Oleh : Rahman
Yasin
I.
Pendahuluan
Setiap negara memiliki sistem politik di
negaranya masing-masing. Sistem politik yang
dianut tersebut itulah yang mempengaruhi situasi pemerintahan di negaranya. Sistem politik
selalu berubah dari waktu ke waktu disesuaikan dengan faktor ekonomi, masyarakat,
gaya sosial serta faktor eksternal (global) yang mampu mempengaruhi negaranya.
Di Indonesia sendiri, sistem politik negaranya telah mengalami tiga kali
transisi. Perkembangan demokrasi di Indonesia telah
mengalami pasang surut dari setiap masa ke masa. Perkembangan demokrasi
tersebut mempengaruhi pula stabilitas sistem politik Indonesia. Karena itu
sangat penting untuk mengkaji berhasil atau tidaknya suatu rezim yang sedang
atau telah berkuasa, diperlukan suatu kerangka kerja yang dapat digunakan untuk
menjelaskan kehidupan ketatanegaraan. Dalam kajian ini adalah terkait dengan
kehidupan politiknya.
Ada dua kerangka kerja
yang sering digunakan oleh para pengamat politik untuk melihat bagaimana
kinerja sistem politik suatu negara. Karena salah satu sifat penting sistem
politik adalah kemampuannya untuk dibedakan dengan sistem politik lainnya,
seperti organisme dan individu misalnya. Kedua kerangka kerja tersebut adalah
pendekatan struktural-fungsional dan pendekatan budaya politik. Dengan
pendekatan struktural-fungsional akan dapat diketahui bagaimana
struktur-struktur maupun fungi-fungsi politik suatu sistem politik bekerja.
Sedangkan dengan pendekatan budaya politik akan dapat diketahui bagaimana
perilaku aktor-aktor politik dalam menjalankan sistem politik yang dianut oleh
negara masing-masing, dalam hal ini adalah elite maupun massanya.
Sejarah sistem
pemerintahan Indonesia dimulai dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Dengan adanya proklamasi berarti lahirlah suatu negara baru yang bernama Indonesia
dengan segala kepemerintahannya yang diatur Indonesia sendiri. Seiring
berjalannya waktu, ternyata sistem pemerintahan Indonesia terus mengalami
perubahan. Perubahan inilah yang kemudian yang akan kita kaji sebagai suatu
sistem perbandingan. Dari waktu ke waktu, setiap perubahan itu membawa ciri
tersendiri.
Sistem politik yang ada pada periode orde lama
membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter
dengan berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur
pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah
pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat
mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta
sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme. Indonesia menjalankan
pemerintahan republik presidensial multipartai. Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem
politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif.
Orde Lama adalah
sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soekarno. Masa orde lama yaitu masa
pemerintahan yang dimulai dari
proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 sampai masa terjadinya G30 S PKI.
Dizaman orde lama partai yang ikut pemilu sebanyak lebih dari 25 partai peserta
pemilu. Masa orde lama ideologi partai berbeda antara yang satu dengan lainnya,
ada Nasionalis PNI-PARTINDO-IPKI-, Komunis PKI; Islam NU-MASYUMI- PSII-PI PERI,
Sosialis PSI-MURBA, Kristen PARKINDO dll. Pelaksanaan Pemilu pada Orde Lama
hampir sama seperti sekarang.Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk
implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila
diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama.
Di sisi lain,Orde Lama
telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas, kebanggaan nasional dan
mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama pula yang memberikan
peluang bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan
identitas nasional kita adalah; Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi
Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965.
Pada pemerintahan sistem politik orde lama, masyarakat masih belum memiliki
kesadaran berpolitik. Hal tersebut disebabkan rendahnya tingkat
pendidikan/pengetahuan seseorang sehingga pemahaman dan kesadaran mereka
terhadap politik masih sangat kecil atau tidak ada sama sekali terhadap sistem
politik. Kelompok ini akan ditemukan di berbagai lapisan masyarakat.
Sistem politik masa
orde lama masih bersifat tradisional dan sederhana, dengan ciri khas
spesialisasi masih sangat kecil. Maka dari itu, pada masa system ini terdapat
begitu banyak partai yang muncul dengan ideologi baru dan berbeda yang mencoba
menguasai gaya pemikiran masyarkat. Pada masa orde lama, negara Indonesia
diterpa kekacauan pemerintahan, perekonomian serta pendidikan. kekacauan
tersebut terus berlanjut hingga mulai mereda pada masa Soekarno diturunkan.
Di sisi lain, era orde
lama berhasil melaksanakan pemilu tahun 1955 dengan sistem proporsional.Pemilu 1955 telah menghasilkan DPR yang sangat
representatif (28 partai politik terwakili). Tetapi hasil pemilu ini tidak menyebabkan
munculnya pemerintahan yang kuat. Tujuh puluh tujuh persen dari jumlah suara
dibagi oleh empat partai besar yakni: PNI (22,3 persen), Masjumi (20,9 persen),
NU (18,4 persen) dan PKI (15,4 persen). Hasil
pemilu itu tidak meyakinkan sebab partai terkuat
hanya didukung oleh kurang dari seperempat pemilih. Hasil ini menunjukkan adanya
fragmentasi yang sangat besar di DPR. Dengan sistem proporsional Masjumi dan PNI sama
kuatnya, kedua-duanya dapat 57 wakil. Tetapi,sistem
distrik akan mengakibatkan keunggulan PNI dengan 96 wakil. Perbedaan penting lain
adalah konsentrasi wakil-wakil rakyat pada jumlah partai yang kian berkurang.
Kekuatan Masjumi akan kira-kira sama, tetapi PKI akan muncul sedikit lebih kuat
dari NU.
Seandainya sistem
distrik telah berlaku pada Pemilu 1955, kemungkinan besar menghasilkan pemerintahan
yang mampu memerintah secara efektif. Fragmentasi kekuatan politik dalamDPR akan berkurang. Kursi
di DPR akan dibagi di antara lebih sedikit jumlah partai politik. Dua
belas partai yang memperoleh wakil/kursi akan diperkuat, sedangkan 16 partai
yang gagal memperoleh wakil akan diperlemah. Sistem distrik
akan memperkuat partai-partai menengah dan memperlemah partai-partai agak kecil.
Oleh karena sistem distrik ini menyebabkan jumlah partai menjadi berkurang,
bias jadi DPR seperti ini dinilai relatif kurang
representatif. Namun, seandainya Pemilu 1955 diselenggarakan dengan
sistem distrik maka akan menghasilkan kabinet
lebih kuat. PNI akan muncul sebagai partai yang unggul, amanatnya dari
rakyat akan lebih kuat, kepemimpinannya dalam pemerintah koalisi akan diakui
dan pengaruh partai-partai kecil berkurang.
II. Konfigurasi
Politik Orde Lama
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959
mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan
dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69
berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS
1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan
tugasnya.Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin.
Tindakan Soekarno
mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari
sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang
memberlakukan atau tidak memberlakukan sebuah UUD, seperti yang dilakukan
melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme,
yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem trial and error yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan
diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi
dan kondisi yang cepat berkembang.
Maka masalah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat
ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi
masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif
serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik,
walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar.
Berbagai upaya tersebut
ternyata menimbulkan keadaan berlebihan baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi”
(berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959,
maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan
nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie.
Sistem trial and error telah membuahkan sistem
multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi
mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII
yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu
1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan
terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung
selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:
Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga
terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959. Oleh
karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam itu telah mengancam
kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit
Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang
kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang pro dan yang kontra.
Yang pro memandang dari
kacamata politik, sedangkan yang kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional.
Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh
pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan
salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang
sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun
1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau
harus kita bayar dengan biaya tinggi.
Di zaman orde lama
partai yang ikut pemilu sebanyak lebih dari 25 partai peserta pemilu. Masa orde
lama ideologi partai berbeda antara yang satu dengan lainnya, ada Nasionalis
PNI-PARTINDO-IPKI-dll, Komunis PKI; Islam NU-MASYUMI- PSII-PI PERI, Sosialis
PSI-MURBA, Kristen PARKINDO. Politik dramatis
mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh
Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan
pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB
lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia
"bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan
partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali
pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima
pertama kalinya.
III. Pelaksanaan Sistem Politik Orde
Lama
1. Sistem Pemerintahan RI (Periode 17
Agustus 1945-27 Desember 1949).
Dengan adanya Proklamasi pada tanggal 17
Agustus 1945, bangsa Indonesia telah merdeka dan tidak terikat lagi oleh kekuatan
asing atau penjajah manapun. Indonesia adalah suatu negara yang merdeka dengan
segala alat perlengkapan ketatanegaraannya. Beberapa poin penting pada masa itu
adalah :
- Konstitusi yang dipakai adalah UUD 1945 yang ditetapkan dan disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.
- Bentuk negara Indonesia adalah kesatuan.
- Sistem pemerintahannya adalah presidensiil yang bergeser ke parlementer.
Sistem pemerintahan
yang diamanatkan oleh UUD pada saat itu sebenarnya adalah sistem presidensiil.
Kepala negara sekaligus menjabat sebagai kepala pemerintahan dan
menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden. Tetapi ternyata, sistem
presidensiil ini tidak bertahan lama. Menurut ketentuan Pasal IV Aturan
Peralihan UUD 1945, sebelum MPR, DPR, dan Dewan Pertimbangan Agung terbentuk,
presiden akan menjalankan kekuasaannya dengan bantuan sebuah Komite Nasional.
Berarti kedudukan Komite Nasional hanyalah sebagai pembantu presiden.
Nyatanya pada tanggal
16 Oktober 1945, dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No X yang
menyatakan bahwa KNIP sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahi kekuasaan
legeslatif dan ikut menetapkan GBHN. KNIP sendiri dijalankan oleh sebuah Badan
Pekerja yang bertanggung jawab kepada KNIP (bukan kepada presiden). Badan
Pekerja ini diketuai oleh Sutan Syahrir. Berarti dengan dikeluarkannya Maklumat
Wakil Presiden No X tersebut, KNIP yang semula berperan sebagai pembantu
presiden berubah menjadi badan legeslatif yang merangkap fungsi sebagai DPR dan
MPR sekaligus. Menteri-menteri kemudian tidak bertanggung jawab lagi kepada
presiden, tetapi bertanggung jawab kepada KNIP. Tanggal 14 November 1945
terbentuklah kabinet parlementer dengan PM Sutan Syahrir. Berarti sistem
presidensiil telah beralih menjadi sistem parlementer.
· Sitem
kepartaian masa itu adalah sistem multipartai. Sistem multipartai ini berawal
dari dikeluarkannya Maklumat Badan Pekerja KNIP tanggal 3 November 1945 yang
berisi anjuran agar pemerintah dan rakyat mendirikan partai-partai politik
sebagai sarana pembantu perjuangan bangsa Indonesia.
Alat perlengkapan negaranya terdiri dari
,Presiden dan wakil presiden, Menteri-menteri,Majelis Permusyawaratan
Rakyat,Dewan Perwakilan Rakyat (Karena MPR dan DPR pada masa itu belum
terbentuk, maka fungsi MPR dan DPR dipegang oleh KNIP sekaligus).(Dasril
Radjab,1884:90).
- Sistem Pemerintahan RI (27 Desember 1949-17 Agustus 1950).
Diawali dari adanya Konferensi Meja Bundar yang
secara jelas menyebutkan keberadaan dari Republik Indonesia Serikat. Salah satu
hasil dari KMB sendiri menyebutkan dibentuknya Uni Indonesia Belanda, yang
terdiri dari dua negara yaitu RIS dan Belanda. Berarti negara Indonesia saat
itu telah berubah menjadi negara serikat. Pengakuan kedaulatan oleh Belanda
kepada RIS yang sekaligus menandai perubahan Indonesia menjadi negara serikat
ini terjadi pada tanggal 27 Desember 1949.
- Konstitusi yang berlaku pada masa itu adalah Konstitusi RIS 1949.
Bentuk negara RIS adalah federasi, terbagi dalam
7 buah negara bagian dan 9 buah satuan kenegaran yang kesemuanya bersatu dalam
ikatan federasi RIS. Sistem pemerintahannya adalah parlementer. Sistem
pemerintahan parlementer ditandai dengan terbentuknya Senat RIS yang
beranggotakan wakil-wakil dari negara bagian. Sistem kabinetnya disebut dengan
Kern Kabinet, yaitu PM, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pertahanan, Menteri Keuangan, dan Menteri Ekonomi mempunyai kedudukan yang
istimewa. Dalam mengambil keputusan mereka mempunyai kekuatan yang sama dengan
kekuatan Dewan Menteri. Menteri-menteri tersebut baik secara sendiri-sendiri
atau pun bersama-sama bertanggung jawab kepada DPR. Untuk Indonesia,
wakil-wakilnya tergabung dalam DPR.
Alat perlengkapan RIS terdiri dari :
- Presiden
- Menteri-menteri
- Senat
- Dewan Perwakilan Rakyat
- Mahkamah Agung Indonesia
- Dewan Pengawas Keuangan (BAB III Perlengkapan Republik Indonesia Serikat tentang Ketentuan Umum UUD RIS 1949).
- Sistem Pemerintahan RI (17 Agustus 1950-5 Juli 1959).
Konstitusi RIS ternyata
tidak berumur panjang. Hal ini disebabkan isi konstitusi tersebut tidak
mengakar dari kehendak rakyat dan bukan pula merupakan keputusan politik dari
rakyat Indonesia. Akibatnya, timbul tuntutan dimana-mana untuk kembali ke
negara kesatuan. Satu per satu negara atau daerah bagian menggabungkan diri
kembali ke dalam RI. Negara bagian yang lain juga semakin sulit diperintah. Ini
jelas akan mengurangi kewibawaan negara serikat.
Untuk mengatasi keadaan
tersebut akhirnya Pemerintah Indonesia Serikat mengadakan musyawarah dengan
Pemerintah Negara Republik Indonesia. Dalam musyawarah tersebut dicapai
kesepakatan bahwa akan bersama-sama melaksanakan negara kesatuan sebagai
jelmaan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945
dan untuk itu diperlakukan UUD Sementara. Akhirnya dibentuklah panitia yang
bertugas merencanakan sebuah rancangan UUDS Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Panitia tersebut dipimpin oleh Soepomo untuk RIS dan Abdul Halim untuk RI.
Melalui UU Federal No 17 Tahun 1950 (LN RIS 1950 No 56) ditetapkan perubahan
KRIS 1949 menjadi UUDS 1950.
UU tersebut hanya berisi dua pasal, yaitu
:
- Pasal 1 Berisikan tentang perubahan KRIS 1949 menjadi UUDS 1950 dan setelah itu dimuat selengkapnya naskah dari UUDS 1950, yang terdiri dari mukadimah dan batang tubuhnya.
- Pasal 2 Menentukan tentang mulai berlakunya UUDS 1950, yakni pada tanggal 15 Agustus 1950.
- Konstitusi yang berlaku adalah UUDS 1950.
Dikatakan sebagai UUDS
karena memang UUD ini bersifat sementara. Pemerintah Indonesia pada masa itu
membentuk suatu badan yang bernama badan konstituante dimana tugas mereka
adalah menyusun UUD.
- Bentuk negara menurut UUDS 1950 adalah negara kesatuan.
Pasal 1 ayat 1 UUDS 1950 meyatakan bahwa
RI yang merdeka dan berdaulat ialah negara hukum yang demokratis dan berbentuk
kesatuan . Sistem pemerintahan menurut UUDS 1950 adalah parlementer.
Dalam Pasal 83 ayat 2 UUDS 1950
dinyatakan bahwa menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan
pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk
bagiannya sendiri-sendiri kepada DPR. Sistem kepartaian masa itu adalah
multipartai.
Pemilu tahun 1955 untuk pertama kalinya
dilaksanakan untuk memilih anggota konstituante.
Alat perlengkapan negara menurut Pasal 44
UUDS 1950 adalah:
- Presiden dan Wakil Presiden
- Menteri-menteri
- Dewan Perwakilan Rakyat
- Mahkamah Agung
- Dewan Pengawas Keuangan
- Sistem Pemerintahan RI (5 Juli 1959-pasca Dekrit Presiden).
Konstituante yang
diharapkan dapat merumuskan UUD guna menggantikan UUDS 1950 ternyata tidak
mampu menyelesaikan tugasnya. Hal ini jelas akan menimbulkan keadaan
ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara. Presiden
selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang mengeluarkan Dekrit Presiden pada
tanggal 5 Juli 1959. Isi dari Dekrit tersebut salah satunya adalah
memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlaku kembali UUDS 1950. Konstitusi
yang dipakai adalah UUD 1945.
- Bentuk negara adalah kesatuan
- Sistem pemerintahannya adalah presidensiil
Presiden sebagai kepala
negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Menteri-menteri bertanggung jawab
kepada presiden. Sistem presidensiil ini kelanjutannya akan menjadi
presidensiil terpimpin. Presiden justru sebagai Pimpinan Besar Revolusi, segala
kebijaksanaan ada di tangannya.
Alat-alat perlengkapan negara setelah
keluarnya Dekrit Presiden adalah :
- Presiden dan menteri-menteri
- DPR Gotong Royong
- MPRS
- DPAS
- Badan Pemeriksa Keuangan
- Mahkamah Agung (Soehino,1992:148).
Sebelum
Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo
besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian
antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur,
dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan
pada tanggal 17 Agustus 1950.
Didasarkan
pada konstitusi RIS.Pemerintahan yang diterapkan saat itu adalah system
parlementer kabinet semu (Quasy Parlementary).Sistem Pemerintahan yang dianut
pada masa konstitusi RIS bukan cabinet parlementer murni karena dalam system
parlementer murni, parlemen mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap
kekuasaan pemerintah. Dualisme pemerintahan
yang terjadi di Indonesia setelah kemerdekaan (antara Belanda dan Indonesia
sendiri) mengakibatkan rumusan sistem pemerintahan masih belum jelas. Keputusan
Konferensi Meja Bundar di Denhaag, Belanda tentang perubahan Republik Indonesia
menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) ditengarai sebagai proyek pemerintah
Belanda agar bisa terus mengontrol Indonesia.
RIS
sendiri terdiri dari lima belas negara bagian buatan Belanda, yang telah
didudukinya selama tiga tahun. Menurut Hatta, bangsa Indonesia tidak mempunyai
kedaulatan penuh jika masih melakukan kompromi dengan belanda soal sistem
pemerintahan. Sebagian besar pemimpin Indonesia sepakat bahwa kompromi dengan
pihak belanda bertolak belakang dengan cita-cita proklamasi.Karena itu,
kompromi tersebut sebenarnya adalah strategi untuk lepas dari rongrongan
belanda yang menolak proklamasi kemerdekaan Indonesia. Karena dalam pandangan
Hatta, bentuk negara federal RIS tidak akan bersifat permanen karena bentuk
yang sesungguhnya akan ditentukan konstituante hasil pemilihan umum. Dan,
konstituante itu pulalah yang nantinya bertugas menyusun konstitusi baru.
Namun
ini berakibat fatal, tawaran sistem parlementer ternyata mengakibat semrawutnya
pemerintahan karena elemen-elemen pemerintahan merasa mempunyai andil untuk
mengatur Negara sehingga menjadi tidak jelas “siapa mengatur siapa”.Pemilu
pertama tahun 1955 yang diharapkan menjadi tonggak demokrasi sebenarnya salah
satu pemicu peralihan demokrasi menjadi ultrademokrasi yang menjurus
anarkisme.Pluralitas dan multi-partai demokrasi parlementer berujung pada
pertarungan ideologis partai yang sangat berpengaruh di Indonesia.
Pada
waktu itu, kekuatan ideologis dapat dipetakan menjadi tiga bagian, yakni Islam,
Nasionalis dan Sosialis.PKI yang sebelumnya runtuh akibat pemberontakan Madiun
1948 bangkit dengan cepat, malah berafiliasi dengan pihak nasionalis untuk
menghadapi partai-partai Islam yang dikhawatirkan mendirikan Negara
Islam.Konflik antar partai tidak bisa dielakkan, ini juga membias pada
elit-elit politik yang bercokol di pemerintahan.DPR dan Konstituante yang
dilahirkan setelah pemilu 1955, juga membuat keadaan internal pemerintahan
semakin buruk. Pertikaian antarmiliter, pergolakan daerah melawan pusat, inflasi
ekonomi dan masa depan Indonesia menjadi suram. Akhirnya, pada tanggal 5 Juli
1959 Sukarno mengeluarkan dekrit presiden dan menyatakan Konstituante
dibubarkan serta UUD ’45 diberlakukan lagi.Inilah awal kehancuran demokrasi
parlementer di bumi pertiwi dan bermulanya sistem demokrasi terpimpin.
Dekrit Presiden 5 Juli
1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya Isi
dari Dekrit Presiden tersebut ialah:
1. Pembentukan MPRS dan DPAS
2. Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya
lagi UUDS 1950
3. Pembubaran Konstituante
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti
Dewan Perwakilan Rakyat pilihan rakyat ditonjolkan peranannya sebagai pembantu
pemerintah, sedangkan fungsi kontrol ditiadakan. Bahkan pemimpin DPR dijadikan
mentri dan dengan demikian ditekankan fungsi pembantu presiden, di samping
fungsi sebagai wakil rakyat. Hal terakhir ini mencerminkan telah
ditinggalkannya doktrin Trias Politika.
Penyimpangan lain dalam demokrasi terpimpin adalah campur
tangan presiden dalam bidang Yudikatif seperti presiden diberi wewenang untuk
melakukan intervensi di bidang yudikatif berdasarkan UUD No.19 tahun 1964 yang
jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan di bidang Legislatif
berdasarkan Peraturan Presiden No.14 tahun 1960 dalam hal anggota DPR tidak
mencapai mufakat mengenai suatu hal atau sesuatu rancangan Undang-Undang.
Selain
itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan di mana pelbagai
tindakan pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Panpres) yang
memakai Dekrit 5 Juli 1959 sebagai sumber hukum. Tambahan pula didirikan
badan-badan ektra kontitusional seperti front nasional yang ternyata dipakai
oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan, sesuai denga taktik komunisme
internasional yang menggariskan pembentukan front nasional sebagai persiapan ke
arah terbentuknya demokrasi rakyat.
Partai
politik dan pers dianggap yang menyimpang dari rel revolusi ditutup, , sedangkan politik
mercusuar di bidang hubungan luar negeri dan ekonomi dalam negeri telah
menyebabkan keadaan ekonomi menjadi bertambah suram. Pada masa orde lama
terjadi persaingan antara Angkatan Darat, Presiden, dan PKI. Persaingan ini
mencapai klimaks dengan meletusnya perisiwa Gerakan 30 September 1965 yang
dilakukan oleh PKI. Ketika itu bangsa Indonesia didominasi oleh partai komunis
yang sangat kuat.
Selain itu,
pemilu nasional pertama dilaksanakan pada masa Orde Lama, dilaksanakan secara
bertingkat, tanggal 29 September 1955 Pemilu untuk memilih anggota DPR dan
tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante (Dewan Pembentuk
Undang-Undang Dasar). Jumlah kursi yang diperebutkan adalah anggota DPR adalah
260 orang untuk anggota DPR dan 520 orang Badan Konstituante ditambah 14 wakil
golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu 1955 berdasarkan pada UU
No. 27 Tahun 1948 jo. UU No. 12 Tahun 1949 tentang Pemilu yang diikuti oleh
lebih dari 170 partai politik, termasuk perseorangan calon independent yang
terbagi dalam 15 distrik pemilih, disesuaikan dengan wilayah provinsi yang ada
pada saat itu. Yang memiliki hak suara adalah WNI,
keturuanan Arab,
Cina dan Eropa,
serta anggota tentara dan polisi. Pada masa ini budaya
politik yang berkembang berada dibawah pengaruh dominasi agama Islam yang
merupakan agama mayoritas dari masyarakat Indonesia. Namun demikiran, menurut
Deliar Noer, umat Islam di Indonesia secara politis sering terlibat kontroversi
teoritis dan ideologis, baik dengan pihak nasionalis sekuler maupun antarsesama
umat Islam sendiri.
Perpecahan
komunitas muslim ini melahirkan kebangkitan berbagai partai politik. Dengan
pola multi partai, partai politik yang ada saat itu terbagi menjadi dua, yaitu
yang menganut asas politik agama, seperti Partai keagamaaseperti Majelis Syuro
Muslim Indonesia (Masyumi), Nahdatul Ulama (NU) Partai Serikat Islam Indonesia
(PSII), Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai PersatuanTarekat Islam
Indonesia, dan Angkatan Kesatuan Umat Islam, partai nasionalis dan yang
menganut asas politik sekuler seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan
partai komunis adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Banyaknya partai tidak menguntungkan berkembangnya pemerintahan yang stabil.
Namun kenyataannya partai partai politik tersebut tidak menyelenggarakan fungsi
sebagaimana yang diharapkan. Kondisi seperti ini sangat rentan, sehingga
menimbulkan banyaknya penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945.[1]
IV. Teori Nasakom di Orde Lama
Teori Nasakom, telah lahir dan di rumuskan oleh
Sukarno Sejak tahun 1926, yang waktu itu di istilahkan dengan tiga hal pokok
yakni “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Yang pada intinya di persatukan
dalam satu tujuan yaitu Gotong-royong (bekerja bersama-sama) untuk Revolusi
Indonesia dalam melawan Imperialisme. Nasakom
adalah singkatan Nasionalis, Agama dan Komunis, dan merupakan konsep dasar
Pancasila pada masa pemerintahan orde lama. Konsep ini diperkenalkan oleh
Soekarno Presiden pertama Republik Indonesia yang menekankan adanya persatuan
dari segala macam ideology Nusantara untuk melawan penjajahan, dan sebagai
pemersatu Bangsa untuk Revolusi rakyat dalam upaya memberantas kolonialisme di
bumi Indonesia.
Dengan penyatuan tiga
konsep ini (Nasionalis, Agamis dan Komunis) Soekarno berusaha untuk mengajak
segala komponen bangsa tanpa melihat segala perbedaan yang ada.Baik itu
perbedaan Religius maupun suku dan budaya.Bisa di katakana bahwa Nasakom adalah
penjelmaan atau penerapan daripada Pancasila, terutama azas Bhineka Tunggal
Ika.Ia melihat bahwa nasionalisme dan Islam merupakan paham-paham yang kurang
tajam untuk menganalisis keadaan, karena itulah dibutuhkan fundamen marxisme
untuk menyokong dua ideologi tersebut untuk membangun Indonesia. Satu sisi,
sikap diktatorial yang terbentuk di demokrasi terpimpin ini sekilas mirip
dengan cara pandang Lenin, pemimpin Uni Soviet kala Sukarno masih muda, tetapi
ia sendiri memilih untuk tidak menyamakannya. Lenin mencapai tujuannya melalui
golongan masyarakat proletar, sementara Sukarno melihat kaum proletar masih
lemah, karena itu ia ingin mencapai revolusinya dengan konsepsi rakyat ini.
Menurut Sukarno, masyarakat terbagi bukan pada kelas sosial ekonomi tetapi
ideologilah yang membagi masyarakat dalam kelompok-kelompok sehingga mereka
layaknya kekuatan massa yang memiliki perbedaan. Ini menyebabkan timbulnya
gagasan Sukarno untuk menggabungkan pemimpin-peminpin tersebut dalam persatuan.
PKI menyambut
“Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai
mandat untuk persekutuan Konsepsi Nasakom.Pada tahun 1962, perebutan Irian
Barat secara militer oleh Indonesia yang dilangsungkan dalam Operasi Trikora
mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan
terhadap perlawanan penduduk adat yang tidak menghendaki integrasi dengan
Indonesia.
Tetapi kedekatan dengan
PKI malah menjadi bumerang tersendiri. Merasanya ideologinya mendapat angin
segar dari pemerintahan Sukarno, serta merta pihak PKI melakukan ideologisasi
besar-besaran dan pemberontakan menuju Indonesia komunis. Sehingga bencana
nasional berupa G30S 1965 terjadi dan mengakhiri pemerintahan Sukarno yang
diktator dengan model terpimpin.
V. Kondisi Ekonomi Orde Lama
Keadaan ekonomi
keuangan pada masa orde lama amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
- Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
- Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
- Kas negara kosong.
- Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi,
antara lain :
- Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
- Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
- Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
- Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947, Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
- Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Indonesia
di masa Orde Lama (Soekarno, 1945 – 1966) lebih banyak konflik politiknya
daripada agenda ekonominya yaitu konflik kepentingan antara kaum borjuis,
militer, PKI, parpol keagamaan dan kelompok – kelompok nasionalis lainnya. Kondisi
ekonomi saat itu sangat parah dengan ditandai tingginya inflasi yaitu mencapai
732% antara tahun 1964 – 1965 dan masih mencapai 697% antara tahun 1965 – 1966.
Namun
keadaan ini hanya berlangsung sampai pada tahun 1958, karena mulai saat itu
terlihat kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa. Hal ini diakibatkan
politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap Belanda sehingga
mengganggu hubungan ekonomi kedua negara dan mengakibatkan banyak warga negara
Belanda meninggalkan Indonesia.
Perkembangan
tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya hubungan Republik Indonesia
dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya dan memuncaknya aksi
pengambil-alihan semua perusahaan Belanda di Indonesia, sesuai dengan
Undang-undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958.
Kemudian
disusul dengan instruksi dari Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS)
pada tahun 1960, yaitu larangan bagi Bursa Efek Indonesia untuk memperdagangkan
semua Efek dari perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, termasuk semua
Efek yang bernominasi mata uang Belanda, makin memperparah perdagangan Efek di
Indonesia.
Tingkat
inflasi pada waktu itu yang cukup tinggi ketika itu, makin menggoncang dan
mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pasar uang dan pasar modal, juga terhadap
mata uang rupiah yang mencapai puncaknya pada tahun 1966.
Penurunan
ini mengakibatkan nilai nominal saham dan obligasi menjadi rendah, sehingga
tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini merupakan pasang surut Pasar Modal
Indonesia pada zaman Orde Lama.
VI. Pelaksanaan
Demokrasi Era Ode Lama
A. Masa demokrasi liberal
Demokrasi yang dipakai adalah demokrasi
parlementer atau demokrasi liberal. Demokrasi pada masa itu telah dinilai gagal
dalam menjamin stabilitas politik. Ketegangan politik demokrasi liberal atau
parlementer disebabkan hal-hal sebagai berikut:
- Dominanya politik aliran maksudnya partai politik yang sangat mementingkan kelompok atau alirannya sendiri dari pada mengutamakan kepentingan bangsa
- Landasan sosial ekonomi rakyat yang masih rendah
- Tidak mampunya para anggota konstituante bersidang dalam menentukan dasar negara.
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden
5 Juli 1959 yang berisi 3 keputusan yaitu:
1) Menetapkan pembubaran konstituante
2) Menetapkan UUD 1945 berlaku kembali sebagai konstitusi negara dan tidak berlakunya UUDS 1950
3) Pembentukan MPRS dan DPRS
Dengan turunnya dekrit presiden berakhirlan masa demokrasi parlementer atau demokrasi liberal.
1) Menetapkan pembubaran konstituante
2) Menetapkan UUD 1945 berlaku kembali sebagai konstitusi negara dan tidak berlakunya UUDS 1950
3) Pembentukan MPRS dan DPRS
Dengan turunnya dekrit presiden berakhirlan masa demokrasi parlementer atau demokrasi liberal.
B. Masa demokrasi terpimpin
Menurut Ketepan MPRS no. XVIII/MPRS /1965 demokrasi trepimpin adalah kerakyatan yang dipimpn oleh hikmat kebijaksamaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi terpimpin merupakan kebalikan dari demokrasi liberal dalam kenyataanya demokrasi yang dijalankan Presiden Soekarno menyimpang dari prinsip-prinsip negara demokrasi. Penyimpanyan tersebut antara lain:
- Kaburnya sistem kepartaian dan lemahnya peranan partai politik
- Peranan parlemen yang lemah
- Jaminan hak-hak dasar warga negara masih lemah
- Terjadinya sentralisasi kekuasaan pada hubungan antara pusat dan daerah
- Terbatasnya kebebasan pers sehingga banyak media masa yang tidak dijinkan terbit.
Akhirnya dari demokrasi
terpimpin memuncak dengan adanya pemberontakan G 30 S / PKI pada tanggal 30
September 1965. Demokrasi terpimpin berakhir karena kegagalan presiden Soekarno
dalam mempertahankan keseimbangan antara kekuatan yang ada yaitu PKI dan
militer yang sama-sama berpengaruh. PKI ingin membentuk angkatan kelima
sedangkan militer tidak menyetujuinya. Akhir dari demokrasi terpimpin ditandai
dengan dikeluarkannya surat perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno
kepada Jenderal Soeharto untuk mengatasi keadaan.
Pada era orde lama (1955-1961), situasi negara
Indonesia diwarnai oleh berbagai macam kemelut ditngkat elit pemerintahan
sendiri. Situasi kacau (chaos) dan persaingan diantara elit politik dan militer
akhirnya memuncak pada peristiwa pembenuhan 6 jenderal pada 1 Oktober 1965 yang
kemudian diikuti dengan dengan krisi politik dan kekacauan sosial. Pada massa
ini persoalan hak asasi manusia tidak memperoleh perhatian berarti, bahkan
cenderung semakin jauh dari harapan.
Unsur-unsur Penegakan Demokrasi
- Negara hukum
- Masyarakat madani
- Infrastruktur politik (parpol, kelompok gerakan, kelompok kepentingan, kelompok penekan)
- Pers yang bebas dan bertanggung jawab
Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer
- Kekuasaan legislatif lebih kuat dari pada kekuatan ekspekutif
- Meteri-menteri (kabinet) harus mempertanggungjawabkan tindakan kepada DPR
- Program kebijaksanaan kabinet harus disesuaikan dengan tujuan politik sebagian anggota parlemen
VII. Kesimpulan
Masa orde lama adalah masa dimana
bangsa Indonesia mencari jati diri sebagai bangsa yang berdaulat.Pada masa orde lama banyak terjadi penyimpangan yang
berlawanan dengan pancasila yang menjadi dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Tetapi hal
ini bukanlah sebatas renungan belaka ataupun sebuah sejarah yang pernah kita
lewati. Segala hal yang telah terjadi pada kekuasaan eksekutif pada masa orde
lama hendaknya menjadi pembelajaran politik bagi kekuasaan eksekutif pada era
reformasi sekarang ini.
Masyarakat
Indonesia membutuhkan kekuasaan politik yang menjalankan tugas fungsi, dan perannya dengan baik,
bukan kekuasaan poltik yang penuh dengan korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Oleh karena itu, dituntut adanya atensi pada setiap kekuasaan dalam
ajaran trias politika untuk dapat menjalankan checks and balances sebagaimana
mestinya, sehingga dari waktu ke waktu kekuasaan poltik di Indonesia dapat beradaptasi dengan perubahan zaman
yang semakin modern, menjaga relevansinnya dengan kehidupan modern, sertra
mengadakan transformasi politik ke arah yang lebih baik. Orde
Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut,
Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi
komando. Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan
sistem pemerintahan parlementer. Presiden Soekarno di gulingkan saat Indonesia menggunakan
sistem ekonomi komando. Sebab dalam sistem Demokrasi Terpimpin
presiden memiliki kekuasaan hampir seluruh bidang pemerintahan.
Sejak
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak
kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam
perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas,
paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan
bangsa Indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan. Wujud berbagai
hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode Orde Lama
yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah
Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang
merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana
masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang
tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.
Pada masa Orde lama,
Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia
yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan
keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada
dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi
masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi
Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam
bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi
Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode
1959-1966. Orde baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang telah
menyimpang dari Pancasila. Situasi internasional kala itu masih diliputi
konflik perang dingin. Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau dan
ekonomi hampir bangkrut. Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit, memberikan
sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan strategi dan
politik di arena internasional seperti yang dilakukan oleh Soekarno. Orde
Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas, kebanggaan nasional dan
mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama pula yang memberikan
peluang bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan
identitas nasional kita adalah; Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi
Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965.
______________________________
Penulis adalah Mhs. S2 Komunikasi
Politik Univ. Muhammadiyah Jakarta.
Daftar Pustaka :
Alfian, Hasil
Pemilihan Umum 1955, Jakarta, Leknas,
1971.
Bari Azed dan Makmur Amir, (2005), Pemilu
dan Partai Politik di Indonesia, Jakarta, Pusat Studi
HTN FHUI
Dumairy, Perekonomian
Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1996.
Lima
Adi Sekawan, 2006, Lengkap UUD 1945 (dalam Lintasan Amandemen) dan UUD
(yang pernah berlaku) di Indonesia, Jakarta.
Muchjidin, Erman, 1986, Tata Negara. Bandung, Yudhistira.
Radjab, Dasril, 1994, Hukum Tata Negara Indonesia, Yogyakarta, PT Rineka
Cipta.
Kantaprawira,
Rusadi, 2006, Sistem Politik Indonesia Suatu Model
Pengantar, Bandung, Sinar Baru Algensindo.
Cetakan ke X.
Soehino, 1992, Hukum Tata
Negara Indonesia, Yogyakarta.
Talidziduhu, Teori
Budaya Politik , http://taliziduhu-updm.blogspot.com/2012/04
menarik
BalasHapus