Minggu, 27 April 2014

Menakar Wacana Pengadilan Khusus Pemilu



Oleh : Rahman Yasin

Gagasan kemungkinan akan di bentuk Pengadilan Khusus Pemilihan Umum (election court) semakin mengemuka seiring pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, yang mengatakan sependapat dengan rencana sikap pemerintah untuk mengembalikan fungsi Pengadilan Tinggi menangani persidangan sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah dengan efisiensi anggaran. Ketua MK, Mahfud MD, beralasan mengapa sidang sengketa Pimilu Kada dikembalikan ke PT, hal ini mengingat MK sebagai lembaga kehakiman secara konstitusi memiliki beban tugas dan tanggungjawab yang banyak.
Kasus gugatan Penghitungan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) juga selalu monoton. Kasus-kasus sengketa Pemilu Kada yang ditangani MK, sebagian besar punya latar belakang yang sama yakni berkutat pada persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT), penyalahgunaan jabatan calon incumbent, kecurangan, dan politik uang yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan massif. Intinya, MK sepakat agar penyelesaian sengketa Pemilu Kada dikembalikan ke PT. Pertanyaan kemudian, relevankah apabila Pengadilan Khusus Pemilu dibentuk, dan apakah dengan dibentuk pengadilan khusus pemilu kemudian penanganan gugatan PHPU Pemilu Kada bisa efektif?
Gagasan diatas agak berbeda dengan sebelumnya, dimana Komisi II DPR RI dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang jauh sebelumnya mewacanakan agar perlu dibentuk Pengadilan Khusus Pemilu. Bawaslu memandang perlu dibentuk Pengadilan Khusus Pemilu dengan maksud setiap sengketa PHPU Pemilu Kada dapat diselesaikan dengan proporsional. Kehadiran Pengadilan Khusus Pemilu nanti juga diharapkan mampu menciptakan iklim rasa keadilan bagi setiap warga yang mencari keadilan. Dengan pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu, maka secara otomatis, peran dan fungsi lembaga Pengawas Pemilu (Bawaslu dan Panwaslu Daerah diharapkan semakin menguat sehingga upaya-upaya ke depan dalam memperbaiki sistem penyelenggaraa dan penyelesaian sengketa Pemilu Kada dapat berjalan baik.
                Berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, pengawasan terhadap penyelenggara Pemilu Kada tahap 2010 diagendakan sebanyak 244 Pemilu Kada tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota dan sudah sekitar 100 lebih daerah yang telah digelar acapkali menimbulkan persoalan baru. Kasus-kasus pelanggaran Pemilu Kada hanya diseputar itu-itu saja --- pelanggaran administrasi dan pelanggaran tindak pidana yang ditemukan dan meski sudah dilaporkan ke pihak-pihak berwenang, baik KPU maupun Kepolisian selalu saja mentok bahkan cenderung kabur sehingga tidak ada tindaklanjut yang serius. Kasus pelanggaran Pemilu Kada yang cukup heboh di publik ialah indikasi keterlibatan KPU/KPUD dalam proses tahapan Pemilu Kada. Intervensi, dan kemungkinan keterlibatan aktor-aktor Pemilu Kada sangat rawan dan rentan menimbulkan resistensi di masyarakat.
Kasus Pemilu Kada Kabupaten Tolitoili, Sulawesi Tengah yang menyeret nama mantan anggota KPU Andi Nurpati merupakan contoh nyata di mana kemungkinan intervensi ataupun ada motif kesengajaan untuk memenangkan calon Kada tertentu. Kasus Pemilu Kada Tolitoli, Sulawesi Tengah mendorong Bawaslu mengeluarkan rekomendasi meminta mantan anggota KPU Andi Nurpati dipecat dengan tidak hormat oleh DK- KPU karena yang bersangkutan dianggap melanggar peraturan dan perundang-undangan, dan berdasarkan hasil klarifikasi Bawaslu dengan Ketua dan Anggota KPU, Bawaslu menyimpulkan, Andi merupakan faktor penentu keluarnya Surat KPU bernomor 320/KPU/V/2010 untuk Pemilu Kada Tolitoli, dan dengan demikian yang bersangkutan oleh Bawaslu, dinyatakan melanggar Pasal 11 Huruf b dan Pasal 13 Peraturan KPU Nomor. 31 Tahun 2008 Tentang Kode Etik dan janji anggota KPU yang tertuang dalam Pasal 28 Ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Kasus ini lalu mendorong dikeluarkan rekomendasi DK KPU tertanggal 30 Juni 2010, yang memberhentikan Andi Nurpati karena dengan dalil yang sama yakni melanggar UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu dan Kode Etik terkait Sumpah Janji anggota KPU.
Kasus lain, putusan MK memerintahkan KPUD Kabupaten Lamongan, Kota Surabaya untuk melakukan penghitungan ulang bahkan di empat wilayah kecamatan di Surabaya terpaksa harus dilakukan pencoblosan ulang. MK juga memerintahkan KPUD untuk lakukan pencoblosan ulang seperti di Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, Mandailing Natal, Sumatera Utara, dan Kabupaten Kota Waringin  Barat, Kalimantan Barat, dan masih banyak daerah lain yang secara teknis pelanggaran modusnya hampir sama.
                Dalam kerangka ini, maka muncul gagasan pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu disatu sisi memang melahirkan pro-kontra tetapi pada sisi lain, patut dijadikan bahan diskursus bagi semua pihak termasuk kalangan politisi, birokrasi, profesional, LSM, serta pakar dan ahli Pemilu dalam menyikapi proses revisi Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang tengah berlangsung di DPR.
                Memang topik perdebatan yang lagi faktual mengenai perlu tidaknya pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu mewarnai proses pembahasan revisi UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu di DPR, tetapi titik tolak penting dari pembahasan revisi UU ini semestinya dilandasi dengan i’tikda baik seluruh stakeholders dalam perbaikan sistem Pemilu yang lebih baik dan relevan sesuai tuntutan zaman, dan dengan menekankan perlunya membangun formula baru penyelenggaraa pemilu yang kuat sehingga semua kemungkinan maupun potensi-potensi penyimpangan Pemilu Kada akan bisa dihindari. Selama ini pelanggaran Pemilu Kada baik dalam proses tahapan pemilu, tahap pencalonan, verifikasi calon yang cenderung melahirkan pelanggaran administrasi, praktek many politic dan penyimpangan kekuasaan dalam bentuk yang sistematis, terstruktur, dan massif masih saja terus terjadi, dan realitas ini tentu dibutuhkan sebuah pemikiran yang komprehensif. Peran dan fungsi KPU secara normatif masih sangat monoton sehingga konsentrasi penyelesaian sengketa PHPU di MK seringkali menimbulkan kejenuhan karena muatan perkara dan proses persidangan melibatkan para aktor pemilu selalu berkutat pada persoalan-persoalan yang oleh ketua MK, itu-itu saja.
                Dalam konteks ini, usulan Pengadilan Khusus Pemilu yang meskipun masih memunculkan pro-kontra, namun harus dipikirkan secara serius dan matang oleh semua stakeholders yang menginginkan pemilu dapat menjadi kontribusi positif dalam mengembangkan demokrasi di Indonesia. Pemilu Kada tidak semata-mata diartikulasikan sebagai momentum melakukan pergantian Kepala Daerah sehingga mengharuskan pertarungan politik kekuasaan dengan mengabaikan instrumen pokok mengenai transformasi nilai-nilai demokrasi yang lebih beradab dan bermartabat.

Pengawasan Pemilu Di Negara Lain
Amerika Serikat negara yang mengklaim sebagai kampium demokrasi ternyata tidak memiliki lembaga Pengadilan Khusus Pemilu, dan baik Amerika Serikat dan Inggris sebagai negara modern, maju dan demokrasi cukup matang juga tidak mempunyai sistem atau UU Pemilu yang mengatur mengenai penyelesaian kasus-kasus Pemilu melalui sebuah pengadilan khusus pemilu, tetapi kedua negara ini memiliki persamaan yakni format penyelesaian sengketa Pemilu tetap dilakukan di PT namun tetap mengandalkan fatwa Mahkamah Agung. Sedangkan Jerman yang juga dikenal demokrasi modern menggunakan sistem pengadilan praktek kontrol frekuensi konstitusional yang sangat besar dan sekaligus membuat sistem yang agak sedikit bersifat pasif terhadap PT dalam penanganan kasus Pemilu.
Kasus yang sedikit berbeda yakni di Myanmar, PT negara Myanmar pernah menolak gugatan hukum dari partai politik yang mengusung calon kandidat Aung San Suu Kyi yang ketika itu mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung untuk membatalkan peraturan yang melarang setiap pemimpin oposisi yang radikal untuk tidak terlibat dalam pemilu, dan kasus ini bisa merupakan bentuk politik rezim yang berkuasa dalam memanfaatkan kewenangan, dan ini tentu menjadi tidak sehat bagi pengembangan iklim demokrasi. Penolakan MA Myanmar atas permohonan tersebut bukan tanpa dasar tetapi melainkan karena sistem dan struktur ketatanegaraan negara ini yang tidak menempatkan perangkat peraturan teknis mengenai pengadilan khusus pemilu.
Harus dipahami semua pihak, walaupun Indonesia kategori negara demokrasi ketiga di dunia akan tetapi Indonesia tidak semaju dan tidak semodern Amerika Serikat. Di AS, sistem pengawasan pemilu yang digunakan adalah sistem pengawasan secara umum dengan melibatkan semua hak suara melalui instrument-instrumen yang super canggih. Dengan pendekatan sistem besar, semua warga AS yang memiliki hak suara dapat menentukan preferensi politik secara bebas dan terbuka dan sekaligus mengontrol semua hasil pemilu atau dalam terminologinya disebut sebagai Under an at-alrage system, where all voters can vote on all seats up for election, a bloc voting majority can control the outcome of all elections. Tindakan masyarakat pemilih dalam Pemilu dengan sendirinya aktif melakukan control terhadap proses penyelenggara pemilu, dan metode pendekatan pengawasan besar tersebut mampu menciptakan iklim pemilu yang langsung, bebas, jujur, dan adil.
                Singkatnya, Pengadilan Khusus Pemilu dibentuk,harus dimantapkan dengan persiapan sistem dan instrumen Penyelenggaraa Pemilu lebih matang lagi. Pembahasan revisi UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu hendaknya dilakukan dengan cermat --- melibatkan seluruh kekuatan masyarakat. Tetapi jika wacana pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu dianggap tidak memiliki landasan konsepsional dalam konteks sistem maupun teknis instrumen peraturan dan perundang-undangan yang kuat, maka langkah-langkah taktis, strategis, dan konstruktif untuk mengantisipasi terjadinya “kriminalisasi pemilu” pun harus dilakukan pemerintah dan DPR serta lembaga-lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri.

Cegah Kesenjangan  Kebijakan
Dalam konteks Indonesia, Pengadilan Khusus Pemilu sangat relevan berdasarkan pengalaman pengawasan Pemilu Kada dan data-data mengenai tingkat pelanggaran pemilu dan ketidakberdayaan instrumen pemilu dalam mengatasi kasus pemilu dalam waktu tertentu. Pengadilan Khusus Pemilu memang tidak ditemukan dalam rumusan sistem pemilu di negara-negara maju dan dan berkembang. Hampir di semua negara termasuk AS, Ingrris, Australia, dan Kanada juga masih menggunakan pengadilan umum yang sama seperti di Indonesia melalui MK.
Untuk itu, harus dipahami, kultur Indonesia yang majemuk, stratifikasi sosial, geografis, keterbatasan  infrastruktur sehingga hal-hal ini bisa jadi pertimbangan yang rasional. Fakta memperlihatkan Pemilu Kada di beberapa daerah berakhir dengan kerusuhan, dan kalau bukan kerusuhan sudah pasti harus berujung di MK. Ketidaksiapan dan ketidakdewasaan para calon Kada menerima kekalahan apalagi mengakui kemenangan rival selalu berimplikasi pada tindakan destruktif sehingga penanganan sengketa Pemilu Kada memerlukan instrumen khusus.
                Selama ini yang terjadi, hakim pengadilan umum kita juga selalu terjebak pada konteks penafsiran UU secara normatif sehingga  keputusan yang diambil pun kadang tidak berdasarkan acuan sistem yang ada, dan sebaliknya dalam konteks kebijakan tertentu pun kadang harus menabrak kaidah-kaidah demokrasi itu sendiri. Kasus Pemilu Kada Provinsi Maluku Utara tahun 2007 dan Pemilu Kada Provinsi Lampung  bisa jadi pelajaran mahal, dimana praktek kesenjangan kebijakan dan ketimpangan kewenangan antara MK dan MA, dan kasus-kasus Pemilu Kada lain yang menyisahkan kontroversi di masyarakat yang disebabkan perbedaan antara keputusan MK dan fatwa MA. Realitas ini menunjukkan bahwa pengadilan umum masih juga terjadi silang penafsiran dan oleh karena itu, pengadilan khusus pemilu harus menjadi jawaban atas berbagai ketimpangan dalam penyelesaian sengketa Pemilu Kada. Selain itu, sengketa PHPU di MK dilimpahkan ke peradilan khusus pemilu dan dengan demikian, konsentrasi tugas dan fungsi MK sebagai lembaga kehakiman bisa lebih progresif menangani perkara-perkara lain yang memiliki tingkat tantangan pembangunan karakter kesadaran hukum di masyarakat.(*)


                                                ________________________________________________
Penulis adalah Pegiat dan Pemerhati Masalah Pemilu dan Sosial Politik


Jakarta, 15 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar