Oleh :
Rahman Yasin
Buku
berjudul Menegakkan Etika
Penyelenggara Pemilu ini
adalah karya salah satu dari tokoh kunci pelopor berdirinya Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia dan merupakan ketua pertama (2003-2008) Jimly Asshiddiqie,
dan salah seorang pemikir, tokoh intelektual kontemporer, dan sekaligus pelaku
dalam peradilan hukum dan peradilan etika yang concen pada masalah-masalah perbaikan
etika baik etika keilmuan, etika politik dan etika pemerintahan dalam negara
demokrasi modern. Keunggulan buku ini terletak pada kesungguhan menganalisis
dengan menyerap nalar kritis intelektual penulis sebagai sosok cendikiawan yang
membaca peristiwa-peristiwa faktual dan memproyeksi realitas kekinian dengan disertakan
ide-ide kebangsaan dan kenegaraan untuk masa yang akan datang.
Betapa
pemilu memiliki arti penting dalam proses transformasi kedaulatan rakyat,
sekaligus punya hakikat filosofis yang mendalam, karena lewat pemilu yang
langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) dan jujur, adil (jurdil) akan
tercipta suasana sirkulasi kepemimpinan tingkat lokal dan nasional tertib dan
damai. Dalam perspektif ini, penulis menekankan penyelenggara agar senantiasa
menciptakan iklim kompetisi dan
kerjasama yang komplementer (competition
and cooperation) secara
simultan. Potret penyelenggaraan pemilu kerapkali menampilkan kisah yang kurang
menarik untuk didengar. Perpolitikan lewat pilar demokrasi kedua ini seringkali
diwarnai dengan berbagai praktik penyimpangan. Manipulasi,
penyelewengan, tindakan diskriminatif, dan praktik korupsi, kolusi, nepotisme dan ketidaknetralan
penyelenggara atau turut menjadi pemain terus berkembang seakan-seakan berantai
sehingga menguras energi besar bangsa dalam melakukan penataan sistem yang
baik. Sistem yang baik sekalipun tetapi bila dijalankan para aktor bermental
korup dan berkarakter ganda tentu tidak akan melahirkan solusi persoalan
bangsa. Realitas ini terjadi di republik ini yang sebenarnya sebagai negara
demokrasi ketiga di dunia.
Integritas
dan kredibilitas anggota penyelenggara pemilu sejatinya menjadi perhatian utama
dalam membangun kualitas demokrasi yang bermartabat sehingga cita-cita
menghasilkan pemimpin bangsa yang bermatabat pun diharapkan bisa terwujud
melalui instrumen pemilu. Perbaikan kualitas moral berbangsa salah satunya
lewat memperkuat basis integritas kemandirian penyelenggara pemilu. DKPP dalam
perspektif ethics sejatinya dibentuk menjadi sarana
dimana terjadi transformasi etika terapan bersifat etis dan aktual yang secara
langsung maupun tidak langsung berimplikasi pada perbaikan moralitas berbangsa.
Proses penyelenggaraan pemilu yang menautkan etika teoritis dan etika terapan
sebagai perwujudan pelaksanaan etika terapan.
Dari grand theory, tujuan Jimly tidak lain
memfokuskan perhatian pada penguatan basis
etika terapan. Profesionalisme pejabat publik menurutnya hal utama yang patut
diperhatikan. DKPP berdasarkan amanat UU No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu dituntut menegakkan kode etik penyelenggara pemilu.
Penegakan kode etik dengan pendekatan ‘rule
of law and the rule of ethics’. Tugas
DKPP menjadikan nilai (value) sebagai sistem norma yang
dipercayai masyarakat dan sebisa mungkin membangunkan harapan publik atau
sebagai “the believed capacity
of any object to statistfy a human desire”. Menjadikan
lembaga ini sebagai instrumen demokrasi yang mencitrakan dirinya dengan nilai
kebaikan bersama tanpa keberpihakan.
Pemahaman
politik elite curculation umumnya tidak berjalan dinamis, melainkan
praktik perebutan kekuasaan dengan berbagai kreatifitas (power aggrandizement) dan dalam situasi tertentu praktik
kekuasaan absolute umumnya terutama calon incunbent selalu memanfaatkan fasilitas
negara untuk aktifitas kampanye. Proses dan hasil pemilu demokratis sangat
ditentukan oleh sistem peraturan dan perundang-undangan—electoral laws dan electoral processe yang dalam penanganan kode etik
pemilu menyangkut perilaku anggota KPU dan Bawaslu di semua jajaran.
Pada Bab
pertama buku ini, penulis mengawali dengan pendahuluan, dan Bab kedua beranjak
pada pembahasan sejarah singkat DK KPU sebagai embrional yang melahirkan ide
terbentuknya DKPP. Sementara Bab ketiga, secara akademis mengulas konsep etika
dalam kemasyarakatan dan kebangsaan, sedangkan Bab keempat meningkat penjelasan
mengenai mekanisme penegakan kode etik dalam perspektif DKPP, dan Bab kelima,
merupakan bab penutup dengan mengulas etika dalam konteks penyelenggara pemilu.
Buku ini membincangkan sistem pemilu, metode penegakan etik pemilu dengan
menampilkan data-data terkait pelanggaran kode etik pemilu beserta
penyelesaiannya pada tahun pertama lembaga penegak kode etik pemilu ini
sehingga secara sosiologis mengajak pembaca bersikap kritis pada anggota
penyelenggara pemilu. Untuk menghasilkan pemilu demokratis diperlukan pemahaman
konseptual dan implementasi sistem peraturan perundang-undangan. Berperilaku
profesional merupakan unsur penting mewujudkan pemilu luber jurdil. Perilaku
etik jadi cermin karakter pribadi sehingga dalam proses peradilan etik DKPP
dapat diketahui apakah suatu dugaan pelanggaran yang diadukan betul-betul
terjadi atau tidak.
Dari
konteks penataan kapasitas dan integritas, Jimly yang dalam tradisi praktik
kepemimpinan intelektual—menekankan keutamaan ide sebagai kerangka dasar dalam
pengambilan kebijakan, dan dari perspektif penyelenggara pemilu, Jimly
menitiberatkan agar proses perekrutan calon anggota penyelenggara hendaknya
dilakukan dengan selektif agar mendapatkan penyelenggara yang memiliki
kapasitas intelektual dan berkemampuan empirik mengelola tahapan pemilu.
Penyelenggara sekurang-kurangnya memiliki modal sosial (social capital) dan “the social requisites for
democracy”, Seymour Martin
Lipset, menjadi unsur fundamental. Selain pribadi yang “the social requisites for
democracy” anggota
penyelenggara harus memiliki konsep kehidupan demokrasi yang baik, “(d)emocracy survival and breakdown
(are) a question of political crafting.” Dengan
demikian pemilu diharapkan menghasilkan pemimpin-pemimpin berintegritas.
Penegakan ‘rule of ethics’ merupakan tujuan utama dalam
rangka menjamin integritas dan kredibilitas pemilu. Integritas menuntut sikap
konsistensi pada nilai kebaikan—menyangkut etika, termasuk langkah sistematis,
suatu metode, dan prinsip-prinsip nilai universal. Integritas dalam pengertian
etika, yakni kejujuran dan kebenaran suatu tindakan seseorang. Titik tekan
penegakkan kode etik pemilu menurut penulis yang juga beberapa kali pernah
menjadi ketua DK KPU ini adalah modal integritas, kredibilitas dan profesionalisme
merupakan dasar filosofis kebaikan internal seseorang yang secara psikologis
memunculkan rasa kebajikan bersifat utuh dalam menjalankan tugas dan
tanggungjawab. Dengan menggunakan metodologi tipe idealnya, Jimly yang juga
ketua DKPP, menguraikan makna bagaimana mentradisikan pemahaman pentingnya
negara menyiapkan mekanisme penyelesaian suatu masalah atau setiap pertentangan
di kalangan masyarakat dalam mencari keadilan. Maka DKPP dikembangkannya
menjadi lembaga pengadilan etika. Peradilan etika yang menerapkan
prinsip-prinsip ‘audi et alteram partem’, independensi, imparsialitas,
dan akuntabel.
Jimly
dengan latar belakang sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara, konstruksi ide
mewujudkan peradilan DKPP yang bebas, mandiri, dan independen, tidak memihak (independence and impartiality of
judiciary) ditekankan pada
aspek perilaku hakim yang menurutnya selain memberikan teladan bagi etika
penegakan hukum, juga harus punya kesadaran filosofis dalam penegakan keadilan.
Keadilan dalam perspektif ‘the
rule of law’ diperlukan
pemahaman ‘the rule of just
law’, dan ini sangat ditentukan oleh sikap jujur, adil, dan independen
setiap hakim. Maka setiap hakim hendaknya memiliki sikap yang otonomi absolut
dalam menilai, memutuskan perkara berdasarkan konstruksi pemahaman pada
peraturan perundang-undangan dan nurani mereka sendiri. Dalam perspektif inilah
Jimly selaku orang yang pernah dipercaya dalam dua periode menjadi ketua DK KPU
dan sekarang ketua DKPP, terlihat dengan ikhtiar intelektualnya mengajak kita
terutama elit pemimpin negara untuk memikirkan dan menyiapkan “ethics infra-structure in public
offices” dalam rangka pengembangan
sistem etika berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila. Maka titik temu
persinggungan konsep sistem demokrasi modern dan sistem hukum modern terlihat
dari ide pengembangan ‘rule of
law and the rule of ethics’ untuk
saling menopang.
__________________________________________
Oleh: Rahman Yasin, Mhs. S2
Komunikasi Politik, Univ. Muhammadiyah Jakarta, dan penulis buku: Gagasan Islam
tentang Demokrasi.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar