Minggu, 08 November 2015

Kesalehan Sosial Dalam Praktik

Harian Umum Koran Jakarta

Selasa, 31 Juli 2012
Puasa dan Kepekaan Sosial
Oleh : RAHMAN YASIN
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-DHAWuCk7IFRrz-3yBWteT2PeBVnDzmX2Db9zLFNFPCjSD5yaDcIXUng5uatpMyv0OH8AHj21G4ZCfUDAlu_78bKrh1G1TYDvcy6YraF2vpHSowPI8wjX1D5YoeExgUknCxxia1I9QFYk/s200/org+miskin.jpg
Puasa sudah berjalan beberapa hari yang harus dimaknai secara spiritualitas sosial. Puasa pada hakikatnya pembaruan jiwa dan pemikiran setiap muslim yang menjalankan. Ini untuk sungguh-sungguh mengasah nurani dan intelektualitas agar jadi lebih baik.


Nilai-nilai transedental yang termuat dalam puasa termanifestasikan dalam praktik kehidupan sosial kebangsaan, kenegaraan, dan kemasyarakatan. Artinya, puasa yang hakiki dikerjakan dengan penuh kesadaran berlaku jujur dan adil karena puasa memberi makna pesan filosofis mendalam berupa sense of responsibility yang tinggi.

Kepekaan sosial dalam diri seserang untuk senantiasa berbagi dan mau membantu satu sama lain pada zaman sekarang sangat dibutuhkan. Karena kondisi sosial ekonomi, pendidikan sekarang cenderung melahirkan perilaku individualistik sehingga sikap ramah, santun, dan semangat kemanusiaan menjadi luntur. Akibatnya, rakyat miskin semakin terpuruk dan yang kuat makin naik. Realitas kehidupan ini banyak terjadi di berbagai kota besar seperti Jakarta.

Disparitas sosial, kecemburuan ekonomi, dan tingkat frustrasi masyarakat modern terhadap cita-cita yang gagal karena ketidakadilan negara selalu berimplikasi pada tindakan yang mengarah pada destruktivis. Hal ini karena pembangunan tidak memihak rakyat kecil. Pemiskinan masyarakat sebagai dampak kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang tidak merata kian membuat rakyat frustrasi. Ketidakadilan selalu jadi permasalahan dalam mengatasi kemiskinan. Ketidakadilan pada dasarnya cermin ketidakjujuran para pengelola negara. Zaman sekarang sulit ditemukan politisi yang jujur. Padahal, ketidakjujuran menjadi pangkal berbagai persoalan yang berefek buruk.

Salah satu prinsip dasar dalam puasa ialah jujur: pada Tuhan, diri sendiri, dan orang lain. Orang yang senantiasa berlaku jujur tentunya hidup selalu damai dan tenang. Sebaliknya, orang-orang yang berlaku tidak jujur, hatinya selalu gelisah sehingga tidak nyaman. Pejabat negara yang berperilaku menyimpang, pemimpin yang suka menyakiti rakyat dan suka menempuh segala cara untuk mencapai tujuan politik, tentu selalu mengalami kegalauan hidup.

Dalam konteks itu, Ramadan ini hendaknya menjadi momentum emas untuk melakukan muhasabah secara total oleh semua anak bangsa, terutama elite pemimpin penentu kebijakan. Sikap korektif untuk kembali berperilaku jujur merupakan sikap terpuji. Tidak ada pilihan selain menjadikan Ramadan sebagai ajang mengasah nurani, kecerdasan emosi, intelektual, dan spiritual. Dengan begitu, jalan keselamatan akan mudah diraih (for we may be wandering aimlessly, and the first step is to find the way; and the second need is to keep in the way).

Efek positif dari tindakan baik akan dirasakan setiap orang. Kebaikan berdampak pada jalan kebenaran, bentuk dari keotentikan hidup yang dihasilkan berdasarkan iman seseorang kepada Tuhan dengan cara yang jujur dan ikhlas.

Perubahan

Dampak baik dan buruk ibadah puasa pada seseorang, apalagi pejabat negara, politisi, cendekiawan, intelektual, kaum profesional, kalangan konglomerat baik langsung maupun tidak ikut menentukan arah kebijakan negara. Mereka harus menjadikan Ramadan sebagai titik tekan melakukan perubahan dalam segala dimensi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Perubahan yang mengarah pada perbaikan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan di semua sektor.

Perubahan dari tingkat pusat sangat diperlukan karena diharapkan berdampak ke tingkat daerah. Perubahan yang membawa dampak kebaikan bagi rakyat, bukan motivasi politik tertentu dari aktor-aktor elite pusat dan daerah. Perubahan elite penentu kebijakan terhadap kepedulian sosial untuk perbaikan kehidupan rakyat sangat diperlukan.

Dengan sikap sense of responsibility yang tinggi dari para pemimpin bangsa ini, keadilan akan bisa tercapai dengan baik. Ini baru bisa dilakukan oleh pemimpin-pemimpin pusat dan daerah apabila esensi puasa mampu merasuki jiwa dan nurani mereka.

Penekanan filosofis puasa juga terlihat pada aspek pembentukan moralitas keagamaan seseorang. Setiap agama memiliki kepercayaan akan kekuatan moral sebagai inspirasi tindakan individu maupun komunitas. Agama sebagai kesatuan sistem kepercayaan dan praktik nilai-nilai yang bersifat sakral yang dalam istilah Emile Durkheim disebut "A Religion is a unfied system of beliefs and practices relative to sacred, that is to say, things set apart and forbidden - beliefs and practices which unite into one single moral community called a church, all those who adhere to them."

Puasa tidak saja mengajarkan kejujuran dan disiplin waktu terhadap setiap urusan, tetapi ada suatu semangat spiritualitas yang harus ditanamkan dan terefleksikan dalam kehidupan nyata, yakni kesalehan sosial. Dengan demikian, pesan puasa mengenai perubahan perilaku dari yang semula koruptif, manipulatif, distorsif, dan berbagai tindak-tanduk yang merugikan orang lain bisa diminimalisasi, bahkan dihilangkan. Hakikat puasa sesungguhnya penyucian nurani karena semua muslim diharuskan mendekatkan diri pada Tuhan.

Jelas sekali puasa menekankan kesadaran etik yang tinggi. Oleh karena itu, puasa tahun ini harus menjadi momentum perubahan bangsa dalam konteks pembangunan multidimensional. Jangan lagi mengorupsi uang negara dan berperilaku menyimpang yang merugikan orang lain. Semua itu harus diganti dengan kembali menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keadilan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.

Itulah sebuah kesadaran untuk senantiasa menghadirkan Tuhan dalam segala tindak-tanduk. Inilah esensi puasa. Puasa harus menyadarkan untuk peduli dan berbagi dengan sesama, terutama masyarakat tidak mampu. Bila kesadaran ini dilaksanakan sungguh-sungguh, cepat atau lambat orang akan menemukan solusi yang baik bagi upaya negara mengatasi berbagai problema kebangsaan.

Penulis mahasiswa program pascasarjana Komunikasi Politik UMJ

Catatan:
Arsip yang pernah dimuat di Harian Umum Koran Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar