Kamis, 17 April 2014

Pemilu dan Praktik Oportunistik Kekuasaan



Oleh : Rahman Yasin
Pemilihan umum (pemilu) merupakan sarana utama memproses sirkulasi kepemimpinan bangsa di semua level. Pemilu punya hakikat penting bagi perbaikan kehidupan masyarakat bangsa. Pemilu juga jadi momentum transformasi demokrasi bangsa baik di tingkat lokal maupun nasional. Begitu pentingnya pelaksanaan pemilu, elit politik terpacu kreativitas untuk turut memeriahkan pertarungan merebut kekuasaan. Pemilu telah menjadi ajang perhelatan kekuasaan politik sehingga wajar jika pelaksanaan pemilu acapkali menggoda aktor-aktor pemilu untuk berperilaku menyimpang. Penyelewengan penyelenggaraan pemilu umumnya dilakukan para aktor yang notabene pelaksana sistem seperti KPU dan kontestan pemilu.
Kontestan pemilu meliputi partai politik yang didalamnya terdapat para calon pemimpin. Kontestan pemilu juga umumnya cenderung berlaku menyimpang ketika menyikapi sebuah proses maupun hasil pemilu sehingga praktik kecurangan pelaksanaan pemilu seringkali tidak terhindari.
Ketidaksiapan calon pemimpin menerima kekalahan selalu menjadi faktor dominan yang mendorong para kontestan pemilu berlaku curang. Kecurangan pemilu dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif. Memang praktek kejahatan penyelenggaraan pemilu sangat bervariasi, namun kejahatan yang memicu krisis legitimasi sebuah proses dan hasil pemilu adalah kejahatan dilakukan oknum penyelenggara pemilu dengan memanfaatkan kewenangan untuk kepentingan kelompok tertentu. Pertanyaannya, mampukah Panja Mafia Pemilu mengungkap kasus pemalsuan/penggelapan surat putusan MK?
Tidak mudah menjawab pertanyaan diatas, perlu pendekatan multi kajian. Namun, fakta praktek kejahatan terstruktur dan sistematis yang muncul di aparat penyelenggara pemilu 2009 telah memicu perdebatan dan polemik penyelesaian yang berkepanjangan. Kasus mafia pemilu hendaknya benar-benar jadi perhatian khusus Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilu Komisi II DPR ditengah kabut hitam citra lembaga negara tersebut sebagai institusi yang merepresentasikan kepentingan rakyat.
Mafia pemilu hampir dapat memastikan mantan anggota KPU, AN sebagai pelaku dibalik pemalsuan/penggelapan surat putusan MK. Jika Panja Mafia Pemilu, Komisi II DPR mampu mengungkap pelaku utama pemalsuan/penggelapan surat MK, maka persepsi publik semakin kuat kalau proses dan hasil penyelenggaraan pemilu legislatif 2009 sarat manipulasi, dan penuh kebohongan publik. Cepat atau lambat seiring semakin banyak yang melapor/mengadu pelanggaran penyelenggaraan pemilu 2009 ke Panja Mafia
Pemilu, semakin memperkuat asumsi kebobrokan penyelenggaraan pemilu 2009.
Praktek mafia pemilu sesungguhnya disebabkan sikap kepicikan oknum yang tidak mengabaikan prinsip-prinsip kode etik penyelenggara pemilu. Padahal  kode etik penyelenggara pemilu jadi titik tekan menegakan asas pemilu yang luber dan jurdil. Bagaimana tidak, prinsip-prinsip kode etik penyelenggara pemilu mencerminkan semangat keadilan individu maupun struktur sosial yang komprehensif.
Dalam kode etik ditegaskan, seorang penyelenggara hendaknya (1) menggunakan kewenangan berdasarkan hukum; (2) bersikap dan bertindak non-partisan dan imparsial; (3) bertindak transparan dan akuntabel; (4) melayani pemilih menggunakan hak pilihnya; (5) tidak melibatkan diri dalam konflik kepentingan; (6) bertindak profesional; dan (7) administrasi pemilu yang akurat.
Sangat wajar bila masyarakat khalayak memusatkan perhatian pada partai Demokrat karena dianggap melindung mantan anggota KPU, AN menjadi salah satu pengurus penting di partai Demokrat. Sebagai partai pemenang pemilu tentu berbagai persepsi spekulatif muncurigakan karena keberadaan AN yang lompat pagar dari KPU ke PD di tengah-tengah masyarakat menuntut pemecatan dirinya karena ditemukan indikasi intervensi kasus pemilu kada Kabupaten Toli toil, Sulawesi Tenggara.
Proses pengungkapan pelaku utama dibalik pemalsuan/penggelapan surat putusan Mahkamah Konstitusi (MK), bernomor 112/PAN.MK/VIII/2009, tanggal 17 Agustus 2009 terkait kursi DPR dari Dapil I Sulawesi Selatan, Kepolisian kurang cekat. Masyarakat tidak bisa mengabaikan, kinerja Kepolisian yang acapkali memicu kekecewaan publik. Banyak kasus kejahatan korupsi dilakukan para pejabat negara yang masih memiliki korelasi pengaruh kekuasaan tidak tuntas penanganannya.
Oleh karena itu, sangat disayangkan bila upaya baik yang ditunjukkan Ketua MK, Mahfud MD, dalam mengungkap kebenaran siapa dibalik pemalsuan/penggelapan surat putusan MK perlu di dukung semua stakeholder yang berkepentingan dalam membangun kualitas demokrasi. Sangat disayangkan jika kasus ini ditenggelamkan oleh isu lain kemudian menjadi kabur.
Pengungkapan kasus pemalsuan/penggelapan surat MK merupakan wujud kebobrokan penyelenggaraan pemilu 2009, dan sangat berimplikasi negatif, tidak hanya menyangkut citra PD tetapi sekaligus pencitraan Kepolisian di tengah badai krissis kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum yang saat ini memasuki usia ke 65. PD dihadapkan pada situasi yang tidak menguntungkan, ditambah kontroversi keberadaan buronan Interpol, M. Nazaruddin bendahara umum Partai Demokrat. Kondisi ini memungkinkan bagi kekuatan-kekuatan lawan politik memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memukul Partai Demokrat dari berbagai arah.
Partai pesaing Partai Demokrat menggunakan isu kasus mafia pemilu dan korupsi Sesmenpora yang menyeret sejumlah nama pengurus inti PD sebagai cambuk memasung pencitraan negatif bagi partai yang didirikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini. Partai penguasa ini terancam krisis kepercayaan konstituennya jika kedua kasus besar ini tidak direspon dengan aksi-aksi nyata yang lebih meyakinkan publik. Pertaruhan legitimasi proses penyelenggaraan dan hasil pemilu 2009 sesungguhnya berujung pada pencitraan positif tetapi sekaligus berimplikasi buruk bagi kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga sebagai Ketua Dewan Pembina PD.
Konsistensi PD sangat dibutuhkan publik dalam melihat proses penyelesaian kasus mafia pemilu mengingat mahalnya harga sebuah pencitraan bagi sebuah partai politik dalam kondisi yang kurang menguntungkan. Sebaliknya penanganan kasus ini seyogyanya tidak dipolitisir/dimanipulir oleh kekuatan politik di senayan untuk kepentingan investasi politik pemilu 2014. Yang paling penting, kinerja optimal Panja Mafia pemilu untuk mengungkap pemalsuan/penggelapan surat putusan MK hingga tuntas.

Tantangan Panja Mafia Pemilu
Panja Mafia pemilu harus mampu mengungkapkan kasus ini agar tidak lagi muncul teka-teki di senayan terkait kursi haram yang diduduki oknum yang mengabaikan nurani kejujuran. Tidak ada alasan bagi Panja Mafia pemilu untuk tidak mengungkapkan kasus ini, karena DPR sebagai institusi yang menjalankan fungsi check and balances.
DPR harus menggunakan hak politik konstitusional dengan memanggil, meminta keterangan pihak-pihak yang dianggap penting untuk klarifikasi. Karena data-data serta semua informasi yang dibutuhkan DPR sudah diberikan Ketua MK Mahfud MD. Kemauan baik Ketua MK, Mahfud MD mengungkap kasus ini membutuhkan dukungan parlemen dan institusi penegak hukum. Kepastian hukum untuk memastikan siapa pelaku dibalik pemalsuan/penggelapan surat putusan MK menjadi sangat penting agar tidak ada yang saling tuduh-menuduh apalagi menyalahkan satu sama lain. Pengungkapan dan penyelesaian kasus mafia pemilu jadi sangat urgen untuk menciptakan persepsi publik pada penyelenggaraan-penyelenggaraan pemilu di masa mendatang.
Dalam kesaksian, Zainal dikatakan, tanggal 16/8/2009, hakim Arsyad Sanusi menelpon dan meminta untuk dipertemukan dengan Dewi Yasin Limpo, dan perihal tersebut langsung ditolak staf sekretariat MK (ZAH), namun tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, Zainal didatangi dua tamu yang satunya mengaku sebagai Dewi Limpo. Inti pertemuan dan pembicaraan dalam kesempatan ini, Dewi menyampaikan bahwa dirinya menang tetapi tidak mendapatkan kursi.
Fakta terbaru yang diungkap Tim Investigasi MK justru semakin memperkuat. Hakim MK, Akil Mukhtar mengatakan, Tim Investigasi kembali menemukan fakta-fakta baru yang menjurus kepada penguatan dugaan akan aktor intelektual dalam kasus ini. Ada 4 aktor penting yang terlibat didalamnya, yakni mantan Hakim MK, Arsyad Sanusi, Andi Nurpati, Dewi Yasin Limpo, dan Mashuri Hasan yang juga mantan staf MK. Fakta baru ini tentu meyakinkan publik betapa semakin memperlemah posisi AN. Apalagi hasil temuan investigasi MK menemukan kejanggalan-kejanggalan antara lain, Hasan yang memindahkan tandatangan Panitera MK (ZAH) yang ada dalam data komputer MK kedalam surat tentang penambahan perolehan suara bagi Partai Hanura. Bahkan sebelumnya, Sekjen MK, Janedri M. Gaffar mengatakan, surat palsu dibuat di salah satu apartemen di Kemayoran yang tidak lain ialah di rumah mantan hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi.

Menyelamatkan Demokrasi
Kasus pemalsuan/penggelapan surat putusan MK adalah wujud ancaman demokratisasi khususnya dalam proses penyelenggaraan pemilu. Demokrasi kian mengalami kemajuan dalam aspek kebebasan masyarakat menggunakan preferensi politik memilih pemimpin berdasarkan hati nurani tengah dihadapkan dengan perilaku politik elit yang paradok. Nilai-nilai demokrasi yang fundamental seperti keadilan dicoreng untuk kepentingan kekuasaan elit tertentu.
Kondisi buruk ini tidak boleh terus dibiarkan karena akan terus mengancam kualitas penyelenggaraan pemilu 2014. Tidak ada alasan bagi pemerintah dan DPR terutama Panja Mafia Pemilu, selain membongkar kasus mafia pemilu sebagai bagian penting membangun pencitraan baik bagi proses dan hasil pemilu 2009 secara baik, juga sekaligus menekankan pentingnya bagaimana menata sistem penyelenggara pemilu yang mandiri, akuntabel, profesional, dan proporsional. Keberanian serta sikap kearifan lokal dari semua pihak yang terlibat dalam mafia pemilu untuk mengakui secara kesatria atas pelanggaran menjadi sangat berarti bagi bangsa ke depan.
Masyarakat butuh perilaku politik elit yang jujur dengan santun dan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Pengakuan secara jujur atas kekeliruan dan kekhilafan kepada masyarakat akan lebih memicu rasa empati  rakyat daripada memungkiri hingga meruncing kemarahan masyarakat terhadap oknum yang diduga kuat sebagai aktor intelektual. Sikap legowo, dan keberanian mengakui kesalahan jauh lebih terpuji bahkan akan mendapat dukungan rakyat untuk dimaafkan daripada terus memperthankan kesalahan. Karena pada dasarnya, semua kebohongan apapun yang disembunyikan, lambat laun akan terungkap.
Perbaikan sistem penyelenggaraan pemilu tidak hanya jadi tuntutan tetapi sudah menjadi suatu keniscayaan apabila negeri ini mau keluar dari berbagai problem penyelenggaraan pemilu. Karena sistem yang kuat dan mengikat akan mampu menciptakan kondisi penyelenggaraan yang baik pula. Sistem menurut L James Havery, sebagai sebuah prosedur logis dan rasional. Karena lewat sistem akan dirancang suatu komponen yang secara langsung berkorelasi dengan unsur-unsur lain dalam suatu komponen. Sistem juga akan merangkai setiap unsur menjadi satu kesatuan dalam usaha mencapai tujuan bernegara sebagaimana yang telah diamanatkan UUD 1945. Sistem juga menurut John Mc. Manama, sebuah struktur konseptual yang dibangun berdasarkan fungsi-fungsi untuk saling menunjang satu sama lain guna mencapai suatu hasil secara efektif dan efisien.
Reformasi sistem pemilu tidak hanya menyentuh perbaikan mekanisme organik seperti kelembagaan KPU dan Bawaslu tetapi juga sistem perekrutan anggota KPU dan Bawaslu harus benar-benar diperketat terutama dalam kualifikasi kualitas SDM dan kualitas pribadi secara etik. Kualitas penguasaan penyelenggaraan pemilu baik dari perspektif pemahaman peraturan perundang-undangan maupun kerangka implementasi, dan operasionalisasi undang-undang secara komprehensif menjadi sangat substansial.*

                                                                _________________________
Penulis adalah Pegiat Masalah Kepemiluan Di Indonesia.




Jakarta,    17 September 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar