Selasa, 08 April 2014

Pemilu Berintegritas (Sebuah Perspektif Awal Memahami Gagasan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.)



Oleh : Rahman Yasin

 Buku berjudul Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu ini adalah karya salah satu dari tokoh kunci pelopor berdirinya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan merupakan ketua pertama (2003-2008) Jimly Asshiddiqie, dan salah seorang pemikir, tokoh intelektual kontemporer, dan sekaligus pelaku dalam peradilan hukum dan peradilan etika yang concen pada masalah-masalah perbaikan etika baik etika keilmuan, etika politik dan etika pemerintahan dalam negara demokrasi modern. Keunggulan buku ini terletak pada kesungguhan menganalisis dengan menyerap nalar kritis intelektual penulis sebagai sosok cendikiawan yang membaca peristiwa-peristiwa faktual dan memproyeksi realitas kekinian dengan disertakan ide-ide kebangsaan dan kenegaraan untuk masa yang akan datang.
Betapa pemilu memiliki arti penting dalam proses transformasi kedaulatan rakyat, sekaligus punya hakikat filosofis yang mendalam, karena lewat pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) dan jujur, adil (jurdil) akan tercipta suasana sirkulasi kepemimpinan tingkat lokal dan nasional tertib dan damai. Dalam perspektif ini, penulis menekankan penyelenggara agar senantiasa menciptakan iklim kompetisi dan kerjasama yang komplementer (competition and cooperation) secara simultan. Potret penyelenggaraan pemilu kerapkali menampilkan kisah yang kurang menarik untuk didengar. Perpolitikan lewat pilar demokrasi kedua ini seringkali diwarnai dengan berbagai praktik penyimpangan. Manipulasi, penyelewengan, tindakan diskriminatif, dan praktik korupsi, kolusi, nepotisme dan ketidaknetralan penyelenggara atau turut menjadi pemain terus berkembang seakan-seakan berantai sehingga menguras energi besar bangsa dalam melakukan penataan sistem yang baik. Sistem yang baik sekalipun tetapi bila dijalankan para aktor bermental korup dan berkarakter ganda tentu tidak akan melahirkan solusi persoalan bangsa. Realitas ini terjadi di republik ini yang sebenarnya sebagai negara demokrasi ketiga di dunia.
Integritas dan kredibilitas anggota penyelenggara pemilu sejatinya menjadi perhatian utama dalam membangun kualitas demokrasi yang bermartabat sehingga cita-cita menghasilkan pemimpin bangsa yang bermatabat pun diharapkan bisa terwujud melalui instrumen pemilu. Perbaikan kualitas moral berbangsa salah satunya lewat memperkuat basis integritas kemandirian penyelenggara pemilu. DKPP dalam perspektif ethics sejatinya dibentuk menjadi sarana dimana terjadi transformasi etika terapan bersifat etis dan aktual yang secara langsung maupun tidak langsung berimplikasi pada perbaikan moralitas berbangsa. Proses penyelenggaraan pemilu yang menautkan etika teoritis dan etika terapan sebagai perwujudan pelaksanaan etika terapan.
Dari grand theory, tujuan Jimly tidak lain memfokuskan perhatian pada penguatan basis etika terapan. Profesionalisme pejabat publik menurutnya hal utama yang patut diperhatikan. DKPP berdasarkan amanat UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dituntut menegakkan kode etik penyelenggara pemilu. Penegakan kode etik dengan pendekatan ‘rule of law and the rule of ethics’. Tugas DKPP menjadikan nilai (value) sebagai sistem norma yang dipercayai masyarakat dan sebisa mungkin membangunkan harapan publik atau sebagai “the believed capacity of any object to statistfy a human desire”. Menjadikan lembaga ini sebagai instrumen demokrasi yang mencitrakan dirinya dengan nilai kebaikan bersama tanpa keberpihakan.
Pemahaman politik elite curculation umumnya tidak berjalan dinamis, melainkan praktik perebutan kekuasaan dengan berbagai kreatifitas (power aggrandizement) dan dalam situasi tertentu praktik kekuasaan absolute  umumnya terutama calon incunbent selalu memanfaatkan fasilitas negara untuk aktifitas kampanye. Proses dan hasil pemilu demokratis sangat ditentukan oleh sistem peraturan dan perundang-undangan—electoral laws dan electoral processe yang dalam penanganan kode etik pemilu menyangkut perilaku anggota KPU dan Bawaslu di semua jajaran.
Pada Bab pertama buku ini, penulis mengawali dengan pendahuluan, dan Bab kedua beranjak pada pembahasan sejarah singkat DK KPU sebagai embrional yang melahirkan ide terbentuknya DKPP. Sementara Bab ketiga, secara akademis mengulas konsep etika dalam kemasyarakatan dan kebangsaan, sedangkan Bab keempat meningkat penjelasan mengenai mekanisme penegakan kode etik dalam perspektif DKPP, dan Bab kelima, merupakan bab penutup dengan mengulas etika dalam konteks penyelenggara pemilu. Buku ini membincangkan sistem pemilu, metode penegakan etik pemilu dengan menampilkan data-data terkait pelanggaran kode etik pemilu beserta penyelesaiannya pada tahun pertama lembaga penegak kode etik pemilu ini sehingga secara sosiologis mengajak pembaca bersikap kritis pada anggota penyelenggara pemilu. Untuk menghasilkan pemilu demokratis diperlukan pemahaman konseptual dan implementasi sistem peraturan perundang-undangan. Berperilaku profesional merupakan unsur penting mewujudkan pemilu luber jurdil. Perilaku etik jadi cermin karakter pribadi sehingga dalam proses peradilan etik DKPP dapat diketahui apakah suatu dugaan pelanggaran yang diadukan betul-betul terjadi atau tidak.
Dari konteks penataan kapasitas dan integritas, Jimly yang dalam tradisi praktik kepemimpinan intelektual—menekankan keutamaan ide sebagai kerangka dasar dalam pengambilan kebijakan, dan dari perspektif penyelenggara pemilu, Jimly menitiberatkan agar proses perekrutan calon anggota penyelenggara hendaknya dilakukan dengan selektif agar mendapatkan penyelenggara yang memiliki kapasitas intelektual dan berkemampuan empirik mengelola tahapan pemilu. Penyelenggara sekurang-kurangnya memiliki modal sosial (social capital) dan “the social requisites for democracy”, Seymour Martin Lipset, menjadi unsur fundamental. Selain pribadi yang  “the social requisites for democracy” anggota penyelenggara harus memiliki konsep kehidupan demokrasi yang baik, “(d)emocracy survival and breakdown (are) a question of political crafting.”  Dengan demikian pemilu diharapkan menghasilkan pemimpin-pemimpin berintegritas.
Penegakan ‘rule of ethics’ merupakan tujuan utama dalam rangka menjamin integritas dan kredibilitas pemilu. Integritas menuntut sikap konsistensi pada nilai kebaikan—menyangkut etika, termasuk langkah sistematis, suatu metode, dan prinsip-prinsip nilai universal. Integritas dalam pengertian etika, yakni kejujuran dan kebenaran suatu tindakan seseorang. Titik tekan penegakkan kode etik pemilu menurut penulis yang juga beberapa kali pernah menjadi ketua DK KPU ini adalah modal integritas, kredibilitas dan profesionalisme merupakan dasar filosofis kebaikan internal seseorang yang secara psikologis memunculkan rasa kebajikan bersifat utuh dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab. Dengan menggunakan metodologi tipe idealnya, Jimly yang juga ketua DKPP, menguraikan makna bagaimana mentradisikan pemahaman pentingnya negara menyiapkan mekanisme penyelesaian suatu masalah atau setiap pertentangan di kalangan masyarakat dalam mencari keadilan. Maka DKPP dikembangkannya menjadi lembaga pengadilan etika. Peradilan etika yang menerapkan prinsip-prinsip ‘audi et alteram partem’, independensi, imparsialitas, dan akuntabel.
Jimly dengan latar belakang sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara, konstruksi ide mewujudkan peradilan DKPP yang bebas, mandiri, dan independen, tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) ditekankan pada aspek perilaku hakim yang menurutnya selain memberikan teladan bagi etika penegakan hukum, juga harus punya kesadaran filosofis dalam penegakan keadilan. Keadilan dalam perspektif ‘the rule of law’ diperlukan pemahaman ‘the rule of just law’, dan ini sangat ditentukan oleh sikap jujur, adil, dan independen setiap hakim. Maka setiap hakim hendaknya memiliki sikap yang otonomi absolut dalam menilai, memutuskan perkara berdasarkan konstruksi pemahaman pada peraturan perundang-undangan dan nurani mereka sendiri. Dalam perspektif inilah Jimly selaku orang yang pernah dipercaya dalam dua periode menjadi ketua DK KPU dan sekarang ketua DKPP, terlihat dengan ikhtiar intelektualnya mengajak kita terutama elit pemimpin negara untuk memikirkan dan menyiapkan “ethics infra-structure in public offices” dalam rangka pengembangan sistem etika berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila. Maka titik temu persinggungan konsep sistem demokrasi modern dan sistem hukum modern terlihat dari ide pengembangan ‘rule of law and the rule of ethics’ untuk saling menopang. 

                                __________________________________________
Oleh: Rahman Yasin, Mhs. S2 Komunikasi Politik, Univ. Muhammadiyah Jakarta, dan penulis buku: Gagasan Islam tentang Demokrasi.*





Tidak ada komentar:

Posting Komentar