Oleh : Rahman Yasin
Gagasan kemungkinan
akan di bentuk Pengadilan Khusus Pemilihan Umum (election court) semakin mengemuka seiring pernyataan Ketua
Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, yang mengatakan sependapat dengan rencana sikap
pemerintah untuk mengembalikan fungsi Pengadilan Tinggi menangani persidangan
sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah dengan efisiensi anggaran. Ketua MK,
Mahfud MD, beralasan mengapa sidang sengketa Pimilu Kada dikembalikan ke PT,
hal ini mengingat MK sebagai lembaga kehakiman secara konstitusi memiliki beban
tugas dan tanggungjawab yang banyak.
Kasus gugatan Penghitungan Hasil
Pemilihan Umum (PHPU) juga selalu monoton. Kasus-kasus sengketa Pemilu Kada
yang ditangani MK, sebagian besar punya latar belakang yang sama yakni berkutat
pada persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT), penyalahgunaan jabatan calon incumbent, kecurangan, dan politik uang
yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan massif. Intinya, MK sepakat
agar penyelesaian sengketa Pemilu Kada dikembalikan ke PT. Pertanyaan kemudian,
relevankah apabila Pengadilan Khusus Pemilu dibentuk, dan apakah dengan
dibentuk pengadilan khusus pemilu kemudian penanganan gugatan PHPU Pemilu Kada
bisa efektif?
Gagasan diatas agak berbeda dengan
sebelumnya, dimana Komisi II DPR RI dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang
jauh sebelumnya mewacanakan agar perlu dibentuk Pengadilan Khusus Pemilu.
Bawaslu memandang perlu dibentuk Pengadilan Khusus Pemilu dengan maksud setiap
sengketa PHPU Pemilu Kada dapat diselesaikan dengan proporsional. Kehadiran
Pengadilan Khusus Pemilu nanti juga diharapkan mampu menciptakan iklim rasa
keadilan bagi setiap warga yang mencari keadilan. Dengan pembentukan Pengadilan
Khusus Pemilu, maka secara otomatis, peran dan fungsi lembaga Pengawas Pemilu
(Bawaslu dan Panwaslu Daerah diharapkan semakin menguat sehingga upaya-upaya ke
depan dalam memperbaiki sistem penyelenggaraa dan penyelesaian sengketa Pemilu
Kada dapat berjalan baik.
Berdasarkan
fakta yang terjadi di lapangan, pengawasan terhadap penyelenggara Pemilu Kada
tahap 2010 diagendakan sebanyak 244 Pemilu Kada tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota
dan sudah sekitar 100 lebih daerah yang telah digelar acapkali menimbulkan
persoalan baru. Kasus-kasus pelanggaran Pemilu Kada hanya diseputar itu-itu
saja --- pelanggaran administrasi dan pelanggaran tindak pidana yang ditemukan
dan meski sudah dilaporkan ke pihak-pihak berwenang, baik KPU maupun Kepolisian
selalu saja mentok bahkan cenderung kabur sehingga tidak ada tindaklanjut yang
serius. Kasus pelanggaran Pemilu Kada yang cukup heboh di publik ialah indikasi
keterlibatan KPU/KPUD dalam proses tahapan Pemilu Kada. Intervensi, dan
kemungkinan keterlibatan aktor-aktor Pemilu Kada sangat rawan dan rentan
menimbulkan resistensi di masyarakat.
Kasus Pemilu Kada Kabupaten Tolitoili,
Sulawesi Tengah yang menyeret nama mantan anggota KPU Andi Nurpati merupakan
contoh nyata di mana kemungkinan intervensi ataupun ada motif kesengajaan untuk
memenangkan calon Kada tertentu. Kasus Pemilu Kada Tolitoli, Sulawesi Tengah
mendorong Bawaslu mengeluarkan rekomendasi meminta mantan anggota KPU Andi
Nurpati dipecat dengan tidak hormat oleh DK- KPU karena yang bersangkutan
dianggap melanggar peraturan dan perundang-undangan, dan berdasarkan hasil
klarifikasi Bawaslu dengan Ketua dan Anggota KPU, Bawaslu menyimpulkan, Andi
merupakan faktor penentu keluarnya Surat KPU bernomor 320/KPU/V/2010 untuk
Pemilu Kada Tolitoli, dan dengan demikian yang bersangkutan oleh Bawaslu,
dinyatakan melanggar Pasal 11 Huruf b dan Pasal 13 Peraturan KPU Nomor. 31 Tahun
2008 Tentang Kode Etik dan janji anggota KPU yang tertuang dalam Pasal 28 Ayat
2 UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Kasus ini lalu mendorong
dikeluarkan rekomendasi DK KPU tertanggal 30 Juni 2010, yang memberhentikan
Andi Nurpati karena dengan dalil yang sama yakni melanggar UU Nomor 22 Tahun
2007 Tentang Penyelenggara Pemilu dan Kode Etik terkait Sumpah Janji anggota
KPU.
Kasus lain, putusan MK memerintahkan
KPUD Kabupaten Lamongan, Kota Surabaya untuk melakukan penghitungan ulang bahkan
di empat wilayah kecamatan di Surabaya terpaksa harus dilakukan pencoblosan
ulang. MK juga memerintahkan KPUD untuk lakukan pencoblosan ulang seperti di
Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, Mandailing Natal, Sumatera Utara, dan
Kabupaten Kota Waringin Barat,
Kalimantan Barat, dan masih banyak daerah lain yang secara teknis pelanggaran
modusnya hampir sama.
Dalam
kerangka ini, maka muncul gagasan pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu disatu
sisi memang melahirkan pro-kontra tetapi pada sisi lain, patut dijadikan bahan
diskursus bagi semua pihak termasuk kalangan politisi, birokrasi, profesional,
LSM, serta pakar dan ahli Pemilu dalam menyikapi proses revisi Undang Undang
Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang tengah
berlangsung di DPR.
Memang topik
perdebatan yang lagi faktual mengenai perlu tidaknya pembentukan Pengadilan
Khusus Pemilu mewarnai proses pembahasan revisi UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu di DPR, tetapi titik tolak penting dari pembahasan revisi
UU ini semestinya dilandasi dengan i’tikda baik seluruh stakeholders dalam perbaikan sistem Pemilu yang lebih baik dan
relevan sesuai tuntutan zaman, dan dengan menekankan perlunya membangun formula
baru penyelenggaraa pemilu yang kuat sehingga semua kemungkinan maupun
potensi-potensi penyimpangan Pemilu Kada akan bisa dihindari. Selama ini
pelanggaran Pemilu Kada baik dalam proses tahapan pemilu, tahap pencalonan,
verifikasi calon yang cenderung melahirkan pelanggaran administrasi, praktek many politic dan penyimpangan kekuasaan
dalam bentuk yang sistematis, terstruktur, dan massif masih saja terus terjadi,
dan realitas ini tentu dibutuhkan sebuah pemikiran yang komprehensif. Peran dan
fungsi KPU secara normatif masih sangat monoton sehingga konsentrasi penyelesaian
sengketa PHPU di MK seringkali menimbulkan kejenuhan karena muatan perkara dan
proses persidangan melibatkan para aktor pemilu selalu berkutat pada
persoalan-persoalan yang oleh ketua MK, itu-itu saja.
Dalam konteks
ini, usulan Pengadilan Khusus Pemilu yang meskipun masih memunculkan
pro-kontra, namun harus dipikirkan secara serius dan matang oleh semua stakeholders yang menginginkan pemilu
dapat menjadi kontribusi positif dalam mengembangkan demokrasi di Indonesia.
Pemilu Kada tidak semata-mata diartikulasikan sebagai momentum melakukan
pergantian Kepala Daerah sehingga mengharuskan pertarungan politik kekuasaan
dengan mengabaikan instrumen pokok mengenai transformasi nilai-nilai demokrasi
yang lebih beradab dan bermartabat.
Pengawasan Pemilu
Di Negara Lain
Amerika Serikat negara yang mengklaim sebagai kampium demokrasi ternyata
tidak memiliki lembaga Pengadilan Khusus Pemilu, dan baik Amerika Serikat dan
Inggris sebagai negara modern, maju dan demokrasi cukup matang juga tidak
mempunyai sistem atau UU Pemilu yang mengatur mengenai penyelesaian kasus-kasus
Pemilu melalui sebuah pengadilan khusus pemilu, tetapi kedua negara ini
memiliki persamaan yakni format penyelesaian sengketa Pemilu tetap dilakukan di
PT namun tetap mengandalkan fatwa Mahkamah Agung. Sedangkan Jerman yang juga dikenal
demokrasi modern menggunakan sistem pengadilan praktek kontrol frekuensi
konstitusional yang sangat besar dan sekaligus membuat sistem yang agak sedikit
bersifat pasif terhadap PT dalam penanganan kasus Pemilu.
Kasus yang sedikit berbeda yakni di
Myanmar, PT negara Myanmar pernah menolak gugatan hukum dari partai politik
yang mengusung calon kandidat Aung San Suu Kyi yang ketika itu mengajukan
permohonan ke Mahkamah Agung untuk membatalkan peraturan yang melarang setiap
pemimpin oposisi yang radikal untuk tidak terlibat dalam pemilu, dan kasus ini bisa merupakan
bentuk politik rezim yang berkuasa dalam memanfaatkan kewenangan, dan ini tentu
menjadi tidak sehat bagi pengembangan iklim demokrasi. Penolakan MA Myanmar
atas permohonan tersebut bukan tanpa dasar tetapi melainkan karena sistem dan
struktur ketatanegaraan negara ini yang tidak menempatkan perangkat peraturan
teknis mengenai pengadilan khusus pemilu.
Harus dipahami semua pihak, walaupun
Indonesia kategori negara demokrasi ketiga di dunia akan tetapi Indonesia tidak
semaju dan tidak semodern Amerika Serikat. Di AS, sistem pengawasan pemilu yang
digunakan adalah sistem pengawasan secara umum dengan melibatkan semua hak
suara melalui instrument-instrumen yang super canggih. Dengan pendekatan sistem
besar, semua warga AS yang memiliki hak suara dapat menentukan preferensi
politik secara bebas dan terbuka dan sekaligus mengontrol semua hasil pemilu
atau dalam terminologinya disebut sebagai Under
an at-alrage system, where all voters can vote on all seats up for election, a
bloc voting majority can control the outcome of all elections. Tindakan
masyarakat pemilih dalam Pemilu dengan sendirinya aktif melakukan control
terhadap proses penyelenggara pemilu, dan metode pendekatan pengawasan besar
tersebut mampu menciptakan iklim pemilu yang langsung, bebas, jujur, dan adil.
Singkatnya,
Pengadilan Khusus Pemilu dibentuk,harus dimantapkan dengan persiapan sistem dan
instrumen Penyelenggaraa Pemilu lebih matang lagi. Pembahasan revisi UU Nomor
22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu hendaknya dilakukan dengan cermat
--- melibatkan seluruh kekuatan masyarakat. Tetapi jika wacana pembentukan
Pengadilan Khusus Pemilu dianggap tidak memiliki landasan konsepsional dalam konteks
sistem maupun teknis instrumen peraturan dan perundang-undangan yang kuat, maka
langkah-langkah taktis, strategis, dan konstruktif untuk mengantisipasi
terjadinya “kriminalisasi pemilu” pun harus dilakukan pemerintah dan DPR serta
lembaga-lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu, dan Kementerian
Dalam Negeri.
Cegah
Kesenjangan Kebijakan
Dalam konteks Indonesia, Pengadilan Khusus Pemilu sangat relevan
berdasarkan pengalaman pengawasan Pemilu Kada dan data-data mengenai tingkat
pelanggaran pemilu dan ketidakberdayaan instrumen pemilu dalam mengatasi kasus
pemilu dalam waktu tertentu. Pengadilan Khusus Pemilu memang tidak ditemukan dalam rumusan
sistem pemilu di negara-negara maju dan dan berkembang. Hampir di semua negara
termasuk AS, Ingrris, Australia, dan Kanada juga masih menggunakan pengadilan
umum yang sama seperti di Indonesia melalui MK.
Untuk itu, harus dipahami, kultur
Indonesia yang majemuk, stratifikasi sosial, geografis, keterbatasan infrastruktur sehingga hal-hal ini bisa jadi pertimbangan
yang rasional. Fakta memperlihatkan Pemilu Kada di beberapa daerah berakhir
dengan kerusuhan, dan kalau bukan kerusuhan sudah pasti harus berujung di MK.
Ketidaksiapan dan ketidakdewasaan para calon Kada menerima kekalahan apalagi
mengakui kemenangan rival selalu berimplikasi pada tindakan destruktif sehingga
penanganan sengketa Pemilu Kada memerlukan instrumen khusus.
Selama ini
yang terjadi, hakim pengadilan umum kita juga selalu terjebak pada konteks
penafsiran UU secara normatif sehingga keputusan yang diambil pun kadang tidak
berdasarkan acuan sistem yang ada, dan sebaliknya dalam konteks kebijakan
tertentu pun kadang harus menabrak kaidah-kaidah demokrasi itu sendiri. Kasus
Pemilu Kada Provinsi Maluku Utara tahun 2007 dan Pemilu Kada Provinsi
Lampung bisa jadi pelajaran mahal,
dimana praktek kesenjangan kebijakan dan ketimpangan kewenangan antara MK dan
MA, dan kasus-kasus Pemilu Kada lain yang menyisahkan kontroversi di masyarakat
yang disebabkan perbedaan antara keputusan MK dan fatwa MA. Realitas ini
menunjukkan bahwa pengadilan umum masih juga terjadi silang penafsiran dan oleh
karena itu, pengadilan khusus pemilu harus menjadi jawaban atas berbagai
ketimpangan dalam penyelesaian sengketa Pemilu Kada. Selain itu, sengketa PHPU
di MK dilimpahkan ke peradilan khusus pemilu dan dengan demikian, konsentrasi
tugas dan fungsi MK sebagai lembaga kehakiman bisa lebih progresif menangani
perkara-perkara lain yang memiliki tingkat tantangan pembangunan karakter
kesadaran hukum di masyarakat.(*)
________________________________________________
Penulis adalah Pegiat dan Pemerhati Masalah Pemilu dan
Sosial Politik
Jakarta, 15 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar