Bercermin dari Pemilukada DKI Jakarta
Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
Pasangan pemenang Pemilihan
Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) putaran kedua Provinsi
DKI Jakarta 2012 Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) kemarin
Senin (15/10) secara resmi dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Upacara pengambilan sumpah atau janji jabatan serta pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI periode 2012-2017 di
Gedung DPRD Provinsi DKI berjalan cukup khidmat.
Warga Jakarta telah melewati sebuah fase
perbaikan kualitas penyelenggaraan Pemilu yang cukup baik. Fase di mana proses
penyelenggaraan Pemilu Kada Provinsi DKI Jakarta yang secara umum berakhir dengan aman, tertib, dan damai. Publik cukup puas atas proses dan hasil Pemilu Kada, meski masih ada kekurangan, ketimpangan hingga
penyimpangan kinerja Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi DKI terutama dalam memastikan Daftar PemilihTetap (DPT) putaran pertama.
Bicara masalah penanganan kasus DPT tentu amat menarik. Karena kasus
ini selain menjadi sumber penyimpangan hak konstitusional warga juga menyangkut netralitas
dan profesionalisme. Independensi memerlukan kemauan sekaligus tekad kuat semua pemangku kepentingan untuk secara
kontinyu memperbaiki kualitas pemilu. Kualitas tidak hanya perbaikan sistem
tetapi kesadaran politik etik individu dalam struktur sosial. Profesionalitas kelembagaan tidak menjamin proses maupun hasil pemilu berintegritas. Karena kebijakan lembaga penyelenggara pemilu
kerap menimbulkan kegaduhan dan cenderung memicu pertengkaran politik.
Ketidaktertibanpengelolaan DPT Pemilu Kada Provinsi Jawa Timur
berakibat fatal sehingga pasangan calon incumbent (petahana) Soekarwo dengan wakilnya Syaifullah Yusuf digugat pasangan Khofifah Indar Parawansyah dan Mudjiono ke Mahkamah Konstitusi
(MK) (2/2/2009). Kasus DPT ganda Pemilu
Kada Kotawaringin Barat, Kalimantan Barat, 5 Juni 2010 silam pun tidak saja
menimbulkan konflik horisontal berkepanjangan tetapi ketidakadmampuan dan
ketidakberdayaan KPUD Kobar melepaskan diri dari intervensi politik sangat
mengganggu proses penataan demokrasi di tingkat daerah. Artinya, KPU sesungguhnya selalu ada dalam kubangan politik praktis karena ruang
gerak penyimpangan selalu ada cela. Umumnya, kasus DPT di sebagian besar Pemilu
Kada di Indonesia selalu bermuara dari ketidakcermatan KPU, dan oleh karena
itu, seharusnya menjadi catatan tersendiri bagi KPU, DPR, Pemerintah, dan Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sebagai stakeholder paling berkepentingan dalam menentukan apakah pemilu demokratis atautidak?
Dalam konteks perbaikan yang lebih
konstruktif, maka kasus DPT Pemilu Kada DKI putaran pertama yang menghilangkan
hak politik warga tidak boleh terjadi di pemilu 2014 yang sekarang tengah
memasuki tahapan verifikasi faktual partai politik. Komitmen DPR, KPU,
Kemendagri, danBawaslu, menjadikan Pemilu Kada sebagai tolok ukur Pemilu 2014
harus diterjemahkan secara praktik nyata. Problem ketidakteraturan pengelolaan
DPT lebih disebabkan ketidakhati-hatian KPU memverifikasi data pemilih pada
tahapan DP4 di satusisi, dan pada sisi lain, penyelenggara sering terjebak
dengan patokan data yang disodorkan pemerintah.
Ekspektasi
Masyarakat
Perhatian masyarakat Indonesia terhadap perhelatan demokrasi lokal DKI Jakarta terlihat cukup kuat.
Tingkat partisipasi pengawasan Pemilu Kada pun amat tinggi. Tidak semata
diawasi pelaksanaannya oleh Bawaslu, Panwaslu Kada tetapi masyarakat luas
mengambil peran amat terasa. Partisipasi warga Jakarta putaran pertama relatif rendah, hal ini terlihat dari tingkat partisipasi pemilih
yang hanya terkonfirmasi dalam DPT sebanyak 6.962.348, yang menggunakan hak suara secara sah
4.336.486, dari jumlah partisipasi pemilih sebanyak 4.407.141. putaran pertama
masing-masing calon mengantongi perolehan suara sebagai berikut; pasangan
Jokowi-Ahok, 1.847.157 (42,60%), Foke-Nara, 1.476.648 (34,05%), pasangan
Hidayat-Didik, 508.113 (11,72%), pasangan Faisal-Biem, 215.935 (4,89%),
pasangan Alex-Nono, 202.643 (4,67%), dan pasangan Hendardji-Riza hanya meraih
85.990 (1,98%).
Pertarungan Pilkada DKI telah usai setelah
KPUD Provinsi menetapkan pasangan calon terpilih putaran kedua pada Hari Sabtu
(29/9) melalui rapat pleno yang digelar di Hotel Borobudur, Jakarta. Pasangan
Jokowi-Ahok menang secara meyakinkan dengan memperoleh dukungan kuat dari
wilayah Jakarta Barat meraih 577.232 dengan total DPT 1.510.159, Jakarta Timur,
695.220 dari DPT 1.999.040, Jakarta Selatan 507.257 (DPT 1.512.913), Jakarta
Utara 432.714 (DPT 1.168.988), Jakarta Pusat 256.529 (DPT 789.484), dan Kepulauan
Seribu 3.178 (DPT 16.367) dengan total perolehan suara sebanyak
2.472.130 dan mengalahkan Foke-Nara yang mendapatkan suara secara keseluruhan
sebanyak 2.120.815.
Nuansa demokratisasi relatif kondusif, dan
momentum ini sepatutnya kita jadikan sebagai titik tekan mengawal suksesi
kepemimpinan 2014. Penyelenggaraan Pemilu Kada mendapat perhatian begitu besar
dari Pers dan lembaga-lembaga pemantau sehingga menarik menjadi bahan pelajaran
bagi pemerintah.
Booming partisipasi warga menggunakan preferensi sebagai
bentuk kesadaran politik masyarakat
yang secara bersamaan ikut mengawasi pelaksanaan menunjukkan instrumen demokrasi bekerja aktif karenasikap proaktif instrumen-instrumen demokrasi mendorong pelbagai kekuatan politik untuk mengambil peran positif. Dalam perspektif ini, Pemilu Kada DKI tidak saja berjalan aman, tertib, dan damai, tetapi dari kerangka penyelenggaraannya berdasarkan penilaian umum relatif demokratis. Yang patut jadi pelajaran dari Pemilu Kada
DKI ialah sikap kesatria dan bijak dari pasangan incunbent Fauzi Bowo
yang secara jiwa besar menerima hasil tanpa menonjolkan arogansi kepemimpinan.
Sikap kesatria ini harus kita akui sangat langkah terjadi dalam tradisi
perhelatan Pemilu Kada di Indonesia. Dan pengalaman ini setidaknya menjadi peristiwa
mahal yang harus diteladani oleh para pemimpin yang hendak berkompetisi merebut
kekuasaan.
Terobosan
Selama
ini dimensi penegakkan hukum Pemilu selalu memicu perdebatan politik yang tidak
produktif sehingga seringkali muncul ketidakpastian hukum dalam suatu
penyelesaian kasus Pilkada. Ketidakmenentuan suatu putusan penyelesaian Pilkada
dalam konteks penegakkan hukum Pemilu acap dijadikan alasan politik calon
tertentu untuk memperpanjang ritma petualangan kekuasaan. Dalam konteks itulah,
revisi UU Nomor 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu menjadi UU Nomor 15/2011
tentang Penyelenggara Pemilu menghadirkan instrumen demokrasi baru yakni Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Lembaga etic yang semula
berstatus ad hoc menjadi permanen dan komposisi keanggotaan yang
proporsional dan difungsikan secara netral (independent police).
Eksistensi lembaga baru ini berdasarkan UU
diorientasikan untuk memastikan penegakkan hukum secara pasti (the role of law) dan berperan mengawal
kehormatan penyelenggara Pemilu the role of law and the of etic dari perspektif etika
kepemiluan dalam era demokrasi modern.
DKPP tiga kali menyidangkan kasus dugaan
pelanggaran Kode Etik yang dilakukan Ketua KPUD DKI hingga pada tahap pemberian
sangsi tertulis secara psikologi politik menjadi motivasi KPUD DKI. Sidang di
KPU Pusat (27/7) dan (3/7/2012), dan sidang yang dilakukan di Bawaslu Sabtu
(7/7/2012) tersebut mengeluarkan sangsi tertulis kepada Ketua KPUD Provinsi DKI
sangat membawah dampak positif bagi perbaikan DPT.
Implikasi putusan DKPP terhadap Ketua KPUD DKI memberikan kontribusi
yang cukup efektif dalam perbaikan kualitas Pemilu Kada DKI putaran kedua.
Sangsi tertulis DKPP mampu mendorong sikap KPUD
untuk merapikan tertib administrasi DPT putarankedua. Bangsa Indonesia dalam kerangka Pemilu Kada
DKI setidaknya telah memulai dari sebuah proses yang baik. Ekspektasi publik
untuk mensukseskan Pemilu Kada cukup tinggi. Kehadiran lembaga DKPP dalam
konteks perbaikan kualitas penyelenggaraan Pemilu amat berarti dan oleh
karenanya bagaimanapun patut diapresiasi. DKPP diamanatkan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu dalam Pasal 111 ayat (3) ditugaskan
menerima pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, dan
melakukan penyelidikan, pemeriksaan, menyidangkan, hingga menetapkan putusan
dan menyampaikannya secara terbuka pada publik.
Pada ayat (4) DKPP secara kelembagaan
berwenang memanggil penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik
penyelenggara pemilu untuk memberikan penjelasan sekaligus memberi kesempatan
pembelaan hingga menjatuhkan sangsi pada penyelenggara pemilu yang terbukti
melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Sebagai institusi baru dan merupakan
bagian dari penegakkan kode etik penyelenggara Pemilu, DKPP di bawah
kepemimpinan Jimly Ashhiddiqie ini sekurang-kurangnya telah berperan positif
konstruktif. Fenomena wacana demokratisasi Pemilu Kada DKI memperlihatkan pada
masyarakat di mana ada semangat baru dan kemauan kolektif membenahi kualitas
demokrasi.
Namun demikian, betapapun performa proses dan hasil Pemilu Kada DKI Jakarta dinilai banyak pihak berhasil, akan tetapi KPU, DPR, Pemerintah, dan Bawaslu tidak lengah apalagi
terbuai. Karena keberhasilan Pemilu Kada DKI putaran kedua tidak lepas dari peran optimal pemantau pemilu juga kalangancivil society. Publik tidak boleh menafikan realitas sosial di mana kuatnya kesadaran masyarakat dalam Pemilu Kada DKI.
Catatan : Arsip
Tulisan ini dimuat di Koran
Harian Kendari Ekspres dalam dua kali tulisan, tanggal, 15 dan 16 Oktober 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar