Minggu, 06 April 2014

OPINI PUBLIK DAN DEMOKRASI; Sebuah tinjauan dari Aspek Politik Media Massa



Oleh : Rahman Yasin
____________________________
Direktur Eksekutif LP2-AB Jakarta




A.        Pendahuluan
Pertautan antara pers dan politik dalam konteks membangun opini publik sangat kuat. Pers/media massa sebagai pilar keempat demokrasi memiliki peran dan fungsi yang cukup fundamental. Media massa memiliki kekuatan informasi yang secara pembentukan opini massa sangat menentukan proses pengambilan sikap setiap warga masyarakat yang bersentuhan dengan beberapa pilihan termasuk dalam proses penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Media massa senantiasa berperan aktif dalam menyampaikan pesan-pesan politik dalam perspektif pembangunan politik masyarakat.
Setiap informasi yang disampaikan media massa terlebih dahulu didesign secara sistematis oleh manajemen media massa yang notabene akan berorientasi pada ke mana kepentingan pemilik modal media bersangkutan. Akibatnya, peran media massa dalam pergulatan politik kerap bersifat standard ganda. Terminologi independensi pada media massa kadang hanya diperlakukan sebagai simbol personifikasi formalitas misi media massa/pers secara umum. Dalam konteks itu, media massa suka tidak suka, diakui atau tidak terhadap eksistensi independensinya dalam prakteknya selalu berkolaborasi dengan kekuatan-kekuatan politik tertentu dan hal ini sangat bergantung proses mekanisme kompromi kepentingan yang dilakukan antara media massa dan kekuatan politik.
Secara teoritik terdapat kaitan antara pers/media massa dengan politik. Para pengkaji komunikasi politik, telah membahas keterkaitan pers/media massa dan politik dalam dua cara atau dua pendekatan yang berbeda. Menurut Anwar Arifin dalam bukunya berjudul Komunikasi Politik dan Pers Pancasila berpendapat, dalam kajian mengenai relasi antara pers/media massa dan politik terbagi dalam dua perspektif. Pertama, pers dilihat sebagai sumber kekuatan perubahan yang dapat mempengaruhi kehidupan politik (seperti disajikan dalam studi mengenai propaganda dan pendapat umum), dan kedua, pers memiliki ketergantungan dari kehidupan politik (seperti terlihat dalam studi mengenai sistem pers/media massa dan pemberangusan pers).[1]
Pers/media massa merupakan faktor strategis dalam memberikan pengaruh perubahan sikap bagi masyarakat. Media massa berperan aktif memberikan informasi-informasi politik terhadap publik dan dengan demikian media mempunyai pengaruh yang kuat dalam pembentukan opini publik. Informasi-informasi politik yang disajikan media seringkali tidak lepas dari bermuatan politis dengan tujuan membangun dan membentuk opini masyarakat dan mengarahkan publik untuk mengikuti apa yang menjadi kepentingan dari media massa atau yang berkolaborasi dengan media massa terkait.

B.        Pokok Masalah
Dalam praktik bernegara, demokrasi kerap menimbulkan problematika kemanusiaan karena berhadapan dengan politik kekuasaan. Lompatan demokrasi melahirkan sistem politik yang cenderung paradoksal. Politik tidak dilihat sebagai apa yang disebut Aristoteles sebagai highest good (tujuan meraih kebaikan utama) atau meminjam istilah Al-Farabi sebagai al-madinah al-fadihilah, adanya ruang berkeadaban melainkan praktek politik yang didominasi perilaku pada wacana baik-buruk, positif-negatif dan bermegahan dalam materi.
Demokrasi menjadi pintu masuk terciptanya opini publik melalui media/pers dan dengan demikian relevan apa yang dikatakan Karl Max dalam Das Kapitalnya bahwa media massa dalam kondisi politik tertentu bisa hadir sebagai pemicu pertentangan antar ideologi. Pembentukan opini publik yang keliru merupakan manipulasi informasi publik dan bentuk penyesatan sistematis. Pertanyaan yang patut diajukan ialah apa manfaatnya demokrasi dalam pembangunan politik khususnya pembentukan opini publik? Mengapa opini publik selalu efektif digunakan politisi terutama media sebagai pilar keempat demokrasi?

C.        Landasan Teori 
·       Theory Uses and Gratification
Penganut teori uses and gratification meyakini bahwa individu sebagai mahluk supra-rasional dan sangat selektif. Menurut para pendirinya, Elihu Katz;Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1984), uses and gratifications meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.
Windahl (1981) penggagas model uses and effects, menunjukkan bahwa bermacam-macam gratifikasi audiens berhubungan dengan spectrum luas efek media yang meliputi pengetahuan, dependensi, sikap, persepsi mengenai realitas social, agenda setting, diskusi, dan berbagai efek politik.
Media massa dalam operasi politik kerap menjadikan demokrasi sebagai instrumen kekuatan untuk memberikan counter opini. Opini publik cenderung terbentuk melalui informasi politik yang disebarkan media massa sehingga opini publik yang berkembang di masyarakat pun cenderung pembenaran politik daripada sebuah kebenaran otentik atas suatu peristiwa. Media dengan pendekatan penyajian informasi bersifar framing sangat memungkinkan bagi proses pembentukan opini publik atas suatu peristiwa. Ketidakakuratan data dan ketidakvalidan suatu fakta selalu membuka ruang yang lebar bagi pembentukan opini di ranah masyarakat kebanyakan.
Penyiaran berupa informasi yang disajikan media cetak maupun media elektronik umumnya merepresentasikan kepentingan politik media bersangkutan. Betapapun kemampuan menulis sebuah berita itu dilakukan seorang penulis/wartawan (kehumasan) dari perusahaan media itu berprofesi penulis tetapi dalam kaitan bagaimana membentuk opini publik tetap mengikuti kebijakan perusahaan media.
Dalam upaya memelihara citra positif suatu perusahan di mata publiknya, bagian humas/public relations suatu perusahaan akan selalu memantau umpan balik publik yang kemungkinan besar akan ditulis media massa cetak dalam bentuk surat pembaca atau komentar pembaca di surat kabar atau majalah.[2]
Kebebasan berserikat (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), kebebasan menyatakan pendapat secara tertulis dan lisan (freedom of speech), dan kebebasan Pers (freedom of press) yang berperan sebagai check and balancec diluar sistem pemerintah bisa bekerja secara efektif sangat diharapkan dalam kondisi politik tetapi realitas memperlihatkan peran ganda media dalam menyajikan informasi selalu membuka ruang pembentukan opini publik.
Pers bukanlah industri yang bersaing dengan pola “win-orloose”, tetapi “win-win”, baik terhadap seama pers maupun bagi para stakeholders. Bahwa pers bukan makhluk lokal atau nasional saja, tapi makhluk regional dan global. Kepentingannya bukan saja pada manusia lokal atau negara, tetapi umat manusia di muka bumi.[3]
Demokrasi selalu menjadi alasan media massa dalam berpolitik karena dalih kebebasan baik berekspresi, berserikat/berorganisasi, dan kebebasan mendapatkan hak akan informasi. Kebebasan masyarakat memperoleh informasi kerap dimanipulasi media dalam membentuk opini publik atas nama kepentingan rakyat. Demokrasi mengandung makna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sebelum memasuki abad Masehi, sistem demokrasi telah menjadi sebuah bentuk negara yang dianggap ideal dipraktekkan oleh bangsa Yunani Kuno. Dalam praktek sistem kekuasaan negara berdasarkan demokrasi kedaulatan rakyat dilaksanakan secara langsung. Dengan pengertian dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat mengandung pengertian bahwa penguasa menempatkan rakyat sebagai obyek kekuasaan murni. Apa yang dimiliki rakyat (dari rakyat) dan apa yang dikerjakan rakyat (oleh rakyat) diperuntukkan bagi kepentingan kekuasaan. Dengan kata lain unsur kekuasaan melakukan pemerasan (eksploitasi) terhadap rakyatnya sendiri.[4]
Kebebasan yang dikehendaki rakyat dan penguasa pun dalam praktek cendrung double standard sehingga kebebasan termasuk kebebasan untuk memperoleh hak informasi dalam waktu tertentu menghasilkan praktek kekuasaan otoriter bahkan demokrasi selalu menjadi pintu masuk tirani termasuk demokrasi liberal. Dalam pandangan Jean-Francois Revel, kelemahan terbesar demokrasi adalah ketidakmampuannya untuk mempertahankan dirinya melawan tirani-tirani yang kejam dan berkuasa.[5]
Apapun teorinya, demokrasi dalam praktek kekuasaan kerap dijadikan sebagai isntrumen politik negara (penguasa). Politik mengandung makna adanya suatu kegiatan yang dikerjakan yang mendatangkan kemaslahatan baginya. Politik adalah aksi dari para politikus, sehingga dia dikatakan memolitisasi binatang untuk kendaraan jika dia berdiri diatasnya dan menundukkannya.[6] Dengan demikian seorang pemimpin politik memiliki kesempatan secara legal melakukan politisasi rakyat yang dipimpinnya.

D.        Pembahasan
Opini publik kerap dijadikan kekuatan politik untuk mempreser lawan politik yang ikut berkompetisi dalam kekuasaan. Opini publik didesign oleh media massa/pers untuk menyudutkan atau mendiskreditkan lawan politik dengan tujuan lawan politik tidak bisa berdaya dalam membangun pencitraan. Opini publik dikelola oleh kekuatan politik media/pers secara sistematis dengan orientasi mempengaruhi pemahaman maupun persepsi masyarakat terhadap isu politik yang berkembang.
Opini publik dikonstruksi media untuk mengaburkan kebenaran informasi dan diarahkan masyarakat untuk menerima informasi berdasarkan pesan politik yang dibangun atau sekurang-kurangnya aktor politik maupun kelompok politik yang berkolaborasi dengan media/pers. Informasi politik dikemas dengan penuh nuansa pencitraan terhadap kandidat atau calon pemimpin tertentu yang ikut berkompetisi dalam pertarungan kekuasaan.
Politik media massa/pers cenderung standar ganda dalam menyampaikan suatu informasi. Semua informasi politik yang akan disajikan media jelas terlebih dahulu harus melalui proses persetujuan manajemen media/pers karena sebagai sebuah media yang independen dan profesional tentu sistem kerja terutama pengambilan kebijakan harus melalui proses formal. Dalam konteks ini, intervensi dan politik kepentingan pemilik modal dibalik media sangat memungkinkan terjadinya intervensi.
Akibatnya, lazimnya dalam pemberitaan politik, media massa/pers selalu ambigiu dan ambivalen dalam menyikapi suatu peristiwa. Publik dibuat gamang dengan design informasi yang berorientasi pada proses pengarahan atau uapaya-upaya sistematis untuk menggiring persepsi masyarakat untuk mengikuti apa yang disampaikan media bersangkutan.
Media massa sebagai pilar demokrasi keempat sangat berpotensi dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan politik dalam sebuah perhelatan demokrasi. Demokrasi sebagai instrumen politik formal dalam melakukan sirkulasi kepemimpinan di tingkat tertentu kerap dimanipulasi untuk meraih kekuasaan.

E.        Keberpihakan Politik Media
Media condong memihak pemilik saham dan lebih mengedepankan aspek keuntungan daripada menampilkan netralitas dan idealisme politik. Kekuatan ekonomi menentukan arus kekuatan politik, dan begitu juga sebaliknya. Antara kekuatan ekonomi dan politik saling bergantungan sehingga dalam perspektif pengembangan media sebagai sarana pendidikan budaya bangsa dalam segala dimensi kehidupan tidak berjalan sesuai cita-cita pembangunan nasional.
Tidak bisa dipungkiri, kekuatan modal sangat menentukan kebijakan yang notabene pemilik modal utama sebuah media massa yang mengarah pada diversity media. Kompetisi politik global menyebabkan pertarungan ideologi dengan keras dan tajam. Keberadaan media massa turut melegitimasi perang  politik antar kontestan merebut kekuasaan dan di dalamnya termasuk pergulatan kepentingan ekonomi bisnis. Dalam perebutan kekuasaan, peran media tidak lagi berfungsi sebagai kontrol sosial atau memberikan pelayanan informasi dan memberikan pendidikan bagi masyarakat tetapi pada kenyataannya media lebih berperan menjadi bagian dari pergulatan merebut kekuasaan.
Diversity media massa secara politik terkonstruksi oleh diaspora pergulatan ekonomi politik dalam merebut kekuasaan. Keragaman metode dan pendekatan penyampaian informasi media massa pun sangat ditentukan oleh pengendali media massa itu sendiri. Hegemoni dan monopolistik kepemilikan media antara media yang dikendalikan penguasa dan kaum pemilik modal media seringkali memangkas hak-hak informasi masyarakat yang sesungguhnya. Konstruksi berita lebih ditekankan pada aspek pembentukan opini publik dengan tujuan meyakinkan masyarakat mengikuti keinginan media massa bersangkutan.
Masyarakat tidak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi bahkan dikotomi dan monopolistik produksi informasi ini menjadikan media menjadi tidak independen. Media berperan melakukan kampanye bahkan dalam konstelasi politik yang eskalatif, media cenderung membuat persepsi secara miring dan mengaburkan hakikat kebenaran sebuah peristiwa yang semestinya.
Era modern dan kuatnya globalisasi informasi dan komunikasi, kehadiran media komunitas yang diharapkan menjadi alternatif pengimbang informasi antara kepentingan elit penguasa dan kaum pemodal media pun kenyatannya tidak efektif. Media komunitas dengan keberagaman (diversity of ownership) dengan semangat menggantikan posisi media yang monopolisasi informasi dan pemberitaan dalam kenyataannya tidak bisa tampil sebagaimana mestinya.
Media baik yang dikendalikan penguasa maupun kaum pemodal hampir tidak bisa dihindari bahwa dalam tataran praktek politik keberagaman kepemilikan (diversity of content) kerapkali menyajikan informasi yang cenderung bermuatan kepentingan sehingga substansi, content, visi terkonsentrasi pada bagaimana memaksimalkan kepentingan aktor pengendali.
Diversity of ownership dan diversity content memiliki visi untuk membuat frame informasi untuk membangun image publik atas kepentingan yang dibawah media itu sendiri. Betapapun demikian, fungsi sosial kontrol media massa tidak serta-merta diterjemahkan dalam kerangka normatif dan kontekstual dan hingga akhirnya hanya terjebak pada perspektif media yang etis dan utopis karena selalu mengambang tetapi secara rasional diakui bahwa keberagaman media dalam proses politik tetap diperlukan masyarakat.
Idealisme media menjadi sebuah utopia karena dalam pertempuran ideologi, idealisme menjadi tidak berlaku bagi sebuah media. Segala sesuatu yang ada yang merupakan produk ide atau pikiran tidak lagi digerakkan sesuai misi kemanusiaan tetapi peran budaya dan kekuatan ideologi mengesampingkan budaya idealisme dan tradisi politik positivisme.
Yang muncul dalam pertikaian ideologi, media menempatkan diri menjadi sistem kerja politik berbasis budaya dualisme, dimana proses produksi informasi dengan menggunakan cara berpikir yang bertitik tolak pada materi dan ideologi sekaligus.[7]
Goffman dalam dramaturgisnya menurut Doyle (1986: 42) mengatakan:

“Masalah utama yang dihadapi individu dalam pelbagai hubungan sosialnya adalah mengontrol kesan-kesan yang diberikannya pada orang lain. Pada akhirnya individu berusaha mengontrol penampilannya, keadaan fisiknya dimana mereka memainkan perannya serta perilaku perannya yang aktual dan gerak isyarat yang menyertainya”.[8]

Marx sebagaimana rekannya Friedrich Engels (1820-1895), menunjukkan penerimaannya akan prinsip dialektika, tetapi keduanya mengganti dasar spirit dialektika dengan dasar materi murni.[9] Filsafat Hegel memprioritaskan perkembangan akal dan pemikiran (idea). Filsafat idealisme memang memosisikan perkembangan manusia dan hubungan-hubungan sosialnya sebagai sesuatu yang dihasilkan perkembangan akal.[10] Marx dan Engels sendiri menerima pemikiran Hegel tentang dialektika dan perkembangan terus-menerus, tetapi keduanya mengemas idealismenya.

F.         Kasus
Pemilihan umum 2004 dan 2009 terlihat sangat kentara bagaimana peran politik media dalam keberpihakan pada calon presiden tertentu. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla (Pemilu 2004) sangat kuat. Media massa memainkan peran politik dalam mengemas dan memberitakan informasi politik terkait kegiatan pasangan SBY-JK.
                Kasus yang sama juga pada pemilu 2009, media massa secara sistematis melakukan propaganda politik dengan mengkampanyekan pasangan incunbent (SBY-Boediono). Opini publik dirancang dan dikemas hingga diturunkan dalam pemberitaan betul-betul memberikan politik pencitraan pada SBY sebagai calon kuat dengan slogan kampanye “Lanjutkan”. Semua program politik SBY-Boediono terkover dan terkonfirmasi melalui berbagai jejaring sosial seakan-akan dilakukan secara massif sehingga pembentukan opini dengan pencitraan SBY sebagai presiden yang mampu menciptakan iklim investasi, keamanan, dan ketertiban, perdamaian menjadi begitu efektif. Keberhasilan SBY menata sistem ekonomi dan kemampuan leadership dalam menghadapi krisis global yang memuncak di Amerika dan Indonesia bisa menghadapinya membuat opini publik politik pembenaran di mata rakyat. Peranan media sangat besar dalam membangun nama besar dan pencitraan SBY. SBY ditampilkan sebagai sosok yang elegan dalam merespon konflik komunikasi politik antara dirinya dengan Megawati di tahun 2004.
Keretakan hubungan antara SBY dan Megawati saat SBY jabat Menko Polkam benar-benar jadi magnet informasi bagi wartawan dan media massa. Dengan berbagai cara kemasan informasi kasus ini diangkat menjadi jualan menarik. Secara perlahan namun pasti, berita-berita tentang konflik komunikasi politik antara SBY-Megawati benar-benar dimanfaatkan media massa untuk mempengaruhi masyarakat dalam membangun opini publik melalui pencitraan tentang sosok SBY.

G.        Analisis Kritis
Dalam menganalisa persoalan apakah opini publik masih relevan atau tidak dalam kerangka perkembangan politik kontemporer, pendekatan analisis kritis menjadi penting untuk mengetahui sejauhmana persepsi ilmiah dan asumsi politik tentang relevan tidaknya konsep opini publik. Pendekatan analisis kritis untuk mengidentifikasi seberapa jauh dan kuat konsep opini publik digunakan oleh para pelaku politik. Sebuah konsep ilmu sosial politik yang secara umum seringkali dipakai untuk membicarakan dan mengidentifikasikan kelompok-kelompok sosial masyarakat tertentu.
Analisis kritis juga selalu digunakan sebagai pendekatan mengetahui identitas suatu entitas, kelompok masyarakat, organisasi, partai politik dan perkembangannya yang tidak hanya menjawab dan memberikan pertimbangan-pertimbangan sebuah riset ilmiah tetapi sekaligus mampu menerjemahkan hasil riset kedalam praktek. (Sandberg, 1976 : 227).
Sebuah penelitian yang dimulai dari suatu studi terhadap dunia subyek guna memahami kehidupan mereka terutama yang berkaitan langsung dengan peraturan dan perundang-undangan. Peraturan dan perundang-undangan yang dihasilkan melalui proses politik. Hukum merupakan produk politik yang melibatkan semua elemen kekuatan politik sebagai wujud representasi politik dalam struktur kekuasaan sosial yang disepakati bersama. Meneliti bagaimana perilaku sosial politik masyarakat termasuk penggunaan opini publik dalam pemahaman mengenai dunia dan kehidupan di sekitarnya. (Bernstein, 1976 : 63).
Dengan demikian, meminjam teori Gadamer, 1976, pendekatan kritis memerlukan pemahaman mendalam terhadap perilaku, nilai dan motivasi para subyek (masyarakat) karena itu dapat dikatakan tahap kedua dari riset kritis  adalah hermeneutic yang berarti bahwa peneliti melihat dan merasakan melalui dialog dengan partisipan, untuk memahami realitas sosial mereka (Gadamer, 1976).
Dalam kerangka ini, maka bisa dipahami bahwa, konsep opini publik dalam dimensi politik formal (Pemilu) masih tetap relevan. Karena opini publik menjadi sebuah instrumen politik sekaligus sebagai strategi politik formal dalam negara demokrasi. Opini publik sangat diperlukan dalam proses pembangunan politik yang demokratis. Demokrasi mensyaratkan kebebasan dan perubahan yang dilakukan secara terbuka. Opini publik dirasakan efektif karena melalui media opini publik, media massa yang merupakan bagian penting dari pilar demokrasi ini bisa bekerja dengan baik.
Opini publik menjadi bagian dari proses pembangunan politik khususnya dalam pendidikan politik bagi masyarakat. Opini publik yang diorientasikan untuk mendayagunakan dan mengoptimalkan proses pendidikan politik bagi rakyat. Dengan opini publik, masyarakat akan semakin merasakan demokratisasi yang penuh dengan keterbukaan. Opini publik juga menjadi instrumen pendidikan politik rakyat. Melalui opini publik, rakyat diberi kebebasan dan memiliki hak pribadi untuk memilah, membedakan, dan menempatkan sebuah informasi secara objektif. Artinya, apapun isu dan informasi politik yang dikonstruksi oleh seseorang dan kelompok dalam pertarungan politik yang dilakukan secara terbuka dan pada akhirnya kebebasan personal masyarakat dalam menentukan politik.

Simpulan
Demokrasi memiliki ruang yang cukup kuat bagi terciptanya opini publik. Politik kepentingan selalu menghadirkan celah bagi semua kontestasi politik dalam penyelenggaraan pemilihan umum untuk melakukan gerakan atau manuver politik untuk meraih kekuasaan atas nama demokrasi. Secara normatif, demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, memiliki pemahaman yang bias dan sarat pembodohan secara legal formal karena demokrasi hanyalah sebuah bahan atau model konsep yang tidak memiliki keterikatan dengan standar nilai apapun sehingga kejahatan politik pun dilakukan politisi atas nama demokrasi. Demokrasi tetap diterima sebagai sistem modern tetapi demokrasi selalu menghadirkan perilaku aktor-aktor yang dalam kondisi tertentu bersifat double standard.

Daftar Pustaka
Anwar Arifin, 1992, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila; Suatu Kajian Mengenai Pers Pancasila, Penerbit, Media Sejahtera.
Soleh Soemirat, 2007, Dasar-Dasar Public Relations, Penerbit, Rosdakarya, Bandung.
Riant Nugroho Dwidjowijoto, 1998, Indonesia 2020; Sebuah Sketsa tentang Visi & Strategi dalam Kepemimpinan Manajemen Politik dan Ekonomi, Penerbit, RBI, Jakarta.
Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara; Arsitektur Konstitusi Demokratik: Mengapa ada negara yang gagal melaksanakan demokrasi, Penerbit, FokusMedia, Bandung.
Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, dalam (terj.,) H.M. Amrullah, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Penerbit, Qalam, Yogyakarta.
Yusuf Al-Qardhawi, 2008, Legalitas Politik; Dinamika Pespektif Nash dan Asy-Syariah, Penerbit, Pustaka Setia, Bandung.
Darsono, Budaya Organisasi; Kajian Tentang Organisasi, Media, Budaya, Ekonomi, Sosial, dan Politik, Penerbit, Diadit Media, Jakarta.
Lely Arrianie, Komunikasi Politik; Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik, Penerbit, Widya Padjajaran, Bandung.
Rini Darmastuti, 2012, Media Relations; Konsep, Strategi & Aplikasi, Penerbit, Andi, Yogyakarta.
Indrawadi Tamin, 2012, Public Relations: mitos dan realitas, Penerbit, Fakultas Komunikasi Universitas Esa Unggul, Jakarta.


[1] Anwar Arifin, 1992, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila; Suatu Kajian Mengenai Pers Pancasila, Penerbit, Media Sejahtera, Jakarta, Hal, 17.
[2]  Soleh Soemirat, 2007, Dasar-Dasar Public Relations, Penerbit, Rosdakarya, Bandung, Hal, 74
[3] Riant Nugroho Dwidjowijoto, 1998, Indonesia 2020; Sebuah Sketsa tentang Visi & Strategi dalam Kepemimpinan Manajemen Politik dan Ekonomi, Penerbit, RBI, Jakarta, Hal, 159
[4]  Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara; Arsitektur Konstitusi Demokratik: Mengapa ada negara yang gagal melaksanakan demokrasi, Penerbit, FokusMedia, Bandung, 2009, Hal, 76
[5] Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, dalam (terj.,) H.M. Amrullah, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Penerbit, Qalam, Yogyakarta, Hal, 442
[6] Yusuf Al-Qardhawi, 2008, Legalitas Politik; Dinamika Pespektif Nash dan Asy-Syariah, Penerbit, Pustaka Setia, Bandung, Hal, 52.
[7] Darsono, Budaya Organisasi; Kajian Tentang Organisasi, Media, Budaya, Ekonomi, Sosial, dan Politik, Penerbit, Diadit Media, Jakarta, 2006, Hal, 112.
[8]  Lely Arrianie, Komunikasi Politik; Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik, Penerbit, Widya Padjajaran, Bandung, 2010, Hal, 33.
[9] Dr. Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik; Antara Barat Dan Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2010, Hal, 206.
[10] Ibid, Hal, 207.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar