Minggu, 13 April 2014

Keseimbangan Pembangunan Nasional dan Daerah Sebagai Modal Memperkokoh NKRI



Oleh: Rahman Yasin
 (Alumni Pendidikan Kewarganegaraan Bela Negara Tahun 2008)

 
I.      Geografis Indonesia
Indonesia mempunyai luas laut 5,8 juta km2 dan merupakan ¾ dari total wilayah Indonesia. Menurut data yang dihimpun dari berbagai sumber disebutkan, luas wilayah laut tersebut terdiri atas 0,3 juta km2 laut territorial, 2,8 juta km2 laut Nusantara, dan 2,7 juta km2 laut masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sementara, luas wilayah laut 17.504 juta km2 dan diapit oleh pantai yang luasnya mencapai 95.161 km2 menjadi catatan tersendiri karena dengan demikian, Indonesia menjadi negara yang memiliki luas pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Deklarasi Djoeanda pada tanggal 13 Desember 1957 merupakan tonggak penggerak Indonesia sebagai negara maritim.  Proses perjuangan para the founding fathers memperjuangkan status legitimasi dunia Internasional untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan laut yang luas, penuh tantangan, hambatan, dan rintangan. Deklarasi Djoeanda tahun 1957 merupakan titik tolak bangsa Indonesia menuju proses legitimasi dunia atas luas wilayah laut dan batas perairan Indonesia secara keseluruhan.
Kebijakan pemerintahan era reformasi patut menjadi refleksi historis bagi generasi muda di era globalisasi saat ini, semenjak memasuki fase pemerintahan reformasi dari Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bangsa Indonesia disegarkan ingatan sebagai anak bangsa ditengah hiruk-pikuk pertarungan keras multi-ideologi—kapitalisme, liberalisme, sekularisme, komunisme, dan sosialisme-religius, mengenai betapa penting dan strategisnya menjadikan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara, sebagaimana ditetapkan dalam Kepres No. 12/2001.
 Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dikelilingi dua benua dan dua samudera secara otomatis sangat strategis dari sisi geografis dan geo-politik. Karena melalui dua benua tersebut proses transformasi ekonomi dan pergulatan ideologi terjadi secara massif. Masyarakat Internasional khususnya kelompok masyarakat industrialis senantiasa berhadapan dengan proses transformasi sehingga secara otomatis berperan sebagai aktor penting melakukan interaksi sosial secara terbuka seiring diberlakukan era afta, dan hal ini sangat memungkinkan Indonesia menambah devisa negara. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki berbagai potensi sumber kekayaan alam yang melimpah baik di lautan maupun di daratan.
Modal kekayaan alam melimpah menjadi salah satu sumber kekuatan ekonomi negara, selain berhadapan dengan arus kuat globalisasi dan tantangan dunia global, pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), sebagai upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi dan membentuk masyarakat berbasis Imtaq, dan Iptek harus jadi perhatian serius pemerintah.
Satu hal yang menarik dari masyarakat Indonesia di era yang serba bebas, yakni, ditengah kompetisi ekonomi global yang keras dan seiring menguatnya isu demokratisasi di semua dimensi kehidupan, masyarakat Indonesia umumnya masih meyakini Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar filosofi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Maka, posisi Indonesia secara geografis akan terus dihadapkan dengan berbagai tantangan, hambatan, dan rintangan, baik bersifat internal maupun eksternal. Salah satu tantangan kehidupan berbangsa, dan bernegara yang paling mengemuka ialah disintegrasi bangsa. Letupan-letupan di beberapa daerah sesungguhnya menyimpan benih-benih disintegrasi bangsa. Walau diktum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah merupakan harga mati bagi bangsa yang merdeka, dan berdaulat sudah final, namun, pertanyaannya ialah, kenapa masih saja muncul gerakan-gerakan separatisme dan pemberontakan-pemberontakan di daerah seperti Papua dengan Organisasi Papua Merdekanya (OPM) serta belakangan muncul sekelompok masyarakat di daerah perbatasan menunjukan semakin pudar nasionalisme pada NKRI, bahkan cenderung memilih alternatif yang pragmatis dengan alasan akses kehidupan ekonomi?
Peristiwa pisahnya Timor Timur, serta  lepasnya pulau Sipadanan dan Ligitan ke pangkuan Malaysia merupakan pil pahit bagi Indonesia. Reformasi dan demokrasi telah membawa berbagai implikasi dan konsekuensi kebangsaan yang memilukan disatu sisi, meskipun pada sisi lain kemajuan perbaikan sistem ketatanegaraan nasional semakin membaik. Kasus beralih kepemilikan pulau Sipadanan dan Ligitan dari Indonesia ke Malaysia hendaknya dijadikan pelajaran mahal bagi semua elemen bangsa Indonesia, khususnya pemerintah RI sebagai pemegang mandat rakyat.
Sebagai gagasan filosofi pembangunan karakter suatu bangsa agar jadi kuat, dalam konsep Gandhi disebutkan sebagai “it is not might that was right, but night which was might”, atau suatu konsep kehidupan yang tidak saja menjadikan kekuatan fisikal sebagai alternatif utama mencapai nilai-nilai kebenaran dalam mempertahankan eksistensi sebuah negara melainkan bagaimana masyarakat dan negara secara kuat dan konsisten menggunakan kebenaran sebagai inspirasi untuk menentukan kekuatan.
Artinya, upaya peningkatan pertahanan nasional hendaknya di bangun dari basis psikologi individu untuk tetap rasa memiliki ikatan emosional historis ke-Indonesiaan dan penguatan kapasitas dari aspek kekuatan fisik berupa sistem pertahanan modern. Memadukan spirit nasionalisme yang sarat dengan spirit filosofis dan kekuatan fisik yang tangguh merupakan cara paling efektif. Karena krisis nasionalisme di masyarakat, umumnya karena kurang memahami ideologi bangsa secara komprehensif. Akibatnya, yang terjadi adalah sikap saling tidak percaya satu sama lain.

II.   Korupsi Mengancam Disintegrasi Nasional
Praktik korupsi hampir menembus ke semua instansi pemerintah dan swasta bahkan tidak saja menjadi budaya tetapi sudah menjadi program politik terselubung partai politik dan birokrasi yang berkolaborasi dengan konglomerat-konglomerat hitam. Kejahatan korupsi telah menyebabkan pemiskinan secara struktural maupun kultural. Korupsi telah mengancam nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, dan ironisnya, setiap pergantian rezim, praktik korupsi semakin menggurita. Hal ini karena kejahatan korupsi di Indonesia, oleh pemerintah belum dicanangkan sebagai sebuah kejahatan yang mematikan atau setara dengan lex feranda, semacam sebuah praktik genosida.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus mencanangkan kejahatan korupsi menjadi musuh bersama masyarakat dunia Internasional (hostis humany generis), karena dalam kejahatan korupsi tersebut secara langsung pelaku koruptor menyerang nilai-nilai kolektivitas (community’s values). Akibat kejahatan koruptor yang aktif merampas hak-hak masyarakat yang tidak berdaya membuat Indonesia tidak saja dikenal sebagai negara demokrasi ketiga di dunia tetapi juga menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Hasil survey badan independen menempatkan Indonesia termasuk kategori 10 besar yakni di nomor kelima sebagai salah satu Negara terkorup di dunia. Survey badan independen ini melibatkan 146 negara. Indonesia masuk urutan kelima setelah Uzerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, dan Indonesia. Korupsi telah memasuki babak baru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sistem pemerintahan pusat dan daerah yang semakin tidak jelas khususnya dalam kebijakan kordinatif terus memperlonggar praktik kejahatan korupsi di tingkat elit. Desentralisasi yang semula didorong untuk mewujudkan pemerintahan berbasis good governance tidak berjalan efektif sehingga korupsi semakin merajalela hingga ke daerah-daerah.
Harus kita akui bahwa, perberlakukan otonomi daerah sepenuhnya tidak mampu merespon kekecewaan masyarakat, bahkan desentralisasi menghidupkan pelaku-pelaku korupsi di tingkat lokal. Otonomi daerah yang semestinya menjadi titik balik reformasi dan demokrasi, dan sebagai upaya negara memperkuat eksistensi NKRI, tetapi sebaliknya, otonomi daerah yang memberikan kebebasan masing-masing daerah mengelola kekayaan untuk kepentingan masyarakat daerah disalahgunakan oleh aktor-aktor politik lokal. Pelaksanaan otonomi daerah di beberapa daerah tidak diimbangi dengan ketersediaan sumber daya manusia daerah sehingga yang seringkali muncul ke permukaan justru makin meningkat praktik kejahatan korupsi. Meski tesis ini tidak berlaku untuk semua daerah, namun beberapa kasus penerapan otonomi daerah yang menyeret pemimpin-pemimpin lokal ke meja pengadilan merupakan suatu fakta kegagalan negara mengelola desentralisasi dan ketidaksiapan stakeholders daerah merawat kepentingan masyarakat.
Kelemahan Indonesia dalam memberantas praktik kejahatan korupsi ialah sikap ketidak-tegasan pemerintah dalam menegakan hukum. Penegakan hukum tidak berdasarkan semangat equality before the law. Penanganan kasus korupsi belum dimaknai sebagai persoalan serius yang mengancam nasib hajat orang banyak, padahal korupsi secara langsung maupun tidak langsung mengambil hak orang lain dengan atas nama pembangunan.
Dalam konteks penanganan korupsi, hemat penulis, hendaknya pemerintah berpegang pada semangat konvensi tingkat Internasional yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun pada 2003 di Wina yang melibatkan 107 negara. Sebuah forum dunia yang merancang format pemberantasan korupsi di masing-masing negara (the Convention Against Corruption). Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mewujudkan tata pemerintahan yang accountability dan openness and disclosure, sebuah tata pemerintahan yang terbuka dan secara konstitusional menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dengan konsisten. Dengan pola pendekatan ini, maka akan secara efektif mampu memulihkan kepercayaan rakyat.   

III.     Pentingnya Keseimbangan Pembangunan
Selama era pemerintahan Orde Baru, pembangunan nasional cenderung hanya berkutat di tingkat pusat. Sentralisasi kekuasaan dijadikan sebagai instrumen politik rezim Orde Baru untuk terus mengonsentrasi pembangunan infrastruktur di tingkat pusat dan mengabaikan pembangunan mental. Sementara problem kebangsaan yang kian melilit seperti selain problem sentralisasi kebijakan pembangunan nasional, dan praktik penyimpangan kekuasaan yang di lakukan oleh kalangan pelaku birokrasi nyaris tidak tersentuh.
Reformasi pada pertengahan tahun 1998 adalah momentum emas yang semula menjadi harapan semua warga bangsa Indonesia karena dengan reformasi diharapkan akan tercipta sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih baik. Akan tetapi, sungguh memprihatinkan, reformasi yang berjalan hingga memasuki tiga belas tahun belum mampu meyakinkan masyarakat dengan menghadirkan kenyataan-kenyataan perbaikan kehidupan rakyat dalam bidang ekonomi, pendidikan, hukum, dan sosial-budaya. Reformasi dan demokrasi di satu sisi membawa perbaikan sistem politik semakin baik secara fundamental tetapi dari sisi pembaruan sistem ekonomi masih menjadi problem. Dan problem ketidakadilan pembangunan ekonomi merupakan potensi besar yang memicu disintegrasi.
Ketidakadilan pembangunan ekonomi membuat masyarakat daerah perbatasan kian sulit mendapatkan akses pendidikan yang layak sehingga secara tidak langsung membuat warga mengalami frustasi sosial dan memilih pilihan pragmatis. Diskriminasi pembangunan ekonomi, pendidikan, dan ketidak-merataan kesejahteraan serta kurang perhatian pemerintah pusat dan daerah terhadap masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan ini secara otomatis terus membuat mereka semakin frustasi, bahkan sinis memandang Indonesia sebagai negaranya sendiri. Hal ini karena kebijakan pembangunan ekonomi selalu paradok dan bertentantangan dengan nilai-nilai luhur kebangsaan. Kenyataan ini diperkuat dengan peran serta politisasi negara tertentu yang notabene berkepentingan dengan agenda perpecahan NKRI. Negara-negara yang mempunyai agenda terselubung, aktif memainkan isu-isu hak asasi manusia (Ham), dan demokrasi sebagai alat strategis politisasi keutuhan NKRI.
Selama ini, pasca gerakan reformasi yang semula dipicu oleh krisis ekonomi, Indonesia semakin mengalami kesulitan menghadang isu-isu yang bermuatan pendiskreditan dari negara-negara luar seperti Amerika Serikat dan Australia khususnya mengenai kebijakan pembangunan ekonomi yang tidak seimbang. Isu-isu ketidakseimbangan, ketidakadilan, ketidakmerataan pembangunan pusat dan daerah dijadikan strategi politik kepentingan negara asing. Setting agenda politik kepentingan corporate negara asing sangat kuat melalui cara-cara propaganda dengan memainkan isu pelanggaran Ham, dan percepatan demokrasi.
Kasus lepasnya Timor Timur dari NKRI tidak lepas dari wacana demokrasi dan pelanggaran Ham yang digulirkan Amerika Serikat, dan Australia. Bahkan Amerika Serikat dan Australia melalui kekuatan PPB dibawah Sekjen Kofi Annan memperlihatkan intervensi politik. Sekjen PBB menjelang detik-detik dilaksanakan referendum masyarakat Timor Timur, menyebutkan, ‘the decision has proven that Indonesia had taken on responsibility to unsure that those responsible for the atrocities in East Timor would be made accountable’. Sebuah pernyataan politik yang menunjukan politik intervensi kekuatan negara asing terhadap keutuhan NKRI.
Berdasarkan catatan sejarah, dalam proses Deklarasi Djoeanda tahun 1957, ketika Perdana Menteri Djoenda mengumumkan luas batas wilayah territorial dan maritim Indonesia, Australia dan Amerika Serikat adalah dua negara yang menolak keras dalam penentuan luas batas wilayah peraiaran Indonesia melalui Territorial ZEE Maritim Kringen Ordonantie. Namun penolakan ini tidak mematahkan semangat tokoh Indonesia untuk terus memperjuangkan hak-hak politik Indonesia. Politik luar negeri yang bebas dan aktif, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Dr. Hasyim Djalal, dengan pendekatan diplomasi (double-edged diplomacy), dan imperatif, mereka mampu meyakinkan masyarakat Internasional melalui sebuah konsep Negara kepulauan (archipelagic state) yang ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Convention on Law of the Sea – UNCLOS) tahun 1982.
Dalam kaitan dengan pergulatan politik global, kompetisi politik ekonomi lintas negara terus mengalami peningkatan, bahkan sangat keras. Wajah politik double standard Amerika Serikat terhadap kebijakan politik luar negeri sangat terlihat jelas. Kepentingan Amerika Serikat terhadap disintegrasi suatu bangsa sangat kuat. Meminjam istilah Stanley Hoffmann dalam sebuah karya ilmiahnya, menyebut posisi Amerika Serikat pasca perang Dunia Kedua dalam konteks pertahanan dan keamanan, sebagai negara yang adidaya berperan memegang kendali strategis untuk menentukan konstelasi politik pertahanan keamanan dunia (World Disonder; Trubled Peace in the Post Perry Wa Era (2000).
Apa relevansi Hari Nusantara dalam konteks menggali potensi kekuatan bangsa untuk memperkuat pertahanan, dan keamanan, dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan NKRI?  Tugas utama pemerintah merespon dinamika masyarakat daerah, khususnya warga yang berdomisili di daerah-daerah perbatasan dengan memajukan kesejahteraan kehidupan ekonomi, pendidikan, serta menanamkan nilai-nilai ideologi kebangsaan secara filosofis sehingga dengan demikian problem ketidakadilan pembangunan selama beberapa dekade ini bisa teratasi secara baik. Pemerintah pusat memiliki tanggungjawab penting untuk kembali memulihkan kepercayaan masyarakat daerah dengan menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya sekaligus membuka akses pendidikan serta meningkatkan kualitas kedisiplinan, dan ketertiban penegakan hukum.  
Pemerintah pusat harus secara optimal terus mendorong dan mendukung peran aktif pemerintah daerah melakukan aksi-aksi nyata yang bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat daerah terutama masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan. Kemajuan pembangunan di segala dimensi kehidupan harus mampu mewujudkan kehidupan masyarakat yang berperadaban tinggi secara ideologis dan psikologis. Menanamkan nilai-nilai kemajemukan, kebhinekaan, serta memperkuat ikatan kebersamaan kebangsaan dalam wadah NKRI, dengan terus meningkatkan kapasitas, dan kepribadian setiap masyarakat terutama generasi muda agar tetap hidup dan bergaul dengan sesama sebagai warga Indonesia.

IV. Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Daerah,
dan Proyeksi Pemetaan Pembangunan
Otonomi daerah atau desentralisasi tidak serta merta dijadikan sebagai alasan utama pemerintah daerah maupun para aktor politisi lokal yang berkolaborasi dengan elit-elit pusat sebagai satu-satunya kebebasan mengeksploitasi kekayaan daerah tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Otonomi daerah hendaknya disertai dengan penguatan sistem kontrol terhadap praktik illegal logging, illegal mining, human trafficking, pencurian pasir, penyelundupan Bahan Bakar Minyak (BBM), illegal migrant, beserta kejahatan-kejahatan lain yang dapat merugikan negara. Desentralisasi harus mampu menjawab tantangan, rintangan, dan hambatan, bahkan termasuk ancaman disintegrasi bangsa. Jika otonomi daerah dan percepatan desentraalisasi sekadar memuaskan nafsu politisi lokal dan aktor elit pusat, maka sudah barang tentu, nasib NKRI tetap terus terancam.
Pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah harus profesional, akuntabel, transparan, dan proporsional. Pemerintah pusat perlu mengevaluasi kembali pemekaran daerah yang cendrung dijadikan alasan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat daerah tetapi pada kenyataannya terus memiskinkan masyarakat daerah secara sturktural dan kultural. Bagaimana pun, kasus pemekaran di beberapa daerah yang memicu disintegrasi nasional harus dievaluasi kembali, guna tidak lagi memancing aktor politik lokal dan nasional untuk tidak lagi memaksakan kehendak politik. Hal ini penting karena umumnya, pemekaran daerah yang dilakukan cendrung bermuatan politis. Arogansi kekuasaan, dan keserakahan ekonomi aktor politisi lokal dan pusat yang membabi buta perlu dihindari melalui pendekatan sistem. Dalam kerangka ini, pemerintah pusat perlu mengevaluasi kembali format pemekaran daerah sebagaimana yang termaktub dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemerintah pusat, selain mendorong partisipasi aktif masyarakat daerah dalam memainkan peran aktif dalam proses pengambilan kebijakan pembangunan daerah serta memberikan fasilitas yang layak bagi masyarakat untuk berkontribusi secara positif. Sekaligus menciptakan kondisi yang kondusif dan konstruktif bagi masyarakat yang patuh hukum. Pemerintah pusat dan daerah harus mewujudkan sistem pemerintahan yang koordinatif antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kebijakan pembangunan pusat ke daerah harus merata terutama di sektor ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan Hankam.
Meomentum Hari Nusantara tahun ini, hendaknya mampu meningkatkan kualitas pembangunan dari sisi nation and character building khususnya bagi kalangan generasi muda. Krisis identitas kebangsaan, dan memudarnya rasa nasionalisme kebangsaan masyarakat terhadap negara sebagai akibat ketidakmerataan pembangunan daerah hendaknya menjadi perhatian serius pemerintah pusat. Momen Hari Nusantara juga harus diorientasikan untuk pemberdayaan (empowering) semangat nasionalisme kebangsaan di semua lapisan masyarakat dengan diisi kegiatan-kegiatan yang bermuatan ilmiah, filosofis, historis, dan konstruktif terkait nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan agar masyarakat Indonesia dapat terketuk nurani kebangsaan untuk kembali mereinternalisasi semangat pembentukan NKRI. Dalam rangka mengantisipasi krisis kebudayaan khususnya kalangan generasi muda harus menjadi prioritas pembangunan moral bangsa oleh negara.
Penguatan ideologi Pancasila sebagai basis ekonomi kerakyatan, pendidikan, hukum, budaya, dan sosial politik bagi generasi muda merupakan suatu kebutuhan yang mendesak, mengingat dekadensi moral, dan krisis etika berbangsa di kalangan generasi muda kian memuncak. Dalam konteks tersebut, transformasi nilai-nilai Pancasila sebagai basis filosofi kebangsaan bagi masyarakat menjadi sangat fundamental. Sebagai pelajaran sejarah, pengalaman doktrin nilai-nilai berbasis budaya sebagai legitimasi moralitas bangsa terbukti efektif diterapkan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Dalam struktur dan format pembangunan masyarakat yang heterogen seperti Indonesia, hemat penulis, apa yang menjadi catatan monumental dari Max Weber tentang membangun karakter nasionalisme bangsa dari sisi doktrin nilai budaya menjadi sangat penting diadopsi. Max Weber melahirkan karya spektakulernya tentang ini, yakni “The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism”, yang intinya Weber menawarkan secara filosofis, bahwa nilai-nilai sosial yang terkandung dalam ajaran Protestanisme pernah dijadikan sebagai pendorong bahkan pemotivasi bagi Calvinisme, Methodis, dan lain-lain. Kebangkitan nasionalisme suatu negara tidak lepas dari kontribusi wacana kebudayaan suatu bangsa itu sendiri, termasuk Indonesia.
Konsolidasi nasionalisme para the founding fathers senantiasa didasari oleh inspirasi nilai-nilai budaya kebangsaan. Perkumpulan sektoral dalam wadah Jong Java, Jong, Sumatera, Jong Sulawesi, Jong Kalimantan, dan Jong Ambon merupakan gerakan-gerakan konsolidatif menuju kemerdekaan RI. Organisasi Budi Utomo tahun 1908, Muhammadiyah 1912, Nahdlatul Ulama tahun 1924, Sumpah Pemuda 1928 ialah merupakan wujud nyata dimana pemuda Indonesia bertekad membebaskan bangsa Indonesia dari penjajah, dan tanggal 17 Agustus 1945 merupakan momentum bersejarah dalam perjuangan meraih kemerdekaan bangsa Indonesia.
Agenda pembangunan yang tidak kalah menarik dalam momentum peringatan Hari Nusantara ke-12 kali ini, bagaimana pemerintah pusat dan daerah memfasilitasi anak-anak bangsa yang berbakat, berprestasi akademik tinggi, serta berdedikasi baik dan terukur secara kualitatif maupun kuantitatif untuk memainkan peran-peran strategis berdasarkan kapasitas yang dimiliki dalam proses pembangunan nasional. Pendidikan politik perlu didorong, bahkan tugas pemerintah pusat dan daerah merekrut intelektual muda bangsa yang benar-benar memiliki disiplin tanggungjawab yang tinggi untuk berkarya bagi bangsa, dan negara.
Pemerintah Indonesia seyogyanya memanfaatkan momentum Hari Nusantara sebagai kesempatan untuk mereintropeksi dan sekaligus menjadikannya sebagai peluang untuk berbuat secara nyata bagi rakyat Indonesia. Semua stakeholders harus mampu menerjemahkan sikap kepemimpinan bangsa yang santun dan beradab sesuai kultur bangsa Indonesia. Yang dibutuhkan rakyat Indonesia saat ini ialah keteladanan kepemimpinan.
Masyarakat membutuhkan pemimpin yang amanah, mampu melakukan terobosan-terobosan progresif dan substansial. Khususnya pemimpin nasional, berdasarkan amanat UUD 1945 hasil amandemen keempat diberikan kewenangan penuh konstitusi, dimana Presiden adalah Kepala Negara (head of the state), dan sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan (chief of the ecsecutive power), dan juga sebagai Pemimpin Angkatan Perang atau dengan kata lain, Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Sistem ini tentu sesuai dengan sistem presidensil yang saat ini menjadi sistem resmi pemerintahan Indonesia. Dengan demikian, upaya meningkatkan kualitas pertahanan nasional baik dari sisi militer maupun masyarakat sipil dalam konteks penguatan ideologi bangsa menjadi keniscayaan. Pemerintah Indonesia harus berani dan tegas menentukan kebijakan pembangunan dalam segala dimensi secara mandiri, profesional dan akuntabel (right of self-determination), tanpa ketergantungan dan didikte kepentingan negara lain.  
Dalam konteks penguatan ketahanan nasional Indonesia, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah secara konsisten dan kontinyu melalui instansi-instansi terkait melakukan kerja-kerja nyata, dan menetapkan program-program kebijakan pembangunan yang implementatif.  
Modernisasi infrastruktur dan suprastruktur pertahanan nasional baik secara organik dan nonorganik adalah sebuah keharusan di satu sisi, dan pada sisi yang sama, reformasi sistem perekrutan Tentara Nasional Indonesia khususnya Angkatan Laut, formatnya harus benar-benar mempunyai kualifikasi yang ketat. Prioritas pengabdian pada bangsa, dan negara, menegakan doktirn tradisi keprajuritan taat pada Sapta Marga. Artinya jiwa dan semangat prajurit TNI benar-benar didasari oleh pengabdian pada bangsa, dan negara.
Mendorong semua kekuatan elemen bangsa melalui stakeholders yang berkepentingan secara langsung terhadap penguatan eksistensi NKRI. Melibatkan kalangan masyarakat civil society sebagai kekuatan moral intelektual untuk berperan memberikan pemahaman-pemahaman tentang bagaimana tanggungjawab sebagai anak bangsa dalam mengamankan laut dengan kekuatan maritim, serta membentuk pemikiran-pemikiran masyarakat yang berkarakter kebangsaan. Menanamkan nilai-nilai nasionalisme ddan rasa bangga menjadi warga negara Indonesia. Karena dengan proses pendekatan yang demikian, secara perlahan-lahan akan tumbuh rasa kesadaran kebangsaan di masyarakat.
Eksistensi NKRI tetap akan eksis di bumi nusantara apabila pola pendekatan pembangunan dalam segala dimensi kehidupan dapat dilaksanakan secara merata, adil, dan penuh tanggungjawab.  Persatuan dan kesatuan bangsa akan tetap berdiri kokoh hanya dengan melalui semangat ditegakannya keadilan dan kemakmuran bersama berdasarkan potensi kekayaan sumber daya alam yang ada di tiap-tiap daerah. Pengelolaan sumber kekayaan alam benar-benar berdasarkan prinsip demokrasi yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sebagai kata kunci, momen peringatan Hari Nusantara ke-12 ini hendaknya tidak semata diperingati sebagai agenda seremoni tahunan tanpa disertai dengan kegiatan-kegiatan dalam rangka merefleksikan semangat sejarah perjuangan NKRI para the founding fathers saja tetapi bagaimana menggali potensi sumber daya manusia generasi muda yang ada untuk diagregasi dan ditransformasikan ke dalam program-program pembangunan nasional. Dan yang tidak kalah penting ialah pemerintah terus mendorong upaya-upaya membangun kesadaran cita-cita mulia para pejuang dan ditularkan pada semua lapisan masyarakat kalangan militer dan sipil agar muncul kesadaran etik untuk rasa memiliki NKRI.*




Artikel Lomba Karya Ilmiah
Deselenggarakan oleh Departemen Pertahanan RI
Dalam rangka Peringatan Hari Nusantara Nasional tahun 2011.

Tema Panitia:
“Melalui Peringatan Hari Nusantara,
Kita Perkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa Dalam Wadah NKRI Dengan Meningkatkan Kemampuan Pertahanan Dalam Rangka Menuju Negara Maritim“


Tidak ada komentar:

Posting Komentar