Senin, 26 September 2016

Menjaga Integritas Pemilu

Mengawal Kehormatan Pemilu !
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam sidang putusan DKPP terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diadukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM-SIGMA) tentang verifikasi faktual partai politik (parpol) menimbulkan kontroversi. Kritik masyarakat dari yang konstruktif maupun kritik politis mewarnai polemik. Nuansa kritik putusan DKPP pun bersifat variatif. Namun demikian, kritik apapun sepanjang memiliki argumentasi yang kuat tentu dalam negara demokrasi merupakan hal yang wajar.
Putusan DKPP Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012, dengan teradu ketua dan anggota KPU pusat dinyatakan  tidak terbukti mempunyai i’tikad buruk untuk melanggar kode etik penyelenggara pemilu, dan sekaligus mengingatkan para teradu dapat bekerja lebih profesional, transparan, jujur, adil, dan akuntabel untuk seluruh tahapan pemilu berikutnya. Poin ketiga putusan dinyatakan, pengaduan pengadu (Bawaslu dan SIGMA) terbukti sebagian, dan membenarkan rekomendasi pengadu agar KPU mengikutsertakan parpol yang tidak lolos verifikasi administrasi untuk diberi kesempatan mengikuti verifikasi faktual sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU, dan memerintahkan kepada KPU agar 18 (delapan belas) partai politik calon peserta pemilu, yang terdiri atas 12 (dua belas) partai politik yang direkomendasikan oleh Bawaslu ditambah 6 (enam) partai politik lainnya yang tidak lolos verifikasi administrasi tetapi mempunyai hak konstitusional yang sama sehingga kembali diikutsertakan dalam verifikasi faktual dengan tidak mengubah jadwal tahapan Pemilu dan kedelapan belas partai politik tersebut di atas harus menyesuaikan dengan ketentuan verifikasi faktual yang ditetapkan oleh KPU. 
Pengaduan perkara Nomor 055/I-P/L-DKPP/2012 tanggal 31 Oktober  2012 yang diregistrasi dengan Nomor Perkara 25/DKPP-PKE-I/2012 dan pengaduan Nomor 045/I-P/L-DKPP/2012 tanggal 29 Oktober 2012 yang diregistrasi dengan Nomor Perkara 26/DKPP-PKE-I/2012, menjatuhkan putusan dalam perkara pengaduan yang diajukan oleh pengadu I; Muhammad selaku ketua Bawaslu, dan pengadu II; Said Salahuddin (SIGMA) dengan teradu Husni Kamil Manik (Ketua KPU) dan enam anggota KPU lainnya akhirnya diputuskan dalam pleno DKPP pada hari Senin, tanggal (26/11/2012) dan dibacakan secara terbuka dalam sidang DKPP hari Selasa, tanggal (27/11).
Keberadaan DKPP merupakan salah satu bentuk akumulasi keprihatinan politik terhadap proses dan hasil penyelenggaraan Pemilu tahun 2009 yang sarat dengan stigma negatif yang begitu kuat melekat padanya. Stigma negatif tersebut, dipicu oleh performa kinerja lembaga yang tidak independen. Proses dan hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden menyita perhatian masyarakat, sehingga label KPU tidak netral, tidak proporsional, dan bertindak menyimpang dari kode etik pemilu, menodorong DPR produk pemilu 2009 merevisi undang-undang Nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu.
Ada banyak kemajuan dalam revisi undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 menjadi undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu, diantaranya, ditingkatkannya kapasitas wewenang lembaga DKPP untuk melakukan fungsi eksekusi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Selain berperan langsung mengeksekusi pelanggaran kode etik, peran penting penegakkan kode etik tidak hanya bagi KPU tetapi juga Bawaslu di semua tingkatan. Perubahan hasil revisi undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 menjadi undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 menempatkan institusi DKPP sebagai pengadilan kode etik bagi KPU dan Bawaslu. Jadi, berbeda dengan sebelumnya, di mana Dewan Kehormatan KPU (DK KPU) hanya menangani KPU dan itu pun bersifat ad hock.
Selain bersifat ad hock, DK KPU juga hanya mengajukan rekomendasi kepada KPU. Sementara DKPP tidak lagi berfungsi rekomendasi namun langsung mengeksekusi setiap dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang terbukti secara kuat dan meyakinkan melanggar kode etik. Undang-undang Nomor 15 tahun 2011, Pasal 109 ayat (1-2), DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di ibu kota negara. DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi/kabupaten/kota, PPK, PPS, KPPSLN, anggota Bawaslu Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota, Panwascam, PPL, PPLN. Semenjak dibentuk secara resmi tanggal 12 Juni 2012, DKPP telah menjalankan amanat UU No. 15/2011 Pasal 110 ayat (1-2), dimana ditugaskan untuk menyusun dan menetapkan satu kode etik untuk menjaga kemandirian integritas, dan kredebilitas anggota KPU, dan dalam proses penyusunan peraturan kode etik DKPP perlu melibatkan pihak-pihak lain guna mendapatkan legitimasi.
Dalam konteks tersebut, DKPP telah menghasilkan sebuah peraturan yang dinamakan peraturan bersama kode etik penyelenggara pemilu. Peraturan bersama kode etik tersebut dituangkan dalam peraturan bersama KPU, Bawaslu, DKPP Nomor 13, 11, 1, Tahun 2012 dan ditandatangani bersama oleh ketiga lembaga.
Pasal 8 Ayat (1) Poin J, UU No. 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu dengan tegas dikatakan, DKPP menerima laporan/pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dari pihak-pihak terkait. Pemilu yang adil dan demokratis membutuhkan kerjasama yang sinergis dari berbagai pemangku kepentingan.

Pemilu Bermartabat
Tujuan menghasilkan sebuah penyelenggaraan pemilu yang demokratis kerapkali terganggu akibat sikap dan tindak-tanduk segelintir anggota KPU-Bawaslu yang menyimpang. Proses dan hasil pemilu tidak berintegritas sehingga sistem pemilu yang demokratis pun akan mengalami kesulitan dalam penerapan. Perilaku individu anggota penyelenggara pemilu yang menjadi perhatian utama DKPP dalam menegakkan kode etik dan tidak memasuki wilayah kelembagaan. Karena tindakan etik tidak etik seorang penyelenggara dalam proses sangat menentukan kualitas dan integritas pemilu dan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilu kada).
Penanganan kasus-kasus pemilu dan pemilu kada di berbagai daerah dengan pendekatan hukum, acapkali melahirkan kegaduhan-kegaduhan. Maklum, meminjam istilah Jimly Asshiddiqie yang juga ketua DKPP mengatakan, hukum selalu dikonstruksikan tidak untuk keberpihakan pada keadilan tetapi hukum seringkali dijadikan sebagai alat untuk membela kepentingan-kepentingan tertentu. Pengakan hukum kerap lebih mengedepankan teknis prosedurnya saja sehingga keberpihakannya kepada kemanfaatan seringkali diabaikan. Karena selalu teknis maka hasilnya selalu pragmatis. Dan dalam proses penegakan hukum tidak menjadikan justic sebagai basis pijakan namun teknik prosedur penegakan yang mengutamakan siapa kalah, siapa menang.
Penyelenggaraan pemilu berbasis pada prinsip luber dan jurdil merupakan suatu keharusan dalam rangka menegakkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Pemilu memiliki arti penting tidak secara teknis operasional terhadap sebuah undang-undang tetapi mempunyai makna filosofis yang mendalam. Pemilu merupakan sebuah sarana yang tidak saja menegakkan kedaulatan rakyat, namun pemilu adalah bentuk transformasi nilai-nilai demokrasi yang bertujuan menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa yang bermartabat.
Integritas proses dan hasil penyelenggaraan pemilu dan pemilu kada sangat ditentukan oleh integritas anggota dan instrumen penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) di semua tingkatan yang berintegritas baik. Kualitas demokrasi bisa terwujudkan apabila anggota penyelenggara pemilu bisa menciptakan iklim kelembagaan demokrasi berjalan sesuai peraturan dan perundang-undangan.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu merupakan produk politik pemerintah dan DPR dengan maksud mengembalikan kehormatan instrumen Pemilu (KPU dan Bawaslu) supaya menjadi lebih bermartabat dalam mengelola proses pemilu. Pemilu 2009 dan pemilu kada di banyak daerah yang mengundang ekspektasi masyarakat secara negatif terhadap KPU dan Bawaslu mendorong pemerintah dan DPR merevisi UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang penyelenggara pemilu, yang salah satu poin pentingnya ialah menaikan status wewenang dan kelembagaan DKPP.

Kehormatan Pemilu
Keberadaan lembaga DKPP membawa misi yang sangat berat yaitu menegakan pelaksanaan kode etik pemilu. Sejak didirikannya, DKPP telah melaksanakan tugasnya, yakni mulai dari finalisasi draft kode etik pemilu hingga mengeksekusi pengaduan-pengaduan terkait dugaan pelanggaran kode etik pemilu. Sampai saat ini DKPP telah memberhentikan 22 anggota KPU Provinsi/kabupaten/kota dan panwaslu kada provinsi/kabupaten, yang antara lain; 3 anggota KIP Aceh Tenggara, ketua KPU Kota Depok, 5 anggota KPUD Kab Tulang Bawang, ketua dan anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, ketua panwaslu provinsi DKI Jakarta, 2 anggota KIP Aceh Tengah, 2 anggota Panwaslu Kab Halmahera Tengah, ketua KPU Kab Puncak, dan ketua KPU beserta 1 anggota KPU Kab Lumajang Jawa Timur.
Pada akhirnya, perlu kesadaran baru dan dibutuhkan aksi nyata dalam terobosan perbaikan kualitas pemilu sebagai konsekuensi logis dari semangat membentuk lembaga ini. Kita tetap membutuhkan penegakan hukum tindakan pidana pemilu dan penyelesaian hukum terkait pelanggaran administrasi pemilu baik melalui Polisi, Jaksa, pengadilan PTUN, dan MK, akan tetapi pendekatan etika juga harus menjadi suatu keharusan.
Perdebatan tidak perlu diperpanjang apalagi mengipas polemik yang bermuara politisasi. Kebijakan DKPP tidak perlu dieksploitasi untuk kepentingan tertentu karena DKPP hanya menjalankan amanat UU yang dibuat DPR dan pemerintah. Tidak perlu memperpanjang ritma polemik apalagi memberikan ruang perdebatan politik yang semestinya tidak perlu. Semua pihak harus melihatnya sebagai terobosan penting dalam membangun kualitas demokrasi dengan menegakan kode etik Pemilu. Penegakan hukum harus dibarengi dengan penegakan kode etik (rule of law dan rule of ethics).
Dengan demikian, tindakan DPR meminta penjelasan DKPP yang dikemas dalam rapat konsultasi tidak memiliki landasan hukum filosofis hukum tetapi lebih merupakan fungsi kelembagaan politik yang dimanfaatkan. Patutnya ini tidak boleh terjadi dalam negara demokrasi yang menghormati proses penegakan hukum apalagi ini menyangkut pengadilan etic. Belum pernah terjadi di negara maju manapun yang parlemennya meminta penjelasan langsung dari lembaga pengadilan tentang suatu putusan apalagi putusan pengadilan etika. 
DKPP bertekad menjadikan proses tahapan pemilu dan pemilu kada berjalan sesuai mekanisme dan peraturan perundang-undangan. Kehormatan pemilu merupakan bagian tugas penting DKPP. DKPP mengawal kehormatan proses dan hasil penyelenggaraan pemilu agar tetap berjalan profesional, transparan, dan menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa yang bermartabat.
DKPP tetap konsisten dan terus membangun kerjasama dengan pelbagai pemangku kepentingan termasuk media massa guna mengawal demokrasi yang berharkat dan bermartabat. DKPP tetap memastikan bahwa setiap laporan dugaan pelanggaran kode etik Pemilu baik dilakukan pihak penyelenggara maupun kontestan pemilu, DKPP akan selalu memperhatikan laporan dan memprosesnya sesuai standar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Bagaimana pun putusan DKPP menjadi pelajaran mahal dalam penyelenggara Pemilu di seluruh tanah air. Terobosan dengan menjatuhkan sanksi pemulangan Sekjen dan kepala biro hukum kesekjenan KPU ke induk kementerian merupakan kebijakan tegas yang langkah terjadi, dan patut diikuti pimpinan lembaga-lembaga negara. Tugas dan fungsi kesekjenan sebagai fasilitasi dan administrasi sejatinya tidak serta-merta menjadikan birokrasi sebagai pijakan kerja yang patologis.
Toh, kenyataan selalu menunjukkan birokrasi yang akut selalu melahirkan patologi struktur kekuasaan sehingga menyebabkan institusi tidak bergerak dinamis bahkan menghambat produktivitas perubahan. Putusan DKPP tidak perlu dipersoalkan karena bersifat tetap dan mengikat atau tidak bisa diganggu gugat. Semua kita harus memahami, membangun iklim politik yang sehat dengan membersihkan sistem korup memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang tinggi. Toh, semua tetap diorientasikan pada semangat membangun dan menegakan integritas, kredebilitas, dan kehormatan penyelenggara pemilu di masa-masa mendatang.

Keterangan: Arsip Tulisan Opini Lepas
Tulisan ini dimuat di Tabloid Lintas Indonesia, Jakarta Edisi 06 Tahun I – 2012.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar