Oleh : Rahman Yasin
A.
Pengantar
Aceh terletak
diujung barat laut Sumatera (20 –60 Lintang Utara dan 950–980
Bujur Timur) dengan ibukota Banda Aceh, memiliki luas 57.365,57 KM2
(12,26% dari luas pulau Sumaetra), dan sekaligus terletak pada posisi strategis
sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan dan kebudayaan yang menghubungkan
belahan dunia timur dan barat.
Daerah ini memiliki 119 pulau, 35 gunung, 73 sungai besar,
2 buah danau dan sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan hutan yang terdiri
dari hutan lindung 26.440,81 KM2 dan hutan budidaya 30.924,76 KM2.
Aceh mempunyai beragam kekayaan sumberdaya alam antara lain minyak dan gas
bumi, pertanian dan industry, perkebunan (kelapa sawit, karet, kelapa, cengkeh,
kakao, kopi, tembakau), perikanan darat dan laut, pertambangan umum (logam,
batu bara, emas, dan mineral lainnya).
Berbagai faktor telah mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi
Aceh. Konflik bersenjata dan tidak stabilnya kondisi politik yang begitu lama
ternyata telah berpengaruh signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi daerah.
Krisis ekonomi nasional selama 1998- 2000 juga telah
menyebabkan pertumbuhan ekonomi Aceh cenderung menurun.
Dari sisi sumber daya alam, Aceh memiliki prospek yang
sangat baik untuk pembangunan investasi
dimasa yang akan datang. Apalagi setelah ditandatanganinya MoU
kesepakatan damai antara pemerintah RI dan GAM di Helsinki-Finlandia
pada tanggal 15 Agustus 2005. Kemudian disahkan UU Pemerintahan Aceh sebagai
turunan MoU serta suksesnya pelaksanaan pilkada damai dan demokratis, Februari 2006.
Potensi yang mempunyai prospek ekonomis meliputi sektor pertanian, industry
pengolahan, pertambangan, energy, pariwisata serta kelautan dan perikanan.
Selain itu letak provinsi Aceh juga sangat strategis pada jalur perdagangan
internasional, maka akan menambah peluang investasi dibidang jasa transportasi
baik laut maupun udara.
Proses rehabilitasi dan rekonsiliasi Aceh juga sudah
berakhir sejak 2009 lalu juga melibatkan berbagai lembaga nasional dan
internasional, menjadikan Aceh semakin terbuka terhadap kerjasama nasional dan
internasional. Masih rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk
yang relatif besar berpengaruh terhadap kondisi sosial
masyarakat Aceh. Tingginya angka pengangguran dan kemiskinan belum diikuti
dengan peningkatan kualitas penduduk, maka berimplikasi pada kehidupan sosial
ekonomi masyarakat sangat rendah (social
welfare). Kedaan ini disebabkan karena beberapa aspek yaitu : kemiskinan
struktural, konflik yang berkelanjutan, krisis
ekonomi, bencana gempa bumi dan tsunami serta naiknya harga bahan bakar minyak
(BBM) dalam negeri berpotensi menambah jumlah masyarakat miskin.
Dari sisi jumlah penduduk yang umumnya berpendidikan rendah
harus bekerja apa saja untuk mempertahankan hidupnya. Karakteristik ini
menyebabkan lemahnya posisi tawar masyarakat dan tingginya kerentanan terhadap
perlakuan yang merugikan bagi pekerja. Kualitas tenaga kerja masyarakat Aceh
relatif sedang yang ditunjukan oleh tingkat pendidikan umum dari angkatan
kerja, dimana 7,03% (tahun 2003) tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah, dan
sebesar 69,08% umumnya lulusan SMP dan SMU.
Dampak tersebut akan berimplikasi pada kualifikasi
pekerjaan dan tingkat pendapatan yang sangat rendah, tanpa system kontrak atau
tidak adanya kepastian perlindungan hukum terhadap pekerja
informal tersebut. Untuk mengatasi berbagai persoalan kependudukan dan
ketenagakerjaan maka perlu ditempuh solusi perbaikan tingkat kualitas hidup
masyarakat (income percapita).
B. Aceh Pasca
Tsunami dan Proses Menuju Helsinki
Tragedi bencana
tsunami, menyusul penandatanganan kesepakatan
damai di Helsinki Finlandia
pada bulan Agustus 2005 telah menjadi pembukaan
bagi babak baru dalam kesejarahan Aceh. Potret Aceh setelah bencana tsunami dan dalam konteks pembangunan perdamaian yang tengah
dialami oleh masyarakat
Aceh merefleksikan pertautan antara lokal
dan global, sebagaimana kronik sejarah
Aceh.[1] Proses
pembangunan pasca bencana dan perdamaian saat ini selain
digerakkan oleh aktor-aktor dari luar juga diisi oleh oarang Aceh sendiri. Bersamaan dengan proses tersebut,
Aceh menjadi sebuah laboratorium sosial, seolah semua dimensi
sosial, politik, ekonomi, budaya
dan lingkungan menjadi menarik di Aceh.
Pasca kemerdekaan Indonesia
konflik antara Aceh dan Pemerintah pusat[2], pertama kali terjadi pada saat gerakan
Darul
Islam (DI / TII) pimpinan
Tengku Daud Beureuh diproklamirkan pada tahun 1953. Setelah sempat mengalami masa
damai,
konflik Aceh dan pemerintah pusat kembali terjadi
pada saat Hasan Tiro memproklamirkan kemerdekaan Aceh pada tanggal 4 Desember 1976.
Persoalan ini semakin rumit ketika keistimewaan daerah Aceh berakhir dengan diberlakukannya UU Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah, yang menggantikan UU Nomor 18 Tahun
1965, yang didalamnya diatur mengenai keistimewaan Aceh. Akumulasi dari berbagai
persoalan tersebut
kemudian melahirkan sebuah gerakan pemisahan diri
di
bawah
bendera Acheh Sumatera National
Liberation
Front
(ASNLF), yang kemudian
dikenal dengan nama
Gerakan Aceh Merdeka
(GAM). Pada dasarnya UU
Nomor 18 tahun 1965 tentang pemerintahan
daerah, lahir dengan adanya dekrit Presiden saat itu untuk kembali kepada UUD 1945 sebagai landasan
integralisme. UU ini merupakan bentuk revisi dari UU Nomor 1 tahun 1959 yang lebih bernuansa
federasi. UU Nomor 5 tahun 1974 adalah penertiban lebih lanjut berkaitan dengan konsep
desentralisasi, Gubernur adalah perpanjangan tangan pusat. Masa reformasi dirubah lagi menjadi UU Nomor
22 tahun 1999 yang menitikberatkan otonomi pada tingkat Kabupaten/Kota. Kemudian
dikembangkan lagi otonomi daerah berada pada tingkat Provinsi dengan UU Nomor 32 tahun 2004.
Pemerintah pusat kemudian meresponnya dengan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menumpas
gerakan tersebut, termasuk
operasi militer. Tahun 1989 – 1998
merupakan periode yang paling
berdarah dalam sejarah
konflik di Aceh.
Paska kemerdekaan GAM kembali menjadi perhatian publik dan pemerintrah
pusat setelah mereka menegaskan kembali keberadaannya di tengah krisis multidimensi yang dialami Indonesia
sejak pertengahan tahun 1997. Kebangkitan gerakan ini tentu
saja merisaukan pemerintah lokal maupun pusat, apalagi ketika gerakan ini samakin membesar dan sulit
untuk dipadamkan. Berbagai pendekatan yang diambil
oleh pemerintahan transisi sejak masa
B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid hingga Megawati Soekarnoputri pada akhirnya mengalami jalan buntu, sehingga penyelesaian masalah Aceh pun berlarut-larut. Namun satu hal yang
penting utuk dicatat dari upaya penyelesaian
konflik pada masa transisi ini
adalah disertakannya aspek diplomasi, meskipun dalam
tataran operasional masih kental
dengan penggunaan kekuatan
bersenjata.
Pada
masa Presiden Abdurrahman Wahid upaya dialog damai dengan nama Jeda Kemanusiaan I dan II telah dilakukan. Namun,
kebijakan yang memadukan operasi
keamanan, operasi kemanusiaan, dan penegakan hukum ini
pun tidak berhasil memadamkan perjuangan GAM, sehingga kemudian dengan Keputusan Presiden
Nomor 18 Tahun 2003 pada tanggal 19 Mei 2003 Megawati mengumumkan
diberlakukannya status Darurat Militer di Aceh[3].
Pendekatan diplomasi dalam
penyelesaian konflik Aceh kembali digunakan
oleh pemerintah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, yang dipilih melalui pemilihan secara langsung pada tahun 2004,
dengan melakukan pembicaraan informal dengan pihak GAM. Pembicaraan
informal
yang berlangsung sejak akhir Januari
hingga Mei 2005 difasilitasi oleh Crisis
Managemant Initiatif (CMI), sebuah lembaga internasional yang dipimpin mantan Presiden Firlandia
Martti Ahtisaari. Rangkaian pembicaraan ini
berlangsung empat tahap antara delegasi Pemerintah RI dan GAM di luar kota Heksinki ini akhirnya menghasilkan sebuah Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani
pada tanggal 15 Agustus 2005. Dalam pembukaan
MoU disebutkan bahwa :
“.......Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara
damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat
bagi semua. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga
pemerintahan rakyat Aceh dapat
diwujudkan melalui suatu proses yang
demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Para pihak sangat yakin
bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan
pembangunan kembali Aceh pasca Tunami tanggal
26 Desember 2004 dapat
mencapai kemajuan
dan keberhasilan. Para pihak
yang terlibat dalam konflik bertekad
untuk membangun rasa saling percaya. Nota Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi
....’ (Pembukaan dalam Nota Kesepahaman antara RI-GAM).[4]
Kutipan
di atas mengilustrasikan tekad kedua belah pihak, Republik Indonesia maupun GAM untuk menyelesaikan konflik Aceh secara bermartabat.
MoU Heksinki adalah suatu terobosan
yang dilakukan oleh pihak
RI dan GAM sebagai salah satu proses transformasi konflik yang amat mendasar, dari konflik yang
bernuansa kekerasan menjadi
perjuangan politik melalui
kerangka demokrasi.
Kesepakatan tersebut adalah
titik awal bagi perubahan mendasar di Aceh, kalau tidak dapat dikatakan sebagai jalan menuju
Aceh baru yang lebih baik di masa
mendatang. Untuk mencapai itu, proses transformasi akan dilakukan, sebagaimana tercermin dalam isi nota kesepahaman melalui : penyelenggaraan pemerintahan di Aceh; partisipasi politik (adanya partai lokal); ekonomi; peraturan perundang-undangan; hak asasi
manusia (HAM), hingga masalah amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat.[5]
Laporan Bappenas menyebutkan
kondisi politik, keamananan, dan perdamaian di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) menunjukkan keadaan yang
semakin baik. Sejak terselenggaranya pilkada
di Provinsi NAD pada akhir 2006, keadaan politik dan pemerintah di Aceh terus membaik. Dunia internasional pun tidak memiliki keluhan-keluhan yang berarti
mengenai cara-cara pemerintah menangani persoalan
Aceh pasca penandatanganan MoU antara pemerintah dan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 lalu. Itu semua karena keterbukaan pemerintah
Indonesia, dengan didukung oleh DPR
dan seluruh masyarakat Indonesia yang mencintai Indonesia
yang utuh dan damai. Kita percaya bahwa model penyelesaian persoalan Aceh dapat menjadi contoh.[6]
Meskipun pemerintah SBY dan kalangan di Jakarta melihat hal ini sebagai sebuah cerita yang berakhir dengan
happy ending, namun
masih ada warga Aceh yang menganggap hal ini hanya sebagai istirahat sementara dari sebuah konflik
yang tidak dapat dielakkan akan terjadi lagi.[7] Perilaku sejumlah pejabat GAM / KPA yang terpilih
melalui Pilkada dan para mantan anggota
pasukan TNA di lapangan menjadi salah satu alasan pesimisme; pada pemilih
di Aceh tampaknya
telah mengganti elite korup yang satu dengan yang lain. Di sisi lain
masalah yang belum selesai antara Aceh dan Jakarta termasuk
keterlibatan militer yang begitu
besar merupakan ‘bom waktu’.
Terpilihnya anggota GAM / KPA dalam
Pilkada 11 Desember 2006 sebagai pejabat
Provinsi dan Kabupaten telah membantu menciptakan
sebuah jaringan patronase yang menguntungkan;
pekerjaan dan kontrak jatuh ke tangan sang pemenang.
Namun demikian tingkat pengangguran di antara mantan pasukan
TNA masih tetap tinggi dan mungkin menjadi
salah satu faktor sejumlah insiden yang melibatkan cara-cara
ilegal untuk mendapatkan uang
dengan cepat.
Aceh tidak tunggal dalam memaknai perjalanan dirinya, karena Aceh adalah
kumpulan keberagaman, baik itu etnis, ras, suku, agama,
sejarah
bangsa
bahkan
juga
andangan politik. Di masa-masa awal
Aceh, keberagaman ini dimaknai dan diapresiasi secara positif, sehingga Aceh
lahir menjadi titik
tolak peradaban bagi
wilayah sekitarnya.[8] Kini kedewasaan tersebut mendapat tantangan, karena Aceh sudah berada pada fase yang menentukan, pasca konflik, tsunami dan pasca
Pilkada 2006 serta menyongsong pemilu legislatif 2014. Jika kembali mengingat proses perdamaian yang pernah terjadi
sebelumnya, seperti
Jeda Kemanusiaan I, Jeda Kemanusiaan
II, Moratorium Kekerasan, dan CoHA
(Cessation of Hostilities Agreement) umur perdamain tidak pernah melebihi enam bulan. Ada banyak pra-kondisi yang memang membuat kesepakatan
Heksinki berbeda, seperti pengalaman darurat militer dan sipil yang telah
menguras habis potensi kekerasan
dan meninggalkan cacat kemanusiaan
dan kerugian ekonomis-sosial-budaya, bencana tsunami, dan adanya gelombang bantuan
internasional untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh
yang mensyaratkan perdamain sebagai salah satu klausulnya.[9]
Titik
kulminasinya bertemu pada
proses demokrasi dan pembangunan kembali Aceh
baru. Namun proses ini belum berakhir dan terhenti. Perdamaian sendiri sebenarnya juga bukan ‘kata benda’ yang selalu merujuk kepada hasil dan dampak ,
tetapi merupakan ‘kata kerja’, proses dan dialektika yang selalu menuntut pada kerja keras agar bertahan
kebugarannya. Perdamaian yang tidak aktif dipertahankan akan kembali mengarah
kepada pembusukan, godaan untuk kembali berkonflik, dan involusi perdamaian yang
jalan di tempat. Mungkin secara formal kita masih berdamai tapi secara substansial tidak layak lagi dikatakan
perdamaian.[10] Mengharap bahwa pemilu
legislatif 2009 sebagai transisi terakhir di Aceh mungkin berlebihan, namun
itulah momentum
penting yang harus dilewati rakyat Aceh untuk sebuah damai yang abadi.
Pemilu
2009 juga akan menjadi titik penting masa depan Aceh, 6 parlok dan 37 parnas bertarung
memenangkan persaingan dalam
merebut hati rakyat untuk duduk sebagai
wakil rakyat di DPRA dan DPRK di
Aceh. Sedangkan untuk wakil di Senayan pemilihan Presiden dan wakil
Presiden, partai politik lokal akan berafiliasi dengan salah
satu partai politik nasional. Kemunculan multi partai di Aceh secara teori, makin banyak partai politik
memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi
rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang
untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara.
Dengan banyaknya alternatif pilihan dan meluasnya
ruang gerak partisipasi rakyat
memberikan indikasi kuat
bahwa sistem pemerintahan
di tangan rakyat sangat mungkin diwujudkan.
Tidak berperannya partai politik dalam proses pendidikan politik
rakyat zaman Orde Baru harus segera diakhiri.
Peran partai politik dalam
kehidupan berbangsa masa Orde Baru
ditata dengan perangkat
UU No. 3 tahun 1973 tentang Partai Politik,
partai politik yang jumlahnya cukup banyak ditata menjadi 3 (tiga ) kekuatan sosial politik yaitu PPP, PDI dan Golkar. Namun penataan ini mengakibatkan tidak berperannya partai politik sebagai
wadah penyalur aspirasi dan pendidikan politik bagi rakyat. Rakyat dibiarkan mengambang (floating
mass), penguasa menjadikan
partai politik sebagai
mesin legitimasi kekuatan dan asesoris demokrasi. Wujud mematikan dialektika masyarakat warisan Orde Baru budaya politik
sangat independen dengan kekerasan dan pemaksaan kehendak. Padahal mewujudkan civil society butuh kesadaran politik dan
toleransi politik.
Meski diakui bahwa perbedaan
merupakan hal yang wajar, tetapi bagaimana pengelolaan politik untuk memelihara konflik pada tingkatan optimal,
sehingga menumbuhkan kompetisi antar kontestan yang sehat untuk mewujudkan partisipasi politik rakyat dan peran
partai politik lokal sebagai kanal-kanal politik rakyat yang maksimal. Mementum
Pemilu 2014 ini, dengan
keterlibatan partai politik lokal berdasarkan Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mampu mengantarkan Aceh ke arah lebih baik dan demokratis. Partai politik lokal bukan hanya
mengajak rakyat agar mencoblos untuk tidak golput, namun
bagaimana tidak mengalienasi rakyat dalam
proses pengambilan keputusan
publik sebagai jaminan
pemerintah Aceh yang demokratis.
C.
Perdamaian dan Demokrasi di Aceh
Setelah tercapainya
perundingan Helsinki, kedua pihak berkewajiban melaksanakan klausul-klausul
yang telah disepakati. Dan setelah dua
tahun implementasi perundingan, keadaan Aceh terus membaik dan menunjukan
tanda-tanda posistif. Rasa aman dari konflik senjata benar-benar dirasakan oleh
masyarakat, namun rasa aman secara politik belum sangat menggembirakan.
Rehabilitasi dan rekonsiliasi yang dimotori oleh BRR sebagai lembaga yang
memiliki mandat untuk memmbangun kembali Aceh pasca Tsunami bersama
sejumlah NGO lokal maupun lembaga donor
berjalan baik. Tidak ada lagi gangguan keamanan. Mantan combatan juga
diakomodir masuk bekerja di BRR.
Tetapi
daerah-daerah yang pernah menjadi basisi GAM masih ada kekhawatiran untuk
berbicara tentang politik, takut ditangkap aparat keamanan secara semena-mena,
dan takut untuk ikut organisasi. Padahal kesepakatan damai yang dicapai di
Helsinki mensyaratkan transformasi GAM menjadi kekuatan politik yang
meninggalkan cara kekerasan. Ini menunjukan bahwa perdamaian yang ada baru
mencakup “the absent of conflict” bukan “the presence of freedom”
ataupun “the presence of justice”.[11]
Hal
ini tidak mengherankan dan memungkinkan terjadi, karena psikologi konflik yang
sudah berlangsung lama di aceh masih menjadi memori kolektif masyarakat,
terutama diwulayah basis konflik atau daerah-daerah ‘merah’.
Implementasi
MoU Helsinki belum sepenuhnya di realisasikan oleh pemerintah indonesia.
Beberapa hal yang masih menjadi komplain dari mantan juru runding GAM, antara
lain masih ada beberapa poin dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh yang belum
sesuai atau bertentangan dengan MoU Helsinki, masih ada tahanan politik Aceh
yang belum dibebaskan, pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) belum dibentuk padahal deadlinenya 1 Agustus 2007.
Sementara
itu dinamika demokrasi di Aceh pasca MoU Helsinki semakin menggembirakan.
Secara ringkas gambaran dinamika demokrasi di Aceh dapat disimpulkan adalah pertama,
demokrasi diterima sebagai sistem yang mengatur hidup bersama masyarakat Aceh,
institusi minimal telah tersedia; kedua,potensi tinggi dari masyarakat
aceh untuk berpolitik dan preferensi partai politik lokal sebagai pilihan
ekspresi politik; ketiga,kuatnya identitas kebangsaan sebagai orang
Aceh; keempat, ancaman kolusi kekuatan modal dan birokrasi terhadap
sendi-sendi demokrasi; kelima, Aceh didominasi oleh aktor-aktor politik
dan perlembagaan organisasi massa lemah.[12]
Demokrasi
di Aceh akan sangat sulit terbangun tanpa keterlibatan aktor pro demokrasi di
masyarakat madani. Sementara itu GAM juga melakukan proses peralihan menjadi
kekuatran politik di Aceh. Keterlibatan ini menjadi sangat strategis karena
proses demokratisasi tidak dapat dibiarkan didominasi oleh elit politik. Aktor
pro demokrasi dan kelompok-kelompok rakyat yang terorganisasi dengan baik
menjadi kunci bagi keberhasilan demokratisasi di Aceh.
Oleh
karena itu perlu komitmen semua pihak untuk mendorong perdamaian yang
berkelanjutan dan demokrasi yang bermakna di aceh, maka dianggap perlu partai
politik lokal yang kuat dan mendapat dukungan mayoritas rakyat Aceh.
D.
Partai Lokal Aceh dan Partai Nasional dalam Pemilu
2014
Secara umum pemilu 2009
memang berbeda dengan pemilu 2004. namun, yang menarik nanti adalah ketika partai lokal menjadi peserta
pemilu. Sehingga akan terjadi kompetisi antara partai nasional dengan
partai lokal. Keberadaan partai lokal berdampak positif dalam memperkuat desentralisasi politik, memperpendek rentang kendali organisasi
politik, memudahkan agregasi dan kepentingan
rakyat, mempermudah
saluran
komunikasi
politik,
lebih memudahkan dalam memperjuangkan kepentingan dan identitas
politik lokal dalam kebhinnekaan, serta mendorong partisipasi politik yang luas
didaerah. Keberadaan partai lokal tidak perlu didikotomikan dengan format NKRI.
Partai lokal justru bisa meningkatkan
kedewasaan politik, apalagi
keberadaan partai lokal mustahil dihindari ditengah rendahnya kepercayaan publik terhadap partai
nasional saat ini. Bila partai lokal berafiliasi dengan partai nasional, bisa jadi partai
lokal hanya perpanjangan tangan
dari partai nasional. Bisa menjadi semacam onderbouw partai nasional didaerah.[13]
Mantan ketua
DPP Partai Golkar Akbar
Tanjung berpendapat, perolehan
suara partai lokal pada pemilu 2009 di Aceh akan lebih unggul dibandingkan partai nasional,
karena lebih fokus mengangkat
isu-isu lokal. Persaingan partai lokal dan partai nasional pada pemilu mendatang akan ketat, namun suara partai lokal akan lebih unggul.
Kelebihan partai lokal menghadapi
pemilu
mendatang karena lebih fukus mengangkat isu-isu lokal. Sementara
partai nasional selain mengangkat isu
lokal, juga menyuarakan isu-isu nasional. Isu-isu nasional ini dipredikasi
kurang menarik bagi masyarakat.
Politisi partai
nasional mesti pandai-pandai mengatur
strategi dan langkah-langkah jitu, sehingga mampu berkompetisi pada pemilu mendatang. Apa yang dilakukan
di Aceh kini mulai diikuti provinsi lain, khusunya pilkada Gubernur/ wakil gubernur dari kalangan
calon independen. Perpolitikan Aceh menarik untuk
dicermati, karena daerah itu memiliki
kekhususan yang tidak dimiliki
provinsi-provinsi lainnya
di indonesia, seperti calon independen dan partai lokal. Tugas ekstra Komisi Independen Pemilihan
(KIP) Provinsi NAD, karena selain partai nasional yang jumlahnya 51 partai yang lolos verivikasi, mereka
juga akan mengurus partai lokal yang jumlahnya 12 partai. Bisa dibayangkan repot dan sibuknya
anggota KIP NAD untuk melakukan
rekapitulasi suara apabila semua partai itu bisa ikut pemilu.
Tidak salah ketika
partai nasional diminta untuk melakukan
berbagai langkah khusus dalam mengahadapi pemilu 2009, seperti melakukan
evaluasi dan introspeksi atas hal- hal yang
telah berlangsung selama ini,
sehingga mengetahui kegagalan, melakukan perbaikan organisasi agar lebih solid, rencana kerja dan strategi pemenangan pemilu perlu dilakukan
lebih terarah dan mantap, serta merekrut
kader-kader yang lebih selektif.
Namun demikian
partai lokal dan partai nasional berkompetisi
tetapi berbeda mengenai pencalonananggota legislatif. Kalau partai nasional
boleh mencalonkan diri untuk
anggota DPR RI dan DPRA (DPRD tingkat
1 Propinsi) / DPRK (DPRD Tingkat II Kab/Kota), tetapi partai lokal hanya mencalonkan diri untuk anggota
DPRA/DPRK. Artinya, kompetisi antara
partai nasioanal dan partai lokal hanya
pada tingkat lokal tidak termasuk pencalonan anggota DPR. Oleh karena
itu, keberadaan dan relasi partai lokal
dengan rakyat Aceh akan
lebih dekat dibandingkan partai nasional.[14]
Misalnya pasal 7 ayat (1-5) PP No 20 tahun 2007,
kepengurusan partai lokal berkedudukan di ibu
kota Aceh dan dapat mempunyai kepengurusan sampai kelurahan/gampong. Sedangkan,
partai nasional sesuai pasal 17 ayat (1-3)
UU No
2 tahun 2008 tentang Partai Politik
disebutkan organisasi partai nasional terdiri atas tingkat
pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kelurahan/desa, mempunyai hubungan
kerja
bersifat
hierarkis.
Kalau dicermati tiga aspek penting dari performal sebauah parati lokal. Yaitu aspek
soliditas massa, ideologi, dan kepemimpinan. Artinya, hanya partai-partai yang kuat dalam tiga basis itulah yang akan unggul
dalam pemilu. Jajak pendapat yang dilakukan harian kompas, memperlihatkan hasil yang menarik. PKS ternyata unggul dalam kaitannya dengan tingkat
solidaritas massa dan juga ideologi,
namun partai itu dikalahkan oleh Golkar dan PDI-P dalam hal kepemimpinan.
Namun demikian tidak berarti bahwa pertarungan bagi partai nasional tertentu akan mudah pada pemilu 2014. Beberapa jajak pendapat pada tingkat nasional
menunjukkan bahwa publik kecewa dngan performan partai politik.
Umumnya rakyat menganggap partai nasional tampail elistis
dan terlalu banyak bergerak
pada hal-hal yang jauh
dari masalah yang dihadapi
masyarakat.partai politik juga mengabaikan suara rakyat yang telah
memilih mereka, dan hanya memperkuat kepentingan institusi dan elit politik
partai. Tujuan partai nasional membangun demokrasi, tidak sepenuhnya mampu dicapai oleh parati nasional, misalnya dengan
munculnya konflik-konflik internal partai.
Kemunculan calon perorangan untuk pemilihan kepala daerah merupakan
bukti lain bahwa partai sebagai wadah mendidik
calon pemimpin tidak lagi sepenuhnya diandalkan.
Masalah figur terbukti
masih menentukan. Partai
nasional di Aceh kelihatannya
tidak lagi memiliki satu figur pun yang populis
di mata publik. Tidak ada tokoh partai nasional yang selama ini memberi pencerahan-pencerahan kepada rakyat dalam
menghadapi berbagai masalah, tidak
ada juga yang dijadikan panutan. Meski partai lokal diprediksi akan menggungguli partai nasional, sebenarnya partai lokal juga memiliki masalah yang hampir sama, ketiadaan
figur yang dikenal
dengan berbagai pemikiran briliannya selama ini. Sebagian
tokoh muncul karena faktor sejarah
bukan kerana pemikiran-pemikirannya, ketokohan. Sebagiannya lagi ada yang merupakan orang lama dalam
dunia politik kemudian memilih berkiprah dalam partai lokal. Menjadi tantangan berat bagi partai lokal untuk menentukan apa yang dapat dijual kepada publik
untuk
muncul
sebagai
pemenang dalam pemilu
2014.[15]
Pertarungan yang sehat, etis dan bermoral serta sesuai dengan koridor hukum
harus menjadi tekad setiap partai politik dalam pemilu 2014. partai nasional harus belajar dari segala
kekurangan selam ini, meluruskan kembali tekad dan komitmen yang benar dalam berpolitik. Bahwa calon perorangan mulai tampil sebagai pemimpin negeri atau daerah merupakan bukti sahih tentang kegagalan
fangsi pernas nasional mendidik calon pemimpin.
Namun demikian riset Demos dan IFES membuktikan
bahwa kekuatan partai nasional di Aceh masih dapat tempat. Survei
Demos menunjukkan 29 persen rakyat Aceh akan
memilih partai lokal dan 22 persen masih memberikan kepercayaan pada paratai nasional. Kalau angka survei ini kita pegang, peluang partai nasional masih tetap besar di Aceh, minimal
dalam perkara perwakilan politik ke DPR RI di Jakarta. Survei IFES meperoleh
angka lebih rendah bagi partai
nasional, hanya 17 persen rakyat Aceh akan memilih
partai Nasional.[16]
Untuk memperbesar perolehan tiket kejakarta,
partai nasional bisa membangun koalisi terbats dengan
partai lokal . mereka bisa membangun koalisi
dengan partai lokal besar dengan sama-sama
mendapat keuntungan politik. Partai politik nasional bisa mendapatkan dukungan politik di daerah dengan penambahan kursi di DPR-RI karena didukung partai lokal, sementara partai politik lokal akan mendapatkan
keuntungan politik dengan kewajiban partai politik nasional untuk membela
kepentingan politik partai lokal di tingkat nasional.
Koalisi ini memang tidak menjamin tidak akan ada pengingkaran dari salah
satu pihak. tetapi
yang
penting
diingat adalah politik itu adalah
art
of
possible. Tergantung
kelihaian masing-masing pihak untuk menggunakan kemungkinan dan kesempatan
yang ada untuk memperbesar pengaruh politik terhadap pihak lain. Pola koalisi ini akan bisa
mengalokasikan kekuasaan politik yang
terbatas untuk sama-sama membela kepentingan Aceh baik di Aceh sendiri maupun
di Jakarta. Kalau koalisi terbatas
ini muncul di DPR Aceh
dengan ditambah partai-partai lokal lain, sangat
bagus juga stabilitas politik pemerintah
di Aceh. Dengan pengalokasian sumber-sumber kekuasaan tersebut maka dipastikan partai lokal dan partai nasional bisa hidup bersama dalam sistem politik
yang unik di Aceh.[17]
Pemilu 2009 akan menjadi momentum keempat setelah tsunami, MoU dan pilkada 2006 bagi Aceh. Upaya transisi
yang berkepanjangan dan menjadi proses demokratisasi. Namun, pemilu
bukan
ajang
konflik.
Memang, dalam setiap
kegiatan
politik
akan
selalu
ditemui gesekan-gesekan karena
perbedaan kepentingan. Hal ini yang
seringkali menjadi konflik. Namun jika para aktor dalam
suatu event pemilu dapat mengelola potensi
konflik, maka konflik bukan sesuatu yang harus dihadapi
tapi dimaknai secara
arif. Maka inilah yang
perlu dilakukan oleh para aktor dan rakyuat dalam proses pemilu.
Pertama, Komite Independen Pemilu (KIP), peran KIP dalam pemilu 2009 di Aceh sangat krusial. Lembaga
inilah yang menyelenggarakan pelaksanaan pemilu di Aceh. Oleh karena itu, lembaga ini harus memiliki profesionalitas yang teruji dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara. KIP perlu menyelenggarakan pemilu secara seksama dan terstruktur seperti yang telah
direncanakan. Sebagai penyelenggara
pemilu, KIP mesti bersifat netral.
Bahwa posisinya bukan sebagai pendukung partai
atau para calon tapi mengakomodasi untuk maju
kepertarungan politik melalui pemilu.
Konflik yang terjadi bisa
saja muncul kurang tangganya
KIP terhadap permasalahan mengenai pemilu
di
masyarakat.
”Aulia
Tujuh” KIP
Abdul Salam Poroh,
Ilham Saputra, Robby Syahputra,
Akmal Abzal, Yarwin Adi Darma, Nurjani Abdullah, dan Zainal Abidin,
diharapakan mampu mengawal lembaga Independen KIP benar-benar independen.
Kedua, rakyat dan pemilu. Bagaimanapun juga, pelaksanaan pemilu merupakan
suatu kebutuhan bernuansa politis bagi kesejahteraan masyarakat
nantinya. Pemilu diharapkan mampu menghasilkan para legsilator-legislator daerah dan nasional yang mempunyai kapabilitas, kecakapan, sikap yang baik
dan tentu saja sesuai dengan yang dibutuhkan dan diharapkan darimasyarakat. Namun, harapan tanpa aksi adalah sia-sia.
Dalam pemilu langsung yang istimewa ini, masyarakat wajib untuk berpartisipasi aktif
dalam meningkatkan lingkungan politik yang lebih demokratis.
Partisipasi aktif sederhana bisa
ditunjukkan dengan mengikuti
pencoblosan.ini tanda awal bagi masyarakat bahwa
mereka membutuhkan
pemimpin yang mengantarkan pada pintu perubahan yang lebih baik. Selain itu, menciptakan pemilu yang jujur, adil, aman, dan damai juga merupakan tanggung jawab bersama antara seluruh pihak termasuk masyarakat.
Konflik tidak lepas dari kehidupan masyarakat. Munculnya
konflik juga berasal dari gesekan-gesekan masalah sosial di masyarakat. Oleh karena itu, permasalahan dalam pemilu
hendaknya tidak perlu menjadi konflik fisik yang hanya akan menghancurkan dan menambah
beban bagi masyarakat sendiri.
Justru, ketika ditemukan
kecurangan-kecurangan di dalam pemilu, masyarakat hendaknya melihat ini
sebagai kasus hukum kriminal yang harus
diselesaikan lewat jalur hukum. Kampanye yang melibatkan masyarakat
dan memobilisasi masaa juga perlu juga diperlihatkan bahwa rasa damai tetap ada dalam pemilu. Jangan sampai, aksi mobilisasi massa menjadi ajang kerusuhan antar pendukung calon.
Ketiga, element lain yang tidak kalah penting
dalam menjaga kemurnian pemilu
2014 adalah akademisi,
tokoh masyarakat, Geuchiek,
teungku gampong, imum mukim, imum meunasah/gampong. Tuha peut, tuha lapan,
tokoh adat, panglima laot, kajrun blang, kajrun neuhun, ketua pemuda, aktivis mahasiswa, aktivis
sipil dan lain-lain.
Keempat, panitia pengawas dan
pemantau pemilu, dari data yang
didapatkan dalam pilkada 2006. pilkada
Aceh termasuk pilkada yang ramai pemantau baik dalam
maupun luar negeri. Dan hal serupa kemungkinan akan terjadi dalam pemilu 2014. selain ada pemantau
pemilu juga diawasi oleh panwaslih. Oleh karena itu, pengawasan pemilu hendaknya dilakukan secara cermat dan seksama oleh para
pengawas dan pemantau pemilu. Panwas mesti berkerja ekstra sepanjang berlangsungnya pemilu. Panwas tidak
hanya bekerja secara formalitas,
namun juga benar-benar memiliki
semangat untuk menjadikan
pemilu Aceh menjadi momen yang sangat penting bagi tumbuhnya iklim demokrasi di Aceh.
Kelima, keterlibatan pemerintah
pusat dan pemerintah
daerah, sejak adanya UUPA dan
penandatangan MoU,
peran pemerintah pusat dalam mengurus
Aceh
menjadi
sangat
minim.
Namun,
peran yang kecil
ini jangan mudah dilupakan
oleh pemerintah pusat, khususnya dalam pemilu. Jika fungsi dan peran pemerintah pusat di daerah terlupakan, yang terjadi adalah saling lempar tanggung jawab. Keenam, peserta
pemiludan perwujudan damai,
dalam hal ini para partai dan calon legislator
menjadi sorotan.
Peserta pemilu
menandatangani keputusan bersama untuk menjaga agar pemilu NAD berjalan damai, jujur,
dan adil. Keputusan bersama ini menunjukkan sikap arif yang dimiliki para calon untuk menciptakan stabilitas
politik dalam pemilu menuju arah lebih baik. Para calon juga harus
mengajak masyarakat pendukungnya
khususnya, dan masyarakat umumnya untuk menciptakan
tatanan politik yang damai selama pemilu. Bagaimanapun juga, konflik
selalu ada dalam masyarakat, apalagimmasyarakat Ach masih memiliki trauma politik
akibat konflik. Sangat remntan sekali terjadi konflik jika tidak dikendalikan. Para calon bertugas untuk
bisa mengendalikan masyarakat. Pada akhirnya, ikrar damai dihayati dari tingkat atas hingga ke akar rumput. Damai pemilu diharapkan juga berlangsung dan
bertahan selamanya.
Ketujuh, KPA juga diharapkan menjadi basi untuk menjaga damai kemurnian pemilu.
Kedelapan, TNI/POLRI, TNI menjadi alat pengamanan rakyat Aceh, bukan lagi menjadi alat untuk mengahncurkan pemerontak. Stigma selam
konflik terhadap TNI memang
mulai pudar, namun semata-mata bukan sikap TNI memang berubah tetapi lebih pada tuntutan situasi. Satu hal yang menonjol adalah adanya penandatanganan MoU.
TNI di Aceh harus mereformasi sikap di
tengah masyarakat. Secara individu, TNI harus
dapat bergabung dalam masyarakat luas, menjadi pengayom, pelindung. TNI tidak harus memandang
masyarakat menjadi bias,
mana yang GAM dan mana yang bukan
GAM. Pasca MoU. Tidak ada
kata GAM dan bukan GAM, yang
ada hanyalah masyarakat Aceh. Mereka
yang memang mengacaukan keamanan harus ditindak.
Dari pifhak TNI, stigma tentang
GAM juga harus dihilangkan.
TNI dan POLRI mesti
menjaga damai
yang telah terwujud.
Kesembilan, media massa, peran yang tak kalah penting dalam suasana kehidupan demokrasi
suatu masyarakat adalah media massa.
Media massa merupakan sarana
pencapaian demokratisasi pemilu yang menyentuh
semua kalangan, baik di tingkat masyarakat hingga pejabat pemerintahan.
Respon masyarakat
Aceh tentang keberadaan partai lokal positif. Survei Lembaga
Survei Indonesia (LSI) pada 28 Juli sampai 2 Agustus 2005 dan Maret 2006 menunjukkan manyoritas rakyat Aceh mendukung pembentukan partai lokal.[18] Keberadaan partai lokal ini
sudah pernah dilontarkan pakar
politik Indonesia dari Ohio State
University, Prof. William Liddle,
berpendapat ”saya tentu maklum
bahwa partai lokal tidak diperbolehkan di Indonesia,
tetapi kalau ada kemauan pasti
ada cara Aceh damai. Setidaknya beri kesempatan GAM ikut bersaing dalam pemilihan umum di Aceh.[19]
E.
Kesimpulan
Demokrasi adalah alat untuk menjinakkan
wilayah yang tidak mendukung cara-cara pemerintah pusat memimpin, atau
dalam istilah pemerintah Indonesia adalah (separatisme). Demokrasi yang berkembang selama ini di
Indonesia adalah demokrasi yang sarat
dengan akomodasi politik. Setiap persoalan politik, semisal masalah disintegrasi dan pemberontakan, akan menemukan
muaranya dalam demokrasi.
Kecuali pada kelompok-kelompok aktivis separatis
dan pemberontak yang tidak mau menggunakan demokrasi, setiap gerakan
separatis dan pemberontakan lokal akan jinak dan lunak di dalam demokrasi. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, jelas memperlihatkan bahwa demokrasi adalah
alat untuk medomestifikasi separatisme dan pemberontakan
lokal yang bukan bermotif agama. Bahkan demokrasi adalah alat untuk
menghasilkan hukum baru, dalam bentuk peraturan-peraturan atau
perundang-undangan.
Salah satu contoh hukum produk demokrasi adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20/2007
tentang Partai Politik
Lokal di Aceh, meski baru ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Maret 2007 lalu, namun PP itu berlaku
surut pada 15 Februari 2007 —sesuai bunyi kesepakatan
damai
(MoU) Helsinki yang ditandatangani Pemerintah RI
dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM).[20]
Langkah politik
sistematis ini berawal kepada
lahirnya UU No. 18 tahun 2001 yang menjadi aturan legal bagi pemberian otonomi khusus bagi Aceh. Permasalahan
yang muncul kemudian adalah kedua UU tersebut belum
cukup memberikan rasa puas politik masyarakat
di provinsi rawan konflik ini. Masih terdapat
gejolak dan bentrok bersenjata di kedua wilayah paling ujung Barat ini. Pertama, keberadaan partai lokal yang kemungkinan akan menjadi kendaraan politik eks GAM, yang sejak awal tidak
benar-benar tuntas untuk menjadi bagian dari NKRI. Sehingga ada kemungkinan
partai politik lokal tersebut
dijadikan pintu masuk untuk
membangun
dukungan politik agar Aceh menjadi satu wilayah yang benar-benar merdeka
dan terlepas dari NKRI, sebagaimana
tujuan awal dari perjuangan GAM. Indikator
yang paling kuat adalah bahwa banyak dari petinggi
GAM, seperti Abdullah Zaini yang selama ini bermukim di Swedia telah turun gunung,
dan berkunjung ke wilayah NAD, dan menjadi elit politik yang
dielu-elukan masyarakat setiap kunjungan.
Sementara itu, ekses politik
dari pembangunan kembali Aceh pasca tsunami dan bencana
gempa bumi menjadi salah satu ekses negatif
bagi eksistensi NKRI di wilayah
Serambih Mekah tersebut
Kedua, harus
dipahami bahwa keberadaan partai politik lokal merupakan satu terobosan yang signifikan bagi upaya
memperkuat partisipasi
dan demokrasi. Keberadaan partai lokal menjadi jembatan politik
antara masyarakat
dengan elit politik,
yang selama ini
dapat dikatakan senjang.
Keberadaan partai lokal pun
bukan sesuatu yang baru di Indonesia, setidaknya pada Pemilu tahun 1955 tercatat sedikitnya
ada enam partai politik lokal yang
berpartisipasi, yakni: Partai Rakyat Desa (PRD),
Partai Rakyat Indonesia Merdeka (PRIM), Partai
Tani Indonesia, Gerakan
Banteng, dan Partai
Persatuan Daya. Menariknya, ada dari partai politik lokal tersebut mendapatkan kursi di parlemen nasional,
yakni Partai Persatuan Daya. Ini
artinya bahwa langkah
untuk mendorong perkembangan
partai politik lokal
di banyak daerah merupakan langkah
strategis bagi penguatan eksistensi daerah terhadap
pusat, yang ujungnya akan makin membangun kaitan
tali-temali politik yang berkesinambungan
antara kepentingan politik pusat dan daerah.
Karena itu, eksistensi partai politik
lokal dalam perspektif transformasi politik
yang saat ini sedang berlangsung merupakan conditio sine qua non,
sesuatu yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Ibarat matahari terbit dari timur,
sesuatu yang secara
alamiah akan dan harus terjadi
karena hal itu merupakan bagian dari proses demokratisasi.
Keniscayaan hadirnya partai politik lokal berkaitan
dengan dua alasan pokok.
Pertama, masyarakat Indonesia
yang plural dan wilayah yang amat
luas harus mempunyai instrumen politik yang dapat menampung seluruh aspirasi masyarakat
daerah.
Partai
politik berskala
nasional tidak akan dapat menampung dan mengagregasikan kepentingan rakyat di daerah yang sedemikian
beragam. Lembaga seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang berfungsi sebagai institusi
yang mewakili wilayah dalam proses pengambilan keputusan
di tingkat nasional, tidak cukup memadai. Lebih-lebih dewasa ini peran dan
fungsinya masih dimandulkan oleh peraturan
perundangan yang berlaku. Kedua, dengan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah langsung, seharusnya masyarakat di daerah harus diberi kesempatan membentuk
partai lokal agar calon-calon kepala daerah benar-benar kandidat
yang mereka kehendaki. Tidak seperti praktik yang selama ini terjadi, kepentingan masyarakat
lokal harus disesuaikan dan tunduk dengan kepentingan elite partai di Jakarta. Ketiga, tidak
kalah penting, kehadiran partai lokal dapat mendorong
proses demokratisasi internal partai politik.
Oleh
karena itu, GAM harus sedikit lebih
sabar karena apa yang mereka tuntut
sama dengan tuntutan seluruh warga masyarakat. Pemerintah sendiri tampaknya menolak tuntutan kehadiran partai lokal bukan karena alasan substansial, tetapi alasan yuridis
formal (MoU) yang harus
ditaati.[21] Dengan demikian, kini
bola ada di parlemen. Mudah-mudahan momentum
ini menjadi awal terjadinya perdamaian abadi di Aceh.
Meskipun penyelesaian konflik Aceh sejauh ini dianggap berhasil dan
merefleksikan bahwa perdamaian dan demokrasi merupakan suatu kesatuan dalam
menyelesaikan konflik, namun di aceh masi terjadi ‘deefektif demokrasi’. Hubungan
perdamaian dan demokrasi diwilayah konflik menghasilkan kelompok yang merasa
superior atas kelompok lain. Umumnya para pejuang merasa paling berhak atas
perdamaian dan menguasasi pemerintahan serta wajib hukumnya memenangkan pemilu.
Itu yang menjadi doktrin PA dan eks combatan. Maka kekerasan dan teror menjadi
rentan dan lumrah, sebab, konflik di Aceh bukanlah konflik etnis atau konflik
agama. Maka perselisihan justru terjadi sesama masyarakat Aceh yang merasa
“warga kelas 1” dengan masyarakat biasa yang tidak naik gunung berjuang.
_______________________________________
Penulis adalah Direktur
Eksekutif LP2-AB Jakarta.
[1] Otto Syamsuddin Ishak, Dari Maaf Ke
Panik Aceh, LSPP, Jakarta, 2008.
[2] Diolah dari berbagai sumber, antara lain Moch. Nushasyim
Pelibatan Masyarakat Aceh dalam Rekontruksi dan Recovery Pasca Tsunami dalam Reconstruction and Peace Building in Aceh (LIPI 2005). A. Rani Usman,
Sejarah Peradaban Aceh, (Jakarta: Yayasan Oboor Indonesia, 2003). Indra J. Piliang Mengakhiri Konflik
Aceh dalam Reconstruction
and Peace Building in Aceh
(LIPI, 2005).
[3] Sejak pemerintah
Abdurrahman wahid melakukan perjanjian dengan pihak
GAM melalui Jeda Kemanusiaan I dan II yang kemudian diteruskan dengan CoHA (Cessation of Hastilities Agreement) yang diteruskan oleh Presiden Megawati. CoHA yang difasilitasi oleh Henry Dunant Center
(HDC) ini dihentikan secara sepihak oleh
Pemerintah RI yang kemudian disusul dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 28/2003 tertanggal 19
Mei 2003 tentang
Peningkatan
Status
Keadaan Bahaya
di
Nanggroe Aceh Darussalam
dengan tingkatan Keadaan Bahaya. Praktis
pintu perjanjian (dialog
damai) sudah tertutup dengan pihak
GAM.
[4] Sumber : diambil dari terjemahan resmi yang telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani
di Helsinki, Firlandia 15 Agustus 2005.
[5] MoU Heksinki terdiri atas tiga bagian, yaitu : (1) penyelenggaraan
pemerintahan Aceh,
yang mengatur tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur pemerintahan di Aceh, pengaturan partisipasi di bidang politik, hak-hak ekonomi bagi Aceh, dan pembentukan peraturan perundang-undangan ; (2) penyelesaian
pelanggaran hak asasi manusia (HAM); dan (3) amnesti dan reintegrasi
mantan anggota GAM dan tahanan politik ke dalam masyarakat serta pengaturan keamanan, pembentukan Misi Monitoring Aceh, dan mekanisme penyelesaian perselisihan
dalam tahap implementasi
kesepakatan di lapangan.
[7]Sikap pesimistis
ini penulis rangkum dari berbagai diskusi yang penulis ikuti di Aceh dan Jakarta terutama dengan warga Aceh. Salah satunya diskusi bulanan yang difasilitasi oleh wisma mahasiswa Aceh Foba Jakarta Januari, Februari
dan Maret 2008.
[8] Teuku
Alfian Ibrahim (1999), wajah aceh dalam lintasan sejarah, pusat dokumentasi dan
informASI Aceh. Banda Aceh.
[10] Pendapat Teuku Kemal Fasya yang dikemukakannya dalam Wokshop tentang Perdamaian (mahasiswa dan pemuda Aceh se Jabotabek-Peusaka Maja I)
oleh Wisma Mahasiswa Aceh FOBA Jakarta
di Rudian Hotel Cisarua Puncak Bogor, 19-20 April 2008.
[13] http//www.sinarharapan.co.id/berita/0606/07nas05.html, pendapat Ikrar Nusa Bhakti dalam diskusi Patnership
di Jakarta 6/6/2007, akses 7/5/2008.
[14] http//www.acehinstitute.org//Amrijal
J.Prang, bila parlok menjejaki parnas,22/4/2008. diakses5/7/2008
[15] Saifuddin
Bantasyam, Parlok
Vs Parnas dalam pemilu Serambi
Indonesia 2009, 28/5/2008
[18] Untuk Survei
LSI 28 Juli Sampai
2 Agustus 2005 lihat
Majalah Acehkita, edisi september
2005. Survei LSI Maret 2006 dialkukan pada
1015
responden dengan metode multistage random sampling, margin of
error +/-
3,1% dan tingkat
kepercayaan 95%.
[19] Koran Acehkita, Edisi 025/TH ke-3, 08-14
Oktober 2007
[20] Lihat MoU
Helsinki, 15 Maret
2005.
[21] Novel Ali,
„Partai Lokal dan NKRI“ Suara Merdeka, 21 Juli 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar