Kamis, 01 September 2016

Politik Pemilu

Sampanye dalam Praktik Kampanye

Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)


Masa kampanye Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi DKI Jakarta sudah dimulai kemarin dan akan berakhir pada 6 Juli. Itu secara yuridis formal dalam tahapan pilkada. Namun, sesungguhnya, kampanye (terselubung) sudah dimulai lama dengan berbagai bentuk kemasan, baik oleh tim sukses, sponsor, simpatisan, atau bahkan oleh para kandidat sendiri.
Misalnya, dibungkus silaturahim, pertemuan kekeluargaan, kegiatan hari besar agama, dan prakondisi peringatan hari kemerdekaan. Yang memprihatinkan kegiatan-kegiatan tersebut ada yang menjurus "sampanye" dan malahan black campaign (kampanye hitam) antarkandidat sehingga menciptakan suasana persaingan tidak fair.
Secara resmi kampanye adalah kegiatan untuk mengambil hati rakyat agar mau mendukung kandidat. Peraturan KPU No 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Kampanye Pasal 13 tertulis secara jelas mengenai ketentuan 7 jenis kampanye seperti pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran bahan kampanye, atau rapat umum.
Perkembangan terakhir yang dapat diamati, kampanye yang cenderung menjurus pada "sampanye" yang seakan-akan menjadi konsep dan strategi politik para calon bersama tim sukses untuk memenangi pertarungan kekuasaan. "Sampanye" cenderung melahirkan tindakan-tindakan politik yang mengarah pada menghalalkan segala cara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat tahun 2008, dengan jelas disebutkan bahwa "sampanye" merupakan jenis minuman alkohol yang terbuat dari sari anggur yang jernih dan kemilau.
Pengibaratan kampanye sebagai "sampanye" maksudnya adalah program-program unggulan dan pemetaan pembangunan serta strategi penanganan perkotaan Jakarta, selama ini, dirasakan warga Jakarta hanya janji-janji manis layaknya sampanye yang diminum para pencandu. Janji tidak pernah ditepati.
Dalam kegiatan kampanye Pilkada DKI yang sekarang pun terlihat jelas betapa kuatnya indikasi praktik "mencekoki" rakyat dengan "sampanye". Tiap-tiap pasangan dan tim sukses kreatif menciptakan isu, termasuk black campaign untuk menjatuhkan kandidat lain agar tidak dipilih.
Kampanye bermotif "sampanye" tidak dibenarkan dalam peraturan dan perundang-undangan karena jelas-jelas akan merusak tatanan politik dan mengacaukan norma-norma penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Dalam beberapa pemilu di Indonesia, digunakan instrumen kampanye dengan hidangan "sampanye". Warga Jakarta mengharapkan kampanye kali ini jangan seperti yang sudah-sudah, menjadi tinggal sebuah "sampanye". Janji (kampanye) harus ditepati.
Beberapa waktu lalu, ketika belum masuk tahapan kampanye saja, ada pasangan calon sibuk urusan saling lapor. Misalnya, Kamis (21/6), tiga pasangan kandidat menyerahkan laporan dengan setumpuk data pelanggaran yang dilakukan penyelenggara Pilkada DKI kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Bukti-bukti pelanggaran yang dibawa menyangkut daftar pemilih tetap yang sudah berkali-kali dibantah KPUD DKI.
Ada juga sikap saling serang, menjatuhkan, menjegal, hujat, bahkan saling menjelekkan. Semua ini dikemas dalam sistem kerja black campaign (kampanye hitam). Sedikitnya, ada dua pasangan saling "berkampanye hitam". Disebut begitu karena secara frontol ada upaya mendiskreditkan.

Mimpi
Sebagai wujud membangun komitmen politik yang etis, KPUD DKI hari Sabtu (23/6), di Plaza Utara Senayan, mencanangkan sebuah pilkada yang aman dan tertib. Mereka menghadirkan pasangan peserta. Yang terpenting para kandidat menandatangani kesepakatan kampanye damai. Momen ini merupakan titik tolak komitmen bersama untuk mematuhi aturan main kampanye. Hanya pasangan Hidayat Nur Wahid dan Didik J Rachbini yang tidak hadir. Para kandidat tersebut diminta komitmen menciptakan suasana kampanye yang aman dan damai.
Tradisi persaingan politik kurang sehat terus mewarnai pertarungan kekuasaan pada pesta demokrasi karena peserta tidak mengindahkan nilai-nilai kepatutan dan kepantasan sebagai sebuah bangsa yang mengaku berbudaya. Keberagaman budaya dan kesantunan politik bangsa dicabik bahkan dibuat skenario sedemikian rupa untuk meraih kekuasaan.
Tidak banyak pendidikan politik dalam pilkada. Yang ada hanya rutinitas rebutan kekuasaan. Transformasi nilai-nilai demokrasi tidak disalurkan sebagaimana mestinya. Padahal, DPR, KPU, Bawaslu, dan pemerintah dalam berbagai kesempatan selalu mendengungkan Pilkada DKI menjadi barometer penyelenggaraan Pemilu 2014.
Kinerja penyelenggaraan Pilkada DKI mengkhawatirkan. Hal itu terlihat dari belum terselesaikannya masalah data DPT. Ditakutkan juga bisa muncul sengketa hasil penghitungan suara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Maka, penyelenggara pemilu harus menindak kontestan yang melanggar aturan main.
Kampanye dengan motif black campaign jelas melanggar UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 116 Ayat (1) dan ayat (2) tentang Ketertiban Umum. Black compaign bisa merupakan bentuk pelanggaran pidana pemilu sehingga diperlukan penanganan serius secara hukum.
Hasil Pilkada DKI akan nihil jika para stakeholders, seperti KPUD/Panwaslu/pemprov/kepolisian/kejaksaan tidak memainkan peran dan fungsi secara signifikan. Pemilu yang luber dan jurdil menjadi harapan warga Jakarta, apalagi ini menjadi barometer perlehatan yang lebih besar, Pemilu 2014.
Mereka harus menghasilkan pemilu yang kredibel dan akuntabel. Para pemangku kepentingan hendaknya menyatukan pemahaman dan tekad kuat untuk konsisten memegang komitmen pakta integritas untuk menegakkan pemilu yang demokratis, adil, jujur, dan bermartabat.
Tanpa kemauan dan kesadaran kolektif kebangsaan dalam satu kepentingan untuk menegakkan demokrasi yang beradab dan menjunjung nilai-nilai kejujuran dan keadilan, keinginan untuk menjadikan Pilkada DKI sebagai tolok ukur Pemilu 2014 hanyalah ilusi.
Warga Jakarta dan masyarakat Indonesia menaruh harapan besar pada keenam kandidat yang berlaga meraih kekuasaan pada 11 Juli 2012 mendatang. KPUD, Panwaslu, aparat keamanan, dan penegak hukum harus bekerja profesional dan netral dalam mengawal pilkada.

Dimuat di Koran Jakarta, tanggal 24 Juni 2012#Arsip




Tidak ada komentar:

Posting Komentar