Oleh : Rahman Yasin
____________________________
Direktur Eksekutif LP2-AB Jakarta
A.
Pendahuluan
Pertautan antara pers dan
politik dalam konteks membangun opini publik sangat kuat. Pers/media massa
sebagai pilar keempat demokrasi memiliki peran dan fungsi yang cukup
fundamental. Media massa memiliki kekuatan informasi yang secara pembentukan
opini massa sangat menentukan proses pengambilan sikap setiap warga masyarakat
yang bersentuhan dengan beberapa pilihan termasuk dalam proses penyelenggaraan
pemilihan umum (pemilu). Media massa senantiasa berperan aktif dalam
menyampaikan pesan-pesan politik dalam perspektif pembangunan politik
masyarakat.
Setiap informasi
yang disampaikan media massa terlebih dahulu didesign secara sistematis oleh
manajemen media massa yang notabene akan berorientasi pada ke mana kepentingan
pemilik modal media bersangkutan. Akibatnya, peran media massa dalam pergulatan
politik kerap bersifat standard ganda.
Terminologi independensi pada media massa kadang hanya diperlakukan sebagai
simbol personifikasi formalitas misi media massa/pers secara umum. Dalam
konteks itu, media massa suka tidak suka, diakui atau tidak terhadap eksistensi
independensinya dalam prakteknya selalu berkolaborasi dengan kekuatan-kekuatan
politik tertentu dan hal ini sangat bergantung proses mekanisme kompromi
kepentingan yang dilakukan antara media massa dan kekuatan politik.
Secara teoritik
terdapat kaitan antara pers/media massa dengan politik. Para pengkaji
komunikasi politik, telah membahas keterkaitan pers/media massa dan politik
dalam dua cara atau dua pendekatan yang berbeda. Menurut Anwar Arifin dalam
bukunya berjudul Komunikasi Politik dan Pers Pancasila berpendapat, dalam
kajian mengenai relasi antara pers/media massa dan politik terbagi dalam dua
perspektif. Pertama, pers dilihat
sebagai sumber kekuatan perubahan yang dapat mempengaruhi kehidupan politik
(seperti disajikan dalam studi mengenai propaganda dan pendapat umum), dan kedua, pers memiliki ketergantungan dari
kehidupan politik (seperti terlihat dalam studi mengenai sistem pers/media
massa dan pemberangusan pers).[1]
Pers/media massa
merupakan faktor strategis dalam memberikan pengaruh perubahan sikap bagi
masyarakat. Media massa berperan aktif memberikan informasi-informasi politik
terhadap publik dan dengan demikian media mempunyai pengaruh yang kuat dalam
pembentukan opini publik. Informasi-informasi politik yang disajikan media
seringkali tidak lepas dari bermuatan politis dengan tujuan membangun dan
membentuk opini masyarakat dan mengarahkan publik untuk mengikuti apa yang
menjadi kepentingan dari media massa atau yang berkolaborasi dengan media massa
terkait.
B.
Pokok Masalah
Dalam praktik bernegara, demokrasi kerap
menimbulkan problematika kemanusiaan karena berhadapan dengan politik
kekuasaan. Lompatan demokrasi melahirkan sistem politik yang cenderung
paradoksal. Politik tidak dilihat sebagai apa yang disebut Aristoteles sebagai highest good (tujuan meraih kebaikan
utama) atau meminjam istilah Al-Farabi sebagai al-madinah al-fadihilah, adanya ruang berkeadaban melainkan praktek
politik yang didominasi perilaku pada wacana baik-buruk, positif-negatif dan
bermegahan dalam materi.
Demokrasi menjadi
pintu masuk terciptanya opini publik melalui media/pers dan dengan demikian
relevan apa yang dikatakan Karl Max dalam Das Kapitalnya bahwa media massa
dalam kondisi politik tertentu bisa hadir sebagai pemicu pertentangan antar
ideologi. Pembentukan opini publik yang keliru merupakan manipulasi informasi
publik dan bentuk penyesatan sistematis. Pertanyaan yang patut diajukan ialah
apa manfaatnya demokrasi dalam pembangunan politik khususnya pembentukan opini
publik? Mengapa opini publik selalu efektif digunakan politisi terutama media
sebagai pilar keempat demokrasi?
C.
Landasan Teori
· Theory Uses and Gratification
Penganut teori uses and gratification meyakini bahwa individu sebagai mahluk supra-rasional dan sangat selektif.
Menurut para pendirinya, Elihu Katz;Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch
(dalam Jalaluddin Rakhmat, 1984), uses and gratifications meneliti asal
mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu
dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan
(atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan
akibat-akibat lain.
Windahl (1981) penggagas model uses and effects, menunjukkan bahwa
bermacam-macam gratifikasi audiens berhubungan dengan spectrum luas efek media
yang meliputi pengetahuan, dependensi, sikap, persepsi mengenai realitas
social, agenda setting, diskusi, dan berbagai efek politik.
Media massa dalam
operasi politik kerap menjadikan demokrasi sebagai instrumen kekuatan untuk
memberikan counter opini. Opini publik cenderung terbentuk melalui informasi
politik yang disebarkan media massa sehingga opini publik yang berkembang di masyarakat
pun cenderung pembenaran politik daripada sebuah kebenaran otentik atas suatu
peristiwa. Media dengan pendekatan penyajian informasi bersifar framing sangat
memungkinkan bagi proses pembentukan opini publik atas suatu peristiwa.
Ketidakakuratan data dan ketidakvalidan suatu fakta selalu membuka ruang yang
lebar bagi pembentukan opini di ranah masyarakat kebanyakan.
Penyiaran berupa
informasi yang disajikan media cetak maupun media elektronik umumnya
merepresentasikan kepentingan politik media bersangkutan. Betapapun kemampuan
menulis sebuah berita itu dilakukan seorang penulis/wartawan (kehumasan) dari
perusahaan media itu berprofesi penulis tetapi dalam kaitan bagaimana membentuk
opini publik tetap mengikuti kebijakan perusahaan media.
Dalam upaya
memelihara citra positif suatu perusahan di mata publiknya, bagian humas/public relations suatu perusahaan akan
selalu memantau umpan balik publik yang kemungkinan besar akan ditulis media
massa cetak dalam bentuk surat pembaca atau komentar pembaca di surat kabar
atau majalah.[2]
Kebebasan berserikat (freedom of
association), kebebasan berkumpul (freedom
of assembly), kebebasan menyatakan pendapat secara tertulis dan lisan (freedom of speech), dan kebebasan Pers (freedom of press) yang berperan sebagai
check and balancec diluar sistem
pemerintah bisa bekerja secara efektif sangat diharapkan
dalam kondisi politik tetapi realitas memperlihatkan peran ganda media dalam
menyajikan informasi selalu membuka ruang pembentukan opini publik.
Pers bukanlah
industri yang bersaing dengan pola “win-orloose”,
tetapi “win-win”, baik terhadap
seama pers maupun bagi para stakeholders.
Bahwa pers bukan makhluk lokal atau nasional saja, tapi makhluk regional
dan global. Kepentingannya bukan saja pada manusia lokal atau negara, tetapi
umat manusia di muka bumi.[3]
Demokrasi selalu
menjadi alasan media massa dalam berpolitik karena dalih kebebasan baik
berekspresi, berserikat/berorganisasi, dan kebebasan mendapatkan hak akan
informasi. Kebebasan masyarakat memperoleh informasi kerap dimanipulasi media
dalam membentuk opini publik atas nama kepentingan rakyat. Demokrasi mengandung
makna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sebelum memasuki
abad Masehi, sistem demokrasi telah menjadi sebuah bentuk negara yang dianggap
ideal dipraktekkan oleh bangsa Yunani Kuno. Dalam praktek sistem kekuasaan
negara berdasarkan demokrasi kedaulatan rakyat dilaksanakan secara langsung.
Dengan pengertian dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat mengandung
pengertian bahwa penguasa menempatkan rakyat sebagai obyek kekuasaan murni. Apa
yang dimiliki rakyat (dari rakyat) dan apa yang dikerjakan rakyat (oleh rakyat) diperuntukkan bagi
kepentingan kekuasaan. Dengan kata lain unsur kekuasaan melakukan pemerasan
(eksploitasi) terhadap rakyatnya sendiri.[4]
Kebebasan yang
dikehendaki rakyat dan penguasa pun dalam praktek cendrung double standard sehingga kebebasan termasuk kebebasan untuk
memperoleh hak informasi dalam waktu tertentu menghasilkan praktek kekuasaan
otoriter bahkan demokrasi selalu menjadi pintu masuk tirani termasuk demokrasi
liberal. Dalam pandangan Jean-Francois Revel, kelemahan terbesar demokrasi
adalah ketidakmampuannya untuk mempertahankan dirinya melawan tirani-tirani
yang kejam dan berkuasa.[5]
Apapun teorinya,
demokrasi dalam praktek kekuasaan kerap dijadikan sebagai isntrumen politik
negara (penguasa). Politik mengandung makna adanya suatu kegiatan yang
dikerjakan yang mendatangkan kemaslahatan baginya. Politik adalah aksi dari
para politikus, sehingga dia dikatakan memolitisasi binatang untuk kendaraan
jika dia berdiri diatasnya dan menundukkannya.[6]
Dengan demikian seorang pemimpin politik memiliki kesempatan secara legal
melakukan politisasi rakyat yang dipimpinnya.
D.
Pembahasan
Opini publik kerap dijadikan kekuatan politik
untuk mempreser lawan politik yang ikut berkompetisi dalam kekuasaan. Opini
publik didesign oleh media massa/pers untuk menyudutkan atau mendiskreditkan
lawan politik dengan tujuan lawan politik tidak bisa berdaya dalam membangun
pencitraan. Opini publik dikelola oleh kekuatan politik media/pers secara
sistematis dengan orientasi mempengaruhi pemahaman maupun persepsi masyarakat
terhadap isu politik yang berkembang.
Opini publik
dikonstruksi media untuk mengaburkan kebenaran informasi dan diarahkan
masyarakat untuk menerima informasi berdasarkan pesan politik yang dibangun
atau sekurang-kurangnya aktor politik maupun kelompok politik yang
berkolaborasi dengan media/pers. Informasi politik dikemas dengan penuh nuansa
pencitraan terhadap kandidat atau calon pemimpin tertentu yang ikut
berkompetisi dalam pertarungan kekuasaan.
Politik media
massa/pers cenderung standar ganda dalam menyampaikan suatu informasi. Semua
informasi politik yang akan disajikan media jelas terlebih dahulu harus melalui
proses persetujuan manajemen media/pers karena sebagai sebuah media yang
independen dan profesional tentu sistem kerja terutama pengambilan kebijakan
harus melalui proses formal. Dalam konteks ini, intervensi dan politik kepentingan
pemilik modal dibalik media sangat memungkinkan terjadinya intervensi.
Akibatnya, lazimnya
dalam pemberitaan politik, media massa/pers selalu ambigiu dan ambivalen dalam
menyikapi suatu peristiwa. Publik dibuat gamang dengan design informasi yang berorientasi
pada proses pengarahan atau uapaya-upaya sistematis untuk menggiring persepsi
masyarakat untuk mengikuti apa yang disampaikan media bersangkutan.
Media massa sebagai
pilar demokrasi keempat sangat berpotensi dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan
politik dalam sebuah perhelatan demokrasi. Demokrasi sebagai instrumen politik
formal dalam melakukan sirkulasi kepemimpinan di tingkat tertentu kerap dimanipulasi
untuk meraih kekuasaan.
E.
Keberpihakan Politik Media
Media
condong memihak pemilik saham dan lebih mengedepankan aspek keuntungan daripada
menampilkan netralitas dan idealisme politik. Kekuatan ekonomi menentukan arus
kekuatan politik, dan begitu juga sebaliknya. Antara kekuatan ekonomi dan
politik saling bergantungan sehingga dalam perspektif pengembangan media
sebagai sarana pendidikan budaya bangsa dalam segala dimensi kehidupan tidak
berjalan sesuai cita-cita pembangunan nasional.
Tidak bisa dipungkiri, kekuatan modal sangat menentukan
kebijakan yang notabene pemilik modal utama sebuah media massa yang mengarah
pada diversity media. Kompetisi
politik global menyebabkan pertarungan ideologi dengan keras dan tajam.
Keberadaan media massa turut melegitimasi perang politik antar kontestan merebut kekuasaan dan
di dalamnya termasuk pergulatan kepentingan ekonomi bisnis. Dalam perebutan
kekuasaan, peran media tidak lagi berfungsi sebagai kontrol sosial atau
memberikan pelayanan informasi dan memberikan pendidikan bagi masyarakat tetapi
pada kenyataannya media lebih berperan menjadi bagian dari pergulatan merebut
kekuasaan.
Diversity media massa secara politik
terkonstruksi oleh diaspora pergulatan ekonomi politik dalam merebut kekuasaan.
Keragaman metode dan pendekatan penyampaian informasi media massa pun sangat
ditentukan oleh pengendali media massa itu sendiri. Hegemoni dan monopolistik
kepemilikan media antara media yang dikendalikan penguasa dan kaum pemilik
modal media seringkali memangkas hak-hak informasi masyarakat yang
sesungguhnya. Konstruksi berita lebih ditekankan pada aspek pembentukan opini
publik dengan tujuan meyakinkan masyarakat mengikuti keinginan media massa
bersangkutan.
Masyarakat tidak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi
bahkan dikotomi dan monopolistik produksi informasi ini menjadikan media
menjadi tidak independen. Media berperan melakukan kampanye bahkan dalam
konstelasi politik yang eskalatif, media cenderung membuat persepsi secara
miring dan mengaburkan hakikat kebenaran sebuah peristiwa yang semestinya.
Era modern dan kuatnya globalisasi informasi dan komunikasi,
kehadiran media komunitas yang diharapkan menjadi alternatif pengimbang
informasi antara kepentingan elit penguasa dan kaum pemodal media pun
kenyatannya tidak efektif. Media komunitas dengan keberagaman (diversity of ownership) dengan semangat
menggantikan posisi media yang monopolisasi informasi dan pemberitaan dalam
kenyataannya tidak bisa tampil sebagaimana mestinya.
Media baik yang dikendalikan penguasa maupun kaum pemodal
hampir tidak bisa dihindari bahwa dalam tataran praktek politik keberagaman
kepemilikan (diversity of content) kerapkali
menyajikan informasi yang cenderung bermuatan kepentingan sehingga substansi, content, visi terkonsentrasi pada
bagaimana memaksimalkan kepentingan aktor pengendali.
Diversity
of ownership dan diversity content memiliki visi untuk
membuat frame informasi untuk membangun image publik atas kepentingan yang
dibawah media itu sendiri. Betapapun demikian, fungsi sosial kontrol media
massa tidak serta-merta diterjemahkan dalam kerangka normatif dan kontekstual
dan hingga akhirnya hanya terjebak pada perspektif media yang etis dan utopis
karena selalu mengambang tetapi secara rasional diakui bahwa keberagaman media
dalam proses politik tetap diperlukan masyarakat.
Idealisme media menjadi sebuah utopia karena dalam
pertempuran ideologi, idealisme menjadi tidak berlaku bagi sebuah media. Segala
sesuatu yang ada yang merupakan produk ide atau pikiran tidak lagi digerakkan
sesuai misi kemanusiaan tetapi peran budaya dan kekuatan ideologi mengesampingkan
budaya idealisme dan tradisi politik positivisme.
Yang
muncul dalam pertikaian ideologi, media menempatkan diri menjadi sistem kerja
politik berbasis budaya dualisme, dimana proses produksi informasi dengan
menggunakan cara berpikir yang bertitik tolak pada materi dan ideologi
sekaligus.[7]
Goffman dalam dramaturgisnya
menurut Doyle (1986: 42) mengatakan:
“Masalah utama yang dihadapi
individu dalam pelbagai hubungan sosialnya adalah mengontrol kesan-kesan yang
diberikannya pada orang lain. Pada akhirnya individu berusaha mengontrol
penampilannya, keadaan fisiknya dimana mereka memainkan perannya serta perilaku
perannya yang aktual dan gerak isyarat yang menyertainya”.[8]
Marx sebagaimana rekannya Friedrich Engels (1820-1895),
menunjukkan penerimaannya akan prinsip dialektika, tetapi keduanya mengganti
dasar spirit dialektika dengan dasar materi murni.[9] Filsafat
Hegel memprioritaskan perkembangan akal dan pemikiran (idea). Filsafat idealisme memang memosisikan perkembangan manusia
dan hubungan-hubungan sosialnya sebagai sesuatu yang dihasilkan perkembangan
akal.[10]
Marx dan Engels sendiri menerima pemikiran Hegel tentang dialektika dan
perkembangan terus-menerus, tetapi keduanya mengemas idealismenya.
F.
Kasus
Pemilihan
umum 2004 dan 2009 terlihat sangat kentara bagaimana peran politik media dalam
keberpihakan pada calon presiden tertentu. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono
dan Muhammad Jusuf Kalla (Pemilu 2004) sangat kuat. Media massa memainkan peran
politik dalam mengemas dan memberitakan informasi politik terkait kegiatan
pasangan SBY-JK.
Kasus yang sama juga pada pemilu
2009, media massa secara sistematis melakukan propaganda politik dengan
mengkampanyekan pasangan incunbent (SBY-Boediono).
Opini publik dirancang dan dikemas hingga diturunkan dalam pemberitaan
betul-betul memberikan politik pencitraan pada SBY sebagai calon kuat dengan
slogan kampanye “Lanjutkan”. Semua program politik SBY-Boediono terkover dan
terkonfirmasi melalui berbagai jejaring sosial seakan-akan dilakukan secara
massif sehingga pembentukan opini dengan pencitraan SBY sebagai presiden yang
mampu menciptakan iklim investasi, keamanan, dan ketertiban, perdamaian menjadi
begitu efektif. Keberhasilan SBY menata sistem ekonomi dan kemampuan leadership dalam menghadapi krisis
global yang memuncak di Amerika dan Indonesia bisa menghadapinya membuat opini
publik politik pembenaran di mata rakyat. Peranan media sangat besar dalam
membangun nama besar dan pencitraan SBY. SBY ditampilkan sebagai sosok yang
elegan dalam merespon konflik komunikasi politik antara dirinya dengan Megawati
di tahun 2004.
Keretakan hubungan antara SBY dan Megawati saat SBY jabat
Menko Polkam benar-benar jadi magnet informasi bagi wartawan dan media massa.
Dengan berbagai cara kemasan informasi kasus ini diangkat menjadi jualan
menarik. Secara perlahan namun pasti, berita-berita tentang konflik komunikasi
politik antara SBY-Megawati benar-benar dimanfaatkan media massa untuk
mempengaruhi masyarakat dalam membangun opini publik melalui pencitraan tentang
sosok SBY.
G.
Analisis Kritis
Dalam
menganalisa persoalan apakah opini publik masih relevan atau tidak dalam
kerangka perkembangan politik kontemporer, pendekatan analisis kritis menjadi
penting untuk mengetahui sejauhmana persepsi ilmiah dan asumsi politik tentang
relevan tidaknya konsep opini publik. Pendekatan analisis kritis untuk
mengidentifikasi seberapa jauh dan kuat konsep opini publik digunakan oleh para
pelaku politik. Sebuah konsep ilmu sosial politik yang secara umum seringkali
dipakai untuk membicarakan dan mengidentifikasikan kelompok-kelompok sosial
masyarakat tertentu.
Analisis kritis juga selalu digunakan sebagai
pendekatan mengetahui identitas suatu entitas, kelompok masyarakat, organisasi,
partai politik dan perkembangannya yang tidak hanya menjawab dan memberikan pertimbangan-pertimbangan
sebuah riset ilmiah tetapi sekaligus mampu menerjemahkan hasil riset kedalam
praktek. (Sandberg, 1976 : 227).
Sebuah penelitian yang dimulai dari suatu studi
terhadap dunia subyek guna memahami kehidupan mereka terutama yang berkaitan
langsung dengan peraturan dan perundang-undangan. Peraturan dan
perundang-undangan yang dihasilkan melalui proses politik. Hukum merupakan
produk politik yang melibatkan semua elemen kekuatan politik sebagai wujud
representasi politik dalam struktur kekuasaan sosial yang disepakati bersama.
Meneliti bagaimana perilaku sosial politik masyarakat termasuk penggunaan opini
publik dalam pemahaman mengenai dunia dan kehidupan di sekitarnya. (Bernstein, 1976 : 63).
Dengan demikian, meminjam teori Gadamer, 1976,
pendekatan kritis memerlukan pemahaman mendalam terhadap perilaku, nilai dan
motivasi para subyek (masyarakat) karena itu dapat dikatakan tahap kedua dari
riset kritis adalah hermeneutic yang berarti bahwa
peneliti melihat dan merasakan melalui dialog dengan partisipan, untuk memahami
realitas sosial mereka (Gadamer, 1976).
Dalam kerangka ini, maka bisa dipahami bahwa,
konsep opini publik dalam dimensi politik formal (Pemilu) masih tetap relevan.
Karena opini publik menjadi sebuah instrumen politik sekaligus sebagai strategi
politik formal dalam negara demokrasi. Opini publik sangat diperlukan dalam
proses pembangunan politik yang demokratis. Demokrasi mensyaratkan kebebasan
dan perubahan yang dilakukan secara terbuka. Opini publik dirasakan efektif karena
melalui media opini publik, media massa yang merupakan bagian penting dari
pilar demokrasi ini bisa bekerja dengan baik.
Opini publik menjadi bagian dari proses
pembangunan politik khususnya dalam pendidikan politik bagi masyarakat. Opini
publik yang diorientasikan untuk mendayagunakan dan mengoptimalkan proses
pendidikan politik bagi rakyat. Dengan opini publik, masyarakat akan semakin
merasakan demokratisasi yang penuh dengan keterbukaan. Opini publik juga
menjadi instrumen pendidikan politik rakyat. Melalui opini publik, rakyat
diberi kebebasan dan memiliki hak pribadi untuk memilah, membedakan, dan
menempatkan sebuah informasi secara objektif. Artinya, apapun isu dan informasi
politik yang dikonstruksi oleh seseorang dan kelompok dalam pertarungan politik
yang dilakukan secara terbuka dan pada akhirnya kebebasan personal masyarakat
dalam menentukan politik.
Simpulan
Demokrasi
memiliki ruang yang cukup kuat bagi terciptanya opini publik. Politik
kepentingan selalu menghadirkan celah bagi semua kontestasi politik dalam
penyelenggaraan pemilihan umum untuk melakukan gerakan atau manuver politik
untuk meraih kekuasaan atas nama demokrasi. Secara normatif, demokrasi dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, memiliki pemahaman yang bias dan sarat
pembodohan secara legal formal karena demokrasi hanyalah sebuah bahan atau
model konsep yang tidak memiliki keterikatan dengan standar nilai apapun
sehingga kejahatan politik pun dilakukan politisi atas nama demokrasi.
Demokrasi tetap diterima sebagai sistem modern tetapi demokrasi selalu
menghadirkan perilaku aktor-aktor yang dalam kondisi tertentu bersifat double standard.
Daftar Pustaka
Anwar Arifin, 1992, Komunikasi
Politik dan Pers Pancasila; Suatu Kajian Mengenai Pers Pancasila, Penerbit,
Media Sejahtera.
Soleh Soemirat, 2007, Dasar-Dasar
Public Relations, Penerbit, Rosdakarya, Bandung.
Riant Nugroho
Dwidjowijoto, 1998, Indonesia 2020;
Sebuah Sketsa tentang Visi & Strategi dalam Kepemimpinan Manajemen Politik
dan Ekonomi, Penerbit, RBI, Jakarta.
Hendarmin Ranadireksa,
Visi Bernegara; Arsitektur Konstitusi
Demokratik: Mengapa ada negara yang gagal melaksanakan demokrasi, Penerbit,
FokusMedia, Bandung.
Francis
Fukuyama, The End of History and The Last
Man, dalam (terj.,) H.M. Amrullah, Kemenangan
Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Penerbit, Qalam, Yogyakarta.
Yusuf
Al-Qardhawi, 2008, Legalitas Politik;
Dinamika Pespektif Nash dan Asy-Syariah, Penerbit, Pustaka Setia, Bandung.
Darsono, Budaya Organisasi; Kajian Tentang
Organisasi, Media, Budaya, Ekonomi, Sosial, dan Politik, Penerbit, Diadit
Media, Jakarta.
Lely Arrianie, Komunikasi
Politik; Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik, Penerbit, Widya
Padjajaran, Bandung.
Rini Darmastuti, 2012, Media
Relations; Konsep, Strategi & Aplikasi, Penerbit, Andi, Yogyakarta.
Indrawadi
Tamin, 2012, Public Relations: mitos dan
realitas, Penerbit, Fakultas Komunikasi Universitas Esa Unggul, Jakarta.
[1] Anwar Arifin, 1992, Komunikasi
Politik dan Pers Pancasila; Suatu Kajian Mengenai Pers Pancasila, Penerbit,
Media Sejahtera, Jakarta, Hal, 17.
[2] Soleh Soemirat, 2007, Dasar-Dasar Public Relations, Penerbit, Rosdakarya, Bandung, Hal,
74
[3] Riant Nugroho
Dwidjowijoto, 1998, Indonesia 2020;
Sebuah Sketsa tentang Visi & Strategi dalam Kepemimpinan Manajemen Politik
dan Ekonomi, Penerbit, RBI, Jakarta, Hal, 159
[4] Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara; Arsitektur Konstitusi Demokratik: Mengapa ada negara
yang gagal melaksanakan demokrasi, Penerbit, FokusMedia, Bandung, 2009,
Hal, 76
[5] Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, dalam
(terj.,) H.M. Amrullah, Kemenangan
Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Penerbit, Qalam, Yogyakarta, Hal, 442
[6] Yusuf Al-Qardhawi,
2008, Legalitas Politik; Dinamika
Pespektif Nash dan Asy-Syariah, Penerbit, Pustaka Setia, Bandung, Hal, 52.
[7] Darsono, Budaya Organisasi; Kajian Tentang
Organisasi, Media, Budaya, Ekonomi, Sosial, dan Politik, Penerbit, Diadit
Media, Jakarta, 2006, Hal, 112.
[8] Lely Arrianie, Komunikasi Politik; Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik, Penerbit,
Widya Padjajaran, Bandung, 2010, Hal, 33.
[9] Dr. Ali Abdul Mu’ti
Muhammad, Filsafat Politik; Antara Barat
Dan Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2010, Hal, 206.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar