Kamis, 10 April 2014

Pargulatan Politik Lokal Dalam Penguatan Sistem Pemerintahan Demokratis (Studi Kasus Partai Lokal Aceh)



Oleh : Rahman Yasin


A.    Pengantar
Aceh terletak diujung barat laut Sumatera (20 –60 Lintang Utara dan 950–980 Bujur Timur) dengan ibukota Banda Aceh, memiliki luas 57.365,57 KM2 (12,26% dari luas pulau Sumaetra), dan sekaligus terletak pada posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan dan kebudayaan yang menghubungkan belahan dunia timur dan barat.
Daerah ini memiliki 119 pulau, 35 gunung, 73 sungai besar, 2 buah danau dan sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan hutan yang terdiri dari hutan lindung 26.440,81 KM2 dan hutan budidaya 30.924,76 KM2. Aceh mempunyai beragam kekayaan sumberdaya alam antara lain minyak dan gas bumi, pertanian dan industry, perkebunan (kelapa sawit, karet, kelapa, cengkeh, kakao, kopi, tembakau), perikanan darat dan laut, pertambangan umum (logam, batu bara, emas, dan mineral lainnya).
Berbagai faktor telah mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi Aceh. Konflik bersenjata dan tidak stabilnya kondisi politik yang begitu lama ternyata telah berpengaruh signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi daerah. Krisis ekonomi nasional selama 1998- 2000 juga telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi Aceh cenderung menurun.
Dari sisi sumber daya alam, Aceh memiliki prospek yang sangat baik untuk pembangunan investasi dimasa yang akan datang. Apalagi setelah ditandatanganinya MoU kesepakatan damai antara pemerintah RI dan GAM di Helsinki-Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005. Kemudian disahkan UU Pemerintahan Aceh sebagai turunan MoU serta suksesnya pelaksanaan pilkada damai dan demokratis, Februari 2006. Potensi yang mempunyai prospek ekonomis meliputi sektor pertanian, industry pengolahan, pertambangan, energy, pariwisata serta kelautan dan perikanan. Selain itu letak provinsi Aceh juga sangat strategis pada jalur perdagangan internasional, maka akan menambah peluang investasi dibidang jasa transportasi baik laut maupun udara.
Proses rehabilitasi dan rekonsiliasi Aceh juga sudah berakhir sejak 2009 lalu juga melibatkan berbagai lembaga nasional dan internasional, menjadikan Aceh semakin terbuka terhadap kerjasama nasional dan internasional. Masih rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk yang relatif besar berpengaruh terhadap kondisi sosial masyarakat Aceh. Tingginya angka pengangguran dan kemiskinan belum diikuti dengan peningkatan kualitas penduduk, maka berimplikasi pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat sangat rendah (social welfare). Kedaan ini disebabkan karena beberapa aspek yaitu : kemiskinan struktural, konflik yang berkelanjutan, krisis ekonomi, bencana gempa bumi dan tsunami serta naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri berpotensi menambah jumlah masyarakat miskin.
Dari sisi jumlah penduduk yang umumnya berpendidikan rendah harus bekerja apa saja untuk mempertahankan hidupnya. Karakteristik ini menyebabkan lemahnya posisi tawar masyarakat dan tingginya kerentanan terhadap perlakuan yang merugikan bagi pekerja. Kualitas tenaga kerja masyarakat Aceh relatif sedang yang ditunjukan oleh tingkat pendidikan umum dari angkatan kerja, dimana 7,03% (tahun 2003) tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah, dan sebesar 69,08% umumnya lulusan SMP dan SMU.
Dampak tersebut akan berimplikasi pada kualifikasi pekerjaan dan tingkat pendapatan yang sangat rendah, tanpa system kontrak atau tidak adanya kepastian perlindungan hukum terhadap pekerja informal tersebut. Untuk mengatasi berbagai persoalan kependudukan dan ketenagakerjaan maka perlu ditempuh solusi perbaikan tingkat kualitas hidup masyarakat (income percapita).

B.    Aceh Pasca Tsunami dan Proses Menuju Helsinki
Tragedi  bencana  tsunami,  menyusul  penandatanganan  kesepakatan  damai  di Helsinki Finlandia pada bulan Agustus 2005 telah menjadi pembukaan bagi babak baru dalam kesejarahan Aceh. Potret Aceh setelah bencana tsunami dan dalam konteks pembangunan perdamaian yang tengah dialami oleh masyarakat Aceh merefleksikan pertautan antara lokal dan global, sebagaimana kronik sejarah Aceh.[1] Proses pembangunan pasca bencana dan perdamaian saat ini selain digerakkan oleh aktor-aktor dari luar juga diisi oleh oarang Aceh sendiri. Bersamaan dengan proses tersebut, Aceh menjadi sebuah laboratorium sosial, seolah semua dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya dan lingkungan menjadi menarik di Aceh.
Pasca kemerdekaan Indonesia konflik antara Aceh dan Pemerintah pusat[2], pertama kali  terjadi pada  saat  gerakan  Darul  Islam  (DI  /  TII)  pimpinan  Tengku  Daud  Beureuh diproklamirkan pada tahun 1953. Setelah sempat mengalami masa damai, konflik Aceh dan pemerintah pusat kembali terjadi pada saat Hasan Tiro memproklamirkan kemerdekaan Aceh pada tanggal 4 Desember 1976. Persoalan ini semakin rumit ketika keistimewaan daerah Aceh berakhir dengan diberlakukannya UU Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah, yang menggantikan UU Nomor 18 Tahun 1965, yang didalamnya diatur mengenai keistimewaan Aceh. Akumulasi dari berbagai persoalan tersebut kemudian melahirkan sebuah gerakan  pemisahan  diri  di  bawah bendera  Acheh  Sumatera  National  Liberation  Front (ASNLF),  yang  kemudian  dikenal  dengan  nama  Gerakan  Aceh  Merdeka  (GAM).  Pada dasarnya UU Nomor 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah, lahir dengan adanya dekrit Presiden saat itu untuk kembali kepada UUD 1945 sebagai landasan integralisme. UU ini merupakan bentuk revisi dari UU Nomor 1 tahun 1959 yang lebih bernuansa federasi. UU Nomor 5 tahun 1974 adalah penertiban lebih lanjut berkaitan dengan konsep desentralisasi, Gubernur adalah perpanjangan tangan pusat. Masa reformasi dirubah lagi menjadi UU Nomor 22 tahun 1999 yang menitikberatkan otonomi pada tingkat    Kabupaten/Kota. Kemudian dikembangkan lagi otonomi daerah berada pada tingkat Provinsi dengan UU Nomor 32 tahun 2004.
Pemerintah pusat kemudian meresponnya dengan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menumpas gerakan tersebut, termasuk operasi militer. Tahun 1989 – 1998 merupakan periode  yang  paling  berdarah  dalam  sejarah  konflik  di  Aceh.  Paska  kemerdekaan  GAM kembali menjadi perhatian publik dan pemerintrah pusat setelah mereka menegaskan kembali keberadaannya di tengah krisis multidimensi yang dialami Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Kebangkitan gerakan ini tentu saja merisaukan pemerintah lokal maupun pusat, apalagi ketika gerakan ini samakin membesar dan sulit untuk dipadamkan. Berbagai pendekatan yang diambil oleh pemerintahan transisi sejak masa B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid hingga Megawati Soekarnoputri pada akhirnya mengalami jalan buntu, sehingga penyelesaian masalah Aceh pun berlarut-larut. Namun satu hal yang penting utuk dicatat dari upaya penyelesaian konflik pada masa transisi ini adalah disertakannya aspek diplomasi, meskipun dalam tataran operasional masih kental dengan penggunaan kekuatan bersenjata.
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid upaya dialog damai dengan nama Jeda Kemanusiaan I dan II telah dilakukan. Namun, kebijakan yang memadukan operasi keamanan, operasi kemanusiaan, dan penegakan hukum ini pun tidak berhasil memadamkan perjuangan GAM, sehingga kemudian dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2003 pada tanggal 19 Mei 2003 Megawati mengumumkan diberlakukannya status Darurat Militer di Aceh[3].
Pendekatan diplomasi dalam penyelesaian konflik Aceh kembali digunakan oleh pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dipilih melalui pemilihan secara langsung pada tahun 2004, dengan melakukan pembicaraan informal dengan pihak GAM. Pembicaraan informal yang berlangsung sejak akhir Januari hingga Mei 2005 difasilitasi oleh Crisis Managemant Initiatif (CMI), sebuah lembaga internasional  yang dipimpin mantan Presiden  Firlandia  Martti  Ahtisaari.  Rangkaian  pembicaraan  ini  berlangsung  empat  tahap antara delegasi Pemerintah RI dan GAM di luar kota Heksinki ini akhirnya menghasilkan sebuah Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005. Dalam pembukaan MoU disebutkan bahwa :

“.......Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tunami tanggal 26 Desember 2004 dapat  mencapai kemajuan dan keberhasilan. Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya. Nota Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi ....’ (Pembukaan dalam Nota Kesepahaman antara RI-GAM).[4]

Kutipan di atas mengilustrasikan tekad kedua belah pihak, Republik Indonesia maupun GAM untuk menyelesaikan konflik Aceh secara bermartabat. MoU Heksinki adalah suatu terobosan yang dilakukan oleh pihak RI dan GAM sebagai salah satu proses transformasi konflik yang amat  mendasar, dari konflik yang  bernuansa  kekerasan menjadi  perjuangan politik melalui kerangka demokrasi.
Kesepakatan tersebut adalah titik awal bagi perubahan mendasar di Aceh, kalau tidak dapat dikatakan sebagai jalan menuju Aceh baru yang lebih baik di masa mendatang. Untuk mencapai itu, proses transformasi akan dilakukan, sebagaimana        tercermin dalam isi nota  kesepahaman  melalui :  penyelenggaraan pemerintahan  di Aceh;  partisipasi  politik (adanya partai lokal); ekonomi; peraturan perundang-undangan; hak asasi manusia (HAM), hingga masalah amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat.[5]
Laporan Bappenas menyebutkan kondisi politik, keamananan, dan perdamaian di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) menunjukkan keadaan yang semakin baik. Sejak terselenggaranya pilkada di Provinsi NAD pada akhir 2006, keadaan politik dan pemerintah di Aceh terus membaik. Dunia internasional pun tidak memiliki keluhan-keluhan yang berarti mengenai cara-cara pemerintah menangani  persoalan  Aceh  pasca  penandatanganan  MoU antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 lalu. Itu semua karena keterbukaan pemerintah Indonesia, dengan didukung oleh DPR dan seluruh masyarakat Indonesia yang mencintai Indonesia yang utuh dan damai. Kita percaya bahwa model penyelesaian persoalan Aceh dapat menjadi contoh.[6]
Meskipun pemerintah SBY dan kalangan di Jakarta melihat hal ini sebagai sebuah cerita yang berakhir dengan happy ending, namun masih ada warga Aceh yang menganggap hal ini hanya sebagai istirahat sementara dari sebuah konflik yang tidak dapat dielakkan akan terjadi lagi.[7] Perilaku sejumlah pejabat GAM / KPA yang terpilih melalui Pilkada dan para mantan anggota pasukan TNA di lapangan menjadi salah satu alasan pesimisme; pada pemilih di Aceh tampaknya telah mengganti elite korup yang satu dengan yang lain. Di sisi lain masalah yang belum selesai antara Aceh dan Jakarta termasuk keterlibatan militer yang begitu besar merupakan ‘bom waktu’.
Terpilihnya anggota GAM / KPA dalam Pilkada 11 Desember 2006 sebagai pejabat Provinsi dan Kabupaten telah membantu menciptakan sebuah jaringan patronase yang menguntungkan; pekerjaan dan kontrak jatuh ke tangan sang pemenang. Namun demikian tingkat pengangguran di antara mantan pasukan TNA masih tetap tinggi dan mungkin menjadi salah satu faktor sejumlah insiden yang melibatkan cara-cara ilegal untuk mendapatkan  uang dengan cepat.
Aceh tidak tunggal dalam memaknai perjalanan dirinya, karena Aceh adalah kumpulan  keberagaman,  baik  itu  etnis,  ras,  suku,  agama,  sejarah  bangsa  bahkan  juga andangan politik. Di masa-masa awal Aceh, keberagaman ini dimaknai dan diapresiasi secara positif, sehingga  Aceh  lahir  menjadi  titik  tolak  peradaban  bagi  wilayah  sekitarnya.[8]  Kini kedewasaan tersebut mendapat tantangan, karena Aceh sudah berada pada fase yang menentukan, pasca konflik, tsunami dan pasca Pilkada 2006 serta menyongsong pemilu legislatif 2014. Jika kembali mengingat proses perdamaian yang pernah terjadi sebelumnya, seperti Jeda Kemanusiaan I, Jeda Kemanusiaan II, Moratorium Kekerasan, dan CoHA (Cessation of Hostilities Agreement) umur perdamain tidak pernah melebihi enam bulan. Ada banyak pra-kondisi yang memang membuat kesepakatan Heksinki berbeda,   seperti pengalaman darurat militer dan sipil yang telah menguras habis potensi kekerasan dan meninggalkan cacat kemanusiaan dan kerugian ekonomis-sosial-budaya, bencana tsunami, dan adanya gelombang bantuan internasional untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh yang mensyaratkan perdamain sebagai salah satu klausulnya.[9]
Titik  kulminasinya  bertemu  pada  proses  demokrasi  dan  pembangunan  kembali Aceh baru. Namun proses ini belum berakhir dan terhenti. Perdamaian sendiri sebenarnya juga bukan ‘kata benda’ yang selalu merujuk kepada hasil dan dampak , tetapi merupakan ‘kata kerja’,  proses dan dialektika yang selalu menuntut pada kerja keras agar bertahan kebugarannya. Perdamaian yang tidak aktif dipertahankan akan kembali mengarah kepada pembusukan, godaan untuk kembali berkonflik, dan involusi perdamaian yang jalan di tempat. Mungkin secara formal kita masih berdamai tapi secara substansial tidak layak lagi dikatakan perdamaian.[10] Mengharap  bahwa  pemilu legislatif 2009 sebagai  transisi  terakhir di Aceh mungkin berlebihan, namun  itulah momentum penting yang harus dilewati rakyat Aceh untuk sebuah damai yang abadi.
Pemilu 2009 juga akan menjadi titik penting masa depan Aceh, 6 parlok dan 37 parnas bertarung memenangkan persaingan dalam merebut hati rakyat untuk duduk sebagai wakil rakyat di DPRA dan DPRK di Aceh. Sedangkan untuk wakil di Senayan pemilihan Presiden dan wakil Presiden, partai politik lokal akan berafiliasi dengan salah satu partai politik nasional. Kemunculan multi partai di Aceh secara teori, makin banyak partai politik memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara. Dengan banyaknya alternatif pilihan dan meluasnya ruang gerak partisipasi  rakyat  memberikan  indikasi  kuat  bahwa  sistem  pemerintahan  di  tangan  rakyat sangat mungkin diwujudkan.
Tidak berperannya partai politik dalam proses pendidikan politik rakyat zaman Orde Baru harus segera diakhiri. Peran partai politik dalam kehidupan berbangsa masa Orde Baru ditata dengan perangkat UU No. 3 tahun 1973 tentang Partai Politik, partai politik yang jumlahnya cukup banyak ditata menjadi 3 (tiga ) kekuatan sosial politik yaitu PPP, PDI dan Golkar. Namun penataan ini mengakibatkan tidak berperannya partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi dan pendidikan politik bagi rakyat. Rakyat dibiarkan mengambang (floating mass), penguasa menjadikan partai politik sebagai mesin legitimasi kekuatan dan asesoris demokrasi. Wujud mematikan dialektika masyarakat warisan Orde Baru budaya politik sangat independen dengan kekerasan dan pemaksaan kehendak. Padahal mewujudkan civil society butuh kesadaran politik dan toleransi politik.
Meski  diakui  bahwa  perbedaan merupakan  hal  yang  wajar,  tetapi  bagaimana pengelolaan politik untuk memelihara konflik pada tingkatan optimal, sehingga menumbuhkan kompetisi antar kontestan yang sehat untuk mewujudkan partisipasi politik rakyat dan peran partai politik lokal sebagai kanal-kanal politik rakyat yang maksimal. Mementum Pemilu 2014 ini, dengan keterlibatan partai politik lokal berdasarkan Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mampu mengantarkan Aceh ke arah lebih baik dan demokratis. Partai politik lokal bukan hanya mengajak rakyat agar mencoblos untuk tidak golput, namun bagaimana tidak mengalienasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan publik sebagai jaminan pemerintah Aceh yang demokratis.

C.    Perdamaian dan Demokrasi di Aceh
Setelah tercapainya perundingan Helsinki, kedua pihak berkewajiban melaksanakan klausul-klausul yang telah disepakati. Dan setelah  dua tahun implementasi perundingan, keadaan Aceh terus membaik dan menunjukan tanda-tanda posistif. Rasa aman dari konflik senjata benar-benar dirasakan oleh masyarakat, namun rasa aman secara politik belum sangat menggembirakan. Rehabilitasi dan rekonsiliasi yang dimotori oleh BRR sebagai lembaga yang memiliki mandat untuk memmbangun kembali Aceh pasca Tsunami bersama sejumlah  NGO lokal maupun lembaga donor berjalan baik. Tidak ada lagi gangguan keamanan. Mantan combatan juga diakomodir masuk bekerja di BRR.
Tetapi daerah-daerah yang pernah menjadi basisi GAM masih ada kekhawatiran untuk berbicara tentang politik, takut ditangkap aparat keamanan secara semena-mena, dan takut untuk ikut organisasi. Padahal kesepakatan damai yang dicapai di Helsinki mensyaratkan transformasi GAM menjadi kekuatan politik yang meninggalkan cara kekerasan. Ini menunjukan bahwa perdamaian yang ada baru mencakup “the absent of conflict” bukan “the presence of freedom” ataupun “the presence of justice”.[11]
Hal ini tidak mengherankan dan memungkinkan terjadi, karena psikologi konflik yang sudah berlangsung lama di aceh masih menjadi memori kolektif masyarakat, terutama diwulayah basis konflik atau daerah-daerah ‘merah’.
Implementasi MoU Helsinki belum sepenuhnya di realisasikan oleh pemerintah indonesia. Beberapa hal yang masih menjadi komplain dari mantan juru runding GAM, antara lain masih ada beberapa poin dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh yang belum sesuai atau bertentangan dengan MoU Helsinki, masih ada tahanan politik Aceh yang belum dibebaskan, pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) belum dibentuk padahal deadlinenya 1 Agustus 2007.
Sementara itu dinamika demokrasi di Aceh pasca MoU Helsinki semakin menggembirakan. Secara ringkas gambaran dinamika demokrasi di Aceh dapat disimpulkan adalah pertama, demokrasi diterima sebagai sistem yang mengatur hidup bersama masyarakat Aceh, institusi minimal telah tersedia; kedua,potensi tinggi dari masyarakat aceh untuk berpolitik dan preferensi partai politik lokal sebagai pilihan ekspresi politik; ketiga,kuatnya identitas kebangsaan sebagai orang Aceh; keempat, ancaman kolusi kekuatan modal dan birokrasi terhadap sendi-sendi demokrasi; kelima, Aceh didominasi oleh aktor-aktor politik dan perlembagaan organisasi massa lemah.[12]
Demokrasi di Aceh akan sangat sulit terbangun tanpa keterlibatan aktor pro demokrasi di masyarakat madani. Sementara itu GAM juga melakukan proses peralihan menjadi kekuatran politik di Aceh. Keterlibatan ini menjadi sangat strategis karena proses demokratisasi tidak dapat dibiarkan didominasi oleh elit politik. Aktor pro demokrasi dan kelompok-kelompok rakyat yang terorganisasi dengan baik menjadi kunci bagi keberhasilan demokratisasi di Aceh.
Oleh karena itu perlu komitmen semua pihak untuk mendorong perdamaian yang berkelanjutan dan demokrasi yang bermakna di aceh, maka dianggap perlu partai politik lokal yang kuat dan mendapat dukungan mayoritas rakyat Aceh.

D.   Partai Lokal Aceh dan Partai Nasional dalam Pemilu 2014
Secara umum pemilu 2009 memang berbeda dengan pemilu 2004. namun, yang menarik nanti adalah ketika partai lokal menjadi peserta pemilu. Sehingga akan terjadi kompetisi antara partai nasional dengan partai lokal. Keberadaan partai lokal berdampak positif dalam memperkuat desentralisasi politik, memperpendek rentang kendali organisasi politik, memudahkan agregasi dan  kepentingan  rakyat,  mempermudah  saluran  komunikasi  politik, lebih memudahkan dalam memperjuangkan kepentingan dan identitas politik lokal dalam kebhinnekaan, serta mendorong partisipasi politik yang luas didaerah. Keberadaan partai lokal tidak perlu didikotomikan dengan format NKRI. Partai lokal justru bisa meningkatkan kedewasaan politik, apalagi keberadaan partai lokal mustahil dihindari ditengah rendahnya kepercayaan publik terhadap partai nasional saat ini. Bila partai lokal berafiliasi dengan partai nasional, bisa jadi partai lokal hanya perpanjangan tangan dari partai nasional. Bisa menjadi semacam onderbouw partai nasional didaerah.[13]
Mantan  ketua  DPP  Partai  Golkar  Akbar  Tanjung  berpendapat,  perolehan  suara partai lokal pada pemilu 2009 di Aceh akan lebih unggul dibandingkan partai nasional, karena lebih fokus mengangkat isu-isu lokal. Persaingan partai lokal dan partai nasional pada pemilu mendatang akan ketat, namun suara partai lokal akan lebih unggul. Kelebihan partai lokal menghadapi pemilu mendatang karena lebih fukus mengangkat isu-isu lokal. Sementara partai nasional selain mengangkat isu lokal, juga menyuarakan isu-isu nasional. Isu-isu nasional ini dipredikasi kurang menarik bagi masyarakat.
Politisi partai nasional mesti pandai-pandai mengatur strategi dan langkah-langkah jitu, sehingga mampu berkompetisi pada pemilu mendatang. Apa yang dilakukan di Aceh kini mulai diikuti provinsi lain, khusunya pilkada Gubernur/ wakil gubernur dari kalangan calon independen. Perpolitikan Aceh menarik untuk dicermati, karena daerah itu memiliki kekhususan yang tidak dimiliki provinsi-provinsi lainnya di indonesia, seperti calon independen dan partai lokal. Tugas ekstra Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi NAD, karena selain partai nasional yang jumlahnya 51 partai yang lolos verivikasi, mereka juga akan mengurus partai lokal yang jumlahnya 12 partai. Bisa dibayangkan repot dan sibuknya anggota KIP NAD untuk melakukan rekapitulasi suara apabila semua partai itu bisa ikut pemilu.
Tidak  salah  ketika  partai  nasional  diminta  untuk  melakukan  berbagai  langkah khusus dalam mengahadapi pemilu 2009, seperti melakukan evaluasi dan introspeksi atas hal- hal yang telah berlangsung selama ini, sehingga mengetahui kegagalan, melakukan perbaikan organisasi agar lebih solid, rencana kerja dan strategi pemenangan pemilu perlu dilakukan lebih terarah dan mantap, serta merekrut kader-kader yang lebih selektif.
Namun demikian partai lokal dan partai nasional berkompetisi tetapi berbeda mengenai pencalonananggota legislatif. Kalau partai nasional boleh mencalonkan diri untuk anggota DPR RI dan DPRA (DPRD tingkat 1 Propinsi) / DPRK (DPRD Tingkat II Kab/Kota), tetapi partai lokal hanya mencalonkan diri untuk anggota DPRA/DPRK. Artinya, kompetisi antara partai nasioanal dan partai lokal hanya pada tingkat lokal tidak termasuk pencalonan anggota DPR. Oleh karena itu, keberadaan dan relasi partai lokal dengan rakyat Aceh akan lebih dekat dibandingkan partai nasional.[14] Misalnya pasal 7 ayat (1-5) PP No 20 tahun 2007, kepengurusan partai lokal berkedudukan di ibu kota Aceh dan dapat mempunyai kepengurusan sampai kelurahan/gampong. Sedangkan, partai nasional sesuai pasal 17 ayat (1-3) UU No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik disebutkan organisasi partai nasional terdiri atas tingkat pusat,  provinsi,  kabupaten/kota,  dan  kelurahan/desa,  mempunyai  hubungan  kerja  bersifat hierarkis.
Kalau dicermati tiga aspek penting dari performal sebauah parati lokal. Yaitu aspek soliditas massa, ideologi, dan kepemimpinan. Artinya, hanya partai-partai yang kuat dalam tiga basis itulah yang akan unggul dalam pemilu. Jajak pendapat yang dilakukan harian kompas, memperlihatkan hasil yang menarik. PKS ternyata unggul dalam kaitannya dengan tingkat solidaritas massa dan juga ideologi, namun partai itu dikalahkan oleh Golkar dan PDI-P dalam hal kepemimpinan. Namun demikian tidak berarti bahwa pertarungan bagi partai nasional tertentu akan mudah pada pemilu 2014. Beberapa jajak pendapat pada tingkat nasional menunjukkan bahwa publik kecewa dngan performan partai politik. Umumnya rakyat menganggap partai nasional tampail elistis dan terlalu banyak bergerak pada hal-hal yang jauh dari masalah yang dihadapi masyarakat.partai politik juga mengabaikan suara rakyat yang telah memilih mereka, dan hanya memperkuat kepentingan institusi dan elit politik partai. Tujuan partai nasional membangun demokrasi, tidak sepenuhnya mampu dicapai oleh parati nasional, misalnya dengan munculnya konflik-konflik internal partai. Kemunculan calon perorangan untuk pemilihan kepala daerah merupakan bukti lain bahwa partai sebagai wadah mendidik calon pemimpin tidak lagi sepenuhnya diandalkan.
Masalah figur terbukti masih menentukan. Partai nasional di Aceh kelihatannya tidak lagi memiliki satu figur pun yang populis di mata publik. Tidak ada tokoh partai nasional yang selama ini memberi pencerahan-pencerahan kepada rakyat dalam menghadapi berbagai masalah, tidak ada juga yang dijadikan panutan. Meski partai lokal diprediksi akan menggungguli partai nasional, sebenarnya partai lokal juga memiliki masalah yang hampir sama, ketiadaan figur yang dikenal dengan berbagai pemikiran briliannya selama ini. Sebagian tokoh muncul karena faktor sejarah bukan kerana pemikiran-pemikirannya, ketokohan. Sebagiannya lagi ada yang merupakan orang lama dalam dunia politik kemudian memilih berkiprah dalam partai lokal. Menjadi tantangan berat bagi partai lokal untuk menentukan apa yang  dapat  dijual  kepada  publik  untuk  muncul  sebagai  pemenang  dalam  pemilu  2014.[15] 
Pertarungan yang sehat, etis dan bermoral serta sesuai dengan koridor hukum harus menjadi tekad setiap partai politik dalam pemilu 2014. partai nasional harus belajar dari segala kekurangan selam ini, meluruskan kembali tekad dan komitmen yang benar dalam berpolitik. Bahwa calon perorangan mulai tampil sebagai pemimpin negeri atau daerah merupakan bukti sahih tentang kegagalan fangsi pernas nasional mendidik calon pemimpin.
Namun demikian riset Demos dan IFES membuktikan bahwa kekuatan partai nasional di Aceh masih dapat tempat. Survei Demos menunjukkan 29 persen rakyat Aceh akan memilih partai lokal dan 22 persen masih memberikan kepercayaan pada paratai nasional. Kalau angka survei ini kita pegang, peluang partai nasional masih tetap besar di Aceh, minimal dalam perkara perwakilan politik ke DPR RI di Jakarta. Survei IFES meperoleh angka lebih rendah bagi partai nasional, hanya 17 persen rakyat Aceh akan memilih partai Nasional.[16]
Untuk memperbesar perolehan tiket kejakarta, partai nasional bisa membangun koalisi terbats dengan partai lokal . mereka bisa membangun koalisi dengan partai lokal besar dengan sama-sama mendapat keuntungan politik. Partai politik nasional bisa mendapatkan dukungan politik di daerah dengan penambahan kursi di DPR-RI karena didukung partai lokal, sementara partai politik lokal akan mendapatkan keuntungan politik dengan kewajiban partai politik nasional untuk membela kepentingan politik partai lokal di tingkat nasional.
Koalisi ini memang tidak menjamin tidak akan ada pengingkaran dari salah satu pihak.  tetapi  yang  penting  diingat  adalah  politik  itu  adalah  art  of  possible.  Tergantung kelihaian masing-masing pihak untuk menggunakan kemungkinan dan kesempatan yang ada untuk memperbesar pengaruh politik terhadap pihak lain. Pola koalisi ini akan bisa mengalokasikan kekuasaan politik yang terbatas untuk sama-sama membela kepentingan Aceh baik di Aceh sendiri maupun di Jakarta. Kalau koalisi terbatas ini muncul di DPR Aceh dengan ditambah  partai-partai  lokal  lain,  sangat  bagus juga  stabilitas  politik pemerintah  di  Aceh. Dengan pengalokasian sumber-sumber kekuasaan tersebut maka dipastikan partai lokal dan partai nasional bisa hidup bersama dalam sistem politik yang unik di Aceh.[17]
Pemilu 2009 akan menjadi momentum keempat setelah tsunami, MoU dan pilkada 2006 bagi Aceh. Upaya transisi yang berkepanjangan dan menjadi proses demokratisasi. Namun, pemilu  bukan  ajang  konflik.  Memang,  dalam  setiap  kegiatan  politik  akan  selalu ditemui gesekan-gesekan karena perbedaan kepentingan. Hal ini yang seringkali menjadi konflik. Namun jika para aktor dalam suatu event pemilu dapat mengelola potensi konflik, maka konflik bukan sesuatu yang harus dihadapi tapi dimaknai secara arif. Maka inilah yang perlu dilakukan oleh para aktor dan rakyuat dalam proses pemilu.
Pertama, Komite Independen Pemilu (KIP), peran KIP dalam pemilu 2009 di Aceh sangat krusial. Lembaga inilah yang menyelenggarakan pelaksanaan pemilu di Aceh. Oleh karena itu, lembaga ini harus memiliki profesionalitas yang teruji dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara. KIP perlu menyelenggarakan pemilu secara seksama dan terstruktur seperti yang telah direncanakan. Sebagai penyelenggara pemilu, KIP mesti bersifat netral. Bahwa posisinya bukan sebagai pendukung partai atau para calon tapi mengakomodasi untuk maju kepertarungan politik melalui pemilu.
Konflik yang terjadi bisa saja muncul kurang tangganya KIP terhadap permasalahan mengenai  pemilu  di  masyarakat.  ”Aulia  Tujuh”  KIP  Abdul  Salam  Poroh,  Ilham  Saputra, Robby Syahputra, Akmal Abzal, Yarwin Adi Darma, Nurjani Abdullah, dan Zainal Abidin, diharapakan mampu mengawal lembaga Independen KIP benar-benar independen.
Kedua, rakyat dan pemilu. Bagaimanapun juga, pelaksanaan pemilu merupakan suatu kebutuhan bernuansa politis bagi kesejahteraan masyarakat nantinya. Pemilu diharapkan mampu menghasilkan para legsilator-legislator daerah dan nasional yang mempunyai kapabilitas, kecakapan, sikap yang baik dan tentu saja sesuai dengan yang dibutuhkan dan diharapkan darimasyarakat. Namun, harapan tanpa aksi adalah sia-sia. Dalam pemilu langsung yang istimewa ini, masyarakat wajib untuk berpartisipasi aktif dalam meningkatkan lingkungan politik yang lebih demokratis. Partisipasi aktif sederhana bisa ditunjukkan dengan mengikuti pencoblosan.ini tanda awal bagi masyarakat bahwa mereka membutuhkan pemimpin yang mengantarkan pada pintu perubahan yang lebih baik. Selain itu, menciptakan pemilu yang jujur, adil, aman, dan damai juga merupakan tanggung jawab bersama antara seluruh pihak termasuk masyarakat.
Konflik tidak lepas dari kehidupan masyarakat. Munculnya konflik juga berasal dari gesekan-gesekan masalah sosial di masyarakat. Oleh karena itu, permasalahan dalam pemilu hendaknya tidak perlu menjadi konflik fisik yang hanya akan menghancurkan dan menambah beban bagi masyarakat sendiri. Justru, ketika ditemukan kecurangan-kecurangan di dalam pemilu, masyarakat hendaknya melihat ini sebagai kasus hukum kriminal yang harus diselesaikan lewat jalur hukum. Kampanye yang melibatkan masyarakat dan memobilisasi masaa juga perlu juga diperlihatkan bahwa rasa damai tetap ada dalam pemilu. Jangan sampai, aksi mobilisasi massa menjadi ajang kerusuhan antar pendukung calon.
Ketiga, element lain yang tidak kalah penting dalam menjaga kemurnian pemilu 2014 adalah akademisi, tokoh masyarakat, Geuchiek, teungku gampong, imum mukim, imum meunasah/gampong. Tuha peut, tuha lapan, tokoh adat, panglima laot, kajrun blang, kajrun neuhun, ketua pemuda, aktivis mahasiswa, aktivis sipil dan lain-lain.
Keempat, panitia pengawas dan pemantau pemilu, dari data yang didapatkan dalam pilkada 2006. pilkada Aceh termasuk pilkada yang ramai pemantau baik dalam maupun luar negeri. Dan hal serupa kemungkinan akan terjadi dalam pemilu 2014. selain ada pemantau pemilu juga diawasi oleh panwaslih. Oleh karena itu, pengawasan pemilu hendaknya dilakukan secara cermat dan seksama oleh para pengawas dan pemantau pemilu. Panwas mesti berkerja ekstra sepanjang berlangsungnya pemilu. Panwas tidak hanya bekerja secara formalitas, namun juga benar-benar memiliki semangat untuk menjadikan pemilu Aceh menjadi momen yang sangat penting bagi tumbuhnya iklim demokrasi di Aceh.
Kelima, keterlibatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sejak adanya UUPA dan  penandatangan  MoU,  peran  pemerintah  pusat  dalam  mengurus  Aceh  menjadi  sangat minim.  Namun,  peran  yang  kecil  ini  jangan  mudah  dilupakan  oleh  pemerintah  pusat, khususnya dalam pemilu. Jika fungsi dan peran pemerintah pusat di daerah terlupakan, yang terjadi adalah saling lempar tanggung jawab. Keenam, peserta pemiludan perwujudan damai, dalam hal ini para partai dan calon legislator menjadi sorotan.
Peserta    pemilu menandatangani keputusan bersama untuk menjaga agar pemilu NAD berjalan damai, jujur, dan adil. Keputusan bersama ini menunjukkan sikap arif yang dimiliki para calon untuk menciptakan stabilitas politik dalam pemilu menuju arah lebih baik. Para calon juga harus mengajak masyarakat pendukungnya khususnya, dan masyarakat umumnya untuk menciptakan tatanan politik yang damai selama pemilu. Bagaimanapun juga, konflik selalu ada dalam masyarakat, apalagimmasyarakat Ach masih memiliki trauma politik akibat konflik. Sangat remntan sekali terjadi konflik jika tidak dikendalikan. Para calon bertugas untuk bisa mengendalikan masyarakat. Pada akhirnya, ikrar damai dihayati dari tingkat atas hingga ke akar rumput. Damai pemilu diharapkan juga berlangsung dan bertahan selamanya.
Ketujuh, KPA juga diharapkan menjadi basi untuk menjaga damai kemurnian pemilu. Kedelapan, TNI/POLRI, TNI menjadi alat pengamanan rakyat Aceh, bukan lagi menjadi alat untuk mengahncurkan pemerontak. Stigma selam konflik terhadap TNI memang mulai pudar, namun semata-mata bukan sikap TNI memang berubah tetapi lebih pada tuntutan situasi. Satu hal yang menonjol adalah adanya penandatanganan MoU.
TNI di Aceh harus mereformasi sikap di tengah masyarakat. Secara individu, TNI harus dapat bergabung dalam masyarakat luas, menjadi pengayom, pelindung. TNI tidak harus memandang masyarakat menjadi bias, mana yang GAM dan mana yang bukan GAM. Pasca MoU. Tidak ada kata GAM dan bukan GAM, yang ada hanyalah masyarakat Aceh. Mereka yang memang mengacaukan keamanan harus ditindak. Dari pifhak TNI, stigma tentang GAM juga  harus  dihilangkan.  TNI  dan  POLRI  mesti  menjaga  damai  yang  telah  terwujud. Kesembilan, media massa, peran yang tak kalah penting dalam suasana kehidupan demokrasi suatu masyarakat adalah media massa. Media massa merupakan sarana pencapaian demokratisasi pemilu yang menyentuh semua kalangan, baik di tingkat masyarakat hingga pejabat pemerintahan.
Respon masyarakat Aceh tentang keberadaan partai lokal positif. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 28 Juli sampai 2 Agustus 2005 dan Maret 2006 menunjukkan manyoritas rakyat Aceh mendukung pembentukan partai lokal.[18]  Keberadaan partai lokal ini sudah pernah dilontarkan pakar politik Indonesia dari Ohio State University, Prof. William Liddle, berpendapat ”saya tentu maklum bahwa partai lokal tidak diperbolehkan di Indonesia, tetapi kalau ada kemauan pasti ada cara Aceh damai. Setidaknya beri kesempatan GAM ikut bersaing dalam pemilihan umum di Aceh.[19]

E.    Kesimpulan
Demokrasi adalah alat untuk menjinakkan wilayah yang tidak mendukung cara-cara pemerintah pusat memimpin, atau dalam istilah pemerintah Indonesia adalah (separatisme). Demokrasi yang berkembang selama ini di Indonesia adalah demokrasi yang sarat dengan akomodasi politik. Setiap persoalan politik, semisal masalah disintegrasi dan pemberontakan, akan menemukan muaranya dalam demokrasi. Kecuali pada kelompok-kelompok aktivis separatis dan pemberontak yang tidak mau menggunakan demokrasi, setiap gerakan separatis dan pemberontakan lokal akan jinak dan lunak di dalam demokrasi. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, jelas memperlihatkan bahwa demokrasi adalah alat untuk medomestifikasi separatisme dan pemberontakan lokal yang bukan bermotif agama. Bahkan demokrasi adalah alat untuk menghasilkan hukum baru, dalam bentuk peraturan-peraturan atau perundang-undangan.
Salah satu contoh hukum produk demokrasi adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20/2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh, meski baru ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Maret 2007 lalu, namun PP itu berlaku surut pada 15 Februari 2007 —sesuai bunyi kesepakatan damai (MoU) Helsinki yang ditandatangani Pemerintah  RI  dengan  Gerakan  Aceh  Merdeka  (GAM).[20]  
Langkah politik sistematis ini berawal kepada lahirnya UU No. 18 tahun 2001 yang menjadi aturan legal bagi pemberian otonomi khusus bagi Aceh. Permasalahan yang muncul kemudian adalah kedua UU tersebut belum cukup memberikan rasa puas politik masyarakat di provinsi rawan konflik ini. Masih terdapat gejolak dan bentrok bersenjata di kedua wilayah paling ujung Barat ini. Pertama, keberadaan partai lokal yang kemungkinan akan menjadi kendaraan politik eks GAM, yang sejak awal tidak benar-benar tuntas untuk menjadi bagian dari NKRI. Sehingga ada kemungkinan partai politik lokal tersebut dijadikan pintu masuk untuk membangun dukungan politik agar Aceh menjadi satu wilayah yang benar-benar merdeka dan terlepas dari NKRI, sebagaimana tujuan awal dari perjuangan GAM. Indikator yang paling kuat adalah bahwa banyak dari petinggi GAM, seperti Abdullah Zaini yang selama ini bermukim di Swedia telah turun gunung, dan berkunjung ke wilayah NAD, dan menjadi elit politik yang dielu-elukan masyarakat setiap kunjungan. Sementara itu, ekses politik dari pembangunan kembali Aceh pasca tsunami dan bencana gempa bumi menjadi salah satu ekses negatif bagi eksistensi NKRI di wilayah Serambih Mekah tersebut
Kedua, harus dipahami bahwa keberadaan partai politik lokal merupakan satu terobosan  yang  signifikan  bagi  upaya  memperkuat  partisipasi  dan  demokrasi.  Keberadaan partai lokal menjadi jembatan politik antara masyarakat dengan elit politik, yang selama ini dapat dikatakan senjang. Keberadaan partai lokal pun bukan sesuatu yang baru di Indonesia, setidaknya pada Pemilu tahun 1955 tercatat sedikitnya ada enam partai politik lokal yang berpartisipasi, yakni: Partai Rakyat Desa (PRD), Partai Rakyat Indonesia Merdeka (PRIM), Partai Tani Indonesia, Gerakan Banteng, dan Partai Persatuan Daya. Menariknya, ada dari partai politik lokal tersebut mendapatkan kursi di parlemen nasional, yakni Partai Persatuan Daya.  Ini  artinya  bahwa  langkah  untuk  mendorong  perkembangan  partai  politik  lokal  di banyak daerah merupakan langkah strategis bagi penguatan eksistensi daerah terhadap pusat, yang  ujungnya  akan  makin  membangun  kaitan  tali-temali  politik  yang  berkesinambungan antara kepentingan politik pusat dan daerah.
Karena itu, eksistensi partai politik lokal dalam perspektif transformasi politik yang saat ini sedang berlangsung merupakan conditio sine qua non, sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ibarat matahari terbit dari timur, sesuatu yang secara alamiah akan dan harus terjadi karena hal itu merupakan bagian dari proses demokratisasi. Keniscayaan hadirnya partai politik lokal berkaitan dengan dua alasan pokok. Pertama, masyarakat Indonesia yang plural dan wilayah yang amat luas harus mempunyai instrumen politik yang dapat menampung seluruh  aspirasi  masyarakat  daerah.  Partai  politik  berskala  nasional  tidak akan dapat menampung dan mengagregasikan kepentingan rakyat di daerah yang sedemikian beragam. Lembaga seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang berfungsi sebagai institusi yang mewakili wilayah dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional, tidak cukup memadai. Lebih-lebih dewasa ini peran dan fungsinya masih dimandulkan oleh peraturan perundangan yang berlaku. Kedua, dengan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah langsung, seharusnya masyarakat di daerah harus diberi kesempatan membentuk partai lokal agar calon-calon kepala daerah benar-benar kandidat yang mereka kehendaki. Tidak seperti praktik yang selama ini terjadi, kepentingan masyarakat lokal harus disesuaikan dan tunduk dengan kepentingan elite partai di Jakarta. Ketiga, tidak kalah penting, kehadiran partai lokal dapat mendorong proses demokratisasi internal partai politik.
Oleh karena itu, GAM harus sedikit lebih sabar karena apa yang mereka tuntut sama dengan tuntutan seluruh warga masyarakat. Pemerintah sendiri tampaknya menolak tuntutan kehadiran partai lokal bukan karena alasan substansial, tetapi alasan yuridis formal (MoU) yang harus ditaati.[21] Dengan demikian, kini bola ada di parlemen. Mudah-mudahan momentum ini menjadi awal terjadinya perdamaian abadi di Aceh.
Meskipun penyelesaian konflik Aceh sejauh ini dianggap berhasil dan merefleksikan bahwa perdamaian dan demokrasi merupakan suatu kesatuan dalam menyelesaikan konflik, namun di aceh masi terjadi ‘deefektif demokrasi’. Hubungan perdamaian dan demokrasi diwilayah konflik menghasilkan kelompok yang merasa superior atas kelompok lain. Umumnya para pejuang merasa paling berhak atas perdamaian dan menguasasi pemerintahan serta wajib hukumnya memenangkan pemilu. Itu yang menjadi doktrin PA dan eks combatan. Maka kekerasan dan teror menjadi rentan dan lumrah, sebab, konflik di Aceh bukanlah konflik etnis atau konflik agama. Maka perselisihan justru terjadi sesama masyarakat Aceh yang merasa “warga kelas 1” dengan masyarakat biasa yang tidak naik gunung berjuang.


                                                _______________________________________
Penulis adalah Direktur Eksekutif LP2-AB Jakarta.







[1] Otto Syamsuddin Ishak, Dari Maaf Ke Panik Aceh, LSPP, Jakarta, 2008.
[2] Diolah dari berbagai sumber, antara lain Moch. Nushasyim Pelibatan Masyarakat Aceh dalam Rekontruksi dan Recovery Pasca Tsunami dalam Reconstruction and Peace Building in Aceh (LIPI 2005). A. Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh, (Jakarta: Yayasan Oboor Indonesia, 2003). Indra J. Piliang Mengakhiri Konflik Aceh dalam Reconstruction and Peace Building in Aceh (LIPI, 2005).
[3] Sejak pemerintah Abdurrahman wahid melakukan perjanjian dengan pihak GAM melalui Jeda Kemanusiaan I dan II yang kemudian diteruskan dengan CoHA (Cessation of Hastilities Agreement) yang diteruskan oleh Presiden Megawati. CoHA yang difasilitasi oleh Henry Dunant Center (HDC) ini dihentikan secara sepihak oleh Pemerintah RI yang kemudian disusul dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 28/2003 tertanggal 19 Mei  2003  tentang  Peningkatan  Status  Keadaan  Bahaya  di  Nanggroe  Aceh  Darussalam  dengan  tingkatan Keadaan Bahaya. Praktis pintu perjanjian (dialog damai) sudah tertutup dengan pihak GAM.

[4] Sumber : diambil dari terjemahan resmi yang telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Firlandia 15 Agustus 2005.
[5] MoU Heksinki terdiri atas tiga bagian, yaitu : (1) penyelenggaraan pemerintahan Aceh, yang mengatur tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur pemerintahan di Aceh, pengaturan partisipasi di bidang politik, hak-hak ekonomi bagi Aceh, dan pembentukan peraturan perundang-undangan ; (2) penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM); dan (3) amnesti dan reintegrasi mantan anggota GAM dan tahanan politik ke dalam masyarakat serta pengaturan keamanan, pembentukan   Misi Monitoring Aceh, dan mekanisme penyelesaian perselisihan dalam tahap implementasi kesepakatan di lapangan.
[6] www.bappenas.go.in, diakses 7/6/2008.
[7]Sikap pesimistis ini penulis rangkum dari berbagai diskusi yang penulis ikuti di Aceh dan Jakarta terutama dengan warga Aceh. Salah satunya diskusi bulanan yang difasilitasi oleh wisma mahasiswa Aceh Foba Jakarta Januari, Februari dan Maret 2008.
[8] Teuku Alfian Ibrahim (1999), wajah aceh dalam lintasan sejarah, pusat dokumentasi dan informASI Aceh. Banda Aceh.
[9] Alchaidar (1998), Aceh bersimbah Darah, Pustaka Al Kautsar.
[10] Pendapat Teuku Kemal Fasya yang dikemukakannya dalam Wokshop tentang Perdamaian (mahasiswa dan pemuda Aceh se Jabotabek-Peusaka Maja I) oleh Wisma Mahasiswa Aceh FOBA Jakarta di Rudian Hotel Cisarua Puncak Bogor, 19-20 April 2008.
[11] Survey lembaga Survey indonesia, 2006
[12] (Hasil Penelitian Demos, September 2006-Januari 2007).
[13] http//www.sinarharapan.co.id/berita/0606/07nas05.html, pendapat Ikrar Nusa Bhakti dalam diskusi Patnership di Jakarta 6/6/2007, akses 7/5/2008.

[14] http//www.acehinstitute.org//Amrijal J.Prang, bila parlok menjejaki parnas,22/4/2008. diakses5/7/2008
[15] Saifuddin Bantasyam, Parlok Vs Parnas dalam pemilu Serambi Indonesia 2009, 28/5/2008
[17]Ibid.

[18] Untuk Survei LSI 28 Juli Sampai 2 Agustus 2005 lihat Majalah Acehkita, edisi september 2005. Survei LSI Maret 2006 dialkukan pada 1015 responden dengan metode multistage random sampling, margin of error +/-
    3,1% dan tingkat kepercayaan 95%.
[19] Koran Acehkita, Edisi 025/TH ke-3, 08-14 Oktober 2007
[20] Lihat MoU Helsinki, 15 Maret 2005.

[21] Novel Ali, „Partai Lokal dan NKRI“ Suara Merdeka, 21 Juli 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar