Manivesto Integritas
Pemilu
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI) melalui Komisi 2 pada Rapat Kerja Dengar Pendapat
(RDP) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kementerian Dalam Negeri Republik
Indonesia (Kemendagri), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hari Senin tanggal
4/6/2012 sebagai tindaklanjut dari RDP sebelumnya tanggal 21/5, dimana mereka
menyepakati untuk secepatnya membentuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP). Alhasil, momen RDP hari Senin 4/6 perkembangan yang terjadi Komisi 2
DPR mengumumkan 3 nama calon anggota DKPP.
Sebagai tindaklanjut
agenda RDP, KPU dan Bawaslu langsung menggelar rapat pleno masing-masing
internal dengan tujuan menetapkan nama calon anggota DKPP. KPU mengutus anggota
komisioner Ida Budiarti, dan Bawaslu mengutus anggota Bawaslu Nelson
Simanjuntak. RDP hari Senin 4/6 Komisi 2 menyampaikan perkembangan terkait
pengajuan 3 nama calon anggota DKPP dari unsur masyarakat yang merupakan hasil
seleksi mereka yakni Jimly Asshiddiqie, Nur Hidayat Sardini, dan Saut
Hutamongan Sirait. Jimly sosok cendikiawan yang profesional, Nur Hidayat
Sardini merupakan intelektual muda yang energik dan dedikasinya pada persoalan
pemilu tidak diragukan, serta mantan anggota KPU pergantian antar waktu (PAW),
Saut Hutamongan Sirait yang menggantikan komisioner KPU Andi Nurpati karena
dipecat sebagai sosok yang kreatif. Diumumkan 3 nama calon anggota DKPP
tersebut paling tidak mampu mereduksi polemik soal ketertutupan DPR selama
beberapa pekan terakhir.
Terlepas dari interpretasi
dan persepsi politik apapun yang dibangun para aktor politik dan berkembang di
masyarakat tentang isu politisasi atau adanya vested inters dalam proses
seleksi yang dilakukan Komisi 2, namun, dengan muncul 3 nama tersebut
sekurang-kurangnya membuat publik lega. Meski apa yang dilakukan DPR tidak
kemudian memuaskan semua pihak. Tetapi paling tidak DPR telah mengambil sebuah
keputusan politik yang produktif karena dengan waktu yang diberikan
Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu bisa dijalankan
secara konsisten.
DPR, KPU, dan Bawaslu
sudah secara resmi mengajukan nama-nama calon anggota DKPP, tinggal pemerintah.
Pemerintah diharapkan bersikap terbuka dan betul-betul mengedepankan aspek
proporsionalitas dan profesionalitas dalam memilih calon anggota DKPP. Pemerintah
seharusnya lebih dahulu memberikan contoh yang positif dalam mengambil
keputusan yang akuntabel. Jika pemerintah memperlambat proses pembentukan DKPP
maka sangat boleh jadi public menaruh curiga pada pemerintah. Semakin di molor
proses ini maka semakin tidak percaya masyarakat pada pemerintah. Karena sesuai
jadwal tahapan pembentukan DKPP menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 waktu
yang diberikan hanya dua bulan yakni setelah komisioner KPU dan Bawaslu
mengambil sumpah dan janji.
Keberadaan DKPP sangatlah
diperlukan apalagi di beberapa daerah termasuk provinsi DKI Jakarta yang tengah
menyelenggarakan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu
Kada) sehingga kehadirannya menjadi begitu penting guna mengurangi potensi
pelanggaran Pemilu Kada. Mengingat eksistensi DKPP menjadi basis kekuatan moral
yang menjaga dan mengawal kehormatan Pemilu di Indonesia.
Sebetulnya pemerintah
tidak perlu menunda-nunda apabila merujuk pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 Tentang Penyelenggara Pemilu, Pasal 109 ayat (3) yang memerintahkan agar
DKPP dibentuk paling lama 2 (dua) bulan sejak anggota KPU dan anggota Bawaslu
mengucapkan sumpah/janji. KPU dilantik pada hari kamis tanggal 12/4/2012 dengan
Keppres No. 34/P/2012, dan Bawaslu dengan Keppres No. 35/P/2012 sehingga dengan
demikian, jika DPR dan pemerintah komitmen berpijak pada amanat UU No. 15/2011
tersebut maka tidak ada alasan pemerintah mengulur pembentukan DKPP.
Persiapan penyelenggaraan pemilu dan pemilu Kada bagi
setiap tahapan memerlukan pengawasan teknis maupun pengawasan etik yang kuat
dari berbagai elemen masyarakat terutama lembaga resmi negara yang dibekali
dengan peraturan dan perundang-undangan. DKPP memiliki peran strategis
sekaligus jadi tumpuan masyarakat bagi terselenggaranya pemilu yang langsung,
umum, bebas, dan rahasia (Luber), dan jujur, dan adil (Jurdil). Artinya,
kualitas proses maupun hasil pelaksanaan Pemilu sangat ditentukan seberapa jauh
peran pengawasan kode etik dari DKPP.
DKPP berperan kuat
melakukan pengawasan kode etik bagi penyelenggara pemilu. Oleh karena itu,
pemerintah harus mempercepat proses pembentukan DKPP KPU-Bawaslu. Komitmen
keseriusan pemerintah memperbaiki kualitas dan integritas demokrasi
dipertanyakan publik bila presiden tidak secepatnya memutuskan 2 dari 4 nama
yang sudah diajukan Kemendagri sebagai perwakilan pemerintah. Keberadaan DKPP
merupakan suatu keniscayaan karena tahapan pemilu 2014 sudah di mulai sehingga
memerlukan persiapan dan penyesuaian kelembagaan berdasarkan tugas dan fungsi
(Tupoksi). Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu, Pasal
109 ayat (2), disebutkan, DKPP memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutuskan
pengaduan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
anggota KPU pusat hingga daerah bahkan sampai pada tingkat paling bawah yakni
KPPS, dan KPPSLN. Hal serupa juga di Bawaslu dari tingkat pusat hingga paling
bawah yakni anggota PPL, dan PPLN.
Pengalaman empirik
menunjukkan betapa kualitas proses maupun hasil penyelenggaraan pemilu pasca
reformasi selalu bermuatan politisasi karena penyelenggara pemilu merupakan
instrumen paling strategis. Penataan demokrasi mengalami kemacetan akibat
kekurangseriusan pemerintah merespon persoalan ini. Pemilu 2009 seakan-akan
menjadi sumber “kebencian politik” bagi banyak partai politik terutama partai
politik yang dirugikan akibat ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu.
Integritas
Pemilu
Integritas proses maupun hasil penyelenggaraan pemilu tidak lepas
dari integritas keanggotaan DKPP. Karena bagaimana pun kualitas dan integritas
proses dan hasil pemilu tidak hanya melahirkan legitimasi politik masyarakat
luas secara kuat tetapi legitimasi moralitas induvidu dalam struktur
keanggotaan DKPP menjadi sangat menentukan bagi proses dan hasil pemilu. Artinya
kehormatan penyelenggaraan pemilu secara moralitas dibangun oleh kinerja dan
gerakan DKPP.
Undang-Undang No. 15 Tahun
2011 Pasal 112 ayat (11), memberikan wewenang bagi DKPP memberikan sanksi
teguran tertulis, memberhentikan sementara anggota KPU dan Bawaslu di semua
tingkatan, hingga pemberhentian bersifat tetap. Martabat pemilu untuk
mewujudkan legitimasi moral masyarakat pada anggota KPU dan anggota Bawaslu
dalam menyelenggarakan pemilu tidak bisa dipisahkan dari profesionalisme
anggota DKPP baik secara individu maupun kelembagaan. Apalagi status DKPP
produk Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 yang merupakan hasil revisi
Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 semakin diperkuat keberadaannya yakni dari ad
hock menjadi permanen.
Dalam konteks ini,
presiden dituntut benar-benar selektif, akurat, dan mengedepankan asas
akuntabilitas mengambil 2 duna nama calon sebagai perwakilan pemerintah.
Betapapun tuntutan kuat dari publik, dan keinginan semua pihak untuk
menghasilkan calon anggota DKPP yang memiliki syarat kualifikatif tetapi tanpa
didasari kemauan bijak konsisten secara moral menjalankan peraturan dan
perundangan-undangan maka potensi tidak percaya publik terhadap pemerintah
suatu waktu pasti akan terjadi.
Proses pemilihan 2 dari 4
nama calon anggota DKPP semestinya dilakukan dengan cara-cara yang etis dan
demokratis karena kehormatan lembaga ini pada proses selanjutnya dapat diukur
melalui kualitas proses politik yang terjadi pada pemerintahan sekarang. 4 nama
calon yang diusulkan Kesbangpol Kemendagri ke presiden pun masih tertutup. Yang
paling penting kesadaran politik pemerintah secara bijak untuk mengambil
kader-kader bangsa yang memiliki kompetensi soal dunia kepemiluan di Indonesia.
Pemerintah sudah saatnya, dan sudah sepatutnya memilih calon anggota yang betul-betul
memiliki rekam jejak (track record) kepemiluan
yang teruji secara publik.
Undang-Undang No. 15 Tahun
2011 tentang Penyelenggara Pemilu pada junto putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
mengenai keanggotaan DKPP terdiri dari 1 orang unsur KPU, 1 orang lagi dari
unsur KPU, 2 dari unsur pemerintah, dan 3 dari unsur tokoh masyarakat.
Perkembangan yang muncul kemudian adalah DPR, KPU, Bawaslu, dan pemerintah
masing-masing sudah mengajukan nama sesuai proses dan mekanisme intern.
Pertaruhan DKKP
Tidak bisa dimungkiri bahwa performa kapasitas kinerja DKPP
menjadi pertaruhan kredebilitas DPR dan pemerintah periode sakarang karena
peran legislatif dan eksekutif begitu penting dalam proses pembentukan
DKPP. Begitu juga kualitas proses maupun
hasil penyelenggaraan pemilu 2014 dan pemilu kada di seluruh Indonesia selama
lima tahun ke depan. Mengingat pemilu merupakan sebuah ajang yang tidak semata
menjalankan demokratisasi tetapi pemilu mengharuskan adanya sirkulasi
kepemimpinan bangsa.
Oleh sebab itu, tugas penting
yang harus dilakukan pemerintah ialah membuat komitmen moral dengan 2 nama
calon sebagai perwakilan pemerintah bila
perlu dituangkan dalam pakta integritas untuk senantiasa mengedepankan asas
kesamaan persepsi dengan tetap konsisten menjalankan ketentuan peraturan dan
perundang-undangan yang ada. Calon anggota DKPP perwakilan pemerintah haruslah
orang yang betul-betul memiliki track
record kepemiluan baik dari konteks penguasaan pemilu secara konsep maupun
pengalaman mengelola pemilu secara teknis. Kemampuan menyelesaikan persoalan
kepemiluan dan memiliki pengalaman panjang serta yang paling penting adalah
bersosok pemimpin yang tegas namun selalu adil dalam pengambilan keputusan.
Calon anggota DKPP yang diharapkan masyarakat, siap bekerja secara profesional
dan penuh tanggjungwab.
DPR dan pemerintah harus
kerja cerdas dan kerja produktif dalam rangka membangun ekspektasi publik
mengenai calon anggota DKPP yang tentu tetap mengedepankan aspek kompetensi dan
kapabilitas kepemimpinan. Anggota DKPP yang berkepemimpinan transformatif dan
autokratis. Dengan gaya kepemimpinan transformatif dan autokratis maka apa yang
dikatakan Ralph M. Stogdill sebagai authority (wewenang) akan mampu
dijalankan secara tegas dan profesional oleh anggota DKPP. Keanggotaan DKPP hendaknya
diisi oleh orang-orang yang tidak dikonstruksi oleh proses politik yang tidak fair
tetapi orang-orang yang memang betul-betul dibentuk di dunia kepemiluan.
Hal ini sejalan dengan konsep environmental theory yang mengatakan, leader
are not born. Calon anggota DKPP siap bekerja secara kolektif kolegial dan
tidak memainkan peran ganda. Karena sebagai pengawal moralitas penyelenggara
pemilu dituntut senantiasa konsisten pada rambu-rambu kebenaran dan kebaikan
universal. Tidak ada intrik politik sektoral karena simbol perwakilan tetapi
ketika mereka menyatu dalam sistem maka yang paling penting adalah menjalankan
tugas dan tanggungjawab dengan baik.
Masyarakat berharap agar
pemerintah mampu melakukan terobosan berarti untuk perubahan kualitas dan integritas
penyelenggaraan pemilu. Profesionalisme dan independensi seorang anggota DKPP
menjadi taruhan moral DPR dan pemerintah. Karena bagaimanapun, sebagai ekses
kualitas dan integritas proses maupun hasil pemilu 2014 dan pemilu kada di
masa-masa yang akan datang secara otomatis tidak bisa lepas dari pertaruhan
kinerja Komisi II DPR, KPU, Bawaslu, dan pemerintah sekarang. Karena Komisi II
DPR dan pemerintahlah melalui Undang-Undang diberikan wewenang membentuk DKPP.
Jakarta, 7
Juli 2012
Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar