Oleh: Rahman Yasin
(Alumni Pendidikan Kewarganegaraan Bela Negara Tahun 2008)
I. Geografis Indonesia
Indonesia mempunyai luas laut 5,8 juta km2 dan merupakan ¾ dari total
wilayah Indonesia. Menurut data yang dihimpun dari berbagai sumber disebutkan,
luas wilayah laut tersebut terdiri atas 0,3 juta km2 laut territorial, 2,8 juta
km2 laut Nusantara, dan 2,7 juta km2 laut masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI). Sementara, luas wilayah laut 17.504 juta km2 dan diapit oleh
pantai yang luasnya mencapai 95.161 km2 menjadi catatan tersendiri karena
dengan demikian, Indonesia menjadi negara yang memiliki luas pantai terpanjang
kedua di dunia setelah Kanada.
Deklarasi Djoeanda pada tanggal 13 Desember 1957
merupakan tonggak penggerak Indonesia sebagai negara maritim. Proses
perjuangan para the founding fathers memperjuangkan status legitimasi
dunia Internasional untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki
kekayaan laut yang luas, penuh tantangan, hambatan, dan rintangan. Deklarasi
Djoeanda tahun 1957 merupakan titik tolak bangsa Indonesia menuju proses
legitimasi dunia atas luas wilayah laut dan batas perairan Indonesia secara
keseluruhan.
Kebijakan pemerintahan era reformasi patut
menjadi refleksi historis bagi generasi muda di era globalisasi saat ini,
semenjak memasuki fase pemerintahan reformasi dari Presiden Abdurrahman Wahid
(Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
bangsa Indonesia disegarkan ingatan sebagai anak bangsa ditengah hiruk-pikuk
pertarungan keras multi-ideologi—kapitalisme, liberalisme, sekularisme,
komunisme, dan sosialisme-religius, mengenai betapa penting dan strategisnya
menjadikan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara, sebagaimana ditetapkan
dalam Kepres No. 12/2001.
Keberadaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang dikelilingi dua benua dan dua samudera secara otomatis
sangat strategis dari sisi geografis dan geo-politik. Karena melalui dua benua
tersebut proses transformasi ekonomi dan pergulatan ideologi terjadi secara
massif. Masyarakat Internasional khususnya kelompok masyarakat industrialis
senantiasa berhadapan dengan proses transformasi sehingga secara otomatis
berperan sebagai aktor penting melakukan interaksi sosial secara terbuka
seiring diberlakukan era afta, dan hal ini sangat memungkinkan Indonesia
menambah devisa negara. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki berbagai
potensi sumber kekayaan alam yang melimpah baik di lautan maupun di daratan.
Modal kekayaan alam melimpah menjadi salah satu
sumber kekuatan ekonomi negara, selain berhadapan dengan arus kuat globalisasi
dan tantangan dunia global, pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya
manusia (SDM), sebagai upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi dan membentuk
masyarakat berbasis Imtaq, dan Iptek harus jadi perhatian serius pemerintah.
Satu hal yang menarik dari masyarakat Indonesia
di era yang serba bebas, yakni, ditengah kompetisi ekonomi global yang keras
dan seiring menguatnya isu demokratisasi di semua dimensi kehidupan, masyarakat
Indonesia umumnya masih meyakini Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar filosofi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Maka, posisi Indonesia secara geografis akan
terus dihadapkan dengan berbagai tantangan, hambatan, dan rintangan, baik
bersifat internal maupun eksternal. Salah satu tantangan kehidupan berbangsa,
dan bernegara yang paling mengemuka ialah disintegrasi bangsa. Letupan-letupan
di beberapa daerah sesungguhnya menyimpan benih-benih disintegrasi bangsa.
Walau diktum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah merupakan harga
mati bagi bangsa yang merdeka, dan berdaulat sudah final, namun, pertanyaannya
ialah, kenapa masih saja muncul gerakan-gerakan separatisme dan
pemberontakan-pemberontakan di daerah seperti Papua dengan Organisasi Papua
Merdekanya (OPM) serta belakangan muncul sekelompok masyarakat di daerah
perbatasan menunjukan semakin pudar nasionalisme pada NKRI, bahkan cenderung
memilih alternatif yang pragmatis dengan alasan akses kehidupan ekonomi?
Peristiwa pisahnya Timor Timur, serta
lepasnya pulau Sipadanan dan Ligitan ke pangkuan Malaysia merupakan pil pahit
bagi Indonesia. Reformasi dan demokrasi telah membawa berbagai implikasi dan
konsekuensi kebangsaan yang memilukan disatu sisi, meskipun pada sisi lain
kemajuan perbaikan sistem ketatanegaraan nasional semakin membaik. Kasus
beralih kepemilikan pulau Sipadanan dan Ligitan dari Indonesia ke Malaysia
hendaknya dijadikan pelajaran mahal bagi semua elemen bangsa Indonesia,
khususnya pemerintah RI sebagai pemegang mandat rakyat.
Sebagai gagasan filosofi pembangunan karakter
suatu bangsa agar jadi kuat, dalam konsep Gandhi disebutkan sebagai “it is
not might that was right, but night which was might”, atau suatu konsep
kehidupan yang tidak saja menjadikan kekuatan fisikal sebagai alternatif utama
mencapai nilai-nilai kebenaran dalam mempertahankan eksistensi sebuah negara
melainkan bagaimana masyarakat dan negara secara kuat dan konsisten menggunakan
kebenaran sebagai inspirasi untuk menentukan kekuatan.
Artinya, upaya peningkatan pertahanan nasional
hendaknya di bangun dari basis psikologi individu untuk tetap rasa memiliki
ikatan emosional historis ke-Indonesiaan dan penguatan kapasitas dari aspek
kekuatan fisik berupa sistem pertahanan modern. Memadukan spirit nasionalisme
yang sarat dengan spirit filosofis dan kekuatan fisik yang tangguh merupakan
cara paling efektif. Karena krisis nasionalisme di masyarakat, umumnya karena
kurang memahami ideologi bangsa secara komprehensif. Akibatnya, yang terjadi
adalah sikap saling tidak percaya satu sama lain.
II. Korupsi Mengancam Disintegrasi Nasional
Praktik korupsi hampir menembus ke semua instansi pemerintah dan swasta bahkan
tidak saja menjadi budaya tetapi sudah menjadi program politik terselubung
partai politik dan birokrasi yang berkolaborasi dengan konglomerat-konglomerat
hitam. Kejahatan korupsi telah menyebabkan pemiskinan secara struktural maupun
kultural. Korupsi telah mengancam nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, dan
ironisnya, setiap pergantian rezim, praktik korupsi semakin menggurita. Hal ini
karena kejahatan korupsi di Indonesia, oleh pemerintah belum dicanangkan
sebagai sebuah kejahatan yang mematikan atau setara dengan lex feranda,
semacam sebuah praktik genosida.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus
mencanangkan kejahatan korupsi menjadi musuh bersama masyarakat dunia
Internasional (hostis humany generis), karena dalam kejahatan korupsi
tersebut secara langsung pelaku koruptor menyerang nilai-nilai kolektivitas (community’s
values). Akibat kejahatan koruptor yang aktif merampas hak-hak masyarakat
yang tidak berdaya membuat Indonesia tidak saja dikenal sebagai negara
demokrasi ketiga di dunia tetapi juga menjadi salah satu negara terkorup di
dunia. Hasil survey badan independen menempatkan Indonesia termasuk kategori 10
besar yakni di nomor kelima sebagai salah satu Negara terkorup di dunia. Survey
badan independen ini melibatkan 146 negara. Indonesia masuk urutan kelima
setelah Uzerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, dan Indonesia. Korupsi telah
memasuki babak baru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sistem pemerintahan pusat dan daerah yang
semakin tidak jelas khususnya dalam kebijakan kordinatif terus memperlonggar
praktik kejahatan korupsi di tingkat elit. Desentralisasi yang semula didorong
untuk mewujudkan pemerintahan berbasis good governance tidak berjalan
efektif sehingga korupsi semakin merajalela hingga ke daerah-daerah.
Harus kita akui bahwa, perberlakukan otonomi
daerah sepenuhnya tidak mampu merespon kekecewaan masyarakat, bahkan
desentralisasi menghidupkan pelaku-pelaku korupsi di tingkat lokal. Otonomi
daerah yang semestinya menjadi titik balik reformasi dan demokrasi, dan sebagai
upaya negara memperkuat eksistensi NKRI, tetapi sebaliknya, otonomi daerah yang
memberikan kebebasan masing-masing daerah mengelola kekayaan untuk kepentingan
masyarakat daerah disalahgunakan oleh aktor-aktor politik lokal. Pelaksanaan
otonomi daerah di beberapa daerah tidak diimbangi dengan ketersediaan sumber
daya manusia daerah sehingga yang seringkali muncul ke permukaan justru makin
meningkat praktik kejahatan korupsi. Meski tesis ini tidak berlaku untuk semua
daerah, namun beberapa kasus penerapan otonomi daerah yang menyeret
pemimpin-pemimpin lokal ke meja pengadilan merupakan suatu fakta kegagalan
negara mengelola desentralisasi dan ketidaksiapan stakeholders daerah
merawat kepentingan masyarakat.
Kelemahan Indonesia dalam memberantas praktik
kejahatan korupsi ialah sikap ketidak-tegasan pemerintah dalam menegakan hukum.
Penegakan hukum tidak berdasarkan semangat equality
before the law. Penanganan kasus
korupsi belum dimaknai sebagai persoalan serius yang mengancam nasib hajat
orang banyak, padahal korupsi secara langsung maupun tidak langsung mengambil
hak orang lain dengan atas nama pembangunan.
Dalam konteks penanganan korupsi, hemat penulis,
hendaknya pemerintah berpegang pada semangat konvensi tingkat Internasional
yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun pada 2003 di Wina
yang melibatkan 107 negara. Sebuah forum dunia yang merancang format
pemberantasan korupsi di masing-masing negara (the Convention Against
Corruption). Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi pemerintah pusat dan
daerah untuk mewujudkan tata pemerintahan yang accountability dan openness
and disclosure, sebuah tata pemerintahan yang terbuka dan secara
konstitusional menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dengan konsisten. Dengan
pola pendekatan ini, maka akan secara efektif mampu memulihkan kepercayaan
rakyat.
III. Pentingnya Keseimbangan Pembangunan
Selama era pemerintahan Orde Baru, pembangunan
nasional cenderung hanya berkutat di tingkat pusat. Sentralisasi kekuasaan
dijadikan sebagai instrumen politik rezim Orde Baru untuk terus mengonsentrasi
pembangunan infrastruktur di tingkat pusat dan mengabaikan pembangunan mental.
Sementara problem kebangsaan yang kian melilit seperti selain problem sentralisasi
kebijakan pembangunan nasional, dan praktik penyimpangan kekuasaan yang di
lakukan oleh kalangan pelaku birokrasi nyaris tidak tersentuh.
Reformasi pada pertengahan
tahun 1998 adalah momentum emas yang semula menjadi harapan semua warga bangsa
Indonesia karena dengan reformasi diharapkan akan tercipta sistem kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih baik. Akan tetapi, sungguh
memprihatinkan, reformasi yang berjalan hingga memasuki tiga belas tahun belum
mampu meyakinkan masyarakat dengan menghadirkan kenyataan-kenyataan perbaikan
kehidupan rakyat dalam bidang ekonomi, pendidikan, hukum, dan sosial-budaya.
Reformasi dan demokrasi di satu sisi membawa perbaikan sistem politik semakin
baik secara fundamental tetapi dari sisi pembaruan sistem ekonomi masih menjadi
problem. Dan problem ketidakadilan pembangunan ekonomi merupakan potensi besar
yang memicu disintegrasi.
Ketidakadilan pembangunan ekonomi membuat
masyarakat daerah perbatasan kian sulit mendapatkan akses pendidikan yang layak
sehingga secara tidak langsung membuat warga mengalami frustasi sosial dan
memilih pilihan pragmatis. Diskriminasi pembangunan ekonomi, pendidikan, dan
ketidak-merataan kesejahteraan serta kurang perhatian pemerintah pusat dan
daerah terhadap masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan ini secara
otomatis terus membuat mereka semakin frustasi, bahkan sinis memandang
Indonesia sebagai negaranya sendiri. Hal ini karena kebijakan pembangunan
ekonomi selalu paradok dan bertentantangan dengan nilai-nilai luhur kebangsaan.
Kenyataan ini diperkuat dengan peran serta politisasi negara tertentu yang
notabene berkepentingan dengan agenda perpecahan NKRI. Negara-negara yang
mempunyai agenda terselubung, aktif memainkan isu-isu hak asasi manusia (Ham),
dan demokrasi sebagai alat strategis politisasi keutuhan NKRI.
Selama ini, pasca gerakan reformasi yang semula
dipicu oleh krisis ekonomi, Indonesia semakin mengalami kesulitan menghadang
isu-isu yang bermuatan pendiskreditan dari negara-negara luar seperti Amerika
Serikat dan Australia khususnya mengenai kebijakan pembangunan ekonomi yang
tidak seimbang. Isu-isu ketidakseimbangan, ketidakadilan, ketidakmerataan
pembangunan pusat dan daerah dijadikan strategi politik kepentingan negara
asing. Setting agenda politik kepentingan corporate negara asing
sangat kuat melalui cara-cara propaganda dengan memainkan isu pelanggaran Ham,
dan percepatan demokrasi.
Kasus lepasnya Timor
Timur dari NKRI tidak lepas dari wacana demokrasi dan pelanggaran Ham yang
digulirkan Amerika Serikat, dan Australia. Bahkan Amerika Serikat dan
Australia melalui kekuatan PPB dibawah Sekjen Kofi Annan memperlihatkan
intervensi politik. Sekjen PBB menjelang detik-detik dilaksanakan referendum
masyarakat Timor Timur, menyebutkan, ‘the decision has proven that Indonesia
had taken on responsibility to unsure that those responsible for the atrocities
in East Timor would be made accountable’. Sebuah pernyataan politik
yang menunjukan politik intervensi kekuatan negara asing terhadap keutuhan
NKRI.
Berdasarkan catatan sejarah, dalam proses
Deklarasi Djoeanda tahun 1957, ketika Perdana Menteri Djoenda mengumumkan luas
batas wilayah territorial dan maritim Indonesia, Australia dan Amerika Serikat
adalah dua negara yang menolak keras dalam penentuan luas batas wilayah
peraiaran Indonesia melalui Territorial ZEE Maritim Kringen Ordonantie. Namun
penolakan ini tidak mematahkan semangat tokoh Indonesia untuk terus
memperjuangkan hak-hak politik Indonesia. Politik luar negeri yang bebas dan
aktif, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Dr. Hasyim Djalal, dengan pendekatan
diplomasi (double-edged diplomacy), dan imperatif, mereka mampu
meyakinkan masyarakat Internasional melalui sebuah konsep Negara kepulauan (archipelagic
state) yang ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa
(United Nation Convention on Law of the Sea – UNCLOS) tahun 1982.
Dalam kaitan dengan pergulatan politik global,
kompetisi politik ekonomi lintas negara terus mengalami peningkatan, bahkan
sangat keras. Wajah politik double standard Amerika Serikat terhadap
kebijakan politik luar negeri sangat terlihat jelas. Kepentingan Amerika
Serikat terhadap disintegrasi suatu bangsa sangat kuat. Meminjam istilah
Stanley Hoffmann dalam sebuah karya ilmiahnya, menyebut posisi Amerika Serikat
pasca perang Dunia Kedua dalam konteks pertahanan dan keamanan, sebagai negara
yang adidaya berperan memegang kendali strategis untuk menentukan konstelasi
politik pertahanan keamanan dunia (World Disonder; Trubled Peace in the Post
Perry Wa Era (2000).
Apa relevansi Hari Nusantara dalam konteks
menggali potensi kekuatan bangsa untuk memperkuat pertahanan, dan keamanan,
dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan NKRI? Tugas utama
pemerintah merespon dinamika masyarakat daerah, khususnya warga yang
berdomisili di daerah-daerah perbatasan dengan memajukan kesejahteraan
kehidupan ekonomi, pendidikan, serta menanamkan nilai-nilai ideologi kebangsaan
secara filosofis sehingga dengan demikian problem ketidakadilan pembangunan
selama beberapa dekade ini bisa teratasi secara baik. Pemerintah pusat memiliki
tanggungjawab penting untuk kembali memulihkan kepercayaan masyarakat daerah
dengan menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya sekaligus membuka akses
pendidikan serta meningkatkan kualitas kedisiplinan, dan ketertiban penegakan
hukum.
Pemerintah pusat harus secara optimal terus
mendorong dan mendukung peran aktif pemerintah daerah melakukan aksi-aksi nyata
yang bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat daerah terutama masyarakat yang
tinggal di daerah perbatasan. Kemajuan pembangunan di segala dimensi kehidupan
harus mampu mewujudkan kehidupan masyarakat yang berperadaban tinggi secara
ideologis dan psikologis. Menanamkan nilai-nilai kemajemukan, kebhinekaan,
serta memperkuat ikatan kebersamaan kebangsaan dalam wadah NKRI, dengan terus
meningkatkan kapasitas, dan kepribadian setiap masyarakat terutama generasi
muda agar tetap hidup dan bergaul dengan sesama sebagai warga Indonesia.
IV. Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Daerah,
dan Proyeksi Pemetaan Pembangunan
Otonomi daerah atau desentralisasi tidak serta merta dijadikan sebagai
alasan utama pemerintah daerah maupun para aktor politisi lokal yang
berkolaborasi dengan elit-elit pusat sebagai satu-satunya kebebasan
mengeksploitasi kekayaan daerah tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Otonomi
daerah hendaknya disertai dengan penguatan sistem kontrol terhadap praktik illegal
logging, illegal mining, human trafficking, pencurian pasir, penyelundupan
Bahan Bakar Minyak (BBM), illegal migrant, beserta kejahatan-kejahatan
lain yang dapat merugikan negara. Desentralisasi harus mampu menjawab
tantangan, rintangan, dan hambatan, bahkan termasuk ancaman disintegrasi
bangsa. Jika otonomi daerah dan percepatan desentraalisasi sekadar memuaskan
nafsu politisi lokal dan aktor elit pusat, maka sudah barang tentu, nasib NKRI
tetap terus terancam.
Pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah harus
profesional, akuntabel, transparan, dan proporsional. Pemerintah pusat perlu
mengevaluasi kembali pemekaran daerah yang cendrung dijadikan alasan
pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat daerah tetapi pada kenyataannya
terus memiskinkan masyarakat daerah secara sturktural dan kultural. Bagaimana
pun, kasus pemekaran di beberapa daerah yang memicu disintegrasi nasional harus
dievaluasi kembali, guna tidak lagi memancing aktor politik lokal dan nasional
untuk tidak lagi memaksakan kehendak politik. Hal ini penting karena umumnya,
pemekaran daerah yang dilakukan cendrung bermuatan politis. Arogansi kekuasaan,
dan keserakahan ekonomi aktor politisi lokal dan pusat yang membabi buta perlu
dihindari melalui pendekatan sistem. Dalam kerangka ini, pemerintah pusat perlu
mengevaluasi kembali format pemekaran daerah sebagaimana yang termaktub dalam
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemerintah pusat, selain mendorong partisipasi
aktif masyarakat daerah dalam memainkan peran aktif dalam proses pengambilan
kebijakan pembangunan daerah serta memberikan fasilitas yang layak bagi
masyarakat untuk berkontribusi secara positif. Sekaligus menciptakan kondisi
yang kondusif dan konstruktif bagi masyarakat yang patuh hukum. Pemerintah
pusat dan daerah harus mewujudkan sistem pemerintahan yang koordinatif antara
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kebijakan pembangunan pusat ke
daerah harus merata terutama di sektor ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan
Hankam.
Meomentum Hari Nusantara tahun ini, hendaknya
mampu meningkatkan kualitas pembangunan dari sisi nation and character
building khususnya bagi kalangan generasi muda. Krisis identitas
kebangsaan, dan memudarnya rasa nasionalisme kebangsaan masyarakat terhadap
negara sebagai akibat ketidakmerataan pembangunan daerah hendaknya menjadi
perhatian serius pemerintah pusat. Momen Hari Nusantara juga harus
diorientasikan untuk pemberdayaan (empowering) semangat nasionalisme
kebangsaan di semua lapisan masyarakat dengan diisi kegiatan-kegiatan yang
bermuatan ilmiah, filosofis, historis, dan konstruktif terkait nilai-nilai
kebangsaan dan kebhinekaan agar masyarakat Indonesia dapat terketuk nurani
kebangsaan untuk kembali mereinternalisasi semangat pembentukan NKRI. Dalam
rangka mengantisipasi krisis kebudayaan khususnya kalangan generasi muda harus
menjadi prioritas pembangunan moral bangsa oleh negara.
Penguatan ideologi Pancasila sebagai basis
ekonomi kerakyatan, pendidikan, hukum, budaya, dan sosial politik bagi generasi
muda merupakan suatu kebutuhan yang mendesak, mengingat dekadensi moral, dan
krisis etika berbangsa di kalangan generasi muda kian memuncak. Dalam konteks
tersebut, transformasi nilai-nilai Pancasila sebagai basis filosofi kebangsaan
bagi masyarakat menjadi sangat fundamental. Sebagai pelajaran sejarah,
pengalaman doktrin nilai-nilai berbasis budaya sebagai legitimasi moralitas
bangsa terbukti efektif diterapkan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Dalam struktur dan format pembangunan masyarakat
yang heterogen seperti Indonesia, hemat penulis, apa yang menjadi catatan
monumental dari Max Weber tentang membangun karakter nasionalisme bangsa dari
sisi doktrin nilai budaya menjadi sangat penting diadopsi. Max Weber melahirkan
karya spektakulernya tentang ini, yakni “The Protestant Ethics and the
Spirit of Capitalism”, yang intinya Weber menawarkan secara filosofis,
bahwa nilai-nilai sosial yang terkandung dalam ajaran Protestanisme pernah
dijadikan sebagai pendorong bahkan pemotivasi bagi Calvinisme, Methodis, dan
lain-lain. Kebangkitan nasionalisme suatu negara tidak lepas dari kontribusi
wacana kebudayaan suatu bangsa itu sendiri, termasuk Indonesia.
Konsolidasi nasionalisme para the
founding fathers senantiasa didasari oleh inspirasi nilai-nilai budaya
kebangsaan. Perkumpulan sektoral dalam wadah Jong Java, Jong, Sumatera, Jong
Sulawesi, Jong Kalimantan, dan Jong Ambon merupakan gerakan-gerakan
konsolidatif menuju kemerdekaan RI. Organisasi Budi Utomo tahun 1908,
Muhammadiyah 1912, Nahdlatul Ulama tahun 1924, Sumpah Pemuda 1928 ialah
merupakan wujud nyata dimana pemuda Indonesia bertekad membebaskan bangsa
Indonesia dari penjajah, dan tanggal 17 Agustus 1945 merupakan momentum
bersejarah dalam perjuangan meraih kemerdekaan bangsa Indonesia.
Agenda pembangunan yang tidak kalah menarik
dalam momentum peringatan Hari Nusantara ke-12 kali ini, bagaimana pemerintah
pusat dan daerah memfasilitasi anak-anak bangsa yang berbakat, berprestasi
akademik tinggi, serta berdedikasi baik dan terukur secara kualitatif maupun
kuantitatif untuk memainkan peran-peran strategis berdasarkan kapasitas yang
dimiliki dalam proses pembangunan nasional. Pendidikan politik perlu didorong,
bahkan tugas pemerintah pusat dan daerah merekrut intelektual muda bangsa yang
benar-benar memiliki disiplin tanggungjawab yang tinggi untuk berkarya bagi
bangsa, dan negara.
Pemerintah Indonesia seyogyanya memanfaatkan
momentum Hari Nusantara sebagai kesempatan untuk mereintropeksi dan sekaligus
menjadikannya sebagai peluang untuk berbuat secara nyata bagi rakyat Indonesia.
Semua stakeholders harus mampu menerjemahkan sikap kepemimpinan bangsa
yang santun dan beradab sesuai kultur bangsa Indonesia. Yang dibutuhkan rakyat
Indonesia saat ini ialah keteladanan kepemimpinan.
Masyarakat membutuhkan pemimpin yang amanah,
mampu melakukan terobosan-terobosan progresif dan substansial. Khususnya
pemimpin nasional, berdasarkan amanat UUD 1945 hasil amandemen keempat
diberikan kewenangan penuh konstitusi, dimana Presiden adalah Kepala Negara (head
of the state), dan sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan (chief of the
ecsecutive power), dan juga sebagai Pemimpin Angkatan Perang atau dengan
kata lain, Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat
(AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Sistem ini tentu sesuai
dengan sistem presidensil yang saat ini menjadi sistem resmi pemerintahan
Indonesia. Dengan demikian, upaya meningkatkan kualitas pertahanan nasional
baik dari sisi militer maupun masyarakat sipil dalam konteks penguatan ideologi
bangsa menjadi keniscayaan. Pemerintah Indonesia harus berani dan tegas menentukan
kebijakan pembangunan dalam segala dimensi secara mandiri, profesional dan
akuntabel (right of self-determination), tanpa ketergantungan dan
didikte kepentingan negara lain.
Dalam konteks penguatan ketahanan nasional
Indonesia, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah secara konsisten dan
kontinyu melalui instansi-instansi terkait melakukan kerja-kerja nyata, dan
menetapkan program-program kebijakan pembangunan yang implementatif.
Modernisasi infrastruktur dan suprastruktur
pertahanan nasional baik secara organik dan nonorganik adalah sebuah keharusan
di satu sisi, dan pada sisi yang sama, reformasi sistem perekrutan Tentara
Nasional Indonesia khususnya Angkatan Laut, formatnya harus benar-benar
mempunyai kualifikasi yang ketat. Prioritas pengabdian pada bangsa, dan negara,
menegakan doktirn tradisi keprajuritan taat pada Sapta Marga. Artinya jiwa dan
semangat prajurit TNI benar-benar didasari oleh pengabdian pada bangsa, dan
negara.
Mendorong semua kekuatan elemen bangsa melalui stakeholders
yang berkepentingan secara langsung terhadap penguatan eksistensi NKRI.
Melibatkan kalangan masyarakat civil society sebagai kekuatan moral
intelektual untuk berperan memberikan pemahaman-pemahaman tentang bagaimana
tanggungjawab sebagai anak bangsa dalam mengamankan laut dengan kekuatan
maritim, serta membentuk pemikiran-pemikiran masyarakat yang berkarakter
kebangsaan. Menanamkan nilai-nilai nasionalisme ddan rasa bangga menjadi warga
negara Indonesia. Karena dengan proses pendekatan yang demikian, secara perlahan-lahan
akan tumbuh rasa kesadaran kebangsaan di masyarakat.
Eksistensi NKRI tetap akan eksis di bumi
nusantara apabila pola pendekatan pembangunan dalam segala dimensi kehidupan
dapat dilaksanakan secara merata, adil, dan penuh tanggungjawab. Persatuan
dan kesatuan bangsa akan tetap berdiri kokoh hanya dengan melalui semangat
ditegakannya keadilan dan kemakmuran bersama berdasarkan potensi kekayaan
sumber daya alam yang ada di tiap-tiap daerah. Pengelolaan sumber kekayaan alam
benar-benar berdasarkan prinsip demokrasi yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat.
Sebagai kata kunci, momen peringatan Hari
Nusantara ke-12 ini hendaknya tidak semata diperingati sebagai agenda seremoni
tahunan tanpa disertai dengan kegiatan-kegiatan dalam rangka merefleksikan
semangat sejarah perjuangan NKRI para the founding fathers saja tetapi
bagaimana menggali potensi sumber daya manusia generasi muda yang ada untuk
diagregasi dan ditransformasikan ke dalam program-program pembangunan nasional.
Dan yang tidak kalah penting ialah pemerintah terus mendorong upaya-upaya
membangun kesadaran cita-cita mulia para pejuang dan ditularkan pada semua
lapisan masyarakat kalangan militer dan sipil agar muncul kesadaran etik untuk
rasa memiliki NKRI.*
Artikel Lomba Karya Ilmiah
Deselenggarakan oleh Departemen Pertahanan RI
Dalam rangka Peringatan Hari Nusantara Nasional tahun 2011.
Tema Panitia:
“Melalui Peringatan Hari Nusantara,
Kita Perkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Dalam Wadah NKRI Dengan Meningkatkan Kemampuan Pertahanan Dalam Rangka Menuju
Negara Maritim“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar