktikan di mana pasangan Adang Daradjatun-Dani
Anwar yang diusung PKS sebagai partai agama kalah dengan Fauzi Bowo-Prijanto
dari gabungan parpol sekuler.
Oleh karena itu, konfigurasi koalisi dan fragmentasi politisasi agama sebagai simbol mesin politik internal akan mengalami ambiguitas karena kenyataan polarisasi parpol agama dan antara kemauan elit dan rakyat tidak
seirama dan seritma sehingga dalam tataran implementasi cenderung membuat
masyarakat apatis. Perilaku parpol yang arogan, korupsi partai politik, serta
ketidakseriusan menciptakan iklim pengkaderan yang sehat masih menjadi catatan rakyat. Pola perekrutan kader
parpol yang tidak mengindahkan
aspek kompetensi hingga
isu-isu ketidakseriusan
reformasi kepemimpinan parpol melengkapi degradasi kepercayaan publik.
Dalam konteks itu, pemilu kada provinsi DKI sebagaimana
yang kita ketahui, koalisi apapun dilakukan parpol dan elemen masyarakat, tanpa
disertai performa komunikasi politik yang santun dan berbasis budaya
kebangsaan, maka sangat kecil harapan memenangkan pertarungan.
Masyarakat DKI merupakan personifikasi pluralitas budaya
Indonesia yang universal karena selalu
berinteraksi dengan budaya Internasional sehingga memiliki cara beragam menentukan preferensi. Sebagian warga Jakarta
sudah cukup
dewasa memahami dinamika dan situasi politik yang berkembang. Calon yang
diusung parpol papan atas menengah tidak jadi garansi untuk menang. Karena fakta pemilu 2004 dan 2009 merupakan wujud nyata di mana hasil koalisi bagaikan
mimpi di siang hari.
Tidak
ada relevansi
yang signifikan antara parpol menengah atas dan kumpulan parpol kecil karena
ada faktor lain yakni, kekuatan politik nonformal yang bekerja ekstra efektif. Meski ada warga Jakarta yang berpikir promordialis dengan menggunakan isu SARA, namun—aspek
popularitas, dan moralitas kepemimpinan, serta visi, misi, kompetensi, track record, dan kapabilitas paslon masih menjadi
bagian dari trend masyarakat.
Alangkah arifnya, koalisi melibatkan partisipasi warga secara optimal
sehingga apa yang jadi agenda pembicaraan elit bisa didengar dan diketahui
konstituen parpol. Koalisi dengan
membuat pakta
integritas bagi para paslon untuk
menyatakan sikap konsisten
memegang komitmen kepemimpinan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Paslon masing-masing dengan tegas menyatakan siap mundur apabila melanggar
pakta integritas yang telah
disepakati bersama.
Demi menjaga
proses dan integritas hasil pemilu kada provinsi
DKI yang lebih
bermartabat dan terhormat, serta
masa depan pembangunan ibu kota yang lebih kondusif maka alangkah bijaknya semua pihak
yang terlibat dalam pertarungan di
“ronde kedua” pilkada DKI membangun kesadaran etik untuk bertanding secara fair sehingga integritas
proses dan hasil bisa dirasakan semua pihak.
Arsip Tulisan Pribadi
Jakarta, 17 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar