Oleh : Rahman Yasin
Pemilihan
umum (pemilu) merupakan sarana utama memproses sirkulasi kepemimpinan bangsa di
semua level. Pemilu punya hakikat penting bagi perbaikan kehidupan masyarakat
bangsa. Pemilu juga jadi momentum transformasi demokrasi bangsa baik di tingkat
lokal maupun nasional. Begitu pentingnya pelaksanaan pemilu, elit politik
terpacu kreativitas untuk turut memeriahkan pertarungan merebut kekuasaan.
Pemilu telah menjadi ajang perhelatan kekuasaan politik sehingga wajar jika
pelaksanaan pemilu acapkali menggoda aktor-aktor pemilu untuk berperilaku
menyimpang. Penyelewengan penyelenggaraan pemilu umumnya dilakukan para aktor
yang notabene pelaksana sistem seperti KPU dan kontestan pemilu.
Kontestan
pemilu meliputi partai politik yang didalamnya terdapat para calon pemimpin.
Kontestan pemilu juga umumnya cenderung berlaku menyimpang ketika menyikapi
sebuah proses maupun hasil pemilu sehingga praktik kecurangan pelaksanaan
pemilu seringkali tidak terhindari.
Ketidaksiapan
calon pemimpin menerima kekalahan selalu menjadi faktor dominan yang mendorong
para kontestan pemilu berlaku curang. Kecurangan pemilu dilakukan secara
terstruktur, sistematis, dan massif. Memang praktek kejahatan penyelenggaraan
pemilu sangat bervariasi, namun kejahatan yang memicu krisis legitimasi sebuah
proses dan hasil pemilu adalah kejahatan dilakukan oknum penyelenggara pemilu
dengan memanfaatkan kewenangan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Pertanyaannya, mampukah Panja Mafia Pemilu mengungkap kasus
pemalsuan/penggelapan surat putusan MK?
Tidak
mudah menjawab pertanyaan diatas, perlu pendekatan multi kajian. Namun,
fakta praktek kejahatan terstruktur dan sistematis yang muncul di aparat
penyelenggara pemilu 2009 telah memicu perdebatan dan polemik penyelesaian yang
berkepanjangan. Kasus mafia pemilu hendaknya benar-benar jadi perhatian khusus
Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilu Komisi II DPR ditengah kabut hitam citra
lembaga negara tersebut sebagai institusi yang merepresentasikan kepentingan
rakyat.
Mafia
pemilu hampir dapat memastikan mantan anggota KPU, AN sebagai pelaku dibalik
pemalsuan/penggelapan surat putusan MK. Jika Panja Mafia Pemilu, Komisi II DPR
mampu mengungkap pelaku utama pemalsuan/penggelapan surat MK, maka persepsi
publik semakin kuat kalau proses dan hasil penyelenggaraan pemilu legislatif
2009 sarat manipulasi, dan penuh kebohongan publik. Cepat atau lambat seiring
semakin banyak yang melapor/mengadu pelanggaran penyelenggaraan pemilu 2009 ke
Panja Mafia
Pemilu,
semakin memperkuat asumsi kebobrokan penyelenggaraan pemilu 2009.
Praktek mafia pemilu sesungguhnya disebabkan
sikap kepicikan oknum yang tidak mengabaikan prinsip-prinsip kode etik
penyelenggara pemilu. Padahal kode
etik penyelenggara pemilu jadi titik tekan menegakan asas pemilu yang luber dan
jurdil. Bagaimana tidak, prinsip-prinsip kode etik penyelenggara pemilu
mencerminkan semangat keadilan individu maupun struktur sosial yang
komprehensif.
Dalam
kode etik ditegaskan, seorang penyelenggara hendaknya (1) menggunakan
kewenangan berdasarkan hukum; (2) bersikap dan bertindak non-partisan dan
imparsial; (3) bertindak transparan dan akuntabel; (4) melayani pemilih
menggunakan hak pilihnya; (5) tidak melibatkan diri dalam konflik kepentingan;
(6) bertindak profesional; dan (7) administrasi pemilu yang akurat.
Sangat
wajar bila masyarakat khalayak memusatkan perhatian pada partai Demokrat karena
dianggap melindung mantan anggota KPU, AN menjadi salah satu pengurus penting
di partai Demokrat. Sebagai partai pemenang pemilu tentu berbagai persepsi
spekulatif muncurigakan karena keberadaan AN yang lompat pagar dari KPU ke PD
di tengah-tengah masyarakat menuntut pemecatan dirinya karena ditemukan
indikasi intervensi kasus pemilu kada Kabupaten Toli toil, Sulawesi Tenggara.
Proses
pengungkapan pelaku utama dibalik pemalsuan/penggelapan surat putusan Mahkamah
Konstitusi (MK), bernomor 112/PAN.MK/VIII/2009, tanggal 17 Agustus 2009 terkait
kursi DPR dari Dapil I Sulawesi Selatan, Kepolisian kurang cekat. Masyarakat
tidak bisa mengabaikan, kinerja Kepolisian yang acapkali memicu kekecewaan
publik. Banyak kasus kejahatan korupsi dilakukan para pejabat negara yang masih
memiliki korelasi pengaruh kekuasaan tidak tuntas penanganannya.
Oleh karena itu, sangat disayangkan bila upaya baik yang ditunjukkan Ketua
MK, Mahfud MD, dalam mengungkap kebenaran siapa dibalik pemalsuan/penggelapan
surat putusan MK perlu di dukung semua stakeholder yang berkepentingan
dalam membangun kualitas demokrasi. Sangat disayangkan
jika kasus ini ditenggelamkan oleh isu lain kemudian menjadi kabur.
Pengungkapan kasus pemalsuan/penggelapan surat MK merupakan wujud
kebobrokan penyelenggaraan pemilu 2009, dan sangat berimplikasi negatif, tidak
hanya menyangkut citra PD tetapi sekaligus pencitraan Kepolisian di tengah
badai krissis kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum yang saat
ini memasuki usia ke 65. PD dihadapkan pada
situasi yang tidak menguntungkan, ditambah kontroversi keberadaan buronan
Interpol, M. Nazaruddin bendahara umum Partai Demokrat. Kondisi ini
memungkinkan bagi kekuatan-kekuatan lawan politik memanfaatkan kesempatan yang
ada untuk memukul Partai Demokrat dari berbagai arah.
Partai pesaing Partai Demokrat menggunakan isu kasus mafia pemilu dan
korupsi Sesmenpora yang menyeret sejumlah nama pengurus inti PD sebagai cambuk
memasung pencitraan negatif bagi partai yang didirikan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono ini. Partai penguasa ini terancam krisis
kepercayaan konstituennya jika kedua kasus besar ini tidak direspon dengan
aksi-aksi nyata yang lebih meyakinkan publik. Pertaruhan legitimasi proses
penyelenggaraan dan hasil pemilu 2009 sesungguhnya berujung pada pencitraan
positif tetapi sekaligus berimplikasi buruk bagi kepemimpinan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono yang juga sebagai Ketua Dewan Pembina PD.
Konsistensi PD sangat dibutuhkan publik dalam melihat proses penyelesaian
kasus mafia pemilu mengingat mahalnya harga sebuah pencitraan bagi sebuah
partai politik dalam kondisi yang kurang menguntungkan. Sebaliknya
penanganan kasus ini seyogyanya tidak dipolitisir/dimanipulir oleh kekuatan
politik di senayan untuk kepentingan investasi politik pemilu 2014. Yang paling
penting, kinerja optimal Panja Mafia pemilu untuk mengungkap
pemalsuan/penggelapan surat putusan MK hingga tuntas.
Tantangan Panja
Mafia Pemilu
Panja Mafia pemilu
harus mampu mengungkapkan kasus ini agar tidak lagi muncul teka-teki di senayan
terkait kursi haram yang diduduki oknum yang mengabaikan nurani kejujuran.
Tidak ada alasan bagi Panja Mafia pemilu untuk tidak mengungkapkan kasus ini,
karena DPR sebagai institusi yang menjalankan fungsi check and balances.
DPR
harus menggunakan hak politik konstitusional dengan memanggil, meminta
keterangan pihak-pihak yang dianggap penting untuk klarifikasi. Karena
data-data serta semua informasi yang dibutuhkan DPR sudah diberikan Ketua MK
Mahfud MD. Kemauan baik Ketua MK, Mahfud MD mengungkap kasus ini membutuhkan
dukungan parlemen dan institusi penegak hukum. Kepastian hukum untuk memastikan
siapa pelaku dibalik pemalsuan/penggelapan surat putusan MK menjadi sangat
penting agar tidak ada yang saling tuduh-menuduh apalagi menyalahkan satu sama
lain. Pengungkapan dan penyelesaian kasus mafia pemilu jadi sangat urgen untuk
menciptakan persepsi publik pada penyelenggaraan-penyelenggaraan pemilu di masa
mendatang.
Dalam kesaksian, Zainal dikatakan, tanggal 16/8/2009, hakim Arsyad Sanusi
menelpon dan meminta untuk dipertemukan dengan Dewi Yasin Limpo, dan perihal
tersebut langsung ditolak staf sekretariat MK (ZAH), namun tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu, Zainal didatangi dua tamu yang satunya mengaku sebagai Dewi
Limpo. Inti pertemuan dan pembicaraan dalam kesempatan ini, Dewi
menyampaikan bahwa dirinya menang tetapi tidak mendapatkan kursi.
Fakta
terbaru yang diungkap Tim Investigasi MK justru semakin memperkuat. Hakim MK,
Akil Mukhtar mengatakan, Tim Investigasi kembali menemukan fakta-fakta baru
yang menjurus kepada penguatan dugaan akan aktor intelektual dalam kasus ini.
Ada 4 aktor penting yang terlibat didalamnya, yakni mantan Hakim MK, Arsyad
Sanusi, Andi Nurpati, Dewi Yasin Limpo, dan Mashuri Hasan yang juga mantan staf
MK. Fakta baru ini tentu meyakinkan publik betapa semakin memperlemah posisi
AN. Apalagi hasil temuan investigasi MK menemukan kejanggalan-kejanggalan
antara lain, Hasan yang memindahkan tandatangan Panitera MK (ZAH) yang ada dalam
data komputer MK kedalam surat tentang penambahan perolehan suara bagi Partai
Hanura. Bahkan sebelumnya, Sekjen MK, Janedri M. Gaffar mengatakan, surat palsu
dibuat di salah satu apartemen di Kemayoran yang tidak lain ialah di rumah
mantan hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi.
Menyelamatkan
Demokrasi
Kasus
pemalsuan/penggelapan surat putusan MK adalah wujud ancaman demokratisasi
khususnya dalam proses penyelenggaraan pemilu. Demokrasi kian mengalami
kemajuan dalam aspek kebebasan masyarakat menggunakan preferensi politik
memilih pemimpin berdasarkan hati nurani tengah dihadapkan dengan perilaku
politik elit yang paradok. Nilai-nilai demokrasi yang fundamental seperti
keadilan dicoreng untuk kepentingan kekuasaan elit tertentu.
Kondisi
buruk ini tidak boleh terus dibiarkan karena akan terus mengancam kualitas
penyelenggaraan pemilu 2014. Tidak ada alasan bagi pemerintah dan DPR terutama
Panja Mafia Pemilu, selain membongkar kasus mafia pemilu sebagai bagian penting
membangun pencitraan baik bagi proses dan hasil pemilu 2009 secara baik, juga
sekaligus menekankan pentingnya bagaimana menata sistem penyelenggara pemilu
yang mandiri, akuntabel, profesional, dan proporsional. Keberanian serta sikap
kearifan lokal dari semua pihak yang terlibat dalam mafia pemilu untuk mengakui
secara kesatria atas pelanggaran menjadi sangat berarti bagi bangsa ke depan.
Masyarakat
butuh perilaku politik elit yang jujur dengan santun dan mengedepankan
kepentingan bangsa dan negara. Pengakuan secara jujur atas kekeliruan dan
kekhilafan kepada masyarakat akan lebih memicu rasa empati rakyat
daripada memungkiri hingga meruncing kemarahan masyarakat terhadap oknum yang
diduga kuat sebagai aktor intelektual. Sikap legowo, dan keberanian mengakui
kesalahan jauh lebih terpuji bahkan akan mendapat dukungan rakyat untuk
dimaafkan daripada terus memperthankan kesalahan. Karena pada dasarnya, semua
kebohongan apapun yang disembunyikan, lambat laun akan terungkap.
Perbaikan sistem penyelenggaraan pemilu tidak hanya jadi tuntutan tetapi
sudah menjadi suatu keniscayaan apabila negeri ini mau keluar dari berbagai
problem penyelenggaraan pemilu. Karena sistem yang
kuat dan mengikat akan mampu menciptakan kondisi penyelenggaraan yang baik
pula. Sistem menurut L James Havery, sebagai sebuah prosedur logis dan
rasional. Karena lewat sistem akan dirancang suatu komponen yang secara
langsung berkorelasi dengan unsur-unsur lain dalam suatu komponen. Sistem juga
akan merangkai setiap unsur menjadi satu kesatuan dalam usaha mencapai tujuan
bernegara sebagaimana yang telah diamanatkan UUD 1945. Sistem juga menurut John
Mc. Manama, sebuah struktur konseptual yang dibangun berdasarkan fungsi-fungsi
untuk saling menunjang satu sama lain guna mencapai suatu hasil secara efektif
dan efisien.
Reformasi sistem pemilu tidak hanya menyentuh perbaikan mekanisme organik
seperti kelembagaan KPU dan Bawaslu tetapi juga sistem perekrutan anggota KPU
dan Bawaslu harus benar-benar diperketat terutama dalam kualifikasi kualitas
SDM dan kualitas pribadi secara etik. Kualitas penguasaan
penyelenggaraan pemilu baik dari perspektif pemahaman peraturan
perundang-undangan maupun kerangka implementasi, dan operasionalisasi
undang-undang secara komprehensif menjadi sangat substansial.*
_________________________
Penulis adalah
Pegiat Masalah Kepemiluan Di Indonesia.
Jakarta, 17
September 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar